new vol. 7, no. 2, 2018malut.litbang.pertanian.go.id/images/stories/publikasi/... · 2020. 9....
Post on 29-Oct-2020
0 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Vol. 7, No. 2, 2018
BULETIN Pengkajian Pertanian
Vol. 7, No. 2, 2018
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian
BULETIN PENGKAJIAN PERTANIAN
@ 2018, BPTP MALUKU UTARA
Volume 7, No. 2, 2018.
Penanggung Jawab :
Bram Brahmantiyo
Ketua Dewan Redaksi
Chris Sugihono
Dewan Redaksi :
Wawan Sulistiono, Fredy Lala, Muh. Assagaf, Slamet Hartanto
Redaksi Pelaksana :
Hermawati Cahyaningrum
Abubakar Ibrahim
Tri Setiyowati
Himawan Bayu Aji
Penerbit :
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara,
Komplek Pertanian Kusu No. 1 Oba Utara Kota, Tidore Kepulauan
Fax : (021) 29490482
email : bptp.malut@yahoo.com
PRAKATA
Buletin Vol. 7, No. 2, 2018. merupakan buletin hasil pengkajian yang
diterbitkan oleh BPTP Maluku Utara, yang memuat makalah review dan hasil
pengkajian/penelitian primer yang dilakukan tahun 2013-2018. Makalah tersebut
telah diseleksi dan dikoreksi oleh tim redaksi baik dari segi bahasa maupun bentuk
penyajiannya.
Penerbitan buletin Vol. 7, No. 2, 2018. ini diterbitkan dengan memuat artikel
yang tidak harus berasal dari penyajian dalam suatu seminar, tetapi lebih ditentukan
oleh ketanggapan penulis dan kelayakan ilmiah tulisan.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak peneliti dan penyuluh, tim
redaktur, aparat penunjang lainnya yang telah membantu memperlancar proses
penerbitan. Semoga media ini bermanfaat bagi khalayak. Kritik dan saran dari
pembaca selalu kami nantikan.
Redaksi
Tulisan yang dimuat adalah yang telah diseleksi dan disunting oleh tim redaksi dan belum pernah dipublikasikan pada media cetak manapun. Tulisan hendaknya mengikuti Pedoman Bagi Penulis (lihat
halaman sampul dalam). Redaksi berhak menyunting makalah tanpa mengubah isi dan makna tulisan
atau menolak penerbitan suatu makalah.
Penerapan Prinsip-Prinsip Agricultral Practices (GAP) Dalam Produksi Jagung di Maluku Utara (Yopi Saleh, Novendra C. Nugroho)
1
PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD
AGRICULTRAL PRACTICES (GAP) DALAM
PRODUKSI JAGUNG DI MALUKU UTARA
Yopi Saleh dan Novendra Cahyo Nugroho
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara
Komplek Pertanian Kusu No. 1, Oba Utara – Kota Tidore Kepulauan
yopisaleh@gmail.com, novendracn@gmail.com
ABSTRAK
Peningkatan kuantitas dan kualitas produk diperlukan agar mampu bersaing
di pasar global. Salah satu upaya peningkatan kualitas produk adalah dengan
menerapkan Good Agricultural Practices (GAP) pada komoditas tersebut.
Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan kedua
setelah padi yang saat ini sedang pemerintah galakkan untuk mencapai
swasembada jagung nasional. Produksi jagung selain untuk pemenuhan
kebutuhan dalam negeri juga harus berorientasi ekspor sehingga kualitas,
kuantitas dan kontinuitasnya harus tetap terjaga. Penerapan prinsip-prinsip
GAP pada budidaya jagung dapat menjadi solusi dalam menjawab tantangan
ini. GAP produksi jagung secara khusus belum ditetapkan, namun
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) jagung bisa menjadi acuan dalam
memproduksi jagung yang berkualitas baik. Penerapan teknologi budidaya
PTT jagung akan mendukung program produksi jagung di Provinsi Maluku
Utara tahun 2017 yang mencapai 170.000 hektar. Konsumsi jagung dominan
sebagai bahan baku pakan ternak. Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk
jagung sebagai bahan baku pakan sudah ada sejak tahun 1998. Hal ini bisa
dijadikan standar dalam menghasilkan produk jagung untuk bahan baku
pakan yang berkualitas yang memiliki daya saing di pasar global.
Kata kunci: Produksi, jagung, GAP, kualitas
PENDAHULUAN
Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang
mempunyai nilai dan peran strategis setelah padi dalam pembangunan
pertanian dan perekonomian Indonesia. Jagung mempunyai fungsi
multiguna, baik sebagai bahan pangan, bahan baku industri, maupun sumber
pendapatan petani. Ada dua jenis jagung yang dibudidayakan, yaitu: jagung
putih dan jagung kuning. Jagung kuning lebih diutamakan untuk kebutuhan
industri pakan, makanan kecil, dan bahan baku industri rumah tangga seperti
marning jagung, emping jagung, dan lain-lain, sementara jagung putih
banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan pangan (nasi jagung)
(Suhendrata, 2012). Tinggi rendahnya harga pakan ternak, akan sangat
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
2
berpengaruh terhadap harga-harga hasil ternak seperti daging dan telur.
Kenaikan harga jagung akan berdampak pada kenaikan harga pakan ternak,
dan berakibat pada meningkatnya harga daging dan telur.
Upaya pemerintah dalam mewujudkan swasembada pangan
berkelanjutan ditempuh melalui program Upaya Khusus (UPSUS) padi,
jagung dan kedelai yang telah dicanangkan sejak tahun 2015 melalui
terbitnya Permentan Nomor: 03/Permentan/OT.140/2/2015 tentang Pedoman
UPSUS Peningkatan Produksi Padi, Jagung dan Kedelai. Program UPSUS
ini dilakukan melalui kegiatan Rehabilitasi Jaringan Irigasi Tersier (RJIT),
optimasi lahan, Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-
PTT) Padi, Jagung dan Kedelai, serta bantuan alat dan mesin pertanian dan
pengawalan/pendampingan (Saptana et al., 2016). Kementerian Pertanian
menjalankan program produksi jagung secara besar-besaran sejak tahun
2015. Banyak stimulus yang pemerintah lakukan agar produksi komoditi
pangan nomor dua setelah padi ini meningkat. Misalnya, perluasan areal
tanam, bantuan alsintan hingga integrasi jagung di lahan perkebunan dan
hutan. Di tingkat hilir, Kementerian Pertanian bersama Kementerian
Perdagangan menetapkan harga pembelian pemerintah (terendah) Rp.
3,150,-/kg (kadar air 15%). Kebijakan ini bertujuan agar petani termotivasi
menanam jagung karena mendapatkan harga jual yang layak (Anonim,
2016). Usahatani jagung efisien secara ekonomi dan finansial atau memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif. Informasi ini dapat menjadi acuan
dalam menyusun kebijakan operasional bagi peningkatan produksi jagung
untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor (Suryana dan
Agustian, 2014). Menurut Panikkai et al. (2017), Indonesia belum dapat
mencapai swasembada jagung secara berkelanjutan sebelum adanya
kebijakan peningkatan produksi secara menyeluruh, yaitu pemerintah
menerapkan strategi kebijakan gabungan antara peningkatan ekstensifikasi
dan produktivitas jagung.
PERKEMBANGAN JAGUNG INDONESIA DI DUNIA
Berdasarkan data dari Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
(2016) pada periode lima tahun terakhir (2010-2014), luas panen jagung
dunia tertinggi di China dengan rata-rata luas mencapai 34,67 juta hektar
atau mencapai 19,62% dari rata-rata total luas panen jagung dunia. Amerika
Serikat berada di tempat ke-2, tergeser dari China, dengan luas rata-rata
selama lima tahun terakhir sebesar 34,29 juta ha atau menyumbang 19,40%
total luas panen jagung dunia. Posisi ketiga dan keempat ditempati oleh
Brazil dan India dengan luas panen rata-rata masing-masing sebesar 14,16
juta hektar dan 8,81 juta hektar. Sementara Indonesia berada di urutan ke-9
setelah Mexico, Nigeria, Argentina, dan Ukraina dengan kontribusi luas
sebesar 2,22% atau luas panen rata-rata lima tahun terakhir mencapai 3,92
Penerapan Prinsip-Prinsip Agricultral Practices (GAP) Dalam Produksi Jagung di Maluku Utara (Yopi Saleh, Novendra C. Nugroho)
3
juta hektar per tahun. Kontribusi luas panen negara-negara sentra terlihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Kontribusi (kiri) dan rata-rata luas panen (kanan) negara-negara
produsen jagung dunia periode tahun 2010-2014
Menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2017),
berdasarkan rata-rata produksi jagung yang dihasilkan suatu negara pada
tahun 2010-2014, maka terdapat 10 negara produsen jagung terbesar di dunia
dengan total share sebesar 78,76% terhadap total produksi jagung dunia.
Kesepuluh negara tersebut secara berurutan adalah Amerika Serikat, China,
Brazil, Argentina, Ukraina, India, Mexico, Indonesia, Perancis dan Afrika
Selatan. Amerika Serikat menjadi negara paling dominan dimana negara
tersebut menguasai 34,66% produksi jagung dunia dengan rata-rata produksi
Gambar 2. Kontribusi (kiri) dan rata-rata produksi (kanan) negara-negara
produsen jagung dunia periode tahun 2010-2014
2010–2014 mencapai 323,74 juta ton, diikuti China pada urutan ke-2
dengan produksi rata-rata 202,12 juta ton, mampu menguasai 21,64%
produksi jagung dunia, posisi ketiga ditempati Brazil dengan produksi rata-
rata 68,45 juta ton selama lima tahun terakhir. Tiga negara tersebut
merupakan produsen jagung terbesar dunia dengan kontribusi kumulatif
sebesar 63,63%, karena negara produsen jagung lainnya memproduksi
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
4
jagung rata-rata dibawah 30 juta ton per tahun. Hal yang cukup menarik
adalah untuk luas panen jagung, China di urutan pertama, sementara
produksi jagung China diurutan kedua setelah USA dengan perbedaan angka
produksi yang terpaut jauh, sekitar 121,62 juta ton, hal ini menunjukkan
produktivitas jagung di USA jauh lebih tinggi dari pada di China.
Indonesia termasuk sepuluh negara produsen jagung terbesar di
dunia pada urutan ke-8 setelah Argentina, Ukraina, India dan Mexico,
dengan tingkat produksi rata-rata tahun 2010-2014 menurut data FAO,
sebesar 18,57 juta ton per tahun atau berkontribusi sebesar 1,99% terhadap
produksi jagung dunia (Gambar 2). Produksi jagung tahun 2014, merupakan
angka release terbaru dari FAO.
Tabel 1. Luas panen, produksi dan produktivitas produsen jagung di dunia
periode tahun 2010-2014
No NegaraLuas Panen
(ha)
Produksi
(ton)Produktivitas (t/ha)
1 USA 34.286 323.742 9,44
2 Argentina 4.053 27.076 6,68
3 China 34.673 202.120 5,83
4 Ukraina 4.003 23.040 5,76
5 Brazil 14.162 68.450 4,83
6 Indonesia 3.922 18.576 4,74
7 Mexico 6.859 21.789 3,18
8 India 8.815 22.541 2,56
Jumlah/Rerata 110.773 707.334 6,39 Sumber: Pusdatin, 2016 dan 2017.
Kinerja produksi jagung Indonesia dapat diukur dengan melihat
produktivitasnya. Berdasarkan data luas panen dan produksi jagung dunia,
produktivitas jagung Indonesia lebih baik jika dibandingkan dengan
Meksiko dan India, namun masih di bawah rata-rata USA, Argentina, China,
Ukraina, dan Brazil (Tabel 1). Rata-rata produktivitas jagung meningkat
dengan laju pertumbuhan sebesar 4,39 persen per tahun selama periode
2005-2014 (Purwantini, 2015). Meningkatnya produktivitas diperkirakan
karena adanya penggunaan verietas jagung hibrida yang semakin meluas,
peningkatan intensitas pertanaman dan penerapan pengelolaan tanaman
terpadu (PTT).
KONDISI JAGUNG SAAT INI DI MALUKU UTARA
Pertumbuhan luas panen dan produksi jagung di Provinsi Maluku
Utara selama kurun waktu 6 tahun (2010-2015) menurun. Namun,
produktivitas jagung cenderung meningkat (Tabel 2). Rerata produktivitas
Penerapan Prinsip-Prinsip Agricultral Practices (GAP) Dalam Produksi Jagung di Maluku Utara (Yopi Saleh, Novendra C. Nugroho)
5
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Luas Panen (ha) 10.813 12.733 11.074 10.395 6.462 3.892 9.228 (15,80)
Produksi (Ton) 20.546 26.149 25.543 29.421 19.555 11.728 22.157 (6,68)
Produktivitas (Ton/ha) 1,90 2,05 2,31 2,83 3,03 3,01 2,40 9,92
UraianTahun
RerataPertumbuhan
(%)
tanaman jagung di Provinsi Maluku Utara 6 tahun terakhir hanya berkisar
2,4 ton/ha. Produktivitas ini masih jauh di bawah rata-rata produksi nasional
yang berkisar 5,18 ton/ha (BPS, 2016), sehingga masih terdapat gap
produktivitas jagung yang masih bisa ditingkatkan untuk mendukung
peningkatan produksi jagung di Provinsi Maluku Utara.
Tabel 2. Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas jagung di
Maluku Utara periode tahun 2010-2015
Sumber: BPS Maluku Utara diolah, 2012-2016
Petani di Maluku Utara mengusahakan tanaman jagung pada lahan
kering/tegalan baik itu di lahan kering terbuka dan juga di bawah tegakan
tanaman kelapa. Peningkatan produksi dan produktivitas jagung secara nyata
hanya dapat dilakukan dengan inovasi teknologi baru dan perencanaan
tanam yang tepat. Terobosan inovasi teknologi baru dapat difokuskan pada
penggunaan benih unggul dan hibrida tersertifikasi, teknologi pemupukan
secara lengkap dan berimbang, penggunaan pupuk organik terstandarisasi
dan penggunaan kapur sebagai unsur pembenah tanah, teknologi
pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, serta penanganan
pascapanen yang prima. Perencanaan tanam harus didasarkan pada dinamika
permintaan pasar menurut tujuan dan segmen pasar, serta preferensi
konsumen.
Program UPSUS untuk komoditas jagung di Maluku Utara tahun
2017 adalah yang terbesar sepanjang sejarah, karena tahun 2017 ada seluas
170.000 hektar program penanaman jagung. Berikut ini rincian program
UPSUS jagung di Maluku Utara tahun 2017 (Tabel 3):
Tabel 3. Program UPSUS jagung di Maluku Utara tahun 2017 (ha)
No Kabupaten/Kota Awal Tambahan Total
1 Halmahera Barat 19.000 - 19.000
2 Halmahera Tengah 1.000 15.000 16.000
3 Halmahera Utara 4.500 10.000 14.500
4 Halmahera Timur 2.000 15.000 17.000
5 Halmahera Selatan 2.000 25.000 27.000
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
6
6 Pulau Morotai 2.500 50.000 52.500
7 Kepulauan Sula 500 5.000 5.500
8 Pulau Taliabu 1.000 5.000 6.000
9 Tidore Kepulauan 2.250 10.000 12.250
10 Ternate 250 - 250
Jumlah 35.000 135.000 170.000
Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Maluku Utara, 2017.
Potensi lahan kering di Maluku Utara dapat berupa ladang/huma,
tegal/kebun, dan lahan yang sementara tidak diusahakan. Menurut data BPS
Maluku Utara tahun 2015 masing-masing luas lahan tersebut adalah 87.130
hektar, 278.060 hektar dan 20.591 hektar. Lahan tersebut merupakan potensi
yang bisa dioptimalkan untuk ditanami jagung. Potensi ini sebagian besar
ada pada lahan tegal/kebun, sehingga pertanaman jagung akan berintegrasi
dengan tanaman perkebunan yang ada, salah satunya adalah pada kebun
kelapa.
Peningkatan produksi jagung untuk mencapai target yang diinginkan
dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi lahan kering. Pemanfaatan
lahan tersebut masih sangat terbatas akibat keterbatasan teknologi terutama
varietas unggul. Peran teknologi dibutuhkan untuk memanfaatkan lahan
kering tersebut, terutama teknologi yang dapat mengatasi masalah cekaman
lingkungan terutama kekeringan, tahan penyakit, dan toleran terhadap
keracunan logam-logam seperti Al (Najmah et al., 2014). Faesal dan
Jamluddin (2014) menambahkan bahwa konsentrasi Al yang tinggi meracuni
tanaman jagung dengan merusak akar sehingga mengurangi absorsi air dan
nutrisi yang pada akhirnya mengurangi pertumbuhan serta hasil jagung.
Keberhasilan upaya pengembangan jagung untuk memanfaatkan potensi
lahan yang tersedia, diantaranya akan sangat dipengaruhi oleh tingkat
keuntungan yang akan diperoleh. Pengembangan jagung akan berjalan cepat
jika petani merasa memperoleh keuntungan yang cukup (Syuryawati et al.,
2014).
SEKILAS MENGENAI Good Agricultural Practices (GAP)
Good Agricultural Practices (GAP) adalah salah satu sistem
sertifikasi dalam praktik budidaya tanaman yang baik sesuai dengan standar
yang telah ditentukan. GAP adalah sebuah teknis penerapan sistem
sertifikasi proses produksi pertanian yang menggunakan teknologi maju
ramah lingkungan dan berkelanjutan, sehingga produk panen aman
dikonsumsi, kesejahteraan pekerja diperhatikan dan usahatani memberikan
keuntungan ekonomi bagi petani (Anonim, 2015). Hal ini sejalan dengan
Penerapan Prinsip-Prinsip Agricultral Practices (GAP) Dalam Produksi Jagung di Maluku Utara (Yopi Saleh, Novendra C. Nugroho)
7
penelitian yang dilakukan oleh Sari et al. (2016) bahwa prinsip-prinsip GAP
dilakukan untuk menggiatkan prinsip pertanian berkelanjutan.
Era perdagangan global yang tidak lagi mengandalkan hambatan
tarif tetapi lebih menekankan pada hambatan teknis berupa persyaratan
mutu, keamanan pangan, sanitary dan phytosanitary. Kondisi ini menuntut
negara-negara produsen untuk meningkatkan daya saing produk. Menurut
Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 48 Permentan/OT.140/10/2009, GAP
mencakup penerapan teknologi yang ramah lingkungan, pencegahan
penularan OPT, penjagaan kesehatan dan meningkatkan kesejahteraan
petani, dan prinsip penelusuran balik (traceability). Produk pertanian akan
mampu bersaing di era perdagangan bebas dengan syarat GAP dapat
diterapkan untuk mendapatkan sertifikat GAP yang menjadi syarat wajib
produk ekspor. Sertifikat ini dapat menjadi gambaran bahwa produk yang
dihasilkan memiliki standar manfaat yang baik bagi produk, pekerja dan
meminimalisir pencemaran lingkungan.
Salah satu contoh standar untuk produk pertanian mulai dari
produksi, panen, dan penanganan pasca panen dari buah dan sayuran segar di
wilayah ASEAN yang digunakan adalah ASEAN GAP. ASEAN GAP ini
menekankan terhadap empat komponen, yaitu (ASEAN dan AusAID, 2006):
(1) keamanan konsumsi pangan; (2) pengelolaan lingkungan dengan benar;
(3) keamanan, kesehatan dan kesejahteraan pekerja lapang; dan (4) jaminan
kualitas produk dan traceability produk bila diperlukan.
Penerapan GAP bertujuan untuk: (1) Meningkatkan produksi dan
produktivitas tanaman; (2) Meningkatkan mutu hasil termasuk keamanan
konsumsi; (3) Meningkatkan efisiensi produksi; (4) Memperbaiki efisiensi
penggunaan sumber daya alam; (5) Mempertahankan kesuburan lahan,
kelestarian lingkungan, dan sistem produksi yang berkelanjutan; (6)
Mendorong petani dan kelompok tani untuk memiliki sikap mental yang
bertanggung jawab terhadap produk yang dihasilkan, kesehatan dan
keamanan diri dan lingkungan; (7) Meningkatkan daya saing dan peluang
penerimaan oleh pasar domestik maupun internasional; (8) Memberi jaminan
keamanan terhadap konsumen; dan (9) Meningkatkan kesejahteraan petani
(Kementerian Pertanian, 2009).
Indonesia telah memiliki empat dasar hukum penerapan GAP pada
komoditas pertanian, yaitu: (1) PERMENTAN Nomor:
61/Permentan/OT.160/11/2006 Tentang Penerapan GAP Untuk Komoditi
Buah; (2) PERMENTAN Nomor: 48/Permentan/OT.140/10/2009 Tentang
Pedoman Budidaya Buah dan Sayur Yang Baik (Good Agricultural
Practices for Fruit and Vegetables); (3) PERMENTAN Nomor:
48/Permentan/OT.140/4/2014 Tentang Pedoman Teknis Budidaya Kakao
Yang Baik (Good Agricultural Practices / GAP on Cocoa); dan (4)
PERMENTAN Nomor: 49/Permentan/OT.140/4/2014 Tentang Pedoman
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
8
Teknis Budidaya Kopi Yang Baik (Good Agricultural Practices / GAP on
Coffee). Berdasarkan ke empat dasar hukum yang bisa dijadikan acuan pada
pengembangan komoditas terkait, belum ada yang khusus mengenai
komoditas tanaman jagung. Produksi jagung yang bisa dijadikan acuan
untuk penerapan GAP budidaya jagung adalah melalui Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) budidaya jagung. Beberapa tujuan GAP dan PTT
jagung yang sejalan diantaranya: (1) meningkatkan produksi dan
produktivitas, (2) meningkatkan pendapatan petani, dan (3) menjaga
kelestarian lingkungan. Sedangkan tujuan penerapan GAP yang tidak ada
dalam penerapan PTT jagung adalah (1) sistem sertifikasi proses poduksi,
(2) adanya perhatian terhadap kesejahteraan pekerja (petani), dan (3) hasil
produksi diketahui asal usulnya (traceability).
STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) JAGUNG
Salah satu produk dari hasil produksi tanaman jagung adalah jagung
sebagai bahan baku pakan ternak. Jagung bahan baku pakan adalah jagung
pipilan hasil tanaman jagung (Zea mays. L) berupa biji kering yang telah
dilepaskan dan dibersihkan dari tongkolnya. Standar mutu yang harus
dipenuhi jagung sebagai bahan baku pakan sangat diperlukan untuk memberi
jaminan bagi petani penghasil dan jaminan mutu pakan ternak yang
menggunakannya, artinya kandungan zat anti nutrisi/racun sampai dengan
batas tertentu masih aman dan tidak membahayakan (Badan Standardisasi
Nasional, 1998). Standar Nasional Indonesia (SNI) jagung bahan baku pakan
(SNI 01-4483-1998) telah direvisi menjadi SNI 4483:2013. Mutu jagung
sebagai bahan pakan ternak didasarkan atas kandungan gizi dan ada tidaknya
zat atau bahan lain yang tidak diinginkan. SNI 4483:2013 menetapkan ada
dua tingkatan mutu jagung sebagai bahan pakan ternak (Badan Standardisasi
Nasional, 2013). Persyaratan mutu jagung sebagai bahan pakan ternak ini
berlaku secara nasional seperti pada Tabel 4 di bawah ini:
Tabel 4. Persyaratan mutu jagung bahan baku pakan
No Parameter Satuan
Persyaratan
Mutu I Mutu II
1 Kadar air (maks) % 14,0 16,0
2 Protein kasar (min) % 8,0 7,0
Penerapan Prinsip-Prinsip Agricultral Practices (GAP) Dalam Produksi Jagung di Maluku Utara (Yopi Saleh, Novendra C. Nugroho)
9
3 Mikotoksin:
- Aflatoksin (maks)
- Okratoksin (maks)
µg/kg
µg/kg
100,0
20
150,0
Tidak
dipersyaratkan
4 Biji rusak (maks) % 3,0 5,0
5 Biji berjamur (maks) % 2,0 5,0
6 Biji pecah (maks) % 2,0 4,0
7 Benda asing (maks) % 2,0 2,0
Sumber: Badan Standardisasi Nasional, 2013.
PENERAPAN PRINSIP GAP DALAM PRODUKSI JAGUNG
Kementerian Pertanian telah mengeluarkan aturan standar GAP
untuk buah dan sayur, kakao, dan kopi. Sedangkan produksi jagung
diarahkan untuk menerapkan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) budidaya
jagung. Menurut Dirjen Tanaman Pangan (2013), PTT merupakan suatu
pendekatan yang inovatif dalam upaya peningkatan produktivitas dan
efisiensi usahatani melalui perakitan teknologi intensifikasi yang bersifat
spesifik lokasi. Prinsip pendekatan PTT yaitu: (1) Terpadu : PTT merupakan
suatu pendekatan agar sumber daya tanaman, tanah dan air dapat dikelola
dengan sebaik-baiknya secara terpadu; (2) Sinergis : PTT memanfaatkan
teknologi pertanian terbaik, dengan memperhatikan keterkaitan yang saling
mendukung antar komponen teknologi; (3) Spesifik lokasi : PTT
memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial
budaya dan ekonomi petani setempat; (4) Partisipatif : Petani turut berperan
serta dalam memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kondisi
setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran dalam bentuk
laboratorium lapangan (LL); dan (5) Dinamis : Penerapan teknologi
disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kondisi sosial-ekonomi setempat (Dirjen Tanaman Pangan,
2013). PTT jagung ini bisa dijadikan acuan awal sebagai SOP produksi
jagung yang baik (GAP). Berikut ini disajikan perbandingan antara GAP
untuk tanaman semusim (buah dan sayuran) dan PTT jagung yang
memberikan gambaran mengenai persamaan dan perbedaan dari masing-
masing alur/proses produksi suatu komoditas yang terstandarisasi dan
komponen pengelolaannya (Tabel 5).
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
10
Tabel 5. Perbandingan metode budidaya melalui pendekatan GAP (buah
dan sayur) dan PTT jagung
No Ruang Lingkup GAP (Buah dan Sayur) PTT Jagung
1 Kriteria budidaya Dianjurkan (A), Sangat
Dianjurkan (SA), dan
Wajib (W)
Komponen Dasar dan
Komponen Pilihan
2 Registrasi dan
sertifikasi
Kebun/lahan yang dinilai
dan memenuhi syarat
GAP diberi nomor
registrasi sertifikasi
-
3 Lahan:
A. Pemilihan
lokasi
B. Riwayat
lokasi
C. Pemetaan
lahan
D. Kesuburan
lahan
1) Lokasi kebun/lahan
sesuai dengan
RUTR/RDTRD dan
peta pewilayahn
komoditas (A)
2) Lahan bebas dari
cemaran limbah bahan
berbahaya dan racun
(W) 3) Kemiringan lahan <
30% (W)
Catatan riwayat
penggunaan lahan (A)
1) Rotasi tanaman pada
tanaman semusim (A)
2) Peta penggunaan
lahan (A)
1) Kesuburan tanah
cukup baik (A)
2) Tindakan
mepertahankan
kesuburan lahan (SA)
1) Penyiapan lahan dapat
memperbaiki atau
memelihara struktur
CP/CL yang jelas dan rinci
luasan, petani sasaran,
poktan/gapoktan, desa.
-
-
Pemberian bahan organik
memperbaiki kesuburan
Penerapan Prinsip-Prinsip Agricultral Practices (GAP) Dalam Produksi Jagung di Maluku Utara (Yopi Saleh, Novendra C. Nugroho)
11
No Ruang Lingkup GAP (Buah dan Sayur) PTT Jagung
E. Penyiapan
lahan
F. Konservasi
lahan
tanah (SA)
2) Penyiapan lahan dapat
menghindarkan erosi
(SA) 3) Pemberian bahan
kimia untuk
penyiapan lahan tidak
mencemari
lingkungan (SA)
Tindakan konservasi
dilakukan pada lahan
miring (W)
fisik, kimia, dan biologi
tanah
1) Olah tanah sempurna
(OTS) pada lahan
kering. Tanah diolah
dengan bajak atau
menggunakan cangkul,
kemudian digaru dan
disisir hingga rata
2) Tanpa olah tanah
(TOT) atau olah tanah
minimum pada lahan
sawah setelah padi
Pemberian bahan organik
4 Penggunaan Benih
dan Varietas
Tanaman:
A. Mutu benih
B. Perlakuan
benih
1) Varietas unggul
komersial (SA)
2) Benih bersertifikat
(SA) 3) Label benih disimpan
(A)
Bahan kimia untuk
perlakuan benih sesuai
anjuran (SA)
1) Varietas unggul baru
hibrida atau komposit
disesuaikan dengan
kondisi setempat,
keinginan petani dan
permintaan pasar
2) Benih bermutu dan
berlabel
Bahan kimia sesuai anjuran
seperti metalaksil
diperlukan untuk mencegah
penularan penyakit bulai
5 Penanaman Penanaman dilakukan
sesuai teknik budidaya
1) Jarak tanam yang
dianjurkan adalah 70-
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
12
No Ruang Lingkup GAP (Buah dan Sayur) PTT Jagung
anjuran (SA) 75 cm x 20 cm (1 biji
per lubang) atau 70-75
cm x 40 cm (2 biji per
lubang).
2) Benih yang
mempunyai daya
tumbuh > 95%
populasi 66.000-75.000
tanaman/ha
6 Pupuk:
A. Jenis
B. Penggunaan
C. Penyimpanan
D. Kompetensi
1) Pupuk organik dan
anorganik
terdaftar/diijinkan
(SA) 2) Pupuk organik telah
mengalami
dekomposisi dan
layak digunakan (SA)
1) Pemupukan sesuai
anjuran (SA)
2) Kotoran manusia tidak
digunakan sebagai
pupuk (W)
1) Pupuk disimpan pada
tempat yang aman,
kering, terlindung dan
bersih (A)
2) Pupuk disimpan pada
tempat yang terpisah
dari pestisida (SA)
3) Pupuk disimpan
dengan baik dan
mengurangi resiko
pencemaran air dan
lingkungan (SA)
4) Pupuk disimpan
terpisah dari produk
pertanian (W)
Pelaku usaha mampu
menunjukkan pengetahuan
dan keterampilan
pemupukan (SA)
Pemupukan berdasarkan
kebutuhan tanaman dan
status hara tanah:
1) Penggunaan pupuk
spesifik lokasi
2) Kebutuhan hara N
tanaman dapat
diketahui dengan cara
mengukur tingkat
kehijauan daun jagung
dengan BWD,
sedangkan hara P dan
K dengan Perangkat
Uji Tanah Kering
(PUTK)
3) Pupuk N diberikan dua
kali, yaitu: 7-10 HST
dan 30-35 HST
4) BWD digunakan pada
40-45 HST untuk
mendeteksi kecukupan
N pada tanaman
5) Kebutuhan pupuk
tanaman jagung dapat
juga diketahui melalui
uji petak omisi (tanpa
satu unsur)
pengujian langsung di
lahan petani dengan
petak perlakuan NPK
(lengkap), NP (minus
K), NK (minus P), dan
PK (minus N).
Penerapan Prinsip-Prinsip Agricultral Practices (GAP) Dalam Produksi Jagung di Maluku Utara (Yopi Saleh, Novendra C. Nugroho)
13
No Ruang Lingkup GAP (Buah dan Sayur) PTT Jagung
7 Perlindungan
Tanaman:
A. Prinsip
Perlindungan
Tanaman
B. Kompetensi
C. Pestisida
D. Penyimpanan
pestisida
1) Pengendalian OPT
sesuai prinsip PHT
(SA) 2) Penggunaan pestisida
sesuai anjuran
rekomendasi dan
aturan pakai (SA)
Mampu menunjukkan
pengetahuan dan
keterampilan
mengaplikasikan pestisida
(W)
1) Pestisida terdaftar dan
diijinkan (SA)
2) Pestisida tidak
kadaluarsa (W)
1) Pestisida disimpan di
lokasi yang layak,
aman, berventilasi
baik, memiliki
pencahayaan baik dan
terpisah dari materi
lainnya (SA)
2) Pestisida disimpan
terpisah dari produk
pertanian (W)
3) Pestisida tetap berada
dalam kemasan asli
(SA) 4) Pestisida cair
diletakkan terpisah
dari pestisida bubuk
(SA) 5) Tempat penyimpanan
pestisida mampu
menahan tumpahan
(A) 6) Terdapat fasilitas
untuk mengatasi
keadaan darurat (SA)
7) Terdapat pedoman
Pengendalian Gulma:
Secara mekanis atau
menggunakan herbisida
kontak:
1) Penyiangan pertama:
menggunakan cangkul
atau mesin pembuat
alur
2) Penyiangan kedua:
menggunakan mesin
pembuat alur, cangkul
atau herbisida (umur
30-35 HST)
3) Periode kritis tanaman
jagung terhadap gulma
adalah pada dua bulan
pertama masa
pertumbuhan
Pengendalian Hama dan
Penyakit:
1) Identifikasi jenis dan
populasi hama (petani /
Pengamat OPT)
2) Penentuan tingkat
kerusakan tanaman
menurut kerugian atau
ambang tindakan
3) Taktik dan Teknik
Pengendalian:
mengusahakan
tanaman selalu sehat,
pengendalian hayati,
penggunaan varietas
tahan, secara fisik dan
mekanis, penggunaan
senyawa hormon, dan
penggunaan pestisida
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
14
No Ruang Lingkup GAP (Buah dan Sayur) PTT Jagung
E. Penanganan
wadah
pestisida
F. Peralatan
penanggulangan
kecelakaan akibat
keracunan pestisida
yang terletak pada
lokasi yang mudah
dilihat (SA)
8) Tanda peringatan
potensi bahaya
pestisida (SA)
1) Wadah bekas pestisida
ditangani dengan
benar agar tidak
mencemari
lingkungan (SA)
2) Wadah bekas pestisida
dirusakkan (SA)
3) Kelebihan pestisida
dalam tabung
penyemprotan
digunakan untuk
pengendalian tempat
lain (SA)
1) Perawatan peralatan
aplikasi pestisida (A)
2) Kalibrasi peralatan
pestisida secara
berkala (SA)
3) Peralatan yang
memadai untuk
menakar dan
mencapur pestisida
(SA) 4) Panduan penggunaan
peralatan dan aplikasi
pestisida (A)
kimia
4) Hama utama: lalat
bibit, pengerek batang,
dan penggerak tongkol
5) Penyakit utama: bulai,
bercak daun, dan busuk
pelepah
8 Pengairan 1) Ketersediaan air
sesuai kebutuhan
tanaman (SA)
2) Air bebas dari bahan
berbahaya dan
beracun (W)
Pembuatan saluran
drainase
Pada lahan kering:
1) Pengaliran air terutama
pada musim hujan
jagung peka terhadap
kelebihan air
Penerapan Prinsip-Prinsip Agricultral Practices (GAP) Dalam Produksi Jagung di Maluku Utara (Yopi Saleh, Novendra C. Nugroho)
15
No Ruang Lingkup GAP (Buah dan Sayur) PTT Jagung
2) Dibuat saat penyiangan
pertama dengan
cangkul atau mesin
pembuat alur
3) Saluran drainase
berfungsi sebagai
pematus air pada saat
hujan
Pada lahan sawah:
1) Saluran drainase
diperlukan untuk
memudahkan
pengaturan pengairan
tanaman, dibuat saat
penyiangan pertama
2) Saluran drainase dibuat
setiap dua baris
tanaman
9 Pembumbunan - 1) Untuk memberikan
lingkungan akar yang
lebih baik, tanaman
tumbuh kokoh dan
tidak mudah rebah
2) Dilakukan bersamaan
dengan penyiangan
pertama dan
pembuatan saluran,
atau setelah
pemupukan kedua (35
HST) bersamaan
dengan penyiangan
kedua secara mekanis
3) Menggunakan cangkul
atau mesin pembuat
alur
10 Panen 1) Tersedia pedoman
cara menghindari
kontaminasi terhadap
produk segar (SA)
2) Pemanenan dilakukan
dengan cara yang
dapat
mempertahankan
Panen dilakukan jika
kelobot tongkol telah
mengering atau berwarna
coklat, biji telah mengeras,
dan telah terbentuk lapisan
hitam minimal 50% pada
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
16
No Ruang Lingkup GAP (Buah dan Sayur) PTT Jagung
mutu produk (SA)
3) Wadah hasil panen
dalam keadaan baik,
bersih dan tidak
terkontaminasi (W)
setiap baris biji.
11 Penanganan Panen
dan Pasca Panen:
A. Perlakuan
awal
B. Pembersihan
hasil panen
C. Sortasi dan
pengkelasan
D. Pengepakan
atau
pengemasan
E. Ruang
penyimpanan
F. Tempat
pengemasan
Hasil panen di tempat
ternaungi dan
diperlakukan hati-hati
(SA)
1) Hasil panen
dibersihkan dari
cemaran (SA)
2) Pencucian hasil panen
menggunakan air
bersih (W)
Dilakukan Sortasi dan
Pengkelasan (A)
1) Pengemasan untuk
melindungi produk
dari kerusakan dan
kontaminan (A)
2) Tempat pengemasan
bersih, bebas
kontaminasi dan
terlindung dari hama
dan pengganggu
lainnya (A)
3) Kemasan diberi label
identitas produk
(W)
Ruang Penyimpanan (SA)
Terpisah dari tempat
penyimpanan pupuk dan
pestisida (W)
1) Tongkol yang
sudah dipanen
segera dijemur,
atau diangin-
anginkan jika
terjadi hujan
2) Tidak menyimpan
tongkol pada
keadaan basah
tumbuh jamur
3) Pemipilan biji
setelah tongkol
kering (kadar air
biji + 20%)
dengan alat
pemipil
4) Jagung pipil
dikeringkan lagi
sampai kadar air
biji mencapai
sekitar 14%
5) Jika cuaca hujan,
pengeringan
menggunakan
mesin pengering,
tidak dianjurkan
menyimpan
jagung pada kadar
air biji >15%
dalam karung
untuk waktu lebih
dari satu bulan
Penerapan Prinsip-Prinsip Agricultral Practices (GAP) Dalam Produksi Jagung di Maluku Utara (Yopi Saleh, Novendra C. Nugroho)
17
No Ruang Lingkup GAP (Buah dan Sayur) PTT Jagung
12 Alat dan Mesin
Pertanian
1) Penggunaan alsintan
untuk pengolahan
lahan sesuai
rekomendasi (A)
2) Perawatan alsintan
secara teratur (A)
3) Alstintan yang terkait
dengan pengukuran
dikalibrasi secara
berkala (SA)
-
13 Pelestarian
Lingkungan
Kegiatan budidaya
memperhatikan aspek
usahatani berkelanjutan,
ramah lingkungan dan
keseimbangan ekosistem
(SA)
-
14 Pekerja:
A. Kualifikasi
pekerja
B. Keselamatan
dan
keamanan
pekerja
1) Pekerja mendapat
pelatihan sesuai
bidang dan tanggung
jawabnya (SA)
2) Pekerja memahami
resiko dan tanggung
jawabnya (SA)
3) Pekerja memahami
mutu dan keamanan
pangan dari produk
yang dihasilkan (SA)
1) Prosedur penanganan
kecelakaan (SA)
2) Fasilitas P3K di
tempat kerja (A)
3) Peringatan bahaya
terlihat jelas (SA)
4) Menggunakan
perlengkapan
pelindung (SA)
-
-
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
18
No Ruang Lingkup GAP (Buah dan Sayur) PTT Jagung
15 Fasilitas
Kebersihan dan
Kesehatan Pekerja
1) Tata cara kebersihan
bagi pekerja (A)
2) Toilet dan fasilitas
cuci tangan yang
berfungsi dengan baik
dan bersih (A)
3) Akses terhadap air
minum, tempat
makan, tempat
istirahat (A)
-
16 Kesejahteraan
Pekerja
Pekerja dapat
berkomunikasi dengan
pihak pengelola (A)
-
17 Tempat
Pembuangan
Tersedia tempat
pembuangan sampah dan
limbah (SA)
-
18 Pengawasan,
Pencatatan dan
Penelusuran Balik
1) Sistem pencatatan
untuk penelusuran
(SA) 2) Catatan penggunaan
benih, stok (saprodi),
kegiatan (tanam,
pengairan,
pemeliharaan, dll)
(SA) 3) Catatan disimpan
minimal 2 tahun (SA)
4) Seluruh catatan dan
dokumentasi selalu
diperbaharui (SA)
-
19 Pengaduan 1) Catatan keluhan/
ketidakpuasan
konsumen (A)
2) Catatan langkah
koreksi dari keluhan
konsumen (A)
3) Dokumen tindak
lanjut dari pengaduan
(A)
-
20 Evaluasi Internal 1) Bukti evaluasi internal
dilakukan secara
periodik (A)
-
Penerapan Prinsip-Prinsip Agricultral Practices (GAP) Dalam Produksi Jagung di Maluku Utara (Yopi Saleh, Novendra C. Nugroho)
19
No Ruang Lingkup GAP (Buah dan Sayur) PTT Jagung
2) Catatan tindakan
perbaikan sesuai hasil
evaluasi (A)
21 Penutup GAP masih bersifat
umum, belum spesifik
komoditas dan bersifat
dinamis
PTT bersifat umum,
dinamis, dan spesifik
lokasi, namun sudah
spesifik komoditas
Sumber: Permentan 48 tahun 2009 dan Balitbangtan (2016).
Produksi jagung di wilayah Indonesia bagian tengah dan barat, pada
umumnya dilakukan secara komersil, menggunakan varietas hibrida, pupuk
anorganik dan suplementasi pengairan pada musim kemarau. Sedangkan
produksi jagung di wilayah timur sebagian besar merupakan komponen
usahatani substensi, menggunakan benih varietas lokal, pemupukan minimal
atau pupuk organik dosis rendah dan sumber air sepenuhnya berasal dari
hujan (Sutoro, 2015). Produktivitas jagung di wilayah Indonesia sangat
beragam, berkisar antara 1,7-7,3 t/ha, dengan rata-rata produktivitas jagung
nasional sebesar 4,9 t/ha (BPS, 2018). Hal ini disebabkan oleh perbedaan
penerapan teknologi budidaya, selain teknik budidaya, faktor penggunaan
benih/varietas unggul, pemupukan dan pengelolaan air juga sangat
berpengaruh terhadap produktivitas yang beragam ini. Produksi jagung
dengan menerapkan PTT jagung dapat menjadi awal penerapan GAP pada
jagung untuk meningkatkan produksi dan produktivitas, memperbaiki
kualitas produksi, dan menjaga kelestarian lingkungan secara nasional.
KESIMPULAN
Good Agricultural Practices (GAP) dalam arti luas memiliki
kesamaan dengan Standard Operational Procedure (SOP), dimana produsen
menetapkan standar yang harus dicapai dalam proses produksi melalui
penerapan GAP/SOP yang sudah ditentukan. Hal ini tentu saja dilakukan
untuk mendapatkan produk yang terstandarisasi sehingga daya saing produk
menjadi meningkat karena kualitas yang baik dan seragam. GAP sebagai
sistem proses yang kompleks mampu menjawab tantangan pasar bebas
dalam mendapatkan produk yang memiliki standar dan kualitas yang baik.
Penerapan prinsip-prinsip GAP dalam PTT jagung dapat diaplikasikan oleh
petani guna meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi jagung dalam
mencapai target swasembada jagung berkelanjutan. Beberapa prinsip
tersebut diantaranya adalah persiapan lahan yang baik, pemberian bahan
organic untuk menjaga kesuburan tanah dan konservasi lahan, penggunaan
varietas unggul dan bersertifikat, penerapan jarak tanam, penggunaan pupuk
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
20
organik dan anorganik sesuai anjuran, pengendalian OPT sesuai dengan
prinsip PHT, serta penanganan panen dan pasca panen. Pengembangan
produk yang memiliki daya saing global sangat diperlukan agar produk yang
dihasilkan mampu diterima dan bersaing dengan produk lain, hal ini menjadi
salah satu fokus Kementerian Pertanian untuk mewujudkan Indonesia
sebagai lumbung pangan dunia 2045. Upaya dan kerja keras diperlukan oleh
semua pihak untuk mewujudkan swasembada jagung berkelanjutan yang
mampu menjawab tantangan global, oleh karena itu peran dan kerjasama
dari berbagai pihak terkait harus selaras dan sinergi demi terwujudnya
pertanian Indonesia yang mendunia melalui penciptaan produk jagung yang
terstandarisasi dengan menerapkan prinsip-prinsip GAP jagung, termasuk di
dalamnya penggunaan varietas unggul, pemupukan berimbang, dan
pengelolaan air yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2015. GAP sebagai Salah Satu Hambatan Teknis dalam
Perdagangan Internal. http://www.litbang.pertanian.go.id/info-aktual/2143/.
Diakses 13 November 2017.
Anonim. 2016. Serap Jagung Petani, Rangkul Industri Pakan dan Pemda.
http://tabloidsinartani.com/content/read/serap-jagung-petani-rangkul-
industri-pakan-dan-pemda/. Diakses 14 November 2017.
ASEAN da, AusAID. 2006. ASEAN GAP: Good Agricultural Practices For
Production of Fresh Fruit and Vegetables in The ASEAN Region.
Quality Assurance Systems for ASEAN Fruit and Vegetables Project.
ASEAN Australia Development Cooperation Program. Australia.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2016. Pedoman Umum PTT
Jagung. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1998. Standar Nasional Indonesia SNI 01-
4483-1998. BSN. Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2013. Standar Nasional Indonesia SNI 4483-
2013. BSN. Jakarta.
BPS Provinsi Maluku Utara. 2012. Maluku Utara Dalam Angka 2012. Badan
Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara. Ternate.
BPS Provinsi Maluku Utara. 2013. Maluku Utara Dalam Angka 2013. Badan
Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara. Ternate.
Penerapan Prinsip-Prinsip Agricultral Practices (GAP) Dalam Produksi Jagung di Maluku Utara (Yopi Saleh, Novendra C. Nugroho)
21
BPS Provinsi Maluku Utara. 2014. Maluku Utara Dalam Angka 2014. Badan
Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara. Ternate.
BPS Provinsi Maluku Utara. 2015. Maluku Utara Dalam Angka 2015. Badan
Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara. Ternate.
BPS Provinsi Maluku Utara. 2016. Statistik Penggunaan Lahan Provinsi
Maluku Utara 2015. Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara.
Ternate.
BPS Provinsi Maluku Utara. 2016. Maluku Utara Dalam Angka 2016. Badan
Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara. Ternate.
BPS. 2016. Statistik Indonesia 2016. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
BPS. 2018. Statistik Indonesia 2018. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Dinas Pertanian Provinsi Maluku Utara. 2018. Laporan LTT Jagung Provinsi
Maluku Utara Tahun 2017. Dinas Pertanian Provinsi Maluku Utara.
Sofifi.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah
Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Jagung dan Padi.
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Faesal dan Jamaluddin. 2014. Penampilan Jagung Calon Hibrida Umur
Genjah Toleran Kemasaman Tanah di Sulawesi Barat. Prosiding
Seminar Nasional Inovasi Pertanian Mendukung Bio-Industri,
Oktober 2014: 125-131.
Kementerian Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
61/Permentan/OT.160/11/2006 tentang Penerapan Good Agricultural
Practices (GAP) untuk Komoditi Buah. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2009. Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
48/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Pedoman Budidaya Buah dan
Sayur Yang Baik. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2015. Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
03/Permentan/OT.140/2/2015 tentang Pedoman UPSUS Peningkatan
Produksi Padi, Jagung dan Kedelai. Jakarta.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
22
Kementerian Pertanian. 2014. Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
48/Permentan/OT.140/4/2014 tentang Pedoman Teknis Budidaya
Kakao Yang Baik. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2014. Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
49/Permentan/OT.140/4/2014 tentang Pedoman Teknis Budidaya
Kopi Yang Baik. Jakarta.
Najmah, St., Idaryani, dan O. Tandi. 2014. Karakter Agronomis Dan Hasil
Beberapa Varietas Unggul Jagung Pada Lahan Kering Dataran
Rendah di Kabupaten Bone. Prosiding Seminar Nasional Inovasi
Pertanian Mendukung Bio-Industri, Oktober 2014: 97-101.
Panikkai, S., R. Nurmalina, S. Mulatsih, dan H. Purwati. 2017. Analisis
Ketersediaan Jagung Nasional Menuju Pencapaian Swasembada
Dengan Pendekatan Model Dinamik. Jurnal Informatika Pertanian,
Vol. 26 No. 1 Juni 2017: 41-48.
Purwantini, Tri Bastuti. 2015. Kinerja dan Prospek Swasembada Jagung di
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Swasembada Pangan.
Politeknik Negeri Lampung 29 April 2015: 466-472.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2016. Outlook Komoditas
Pertanian Tanaman Pangan Jagung. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2017. Outlook Tanaman Pangan
Dan Hortikultura 2017. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Sari, D. P., R. F. Syafruddin, dan M. Kadir. 2016. Penerapan Prinsip-Prinsip
Good Agricultural Practice (GAP) Untuk Pertanian Berkelanjutan Di
Kecamatan Tinggi Moncong Kabupaten Gowa. Jurnal Galung
Tropika, 5 (3) Desember 2016: 151-163.
Saptana, A. Supriyo, dan H. P. Saliem. 2016. Evaluasi Kinerja Program
UPSUS Padi di Kabupaten Klaten: Kinerja, Kendala, dan Strategi.
Prosiding Seminar Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan
Pertanian dalam Rangka Pencapaian Kemandirian Pangan Nasional
dan Peningkatan Kesejahteraan Petani, November 2015: 257-270.
Suhendrata, Tota. 2012. Introduksi Beberapa Jagung Komposit Varietas
Unggul Pada Lahan Kering Dalam Upaya Menunjang Kedaulatan
Pangan di Kabupaten Sragen. Prosiding Seminar Nasional:
Penerapan Prinsip-Prinsip Agricultral Practices (GAP) Dalam Produksi Jagung di Maluku Utara (Yopi Saleh, Novendra C. Nugroho)
23
Kedaupatan Pangan dan Energi, Juni 2012.Fakultas Pertanian
Universitas Trunojoyo. Madura.
Suryana, A., dan A. Agustian. 2014. Analisis Dayasaing Usahatani Jagung
Di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 12 No. 2,
Desember 2014: 143-156.
Sutoro. 2015. Determinan Agronomis Produktivitas Jagung (The Agronomic
Factors Determining Maize Productivity). Jurnal Iptek Tanaman
Pangan Vol. 10 No. 1, 2015: 39-46.
Syuryawati, Margaretha SL., dan A. Biba. 2014. Kajian Teknologi Produksi
Jagung di Tingkat Petani dan Persepsinya Pada Lahan Kering di
Kabupaten Gowa dan Jeneponto. Prosiding Seminar Nasional Inovasi
Pertanian Mendukung Bio-Industri, Oktober 2014: 109-118.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
24
PENGARUH VARIETAS DAN PEMATAHAN
DORMANSI FISIK BENIH TERHADAP DAYA
BERKECAMBAH DAN TUMBUH BIJI PALA
(MYRISTICA FRAGRANS)
Wawan Sulistiono dan Chris Sugihono
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara
Kompleks Pertanian Kusu No.1. Kec. Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan.
tionojanah@gmail.com
ABSTRAK
Biji pala memerlukan waktu untuk berkecambah relatif lama (30-60
hari) dikarenakan adanya faktor dormansi berupa penghalang fisik yaitu
tempurung biji yang keras. Diperlukan teknologi untuk mematahkan
dormansi tersebut agar waktu benih berkecambah menjadi lebih cepat.
Penelitian ini pertujuan untuk mengetahui pengaruh pematahan dormansi
fisik benih terhadap daya berkecambah dan tumbuh benih pala beberapa
varietas. Penelitian ini disusun menggunakan rancangan acak lengkap
faktorial. Faktor pertama adalah varietas yang terdiri atas 3 jenis yaitu (1)
Tidore, (2) Ternate dan (3) Sasur Halbar. Faktor kedua adalah pematahan
dormansi fisik yang terdiri atas 3 jenis yaitu (1) pembukaan pangkal
tempurung, (2) pengikiran pangkal tempurung dan (3) tanpa perlakuan
(kontrol). Terdapat 9 kombinasi perlakuan dan diulang 3 kali. Lokasi
penelitian di pembibitan pala BPTP Maluku Utara di Sofifi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi fisik berinteraksi nyata
(P<0.05) dengan varietas dalam menentukan daya kecambah benih umur 20
hari setelah semai. Jenis Sasur Halbar dan varietas Ternate 1 pada perlakuan
pembukaan tempurung biji nyata meningkatkan daya tumbuh dibanding
tanpa pematahan dormansi masing-masing sebesar 79,0 dan 74,33%.
Varietas Ternate pada perlakuan pembukaan pangkal tempurung biji nyata
meningkatkan panjang akar, panjang tunas dan jumlah daun dibanding
kontrol. Perlakuan pembukaan pangkal tempurung benih Sasur Halbar, nyata
meningkatkan panjang akar dan jumlah daun mencapai tertinggi dibading
perlakuan lainnya. Varietas Tidore 1 tidak menghasilkan pengaruh yang
nyata ada perbedaan perlakuan pematahan dormansi. Pematahan dormansi
berupa pembukaan pangkal tempurung ataupun pengikiran menghasilkan
jumlah cabang akar sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi dibanding kontrol.
Perbedaan varietas juga nyata menentukan jumlah akar cabang pada benih.
Pengaruh Varietas dan Pematahan Dormansi Fisik Benih Terhadap Daya Berkecambah dan Tumbuh Biji Pala (Myristica Fragrans) (Wawan Sulistiono, Chris Sugihono)
25
Perlakuan pembukaan tempurung biji untuk varietas Ternate 1 dan Sasur
Halbar disarankan untuk mengecambahkan benih pala.
Kata Kunci: Myristica fragrans, pematahan dormansi, perkecambahan,
benih pala.
PENDAHULUAN
Pala (Myristica fragrans Houtt) merupakan komoditas tanaman
rempah penting di Indonesia yang diusahakan dalam bentuk perkebunan
rakyat-pekarangan dan agroforestry (BPS, 2017; Statistik Perkebunan
Indonesia 2016-2018: Pala, 2017). Lingkungan tumbuh dan tingkat produksi
pala berapa pada agroekosistem dan unsur iklim yang khas (Sangadji et al.,
2015). Tanaman pala adalah tanaman berumah dua dan perbanyakan yang
lazim adalah secara generatif menggunakan biji. Terdapat beberapa kendala
dalam perbanyakan benih pala menggunakan biji antara lain biji pala cepat
mengalami penurunan daya tumbuh jika tidak segera dikecambahkan, sifat
benih rekalsitran (Pammenter and Berjak, 2000). Disamping itu waktu
berkecambah yang lama karena tempurung yang keras. Perbedaaan varietas
diketahui memiliki kemampuan berbeda dalam pertumbuhan biji
berkecambah (Haldankar et al. 2005).
Perbanyakan pala menggunakan biji masih optimal digunakan.
Dilaporkan oleh Ursem et al. (2014) bahwa daya kecambah mencapai 88,8
% ketika biji dalam keadaan segar. Dilaporkan oleh Abirami et al. (2010)
kemampuan biji pala berkecambah mencapai 86, 67%, dengan tinggi bibit
29,84 cm di umur 44 hari pada media tanah, debu, pasir, dan kompos.
Perbedaan varietas juga menentukan daya tumbuh biji pala (Haldankar et al.,
2005).
Namun demikian waktu yang diperlukan biji berkecambah relatif
lama (30-60 hari). Hal ini akan mempengaruhi waktu penyediaan bibit di
persemaian menjadi lebih lama. Upaya untuk mematahkan dormansi fisik
dapat berupa pematahan fisik atau skarifikasi seperti melubangi kulit biji
(Febriyan dan Widajati, 2015) atau bahan kimia seperti asam sulfat (Latue et
al., 2019) serta hormon pertumbuhan Giberalin (Agurahe dkk, 2019).
Namun demikian metode percepatan daya berkecambah dengan mengurangi
penghambat fisik benih pala pada beberapa varietas pala di Maluku Utara
belum dilakukan penelitian. Terdapat beberapa varietas pala di Maluku
Utara seperti Ternate 1, Tidore 1, Tobelo 1 dan Makean (Direktorat Jenderal
Perkebunan, 2017). Penelitian akan mengkaji perlakuan pematahan dormansi
fisik benih pala pada beberapa varietas. Diharapkan perlakuan tersebut
mempercepat perkecambahan dan daya kecambah serta tumbuh benih.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
26
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di lokasi perbenihan-pembibitan perkebunan
BPTP Maluku Utara, Komplek Pertanian Kusu, No.1 Oba Utara Kota Tidore
Kepulauan. Waktu penelitian pada bulan Agustus-Desember 2017. Suhu
harian berkisar 25-30°C.
Penelitian dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
Faktorial. Faktor pertama adalah jenis varietas pala yang terdiri atas tiga (3)
varietas yaitu (1) Ternate 1, (2) Tidore 1, dan (3) jenis lokal Susufu Halbar.
Faktor kedua adalah perakuan pematahan dormansi fisik yang terdiri atas
tiga (3) jenis yaitu (1) pembukaan pangkal tempurung, (2) pengikiran
pangkal tempurung dan (3) tanpa perlakuan (kontrol). Terdapat 9 kombinasi
perlakuan dan diulang 3 kali. Setiap kombinasi perlakuan terdiri atas 300
biji.
Pelaksanaan perkecambahan dimulai dengan pemilihan benih dari
perbedaan varietas dan jenis yaitu Ternate 1 dari Marikurubu Ternate, dan
Tidore 1 dari Tidore dan Jenis lokal Sasur, Ibu Halmahera Barat (Halbar).
Benih pala diambil dari buah yang masak fisiologis dari masing-masing
varietas/jenis. Benih yang sudah siap dari masing-masing varietas
diperlakukan sesuai perlakuan penelitian yaitu di buka pangkal tempurung,
diasah/kikir dengan batu atas. Lokasi perkecambahan disiapkan dengan
media pasir tanah (1:1) dan lapisan atas terdiri serbuk gergaji. Lokasi
perkecambahan dengan menggunakan balok papan kayu panjang dan lebar
7x2,5 m. Atap perkecambahan ditutup dengan parenet 60%.
Pengamatan dilakukan pada daya tumbuh umur 20 hari setelah
semai (hss), panjang akar umur 30 hss, panjang tunas umur 30hss, jumlah
daun umur 30 hss, panjang daun 30 hss, dan jumlah akar lateral pada umur
40hss. Cara pengamatan pada daya tumbuh adalah mengambil contoh benih
yang dikecambahkan dan menghitung benih yang sudah keluar calon akar
atau tunas sebanyak 100 biji dan dinyatakan dengan persentase. Panjang akar
dan tunas diikur dengan penggaris dari pangkal akar/tunas sampai ujung akar
atau tunas. Jumlah daun diketahui dengan menghitung daun yang sudah
membuka sempurna (pembentukan morfologi daun sempurna). Panjang daun
diukur dengan mengukur menggunakan pangaris dari pangkal daun sampai
ujung daun. Jumlah akar lateral atau yang tumbuh kearah samping dihitung
per kecambah. Pengamatan setiap parameter pengamatan pada tiap
kombinasi perlakuan adalah tiga (3) kecambah dan dilakukan pada tiap
ulangan.
Data parameter pengamatan yang dihasilkan dianalisis
menggunakan analysis of variance (ANOVA) pada faktor perlakuan
rancangan acak lengkap menggunakan SAS 9,4 program for windows. Jika
terdapat interaksi perlakuan antar faktor, dilakukan pembandingan pengaruh
antar kombinasi perlakuan, jika tidak dilakukan perbandingan antar faktor
Pengaruh Varietas dan Pematahan Dormansi Fisik Benih Terhadap Daya Berkecambah dan Tumbuh Biji Pala (Myristica Fragrans) (Wawan Sulistiono, Chris Sugihono)
27
perlakuan. Pengaruh kombinasi perlakuan atau perlakuan secara tunggal
dibandingkan berdasarkan uji Tukey’s studentized range (HSD) test dengan
p≤0.05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Daya Tumbuh
Perlakuan pematahan dormansi fisik dan varietas nyata berinteraksi
(P<0.05) menentukan daya tumbuh benih pala (Tabel 1). Hasil ini
menunjukkan bahwa keberhasilan perlakuan pematahan dormansi fisik benih
ditentukan juga oleh varietas. Hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya
faktor genetis dan lingkungan yang memperngaruhi daya tumbuh. Varietas
sebagai faktor genetis sedangkan pematahan dormansi fisik sebagai faktor
lingkungan.
Tabel 1. Daya tumbuh beberapa varietas pala pada pangaruh pematahan
dormansi fisik di umur 20 hari setelah semai (hss)
Perlakuan Daya tumbuh benih (%) Varietas/pematahan dormansi fisik Umur 20 hss
Tidore 1, pemecahan pangkal tempurung 45.33 bc
Tidore 1, pengikiran pangkal tempurung 37.33 bc
Tidore 1, tanpa perlakuan fisik 28.00 c
Ternate 1,pemecahan pangkal tempurung 74.33 a
Ternate 1, pengikiran pangkal tempurung 55.00 ab
Ternate 1, tanpa perlakuan fisik 43.33 bc
Sasur Halbar, pemecahan pangkal
tempurung
79.00 a
Sasur Halbar, pengikiran pangkal
tempurung
61.67 ab
Sasur Halbar, tanpa perlakuan fisik 22.00 c
Angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama, berbeda nyata pada uji lanjut Tukey 1%.
Panjang Akar
Perlakuan pematahan dormansi fisik dan varietas sangat nyata berinteraksi
(P<0.01) meningkatkan panjang akar bibit pala (Tabel 2). Hasil ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan akar berupa panjang akar sangat nyata
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
28
ditentukan oleh perlakuan pematahan dormansi fisik dan pemilihan varietas
yang digunakan.
Panjang tunas
Perlakuan pematahan dormansi fisik dan varietas sangat nyata berinteraksi
(P<0.01) meningkatkan panjang tunas bibit pala (Tabel 2) umur 30 hss. Hasil
ini menunjukkan bahwa pemilihan varietas dan pematahan dormasi fisik
merupakan faktor yang berpengaruh penting dalam menentukan panjang
tunas kecambah benih pala.
Jumlah daun
Perlakuan pematahan dormansi fisik dan varietas sangat nyata berinteraksi
(P<0.01) menentukan jumlah daun bibit pala (Tabel 2) umur 30 hss. Hasil ini
menunjukkan bahwa untuk mempercepat pertumbuhan daun pada kecambah
pala diperlukan perlakuan pematahan dormansi terutama untuk varietas
tertentu sebagai pembawa materi genetiknya.
Tabel 2. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi fisik benih pala pada
perbedaan varietas terhadap panjang akar, panjang tunas dan
jumlah daun bibit umur 30 hss
Perlakuan Panjang
akar (cm)
Panjang
tunas (cm)
Jumlah
daun
Varietas/pematahan dormansi fisik ----------(Umur 30 hss)------------
Tidore 1, pemecahan pangkal
tempurung
2.74 cd 0.41 d 0.50 b-d
Tidore 1, pengikiran pangkal
tempurung
2.23 cd 2.24 b-d 0.50 b-d
Tidore 1, tanpa perlakuan fisik 1.68 d 1.22 b-d 0.30 cd
Ternate 1, pemecahan pangkal
tempurung
10.83 a 8.20 a 0.73 bc
Ternate 1, pengikiran pangkal
tempurung
6.36 b 3.63 b 0.50 b-d
Ternate 1, tanpa perlakuan fisik 6.33 b 3.37 bc 0.20 d
Sasur Halbar, pemecahan pangkal
tempurung
3.93 c 1.80 b-d 2.73 a
Pengaruh Varietas dan Pematahan Dormansi Fisik Benih Terhadap Daya Berkecambah dan Tumbuh Biji Pala (Myristica Fragrans) (Wawan Sulistiono, Chris Sugihono)
29
Sasur Halbar, pengikiran pangkal
tempurung
1.85 cd 0.93 b-d 0.89 b
Sasur Halbar, tanpa perlakuan fisik 0.66 d 0.66 c-d 0.20 d
Angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama, berbeda nyata pada uji lanjut Tukey 1%.
Panjang daun
Panjang daun bibit pala sangat nyata ditentukan oleh perlakuan pematahan
dormansi fisik (P<0.01). Varietas tidak nyata menentukan panjang daun dan
tidak terdapat interaksi antara varietas dan pematahan dormansi fisik
terhadap panjang daun (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa panjang daun
kecambah benih pala umur 30hss sangat ditentukan oleh faktor lingkungan
yaitu perlakuan pemecahan dormansi fisik.
Tabel 3. Panjang daun dan jumlah akar sekunder pada perbedaan varietas
dan pematahan dormansi fisik benih pala
Perlakuan Panjang daun
(cm)
Jumlah akar
lateral
(akar samping)
(Umur 30 hss) (umur 40 hss)
Varietas
Tidore 1 5.50 4.1 a
Ternate 1 5.36 3.5 ab
Sasur Halbar 4.88 2.5 b
Pematahan dormansi fisik
Pemecahan pangkal tempurung 7.41 a 4.9 a
Pengikiran pangkal tempurung 4.94 b 3.6 a
Tanpa perlakuan (kontrol) 3.40 b 1.6 b
Angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama, berbeda nyata pada uji lanjut Tukey 1%.
Jumlah akar lateral (akar samping)
Cabang akar kecambah benih pala nyata (P<0.05) ditentukan oleh varietas
dan sangat nyata (P0<0.01) perlakuan pematahan dormansi fisik. Varietas
dan pemecahan dormansi fisik tidak berinteraksi menentukan pertumbuhan
akar lateral yaitu akar yang tumbuhnya ke arah samping (lateral) (Tabel 3).
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
30
Pembahasan
Daya tumbuh benih pala dapat dipercepat dan ditingkatkan yang
ditentukan oleh faktor interaksi genetis dan perlakuan pematahan dormansi
fisik. Faktor genetis yaitu varietas Ternate 1 dengan perlakuan pemecahan
pangkal tempurung nyata menghasilkan daya tumbuh mencapai 74,33%.
Demikian juga jenis lokal Sasur Halbar dengan pemecahan pangkal
tempurung nyata menghasilkan daya tumbuh tertinggi 79,0% dibanding
perlakuan lainnya pada umur 20 hss. Hasil ini menunjukan bahwa faktor
lingkungan berupa perlakuan pemecahan pangkal tempurung menjadi
pemicu pemunculan calon akar dan tunas yang memiliki pengaruh berbeda
diantara varietas.
Pemecahan pangkal tempurung menciptakan lingkungan yang
mendukung untuk proses imbibisi air ke benih. Pada proses selanjutya faktor
genetis berupa mutu varietas yang menentukan proses perkacambahan
selanjutnya. Proses tersebut digambarkan oleh Mudiana (2007) dan Gardner
et al. (1991) bahwa setelah air masuk pada benih mempengaruhi: (1)
Melunaknya biji lapisan biji oleh imbibisi air; (2) Mulai aktifnya sel dan
enzim-enzim yang ditandai dengan meningkatkan respirasi biji. Pada tahap
ini secara morfologis ditandai dengan tumbuhnya hypocotly dan cotyledone;
(3) Penguraian komponen kimia komplek (karbohidrat, protein dan lemak)
menjadi unsur yang lebih sederhana untuk ditranslokasikan ke titik-titik
tumbuh; (4) Terjadi asimilasi untuk menghasilkan energi bagi pertumbuhan
sel baru. Pada tahap ini ditandai dengan pembentukan calon daun muda; (5)
pertumbuhan tingkat lanjut kecambah yaitu pembelahan, pembesaran dan
pembagian sel. Proses ini ditandai dengan pembentukan daun baru. Dengan
demikian perbedaan varietas mencerminkan perbedaan mutu genetis benih
dan menentukan proses perkecambahan yaitu munculnya calon akar dan
daun (tunas) pada pengaruh pemecahan pangkal tempurung benih.
Daya tumbuh benih pala yang meningkat diantara varietas pada
perlakuan pematahan dormansi fisik tersebut selaras dengan peneltian
sebelumnya. Febriyan dan Widajati (2015) melaporkan bahwa perlakuan
skarifikasi fisik berupa dua lubang pada pangkal benih pala meningkatkan
daya tumbuh benih. Hal ini ditandai dengan munculnya akar dan tunas yang
lebih awal yaitu 33 hari untuk akar dan 59 untuk munculnya tunas setelah
persemaian.
Interaksi perlakuan menunjukkan adanya perbedaan ketanggapan
proses imbibisi dan proses perkecambahan antar varietas. Hal ini
menyebabkan perbedaan kemampuan pertumbuhan akar dan tunas pada
perlakuan pematahan dormansi fisik berupa pembukaan pangkal tempurung.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 yaitu panjang akar dan tunas. Hasil ini
menunjukkan adanya perbedaan kecepatan mengaktifan enzim, penguraian
Pengaruh Varietas dan Pematahan Dormansi Fisik Benih Terhadap Daya Berkecambah dan Tumbuh Biji Pala (Myristica Fragrans) (Wawan Sulistiono, Chris Sugihono)
31
komponen kimia komplek, asimilasi dan pertumbuhan tingkat lanjut
(Mudiana, 2007).
Namun demikian setelah pertumbuhan tingkat lanjut dari suatu
kecambah benih, menunjukkan adanya peran masing-masing perlakuan
tersebut. Hal ini diduga bahwa interaksi perlakuan pemecahan dormansi
yang menyebabkan peristiwa imbibisi air mengaktifkan proses kimia dan
fisiologi benih hanya diawal proses perkacambahan. Pada proses
pertumbuhan tingkat lanjut kecambah benih lebih ditentukan oleh sifat
genetis benihnya dan perlakuan pemecahan dormansi fisik tersebut. Hasil ini
menunjukkan keragaman genetik pala tinggi, seperti yang disampaikan oleh
Hal ini dapat dilihat pada jumlah akar lateral yang nyata ditentukan oleh
varietas. Varietas Tidore memiliki perakaran sambung yang nyata lebih
tinggi dibanding Sasur Halbar. Disamping itu pematahan dormansi fisik
dengan pemecahan pangkal tempurung dan pengikiran nyata meningkatkan
jumlah akar lateral dibanding kontrol (Tabel 3).
Implikasi dari hasil penelitian ini adalah diperlukan perlakuan
pematahan dormansi fisik benih pala dengan pembukaan tempurung pada
vareitas yang unggul untuk dijadikan benih. Hal ini bertujuan untuk
mempercepat proses perkecambahan, menyeragamkan perkecambahan serta
menghemat waktu proses sertifikasi benih hingga dapat dilepas.
KESIMPULAN
Varietas Ternate 1 pada pemecahan pangkal tempurung nyata
meningkatkan daya tumbuh benih mencapai 74, 3% pada umur 20 hss dan
nyata menghasilkan panjang akar dan panjang tunas tertinggi dibanding
kombinasi perlakuan lainnya. Jenis lokal Sasur Halbar pada perlakuan yang
sama menghasilkan daya tumbuh benih 79.0% namun tidak nyata
meningkatkan panjang akar dan tunas. Perlakuan pematahan dormansi fisik
nyata memacu terbentuknya akar lateral yang lebih tinggi dibanding kontrol
dan pemilihan varietas nyata menentukan pertumbuhan akar lateral.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada petani pemilik PIT
Ternate 1 Bapak Hamadal Minggu, Tidore 1, dan jenis lokal Sasur Halbar.
Penanggung jawab lapangan persemaian Bapak M. S. Seni Kulle., Kepada
Ka, BPTP Malut penulis sampaikan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abirami, K., Rema, J., Mathew, P.A., Srinivasan, V., and Hamza, S. 2010.
Effect of different propagation media on seed germination, seedling
growth and vigour of nutmeg (Myristica fragrans Houtt.). Journal of
Medicinal Plants Research 4(19): 2054-2058.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
32
Agurahe L.,Rampe, H.L.,dan Mantiri, F.R. 2019. Pematahan dormansi benih
pala (Myristica fragrans houtt.) menggunakan hormon Giberalin.
PharmaconJurnal Ilmiah Farmasi – Unsrat, 8(1): 30-40.
BPS. 2017. Provinsi Maluku Utara dalam angka, 2017. Hal. 200.
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2017. Keputusan Menteri Pertanian R.I. No.
67/Kpts/KB.020/10/2017 tentang Penetapan kebun blok penghasil
tinggi dan pohon induk terpilih tanaman pala varietas unggul Ternate
1, Tidore 1, Tobelo 1 dan Makian di Provinsi Maluku Utara sebagai
kebun sumber benih unggul. Direktoral Jenderal Perkebunan. Jakarta.
30 hal.
Febriyan D. G. and Widajati, E. 2015. Pengaruh teknik skarifikasi fisik dan
media perkecambahan terhadap daya berkecambah benih pala
(Myristica fagrans). Bul. Agrohorti 3(1): 71-78.
Gardner, F.P., Pearce, R.B., Mitchell, R.L. 1991. Fisiologi tanaman
budidaya. Penerjemah: Susilo H. UI Press. Jakarta. Terjemahan dari:
Physiology of crop plants.
Haldankar, P.M., Joshi, G.D., Jamadagni, B.M., Sawant, V.S., and Kelaskar,
A.J. 2005. Studies on germination and seedling vigour characters for
genotype selection in nutmeg (Myristica fragrans Houtt.). Journal of
Spices and Aromatic Crops.14 (2): 137-144.
Khandekar, R.G. Dashora, L.K., Joshi, G.D., Haldankar, P.M., Gadre, U.A.,
Jain, M.C., Haldavnekar, P.C., Pande, V.S. 2006. Effect of rooting
media on germination and seedlings growth of nutmeg (Myristica
fragrans Houtt). J. Spic. Aromatic Crops. 15(2): 100-104.
Latue, P.C., Rampe, H.L, and Rumondor M. 2019. Uji pematahan dormansi
menggunakan asam sulfat berdasarkan viabilitas dan vigor benih pala
(Myristica fragrans Houtt.). Jurnal Ilmiah Sains Vol. 19(1):1-21
Mudiana D. 2007. Perkecambahan Syzygium cumini (L.) Skeels. B I O D I V
E R S I T A S, 8 (1): 39-42.
Pammenter, N, W., and Berjak, A. 2000. Aspect of recalcitrant seed
physiology. R. Bras.Fisiol. Veg. 12: 56-69.
Pengaruh Varietas dan Pematahan Dormansi Fisik Benih Terhadap Daya Berkecambah dan Tumbuh Biji Pala (Myristica Fragrans) (Wawan Sulistiono, Chris Sugihono)
33
Statistik Perkebunan Indonesia, 2016-2018. Pala, Nutmeg. 2017. Direktoral
Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta. 41 hal.
Sangadji S., Kaimuddin, Ala A., and Paembonan, S.A. 2015. The effect of
climate to the fruit set of nutmeg plant. International journal of
Current Research and Academic Review, 3(8): 352-358.
Thangaselvabai, T., Sudha, K.R., Selvakumar, T., and Balakumbahan, R.
2011. Nutmeg (Myristica Fragrans Houtt) – The Twin Spice – A
Review. Agri. Review, 3232 (4) : 283 - 293.
Ursem, B.W.N.J., , Boesrie,, W., and Kluver, E. 2014. Horticulture Of
Nutmeg : Germination, Propagation and Cultivation. The Journal Of
Botanic Garden Horticulture (12):129-137.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
34
SEBARAN PENYAKIT VASCULAR STREAK
DIEBACK (VSD) PADA TANAMAN KAKAO
(THEOBROMAE CACAO. LINN) DI HALMAHERA
SELATAN
Hakim Ode Ramida dan Slamet Hartanto
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Balitbangtan Maluku Utara
Komplek Pertanian Kusu No. 1, Oba Utara – Kota Tidore Kepulauan
hakimode69@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat serangan dan penyebaran
penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) pada tanaman kakao (Theobromae
Cacao. Linn) di Halmahera Selatan, Maluku Utara. Penelitian dilakukan di 3
Kecamatan, yaitu Bacan Timur, Bacan Selatan, dan Bacan Tengah
menggunakan metode survey. Hasil penelitian menunjukkan penyakit VSD
menyebabkan kerusakan tanaman kakao sebesar 60,75% di Halmahera
Selatan, Maluku Utara. Kerusakan tertinggi terdapat di Kecamatan Bacan
Tengah dan Kecamatan Bacan Timur sebesar 62,08% dan 61,6%, sedangkan
kerusakan terendah terdapat pada Kecamatan Bacan Selatan sebesar 58,56%.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa VSD telah menyebaran merata di
Halmahera Selatan yang menyebabkan kerusakan kategori massif/berat (58-
62%). Tindakan penanganan penyakit VSD harus dilaksanakan dilokasi
terserang untuk menurunkan tingkat kerusakan dan dilakukan upaya
pencegahan penyebaran dilokasi belum terserang.
Kata kunci : Vascular streak dieback, kakao, Halmahera Selatan
PENDAHULUAN
Kakao (Theobroma cacao. L) merupakan komoditas andalan dan
berperan penting untuk meningkatan perekonomian Indonesia, terutama
dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan petani, dan sebagai
sumber devisa negara. Luas lahan perkebunan tanaman kakao di Maluku
Utara tahun 2015 adalah 4.120 Ha dan pada tahun 2017 adalah seluas 3.820
ha. Produksi tanaman kakao di Maluku Utara pada tahun 2009 sebesar
1.891,0 ton dan tahun 2010 sebesar 1.418,4 ton (BPS, 2015). Data ini
menunjukan tiap tahun baik luas lahan maupun produktivitas tanaman kakao
di Maluku Utara terjadi penurunan.
Menurunnya produktivitas kakao di Maluku Utara disebabkan oleh
berbagai faktor seperti faktor internal (sifat genetik) dan faktor eksternal
Sebaran Penyakit Vasculer Streak Dieback (VSD) Pada Tanaman kakao (Theobromae Cacao. Linn) di Halmahera Selatan (Hakim Ode Ramida, Slamet Hartanto)
35
(lingkungan). Faktor penentu lain adalah teknik budidaya kakao oleh petani
dilakukan secara konvensional, mulai dari penggunaan benih, penanaman,
pemeliharaan sampai pascapanen. Benih yang digunakan didapat dari pohon
kakao tanpa melalui proses pembenihan yang baik. Sortasi terhadap benih
didasarkan pada yang tidak terserang hama dan penyakit, bukan pada pohon
induk yang tahan terhadap hama dan penyakit.
Penyakit vascular streak dieback (VSD) adalah penyakit penting
pada tanaman kakao yang merusak jaringan pembuluh kayu berakibat pada
kerusakan pada bagian vegetatif tanaman yaitu ranting, daun dan cabang dan
pada kasus serangan berat mengakibatkan kematian pada tanaman. Kondisi
tanaman yang rentan serangan VSD yaitu pada fase pembibitan, dimana 50%
bibit yang terinfeksi mengalami kematian setelah bibit dipindah ke lapangan
(Hardiyanti, 2012). Penyakit VSD pertama ditemukan di Papua New Guinea
pada tahun 1930. Di Indonesia, penyakit VSD pertama kali ditemukan di
pulau Sebatik perbatasan antara Sabah dan Kalimantan Timur pada tahun
1983 dan menyebar di Maluku, Sulawesi, Jawa Barat, Jawa Timur dan
Sumatra bagian Utara pada tahun 1985 (Semangun, 1987).
Halmahera Selatan mempunyai potensi yang cukup tinggi untuk
pengembangan tanaman kakao karena didukung dengan iklim, tanah maupun
kondisi fisik wilayah, dengan topografi 61,1% tergolong agak juram (15-
49%) dan lahan juram >40%. Rata-rata curah hujan 1.120-2.913 mm/tahun
dengan jumlah hari hujan 129-209 hari/tahun. Jenis tanah Halmahera Selatan
terdiri dari mediteran, podsolik merah kuning tanah kompleks, latosol,
regusol dan tanah allufial (BPS, 2015). Luas tanaman kakao di Halmahera
Selatan adalah 4.120 Ha dengan produksi 1.418 ton (BPS, 2012). Varietas
kakao yang ditanam di Halmahera Selatan adalah Forastero, Trinitario,
dan Criollo. Informasi penting tentang penyebaran penyakit VSD belum banyak
dilaporkan untuk pengembangan komoditas kakao di Halmahera Selatan.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat serangan
penyakit VSD dan mengetahui sebaran penyakit VSD di Kabupaten
Halmahera Selatan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Bacan Barat, Bacan Timur
dan Bacan, Halmahera Selatan, Maluku Utara tahun 2016. Penelitian
menggunakan metode survey eksplorasi dengan penarikan contoh bertingkat
dua (two stage sampling). Responden diambil secara bertingkat yaitu setiap
ecamatan dari 3 kecamatan diambil 3 desa dan setiap desa diambil 10 kebun
sampel yang mempunyai tanaman kakao luas dan populasi tanaman yang
bervariasi. Kebun sampel akan dilakukan petakan dengan luas 25 x 25m,
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
36
tanaman sampel yang diamati sebanyak 25 pohon setiap petak, jumlah kebun
sampel 9 kebun dengan jumlah tanaman sampel 225 pohon.
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer yang diambil ialah luas lahan, jumlah populasi, umur tanaman, cara
bercocok tanaman dan keadaan vegetasi kebun. Persentase kerusakan ialah
jumlah tanaman yang terserang dibagi dengan jumlah tanaman sampel kali
100%. Kategori tingkat kerusakan disajikan pada Tabel 1. Analisis deskriptif
digunakan untuk penelitian. Data disajikan dalam bentuk presentase (%) dan
jumlah pohon.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Kerusakan Penyakit VSD
Kerusakan penyakit VSD di Halmahera Selatan tergolong berat
yaitu 60,75% dengan rata-rata jumlah tanaman terserang 75,93 (Gambar 1).
Kerusakan tertinggi di Kecamatan Bacan Tengah sebesar 62,08% dengan
tanaman terserang 77,6. Tingginya kerusakan tanaman kakao karena
penyebaran penyakit VSD di Halmahera Selatan diduga karena tanaman
kakao dibudidayakan dengan sistem budidaya konvesional. Teknik good
agricultural practices belum diterapkan dengan baik seperti pemberian
naungan, pemangkasan, pengendalian gulma dan pemupukan. Naungan pada
pertanaman kakao di Halmahera Selatan masih campuran (gamal, cengkeh,
kelapa, pala, pisang, duku), bahkan ada pelindungnya menggunakan pohon
yang cukup besar karena petani menggunakan sistem tebang pilih untuk
lahan penanaman kakao. Pemangkasan tidak pernah diterapkan pada
pertanaman kakao. Hal ini menyebarkan tidak terputusnya siklus hidup dari
Oncobasidium thebromae penyebab penyakit VSD. Balitri (2012)
melaporkan bahwa sanitasi dan pemangkasan batang dapat menurunkan
intensitas serangan dan memutus penyebaran penyakit VSD.
Tabel 1. Kategori tingkat kerusakan penyakit VSD
No Persentase (%) Kategori Kerusakan
1 0 Normal
2 1 > - ≤ 25 Ringan
3 26 > - ≤ 50 Sedang
4 51 > - ≤ 75 Berat
5 < 76 Sangat Berat
Sebaran Penyakit Vasculer Streak Dieback (VSD) Pada Tanaman kakao (Theobromae Cacao. Linn) di Halmahera Selatan (Hakim Ode Ramida, Slamet Hartanto)
37
Gambar 1. Jumlah rata-rata kerusakan penyakit VSD di Halmahera
Selatan
Kerusakan dan jumlah pohon terserang penyakit VSD berdasarkan
varietas tanaman
Hasil penelitian menunjukan bahwa kerusakan untuk varietas kakao
di Halmahera Selatan yaitu Trinitario sebesar 32,72% (kriteria sedang),
Frestero 33.57% (kriteria sedang) dan Criollo 33,4% (kriteria sedang).
Varietas Trinitario paling tahan diantara 2 varietas lainnya. Hal ini
menunjukan bahwa varietas Trinitario adalah varietas tahan terhadap
serangan VSD di agroekosistem Halmahera Selatan. Semangun (2004)
melaporkan penyakit VSD di Indonesia lebih banyak menyerang kakao
lindak (bulk) dan kurang menyerang pada kakao mulia (Trinitario). Kultivar
Trinitario dilaporkan juga tahan penyakit VSD di agroekosistem Papua
Nugini dengan tingkat ketahanan stabil dan horizontal (Prior, 1977).
Tabel 2. Tingkat kerusakan penyakit VSD dan tanaman terserang
berdasarkan varietas
No Lokasi Tingkat kerusakan (%) Pohon terserang
Tri* Frs Cri Tri Frs Cri
1 Bacan Timur 31,6 33,88 34,51 126 118 129
2 Bacan Selatan 29,55 32,19 33,38 133 133 127
3 Bacan Tengah 33.04 34,65 32,31 128 128 125
Jumlah 98,15 100,72 100,2 379 379 381
Rata-rata 32,72 33.57 33,4 *) Tri : Tronitorio, Frs : Frestero, Cri : Criollo
Kerusakan tertinggi untuk varietas Trinitario di Kecamatan Bacan
Tengah sebesar 33.04% dengan jumlah tanaman sakit 128 pohon
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
38
digolongkan dalam kriteria sedang. Varietas Frestero mengalami kerusakan
tertinggi di Kecamatan Bacan Tengah sebesar 34,65% dengan tanaman
terserang 135 pohon digolongkan dalam kriteria sedang, sedangkan serangan
tertinggi varietas Criollo di Kecamatan Bacan Timur sebesar 34,51% dengan
tanaman terserang 129 pohon digolongan dalam kriteria sedang. Varietas
Trinitario dan Frestero paling banyak mengalami kerusakan di Kecamatan
Bacan Tengah. Hal ini diduga karena kelembaban dan suhu di Kecamatan
Bacan Tengah lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Bacan Timur
dan Bacan Selatan.
Kerusakan tanaman berdasarkan umur tanaman, jarak tanam dan
ketinggian tempat Hasil penelitian menunjukkan serangan penyakit VSD paling tinggi
untuk semua umur tanaman, jarak tanam dan ketinggian tempat terjadi di
Kecamatan Bacan Tengah (Tabel 3). Serangan tertinggi penyakit VSD
terdapat pada pohon yang berumur 35 tahun, jarak tanam 4 m, dan
ketinggian 250 dpl.
Tabel 3. Kerusakan penyakit VSD berdasarkan umur tanaman, jarak tanam, dan
ketinggian tempat
Pohon Lokasi Umur
Tanaman
(Tahun)
Jarak
Tanam
(m)
Ketinggian
Tempat
(dpl) Bacan
Timur
Bacan
Selatan
Bacan
Tengah
1 33,49 26,31 32,28 15 2 50
2 33,33 30,38 33,27 20 2,5 100
3 31,33 31,24 32,74 25 3 150
4 30,49 27,32 33,32 30 3,5 200
5 35,88 31,63 52,28 35 4 250
Jumlah 164,52 146,88 183,89
Rata-rata 32,90 29,37 36,78
Serangan terjadi pada umur kakao tua dengan ketinggian 250 dpl
diduga dikarenakan tidak adanya sanitasi dan kelembaban tinggi pada lokasi
yang tinggi. Faktor epidemiologi mendukung perkembangan penyakit VSD,
dimana daerah kondisi lebih lembab meningkatkan keparahan penyakit VSD
(Khaerati dkk, 2016).
KESIMPULAN
Penyakit VSD telah menyebar di Bacan Timur, Tengah, dan Selatan
dengan kategori berat. Penanggungan penyebaran penyakit dengan sanitasi,
eradikasi, dan pemilihan varietas tahan penyakit harus dilaksanakan.
Varietas Trinitario paling tahan serangan VSD di Halmahera Selatan
Sebaran Penyakit Vasculer Streak Dieback (VSD) Pada Tanaman kakao (Theobromae Cacao. Linn) di Halmahera Selatan (Hakim Ode Ramida, Slamet Hartanto)
39
sehingga varietas ini perlu dikembangkan dengan daerah pengembangan
paling tepat adalah Bacan Selatan.
DAFTAR PUSTAKA
----------------.2012. Penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) Pada Tanaman
Kakao (Theobroma Cacao L) Dan Pengendaliannya. Balai Penelitian
Tanaman Industri dan Penyegar, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. http://balittri.litbang.pertanian.go.id/index.php/berita/info-
teknologi/98-penyakit-vascular-streak-dieback-oncobasidium-
theobromae-talbot-a-keane-pada-tanaman-kakao-theobroma-cacao-l-
dan-pengendaliannya.
Badan Pusat Statistik. 2012. Maluku Utara Dalam Angka, 2012. Badan Pusat
Statistik, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2015. Halmahera Selatan Dalam Angka, 2015. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.
Hardiyanti. 2012. Pembibitan Tanaman Guna Mengantisipasi Serangan OPT
Untuk Mengendalikan Penyakit VSD Pada Tanaman Kakao Di Pulau
Sulawesi.http://fp.unram.ac.id/data/Profil%20Jurusan/Jurnal%20Crop
%.
Khaerati, Suryo Wiyono dan Efi Toding Tondok. 2016. Pengaruh
Lingkungan dan Teknik Budidaya terhadap Epidemi Penyakit
Vascular Streak Dieback (VSD) pada Tanaman Kakao. Jurnal
Penelitian Tanaman Industri, hal : 1-10, SSN: 0853-8212.
Prior C. 1977. Vascular streak dieback disease in Papua new guinea. Sixth
cacao ras conf.,caracas, venezuela, 1977, 300-301.
Semangun H. 1987. Penyakit-Penyakit Tanaman di Indonesia. Gadjah Mada
University Press. pp . 290-41.3
Semangun H. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman di Indonesia. Gadjah Mada
University Press. pp . 382-388.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
40
POTENSI FULI PALA SEBAGAI ANTIOKSIDAN
PANGAN ALAMI
Hasbullah1*, Sri Raharjo2 dan Pudji Hastuti2
1Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas
Khairun, Ternate, Indonesia 2Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada , Yogyakarta,
Indonesia
bullah_has@yahoo.co.id
ABSTRAK
Fuli adalah bagian buah pala yang menyelimuti batok biji dan berwarna
oranye hingga merah gelap. Studi ini bertujuan untuk mengetahui potensi
fuli sebagai antioksidan pangan alami. Fuli diekstrak dengan teknik maserasi
menggunakan pelarut organik. Ekstrak fuli diukur kandungan fenol total,
kandungan β-karoten dan diuji kapasitas antiradikalnya dengan metode
DPPH. Pengujian kapasitas anti-fotooksidasinya dilakukan dalam sistem
linoleat dan sistem aqueous. Hasil menunjukkan bahwa ektrak fuli memiliki
kandungan fenol total 13,42-23,58 g GAE/100 g ekstrak dan kandungan β-
karoten 13,92-90,31 mg/100 g ekstrak dengan yield 18,72 - 42,56 % (db).
Nilai IC50 aktivitas antiradikalnya yaitu 58.00-184.71 ppm. Ekstrak fuli juga
menunjukkan kemampuan dalam menghambat peroksidasi asam linoleat dan
menurunkan laju kerusakan vitamin C dalam sistem aqueous akibat reaksi
fotooksidasi sehingga berpotensi untuk diaplikasikan sebagai antioksidan
alami dalam produk pangan.
Kata kunci: Antioksidan, Foto Oksidasi, Fuli, Pala, Radikal Bebas
PENDAHULUAN
Fuli merupakan bagian dari buah pala yang menyelimuti batok biji
dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi di samping biji. Warna fuli
yang oranye hingga merah gelap diduga berasal dari pigmen karotenoid yang
dalam banyak riset diketahui dapat berperan sebagai antioksidan yang baik
(Gerter, 1997; Rao and Rao 2007).
Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang dapat menghambat,
menunda, atau mencegah terjadinya oksidasi lemak atau senyawa-senyawa
lain yang mudah teroksidasi (Santoso, 2016) Antioksidan adalah senyawa
yang dalam konsentrasi rendah daripada konsentrasi zt-zat yang dapat
teroksidasi, secara nyata dapat menunda atau menghambat okidasi substrat
tersebut (Halliwel dan Gutteridge, 1989). Dalam sistem pangan reaksi
oksidasi dapat menyebabkan kerusakan komponen pangan seperti lemak,
Potensi Fuli Pala Sebagai Antioksidan Pangan Alami (Hasbullah, Sri Raharjo, dan Pudji Hastuti)
41
protein dan vitamin. Di samping hilangnya nutrisi, reaksi ini juga dapat
menjadi penyebab ketengikan pada produk pangan yang akan berujung pada
penolakan oleh konsumen.
Dua jenis reaksi oksidasi yang diketahui yaitu autooksidasi dan
fotooksidasi. Fotooksidasi mampu menginisiasi kerusakan oksidatif dengan
kecepatan 1500 kali lebih cepat dibanding autoksidasi (Pokorny, et al.,
2001). Reaksi oksidasi dapat dicegah dengan peggunaan senyawa
antioksidan melalui mekanisme radical scavenging, oxygen singlet
quenching dan metal chelating . Beberapa senyawa antioksidan berasal dari
kelompok senyawa karotenoid dan fenol. Senyawa turunan karotenoid telah
dilaporkan dapat berperan sebagai singlet oxygen quencher sedangkan
senyawa-senyawa fenol dapat berperan sebagai radical scavenger (Santoso,
2016).
Warna oranye hingga merah gelap fuli, diduga berasal dari pigmen
karotenoid. Karotenoid adalah salah satu pigmen alami yang memberikan
warna kuning, oranye, jingga hingga merah pada bahan pangan. Senyawa-
senyawa yang termasuk dalam kelompok karotenoid seperti β-karoten,
likopen, lutein, astaxantin, zeastaxantin, isozeaxanthin, diketahui
mempunyai peran sebagai antioksidan yang baik. Senyawa-senyawa ini
dapat diperoleh dari bahan-bahan alami melalui proses ekstraksi. Oleh
karena itu dalam studi ini akan diukur kandungan karotenoid (β-karoten) dan
kandungan fenol total eksrtak fuli yang diperoleh dengan teknik maserasi
menggunakan berbagai pelarut organik untuk selanjutnya diuji aktivitas
antioksidannya yaitu radical scavenging activity.
Reaksi fotooksidasi pada bahan pangan terjadi dengan keberadaan
cahaya, oksigen atmosfer (3O2) dan sensitiser yakni senyawa yang dapat
berperan sebagai pemanen energi cahaya seperti khlorofil, feofitin, porfirin,
riboflavin, mioglobin, dan pewarna sintetik (Min and Boff, 2002). Paparan
cahaya dapat mempercepat penurunan kualitas dari minyak tidak jenuh yang
disebabkan pigmen seperti klorofil, pheopithyn, porphyrins dan mioglobin
yang dapat menyerap cahaya (Carllson, et al., 2007). Sensitiser singlet
(1Sens) yang telah menyerap energi cahaya (radiasi UV atau sinar tampak)
akan menjadi tidak stabil dan tereksitasi membentuk molekul sensitiser
singlet tereksitasi (1Sens*). Molekul sensitiser singlet tereksitasi (1Sens*)
melepaskan energinya dengan konversi internal, emisi cahaya atau
intersystem crossing membentuk sensitiser triplet tereksitasi (3Sens*).
Sensitiser triplet tereksitasi (3Sens*) selanjutnya memungkinkan terjadinya
fotooksidasi melalui 2 jalur (tipe).
Pada fotooksidasi tipe I, 3Sens* dapat bereaksi langsung dengan
substrat kaya elektron (RH) seperti asam linoleat dengan mendonorkan dan
menerima hidrogen atau elektron sehingga terbentuk radikal bebas. 3Sens*
berperan sebagai aktivator yang secara fisikokimiawi memicu aktifnya
radikal bebas untuk pembentukan R•, dan R• ini mampu mengabstraksi
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
42
hidrogen dari komponen lain untuk memulai reaksi berantai radikal bebas.
Radikal (R•) beraksi dengan oksigen triplet membentuk peroksi radikal.
Pada Fotooksidasi tipe I ini 3Sens* juga dapat bereaksi dengan 3O2 (oksigen
triplet) membentuk superoksida anion melalui perpindahan elektron ke
oksigen triplet. Namun kurang dari 1% reaksi 3Sens* dengan 3O2 yang
menghasilkan superoksida anion (Min and Boff , 2002).
Fotooksidasi tipe II, mekanismenya dengan pembentukan oksigen
singlet dari reaksi antara 3Sens* dengan 3O2 melalui triplet sensitiser-triplet
oxygen annihilation. Energi ditransfer dari sensitiser triplet tereksitasi yang
berenergi tinggi ke oksigen triplet yang berenergi rendah membentuk
oksigen singlet yang berenergi tinggi dan sensitiser singlet groundstate yang
berenergi rendah (Sharman, et al., 2000). Kochevar and Redmond (2000)
melaporkan bahwa molekul sensitiser menghasilkan 103 sampai 105 oksigen
singlet sebelum menjadi inaktif. Lebih dari 99% reaksi antara 3Sens* dengan 3O2 membentuk oksigen singlet. Oksigen singlet bersifat sangat reaktif dan
dapat langsung bereaksi dengan substrat yang kaya elektron seperti asam
lemak terutama asam lemak tidak jenuh jamak (polyunsaturated fatty acid)
seperti asam linoleat.
Aplikasi senyawa yang bersifat hidrofobik ke dalam sistem pangan
aqueous membutuhkan suatu teknik yang dapat membantu pelarutannya.
Teknik emulsi minyak dalam air (o/w) umumnya digunakan untuk
melarutkan substansi yang bersifat hidrofobik ke dalam suatu sistem yang
bersifat hidrofilik. Berdasarkan karakteristiknya, emulsi dapat
dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu makroemulsi dan mikroemulsi.
Mikroemulsi merupakan dispersi isotropik yang terdiri dari fase minyak dan
fase air yang distabilkan oleh molekul surfaktan pada lapisan antar muka dan
dibantu dengan kosurfaktan, memiliki ukuran droplet fase terdispersi < 1 µm
(1-100 nm), stabil terhadap perubahan suhu, transparan, dan mempunyai
viskositas yang rendah. Mikroemulsi dapat digunakan sebagai delivery
system substansi yang bersifat hidrofobik agar dapat didispersikan ke sistem
yang bersifat hidrofilik atau sebaliknya, sehingga meningkatkan efektivitas
dan bioavailabilitas substansi tersebut (Flanangan and Singh, 2006;
Spenarth, et al., 2003). Selain itu, penggunaan mikroemulsi o/w ini
diharapkan tidak akan merusak karakteristik sensoris ketika diaplikasikan ke
dalam suatu produk pangan komersial seperti minuman sari buah.
Untuk mengetahui potensi ekstrak fuli dalam mencegah kerusakan
komponen nutrisi dalam sistem pangan akibat fotooksidasi, maka dilakukan
pengujian dalam sistem linoleat dan sistem aqueous. Sistem linoleat
digunaka untuk menguji kemampuan ekstrak fuli dalam mencegah
peroksidasi asam linoeat akibat fotooksidasi. Dalam sistem pangan
aqueous,.ekstrak fuli dalam bentuk mikroemulsi akan diaplikasikan untuk
Potensi Fuli Pala Sebagai Antioksidan Pangan Alami (Hasbullah, Sri Raharjo, dan Pudji Hastuti)
43
mengukur kemampuannya dalam mencegah kerusakan vitamin C akibat
fotooksidasi.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan utama dalam penelitian ini adalah fuli kering yang diperoleh
dari Petani di Desa Malikurubu Ternate. Pelarut yang digunakan untuk
ekstraksi yaitu etanol teknis dengan kemurnian 96%, etanol (pro analysis)
dengan kemurnian 99,9%, etil asetat (pro analysis) dengan kemurnian
99,5%, n-heksan (pro analysis) dengan kemurnian 99,5%. Asam linoleat,
FeCl2 dan ammonium tiosianat untuk uji dengan sistem linoleat. Tween 80.
Span 40, Span 80 sebagai surfaktan dalam pembuatan mikroemulsi, 2,2-
diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH), α-tokoferol, β-karoten dan asam
askorbat, aquades, asam sitrat, natrium sitrat, gula (sukrosa), sari buah apel
komersial, Virgin Coconut Oil (VCO) dan eritosin.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain hotplate
magnetic stirer Lab. Companion HP-3000, blender, ayakan 16 mesh,
timbangan analitik Shimadzu AUW 220, oven memmert, sentrifuge, box
light (kotak kayu ukuran 70x 50x 60 cm yang dilengkapi 3 buah lampu cool
white fluoresen low UV radiation Osram, 18 Watt), lux meter,
spektrofotometer Shimadzu UV 1650 pc, pH meter Schott, rotary
evaporator, penyaring vakum, kertas saring Whatman No.1, transfer pipet.
Preparasi ekstrak fuli
Fuli kering dikecilkan ukurannya menggunakan blender dan diayak
dengan menggunakan ayakan 16 mesh untuk mendapatkan serbuk fuli.
Serbuk fuli diekstrak dengan pelarut organik dengan rasio 1:5 (b/v) selama
24 jam dan diberi perlakuan pengadukkan dengan magnetic stirrer masing-
masing di awal dan di akhir selama 10 menit. Penyaringan dilakukan untuk
memisahkan yield dan residunya. Ekstrak dipisahkan dari pelarut dengan
menggunakan rotary vacum evaporator pada suhu kurang dari 400C. Ekstrak
yang diperoleh ditimbang untuk mengetahui yield-nya dan disimpan dalam
lemari pendingin hingga digunakan untuk pengujian berikutnya.
Penentuan kandungan fenol total dan β-karoten
Kandungan fenol total ditentukan dengan metode Folin-Ciocalteu
(Huang and Yen, 2002). Absorbansi diukur menggunakan Shimadzu UV
1601 UV-Vis Spectrophotometer pada panjang gelombang 750 nm. Hasil
pengukuran dinyatakan sebagai g asam galat/100 g ekstrak. Sedangkan
kandungan β-karoten ditentukan dengan menggunakan metode Carr-Price.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
44
Penentuan Radical Scavenging Activity
Radical Scavenging Activity (RSA) diukur dengan menggunakan
metode DPPH (Raharjo and Suryanto, 2005). Ekstrak fuli dengan
konsentrasi 20-1000 ppm ditambahkan ke dalam DPPH dalam etanol.
Setelah direaksikan selama 3 menit, absorbansinya diukur menggunakan
Shimadzu UV 1601 UV-Vis Spectrophotometer pada panjang gelombang
517 nm. Etanol yang dicampur dengan DPPH tanpa penambahan ekstrak
digunakan sebagai kontrol. RSA dihitung dengan rumus sebagai berikut :
RSA (%) =
Uji antifotooksidasi dalam substrat linoleat
Prosedur yang dipakai didasarkan pada Raharjo and Suryanto (2005)
dengan sedikit modifikasi. Ekstrak fuli etanol (EF EtOH) 250; 500; 750; dan
1000 ppm ditambahkan ke dalam 1% (b/v) asam linoleat yang dipreparasi
dalam metanol dan mengandung 100 ppm eritrosin sebagai fotosensitiser.
Sampel dibandingkan dengan kontrol C1 (tanpa ekstrak fuli; dengan
eritrosin; kondisi terang), C2 (tanpa ekstrak fuli; dengan eritrosin; kondisi
gelap) dan C3 (tanpa ekstrak fuli; tanpa eritrosin; kondisi gelap). Tokoferol
dan β-karoten masing-masing 500 ppm digunakan sebagai kontrol posistif
dan dipreparasi sebagaimana pada ekstrak fuli. Sampel dipindahkan ke
dalam botol serum 10 mL, ditutup rapat dan selanjutnya ditempatkan dalam
box light. Sampel kemudian dipapar dengan cahaya lampu fluoresen dengan
intensitas 4000 lux. Fotooksidasi asam linoleat ditentukan dengan mengukur
angka peroksida.
Uji antifotooksidasi dalam sistem aqueous
Efek antifotooksidasi mikroemulsi ekstrak fuli (MEEF) ditentukan
berdasarkan laju kehilangan vitamin C dalam sistem model minuman dan
sari buah apel yang ditambahkan 100 ppm eritrosin sebagai sensitiser dan
100 ppm vitamin C. Mikroemulsi yang ditambahkan ke dalam sistem
pengujian adalah 1% dan 2% dari MEEF 500 ppm (setara dengan 5 ppm dan
10 ppm ekstrak fuli) dan MEEF 750 ppm (setara dengan 7,5 ppm dan 15
ppm ekstrak fuli). Sampel ditempatkan pada kondisi terang (dipapar cahaya
lampu flouresen dengan intensitas 2000 lux) atau gelap.
Laju fotooksidasi vitamin C ditentukan dengan mengamati kadar
vitamin C dalam sistem pada jam ke-0, 2, 4, 6 dan 8. Sampel dibandingkan
dengan perlakuan kontrol MEEF 0 ppm (empty microemulsion), ekstrak fuli
10 dan 15 ppm serta yang tanpa penambahan ekstrak fuli. Analisis vitamin C
dilakukan dengan metode riboflavin-sensitized photodynamic UV
spectrophotometry (Jung et al., 1995). Absorbansi sampel diukur pada
Potensi Fuli Pala Sebagai Antioksidan Pangan Alami (Hasbullah, Sri Raharjo, dan Pudji Hastuti)
45
panjang gelombang 265 nm menggunakan UV-Vis spectrophotoometer.
Kuantifikasi vitamin C dilakukan dengan membuat kurva standar vitamin C.
Mikroemusi ekstrak fuli dibuat dengan menggunakan kombinasi 3
jenis surfaktan yaitu Span 80 (HLB rendah), Span 40 (HLB sedang) dan
Tween 80 (HLB tinggi), VCO sebagai fase minyak dan aquades sebagai fase
airnya.
Analisis Data
Data yang diperoleh dilakukan analisis statistik menggunakan
Analysis of Variance (ANOVA) dan perbedaan antar perlakuan diuji dengan
Duncan Multiple Range Test (DMRT).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Yield, kandungan fenol total dan β-karoten ekstrak fuli yang
diperoleh dari ekstraksi menggunakan berbagai pelarut ditunjukkan dalam
Tabel 1. Pelarut yang digunakan mempunyai tingkat polaritas yang berbeda.
Etanol lebih dapat melarutkan komponen yang lebih polar, etil asetat
melarutkan komponen semi polar sementara n-heksan lebih melarutkan
komponen yang kurang polar (non polar). Menurut Peri dan Pompei (1971),
kandungan fenol total dapat diperoleh dari jumlah komponen fenol seperti
simple phenolic, non tannin flavan dan condensed tannins.
Tabel 1. Yield, kandungan fenol total dan β-karoten ekstrak fuli
Pelarut Yield
(% db) fenol total
(g GAE/100 g ekstrak) β-karoten
(mg/100 g ekstrak)
EtOH teknis 18,72±2,16a 23,58±0,38d 13,92±0,58a
EtOH 29,78±1,75b 20,17±0,52c 70,97±0,08b
Etil asetat 42,56±2,95d 18,75±0,25b 90,31±0,69d
n-Heksan 35,08±3,81c 13,42±0,38a 77,18±0,63c Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf
signifikansi 95%.
Aktvitas antiradikal ekstrak fuli
Aktivitas antiradikal didasarkan pada radical scavenging activity
(RSA) dalam persen. Hasil menunjukkan bahwa semua sampel ekstrak
memiliki kemampuan sebagai radical scavenger (Gambar 1). RSA tertinggi
terdapat pada ekstrak etanol teknis disusul ekstrak etanol, etil asetat dan n-
heksan yang ditunjukkan dengan IC50 (Tabel 2). RSA ekstrak mempunyai
hubungan yang berbanding lurus dengan nilai kandungan fenol totalnya.
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa ekstrak tumbuhan seperti buah,
daun dan sayuran mempunyai korelasi yang positif antara kandungan fenol
total dan aktivitas antioksidasi (Velioglu et al., 1998; Duh and Yen, 1997;
Raharjo and Suryanto, 2005). Meski menunjukkan kemampuan sebagai
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
46
radical scavenger, RSA ekstrak fuli masih lebih rendah dibanding dengan
tokoferol.
Gambar 1.Grafik radical scavenging activity (RSA) ekstrak fuli
Tabel 2. Kemampuan ekstrak fuli dalam menangkap radikal DPPH
Sampel RSA maks.
(%) Konsentrasi
(ppm) IC50
(ppm)
EF EtOH teknis 87.6 250 58.00
EF EtOH 88.68 500 92.29
EF Etil asetat 89.42 500 102.73
EF Heksan 80.56 1000 184.71
Tokoferol 84.77 75 15.74
Anti-fotooksidasi ekstrak fuli dalam sistem linoleat
Ekstrak etanol digunakan untuk tahap pengujian anti-fotooksidasi.
Efek ekstrak fuli terhadap angka peroksida dari 1% asam linoleat dalam
metanol yang dipapar cahaya ditampilkan dalam Gambar 2. Kehadiran
eritrosin sebagai sensitiser dan cahaya meningkatkan angka peroksida. Hal
ini dapat dijelaskan bahwa eritrosin dapat membentuk singlet oksigen dari
triplet oksigen ketika terpapar cahaya. Pembentukan singlet oksigen oleh
fotosensitiser mempercepat peroksidasi lipid. Eritrosin secara efektif
berperan sebagai fotosensitiser untuk mempercepat oksidasi asam linoleat
dalam sistem model yang dipapar cahaya (Yang et al., 2002; Raharjo and
Suryanto, 2005). Angka peroksida asam linoleat relatif sama selama 8 jam
untuk sampel yang disimpan pada kondisi gelap (C2 dan C3). Singlet
oksigen tidak terbentuk pada sampel yang dikondisikan gelap meskipun
eritrosin terdapat di dalamnya. Laju peroksidasi asam linoleat ditampilkan
pada Gambar 3 yang menunjukkan bahwa ekstrak fuli mempunyai efek
penghambatan terhadap peroksidasi asam linoleat akibat fotooksidasi.
Potensi Fuli Pala Sebagai Antioksidan Pangan Alami (Hasbullah, Sri Raharjo, dan Pudji Hastuti)
47
Gambar 2. Efek ekstrak fuli terhadap angka peroperoksidasi
asam linoleat akibat fotooksidasi
Gambar 3. Laju peroksidasi substrat linoleat dengan perlakuan
penambahan ekstrak fuli (EF) pada berbagai konsentrasi
(EF n = n ppm)
Anti-fotooksidasi mikroemulsi ekstrak fuli dalam sistem pangan
aqueous
Mikroemulsi ekstrak fuli (MEEF) menunjukkan kemampuan
penghambatan terhadap kerusakan vitamin C akibat fotooksidasi dalam
sistem aqueous seperti yang ditampilkan pada Gambar 8 dan 9. Laju
kehilangan vitamin C dalam sistem model minuman yang ditambahkan
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
48
MEEF lebih rendah secara nyata (P<0.05) dibanding kontrol C-15 (ekstrak
fuli 15 ppm), C-10 (ekstrak fuli 10 ppm) dan C-0 (tanpa ekstrak fuli).
Gambar 8. Laju kerusakan vitamin C dalam sistem model minuman yang
ditambahkan mikroemulsi ekstrak fuli (MEEF) pada kondisi
dipapar cahaya flouresen 2000 lux (A) dan gelap (B)
Gambar 9. Laju kerusakan vitamin C dalam sari buah apel yang
ditambahkan mikroemulsi ekstrak fuli (MEEF) pada kondisi
dipapar cahaya flouresen 2000 lux (A) dan gelap (B)
Kemampuan untuk menghambat ini, selain karena adanya ekstrak
fuli juga disebabkan karena faktor mikroemulsi o/w yang membantu
pendispersian ekstrak fuli itu sendiri di dalam sistem sehingga
penghambatan dapat terjadi secara lebih efektif. Sedangkan penghambatan
oleh MEEF 0 ppm (empty microemulsion) kemungkinan lebih disebabkan
karena perannya sebagai penghalang fisik. Untuk sampel yang sama, pada
kondisi gelap laju kehilangan vitamin C sangat kecil dibanding dengan pada
kondisi terpapar cahaya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa cahaya dibutuhkan
Potensi Fuli Pala Sebagai Antioksidan Pangan Alami (Hasbullah, Sri Raharjo, dan Pudji Hastuti)
49
oleh sensitiser untuk kemudian menghasilkan oksigen singlet. Hal yang
sama juga terjadi pada sari buah apel. Namun laju kehilangan vitamin C
tidak lebih tinggi dibanding pada sistem model minuman, termasuk pada
kontrol C-15, C-10 dan C-0. Hasil tersebut dapat dijelaskan jika
dihubungkan dengan komposisi sari buah apel itu sendiri yang kaya akan
vitamin C, polifenol, flavonoid yang juga tergolong antioksidan (Lee et al.,
2003).
KESIMPULAN Fuli mengandung senyawa fenol dan β-karoten serta memiliki efek
antiradikal dan antifotooksidasi sehingga berpotensi untuk diaplikasikan
sebagai antioksidan alami dalam produk pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Carllson, D.J., Suprunchuk, T. And Wiles, D.M. 2007. Photooxidation of
Unsaturated Oils: Effects of Singlet Oxigen Quenching by Dietary
Carotenoids in a Model Membrane Environment. Journal of
Biochemistry and Biophisic. 412: 47-54.
Duh, P.D., and G.C. Yen 1997. Antioxidative Activity of Three Herbal
Water Extracts. Food Chem. 60: 639-645.
Flanagan, J. and Singh, H. 2006. Microemulsion: A Potensial Delivery
System for Bioactive in Food. J Crit. Rev. Food Sci Nutrition. Vol 4,
No.3: p 221-237.
Gerter, H. 1997. The Potential Role of Lycopene for Human Health. J Amm
Coll Nutr. (16): 109-126.
Halliwel, B and Guttridge, J. M. C. 1989.Free Radical in Biology and
Medicine. Clarendon Press,Oxford, England.
Huang and Yen. 2002. Antioxidant Activity of Phenolic Compounds Isolated
from Mesona procumbens Hemsl. J Agric Food Chem. 49: p 963-968.
Jung, M. Y., Kim, S. K. And Kim, S. Y. 1995. Riboflavin Sensitized
Photodynamic UV Spectrometry for Ascorbic Acid: Kinetic and
Amino Acid Effect. J Food Chem. 53: p 397-403.
Kochevar, I. E. and Redmond, R. W. 2000. Photosensitized Production of
Singlet Oxygen. In: Packer L, Sies H, editors. Methods in
Enzymology. Vol. 319. New York: Academic Press, p 20-28.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
50
Lee, K.W., Kim,Y.J. Kim,D.O., Lee, H.J., and Lee, C.Y. 2003. Major
Phenolic in Apple and Their Cotribution to the Total Antioxidant
Capacity. J Agric. Food Chem. 51: p 6516-6520.
Min, D. B. and Boff, J. M.. 2002. Chemistry and Reaction of Singlet Oxygen
in Foods. J Comprehensive Rev. In Food Sci and Food Safety. 1: p 58
-72.
Peri, C., dan Pompei C. 1971. Estimation of Different Phenolic Groups in
Vegetable Extracts. Phytochemistry. 10: p 2187-2189.
Pokorny, J., Yanishlieva, N., M.,Gordon. 2001. Antioxidant in Food. CRC
Press. Cambridge England.
Raharjo, S. and E. Suryanto. 2005. Anti-Autooxidative and Anti-
Photooxidative Effects of Lemon Grass Extracts (Cymbopogon
citratus). Indonesian Food and Nutrition Progress. Vol.12, No.1: p 7-
13.
Rao, A V and Rao, L G. 2007. Carotenoid and Human Health.
Pharmalogical Research (55): 207-216.
Santoso, U. 2016. Antioksidan Pangan. Gadjah Mad Unniversity Press,
Yogyakarta.
Sharman, W. M., Allen, C. M. And van Lier, J. E. 2000. Role of Activated
Oxygen Species in Photodynamic Therapy. In: Packer L, Sies H,
editors. Methods in enzymology. Vol. 319. New York: Academic
Press, p 376-400.
Spernath, A., Yaghmur, A., Aserin, A., Hoffman, R. E., and Garti, N. 2003.
Self-Diffusion Nuclear Magnetic Resonance, Microstructure
Transitions, and Solubilization Capacity of Phytosterol and
Cholesterol in Winsor IV Food-Grade Microemulsions. J Agric Food
Chem. 51: p 2359-2364.
Velioglu, Y.S., G. Mazza, L. Gao, and B.D. Oomah. 1998. Antioxidant
Activity and Total Phenolics in Selected Fruits, Vegetables and Grain
Products. J. Agric Food Chem. 46: p 4113-4117.
Potensi Fuli Pala Sebagai Antioksidan Pangan Alami (Hasbullah, Sri Raharjo, dan Pudji Hastuti)
51
Yang, W.T, Lee, J.H. and Min, D.B. 2002. Quenching Mechanism and
Kinetics of α-Tocopherol and β-Carotene on the Photosensitizing
Effect of Synthetic Food Colorant FD&C Red No. 3. J Food Sci. Vol
67, No. 2: p 507-510.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
52
ANALISIS MINERALOGI TANAH
UNTUK MENGETAHUI JENIS DAN KANDUNGAN
LIAT PADA TANAH YANG SEDANG
BERKEMBANG
Himawan Bayu Aji dan Mardianah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara
Komplek Pertanian Kusu No. 1, Oba Utara – Kota Tidore Kepulauan
bayuaji_h@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan kandungan
liat yang terdapat didalam mineral tanah. Penelitian dilaksanakan mulai dari
bulan November 2003 sampai dengan bulan Maret 2004 di Gianyar, Bali.
Metode dalam penelitian ini adalah dengan menganalisis mineralogi fraksi
pasir menggunakan metode sebaran hitung yang dibantu dengan mikroskop
binokuler, sementara analisis mineral liat ditetapkan dengan menggunakan
gejala pengeringan dan reaksi warna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hasil analisis mineral fraksi pasir dari ketiga profil tanah di setiap horizon
menunjukkan bahwa jumlah mineral mudah lapuk (olivine, piroksin,
plagioklas, ortoklas, biotit, glas vulkan, weatherd mineral, hornblende)
lebih dominan dibandingkan dengan mineral sukar lapuk (kuarsa, kalsit,
muskovit dan fraksi batuan). Mineral liat umumnya terbentuk dari hasil
pelapukan fisik dan kimia bahan induk atau mineral primer. Tanah berada
di daerah pegunungan yang berkembang dari bahan induk tufa vulkan
intermedier sehingga dapat dikemukakan bahwa tanah di lokasi penelitian
tergolong tanah yang baru berkembang atau tanah muda.
Kata kunci: mineral, pasir, liat
PENDAHULUAN
Mineral liat merupakan salah satu komponen tanah yang
mempunyai peranan penting karena dapat menentukan sifat fisik, kimia dan
sebagai tempat dalam proses reaksi pertukaran ion di dalam tanah.
Distribusi mineral liat di dalam tanah sangat erat kaitannya dengan tingkat
perkembangan tanah. Pada tanah muda yang berkembang dari debu vulkan
dengan fase perkembangan awal tersusun oleh mineral amorf, fase medium
alofan dan kristalin kaolinit, dan fase terakhir tersusun oleh mineral alofan,
kaolinit dan gibsit (Marshall, 1977).
Analisis Mineralogi Tanah Untuk Mengetahui Jenis dan Kandungan Liat Pada Tanah Yang Sedang Berkembang (Himawan Bayu Aji, Mardianah)
53
Pola penyebaran susunan mineral liat didalam tanah dapat
ditentukan secara vertikal melalui horizon-horizon di dalam tanah.
Sedangkan pola distribusi mineral liatnya bisa naik, turun atau tidak
menentu. Berdasarkan toposekuen, maka sangat mungkin terjadi perbedaan
perkembangan tanah antara satu tempat dengan tempat yang lain. Keadaan
ini diharapkan dapat terlihat salah satunya dari hasil pengamatan sifat
kandungan mineral liat di dalamnya.
Pengetahuan tentang mineral liat sangat penting karena kandungan
mineral liat dapat menentukan sifat fisik maupun kimia tanahnya. Dengan
mengetahui jenis mineral liat dominan maka kita dapat menginterpretasikan
lebih jauh tentang potensi sumber daya tanah baik tingkat kesuburan
maupun kemampuan lahannya. Tanah di daerah Gianyar, Bali umumnya
berkembang dari bahan induk tufa vulkan itermedier yaitu bahan induk
pembentuk tanah yang masih muda atau berkembang sehingga tanah masih
subur. Bahan induk ini besar kemungkinan dari pegunungan di sekitar
lokasi penelitian.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2003 sampai Maret
2004 di Kabupaten Gianyar, Bali. Bahan dan alat yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi sampel tanah, larutan kimia, ayakan, cangkul,
mikroskop binokuler, peta rupa bumi skala 1 : 25.000, dan Peta Geologi
Pulau Bali skala 1:250.000 (Hadiwidjojo, 1971).
Metode dalam penelitian ini meliputi kegiatan penelitian di
lapangan dan laboratorium. Penelitian lapangan dilakukan dengan
pembuatan tiga profil tanah hingga kedalaman 2 m untuk mendapatkan
contoh tanah dari lokasi penelitian yang dianggap
mewakili. Ketiga profil tanah mewakili bentuk lahan landai (profil tanah
2), berombak (profil tanah 1) dan bergunung (profil tanah 3), sedangkan
tanah di lokasi penelitian tersusun dari bahan induk tufa vulkan intermedier
dengan bentuk lahan lereng bawah vulkan.
Penelitian dilaboratorium untuk mineral fraksi pasir ditetapkan
dengan menggunakan metode sebaran hitung dengan dibantu mikroskop
binokuler. Pengamatan di bawah mikroskop fraksi pasir dilaksanakan
setelah dilakukan pemisahan terlebih dahulu dengan kotoran yang
menyelimuti menggunakan larutan HCl, H2O2 atau Na2S2O4 tergantung
jenis kotoran yang menyelimuti. H2O2 untuk kotoran dalam bentuk bahan
organik, HCl untuk kotoran dalam bentuk karbonat dan Na2S2O4 kotoran
dalam bentuk besi. Tahapan yang dilaksanakan setelah fraksi pasir bersih
dan terlepas dari kotoran yang menyelimuti adalah pemisahan berdasarkan
ukuran dengan menggunakan ayakan dengan ukuran 0.5-2 mm.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
54
Pengukuran mineral liat ditetapkan dengan menggunakan gejala
pengeringan dan reaksi warna.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mineral Faksi Pasir Hasil analisis mineral fraksi pasir dari ketiga profil tanah disetiap
horison (Tabel 2), menunjukkan bahwa jumlah mineral mudah lapuk
(olivine, piroksin, plagioklas, ortoklas, biotit, glas vulkan, weatherd
mineral, hornblende) lebih dominan dibandingkan dengan mineral sukar
lapuk (kuarsa, kalsit, muskovit dan fraksi batuan). Tingginya mineral
mudah lapuk disebabkan karena bahan induk berkembang dari tufa vulkan
intermedier. Bahan induk tersebut kuat dugaan berasal dari gunung di
sekitar lokasi penelitian. Tingginya mineral mudah lapuk juga menunjukkan
bahwa proses pelapukan bahan induk masih belum lanjut. Hal ini bisa
disebabkan karena faktor pembentuk tanah kurang mendukung proses
perkembangan tanah lanjut.
Mineralogi Liat
Mineral liat terbentuk dari hasil pelapukan fisik dan kimia bahan
induk atau mineral primer. Hasil pengamatan mineralogi liat menunjukkan
bahwa tanah liat silikat tipe haloisit mendominasi tanah-tanah di lokasi
penelitian (Tabel 1). Keadaan ini bisa terjadi karena adanya pelapukan liat
amorf atau alofan yang berkembang dari abu vulkan (Hardjowigeno, 1993).
Hal ini sesuai karena tanah berada di daerah pegunungan yang berkembang
dari bahan induk tufa vulkan intermedier sehingga dapat dikemukakan
bahwa tanah-tanah di lokasi penelitian tergolong tanah yang baru
berkembang atau tanah muda.
llit yang juga cukup banyak di lokasi penelitian bisa terbentuk dari
proses alterasi, artinya bahwa illit bisa terbentuk dari 4 montmorilonit bila
di lingkungan kaya unsur K. Di samping itu juga dapat terbentuk karena
rekristalisasi hasil pelapukan K-feldspar dalam larutan yang kaya K.
Mineral liat yang lain seperti montmorilonit, kaolinit, dan vermikulit
mempunyai jumlah yang lebih kecil dibandingkan kedua mineral di atas.
Muskovit (mika) adalah salah satu mineral primer yang dalam
proses pelapukannya akan menghasilkan illit, vermikulit, smektit atau
kaolinit tergantung dari tingkat pelapukan atau kondisi lingkungannya.
Dalam lingkungan masam muskovit tidak stabil dan akan mengalami
pelapukan intensif dengan sekuen pelapukan muskovit-illit-vermikulit-
kaolinit. Sedangkan dalam keadaan lingkungan lebih basa akan terbentuk
sekuen pelapukan muskovit-illit-smektit-kaolinit (Loughnan, 1969).
Analisis Mineralogi Tanah Untuk Mengetahui Jenis dan Kandungan Liat Pada Tanah Yang Sedang Berkembang (Himawan Bayu Aji, Mardianah)
55
Tabel 1. Data analisis mineralogi liat Profi
l
Kaolini
t
Haloisit Montmoriloni
t
Illit Vermikulit
Keteranga
n
P
1
- xxx - Xx - Campuran x xxx
x - X - Haloisit
x xxxx
- X - Haloisit - xxx
x x X - Haloisit
P
2
- - x Xxxx
x Illit
- x xxxx x Illit x xxx - Xx - Campuran x xxx - Xx - Campuran
P
3
- Xx x xxx - Campuran - X x xxx x Campuran - xxx
x x x - Haloisit
- xxxx
x x - Haloisit
Keterangan : xxxx : dominan, xxx : banyak,, xx : sedang, x : sangat sedikit
Montmorilonit terbentuk dari rekristalisasi hasil pelapukan
bermacam-macam mineral bila kedaan lingkungan sesuai (tata air kurang
baik dan proses pencucian lambat). Selain itu juga ditemukan di tempat-
tempat di mana terjadi pelapukan mineral silikat yang banyak mengandung
Mg dan Fe. Kaolinit terbentuk setelah mineral primer terdekomposisi,
dimana Al dan Si yang larut akan berkristalisasi membentuk kaolinit.
Kaolinit juga bisa terbentuk dari feldspar atau muskovit atau perkembangan
lanjut dari haloisit yang terbentuk sebagai pelapukan awal dari bahan
plagioklas. Jumlah kaolinit yang sedikit bisa menjadi indikasi bahwa bahan
induk belum mengalami pelapukan lanjut. Vermikulit mempunyai
kandungan K yang lebih rendah daripada Illit karena sebagian besar atau
seluruh K-interlayer telah diganti H+. Interlayer juga mengandung Ca dan
Mg yang mudah disubstitusi oleh H+ sehingga KTK menjadi rendah.
Jumlah mineral liat yang banyak ditemukan di lokasi penelitian adalah
haloisit di mana haloisit mempunyia kandungan Al+ dan H+ sedangkan
bahan organik merupakan penyumbang ion H+ yang bersifat masam.
Tingginya curah hujan juga menyebabkan adanya pencucian basa-basa,
sehingga yang tertinggal adalah ion-ion bermuatan positif seperti Al3+ dan
H+ menyebabkan tanah cenderung masam. Pada kondisi masam larutan
tanah lebih banyak mengandung ion hydrogen (H+) daripada ion hidroksil
(OH-) (Foth, 1994).
Tingginya mineral liat haloisit yang berkembang dari
alofanmenyebabkan tanah mempunyai pH yang rendah begitu juga dengan
KTK. Kapasitas tukar kation dapat ditingkatkan dengan beberapa cara
seperti pemupukan dan meningkatkan tingkat kemasaman tanah dengan
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
56
pengapuran (hakim dkk, 1986). Sedangkan untuk reaksi tanah yang agak
masam hingga masam dapat diatasi dengan pemberian kapur.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa tanah
di lokasi penelitian didominasi mineral liat mudah lapuk yang berasal dari
tanah muda masih berkembang bentukan dari bahan induk tufa vulkan
intermedier.
DAFTAR PUSTAKA
Foth, H.D. 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Terjemahan E.D.
Purbayanti, dkk. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hadiwidjojo, M.M.P. 1971. Peta Geologi pulau Bali. Skala 1:250.000.
Direktorat Geologi, Bandung.
Hakim N., Nyakpa Y.m., Lubis A.M., Nugroho G.S., Saul R.M., Diha A.
M., Hong B.G., Bailey H.H. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.
Univeritas lampung.
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademi
pressindo. Jakarta.
Loughnan, F.C. 1969. Chemical Weathering of the Silicate Minerals.
American Elsevier Publ. Co., Inc.
Marshall, C. E.. 1977. The Physical Chemistry and Mineralogy of Soils.
Vol II.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 7, No. 2, 2018
52
Tabel 2. Hasil Analisis Mineral Fraksi Pasir untuk Kelas Ukuran Butir Berpasir, Skeletal Berpasir, dan Skeletal
Berlempung
Jenis Mineral
Profil
P1 (Tegalan) P2 (Sawah) P3 (Belukar)
A
p Bw1 Bw2 C1 C2 Bw3 C3 Ap Bw1 Bw2 Bw3 C A Bw1 Bw2 Bw3 C
Olivin 6.17 12.1 7.94 12.4 11.0 2 12.8 10.3 2 6.95 6.48 9.40 12.6 9.41 5.89 10.4 15.7
Piroksin 9.98 7.51 5.43 8.30 8.41 9.72 9.61 11.4 14.4 10.4 10.5 7.05 2 9.41 12.7 2 7.64
Plagioklas 8.55 2 5.43 6.75 11.4 8.64 8.54 8.71 6.46 6.95 2 6.26 2 16.7 5.89 15.4 5.52
Kuarsa 2 2 5.43 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Kalsit 6.17 2 2 6.75 6.83 7.02 6.94 2 2 2 7.29 2 6.32 2 5.89 12.9 5.56
Ortoklas 9.98 11.2 2 16.0 20.5 19.4 15.4 15.7 15.9 11.2 25.9 14.1 13.1
2 4.25 2 5.79
Biotit 6.17 10.8 2 9.34 6.83 2 8.54 2 2 5.64 5.26 7.05 2 6.80 2 6.46 2
Muskovit 6.17 7.93 2 8.30 2 10.2 6.94 8.71 2 12.5 2 9.40 7.78 2 2 2 8.92
Glas
Vulkan
2 7.51 6.69 2 2 10.2 2 2 2 5.64 11.3 8.22 6.32 9.41 16.0 10.4 5.52
Fraksi Batuan
23.7 12.1 5.43 16.6 20.5 7.02 9.61 18.5 14.4 16.0 7.29 7.05 27.7 20.4 21.2 10.4 11.0
Weatherd
Mineral
12.8 14.6 50.1 9.34 2 10.2 15.4 11.4 12.9 10.4 7.29 21.1 9.24 17.7 12.7 15.4 20.3
Hornblende 6.17 6.67 5.43 2 6.83 11.3 2 7.07 10.4 9.12 2 6.26 8.76 2 9.17 10.4 8.92
57
PEDOMAN BAGI PENULIS BULETIN BPTP MALUKU UTARA
Buletin Pengkajian BPTP Maluku Utara adalah buletin hasil yang memuat
review dan hasil pengkajian/penelitian kurun waktu 5 tahun terakhir pada
tahun berjalan terbit per volume. Buletin Vol. 7 No. 2 memuat artikel review
dan pengkajian dari tahun 2014-2018. Naskah hasil pengkajian maupun yang
berupa review ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan urutan
pembagian bab sebagai berikut:
JUDUL & NAMA PENULIS ditulis dengan huruf besar pada awal setiap
kata dan disertai catatan kaki yang ditulis lengkap (tidak disingkat) tentang
profesi/jabatan dan nama instansi tempat penulis bekerja. Judul hendaknya
singkat (tidak lebih dari 14 kata) dan mampu menggambarkan isi pokok
tulisan.
Contoh: ANALISIS USAHATANI PALA DI KOTA TIDORE
KEPULAUAN
ABSTRAK ditulis dalam bahasa Indonesia, sebanyak-banyaknya 150 kata
yang dituangkan pada satu alinea dengan susunan : Judul, nama (-nama)
penulis dan ringkasan isi. ABSTRAK merupakan inti seluruh tulisan dan
harus mampu memberikan uraian yang tepat, jelas tapi singkat tentang latar
belakang, tujuan yang ingin dicapai, metodologi yang digunakan dalam
pencapaian tujuan, hasil penelitian yang terpenting dan kesimpulan (apabila
memungkinkan).
Contoh: ABSTRAK <Judul> <Nama -[nama] penulis> < Abstrak isi>.
KATA KUNCI terdiri dari beberapa kata atau gugus kata yang
menggambarkan isi naskah. Demi keseragaman format dan kemudahan dalam
pen-database-an, dianjurkan untuk diawali dengan <nama komoditas>
(apabila jenis komoditasnya tidak terlalu banyak).
Contoh: Padi, Benih unggul, Sekolah lapang.
ABSTRACT & KEY WORDS ditulis dengan bahasa Inggris dengan
ketentuan seperti pada ABSTRAK & KATA KUNCI. Pada naskah berbahasa
Inggris, bab ini mendahului ABSTRAK & KATA KUNCI.
PENDAHULUAN (nama bab tidak ditulis), mencakup latar belakang
masalah, alasan pentingnya penelitian itu dilakukan, temuan terdahulu yang
akan disanggah atau dikembangkan (termasuk di dalamnya telusuran pustaka
terkait), pendekatan umum dan tujuan penulisan. Nama jasad hidup yang
menjadi topik penelitian harus disertai nama ilmiahnya.
Contoh : Kedelai (Glycine max L. [Merrill]).
BAHAN & METODE berisi penjelasan ringkas tentang waktu dan tempat
penelitian, bahan dan teknik yang digunakan, rancangan percobaan dan
analisis data. Teknik yang dirujuk tidak perlu diuraikan (kecuali apabila
dimodifikasi), tetapi cukup disebut nama sumbernya dan tahun atau
metodenya. Nama piranti lunak computer yang digunakan untuk menganalisis
data seyogyanya disebutkan.
HASIL & PEMBAHASAN merupakan kupasan penulis tentang hasil,
menerangkan arti hasil penelitian, persamaan dan perbedaan hasil penelitian
ini dibandingkan dengan penelitian terdahulu (baik dari dalam maupun luar
negeri), peran hasil penelitian terhadap pemecahan masalah yang disebutkan
di bab pendahuluan, hubungan antara parameter yang satu dengan yang lain,
dan kemungkinan pengembangannya.
KESIMPULAN (apabila memungkinkan) merupakan hasil kongkrit atau
keputusan yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan serta saran-
saran. Informasi yang bersifat faktual (e.g. umur tanaman, dll) bukanlah
kesimpulan, sehingga tidak perlu dimasukkan ke dalam bab kesimpulan.
UCAPAN TERIMA KASIH (apabila dianggap perlu) berisi penghargaan
singkat kepada pihak-pihak yang telah berjasa selama penelitian (3-5 kalimat
ringkas).
PUSTAKA disusun menurut abjad. Secara umum, setiap pustaka hendaknya
terdiri atas nama penulis, tahun,judul, halaman dan penerbit. Pustaka
seyogyanya dipilih yang masih mempunyai kaitan dengan topik penelitian dan
ditulis sebagai berikut :
Untuk Artikel di dalam Buku : Nama (-nama) penulis, tahun penerbitan, judul
artikel, halaman, nama penyunting, judul publikasi atau buku, nama dan
tempat penerbit.
Contoh: Nugraha, U.S., Subandi, dan A. Hasanuddin. 2003. Perkembangan Teknologi
Budidaya dan Industri Benih Jagung. Ekonomi Jagung Indonesia. Badan
Litbang Pertanian: 37-72. Jakarta.
Untuk Terbitan Berkala: Nama (-nama) penulis, tahun penerbitan, judul
artikel, nama terbitan (disingkat, apabila dianjurkan), volume dan nomor, dan
nomor halaman (dianjurkan). Contoh: Bachrein, S. 2005. Keragaan dan
Pengembangan Sistem Tanam Legowo 2:1 pada Padi Sawah di Kecamatan
Banyuresmi Kabupaten Garut, Jawa Barat. JPPTP Valome 8 Nomor 1, Maret
2005. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Untuk Buku: Nama (-nama) penulis, tahun penerbitan, judul buku, edisi dan
tahun revisi, nama dan tempat penerbit, dan jumlah halaman. Contoh:
Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia (UI-
PRESS). Jakarta. 110 hlm.
PERSIAPAN TULISAN
Persiapan Tulisan. Naskah diketik 1 spasi pada kertas ukuran A4, satu muka,
tipe huruf baku Times New Roman ukuran 11 cpi dan tidak lebih dari 15
halaman (termasuk tabel, gambar dan pustaka). adan naskah dicetak dengan
ketentuan batas pinggir kertas 3 cm dari atas, bawah, dan kanan, dan 4 cm dari
kiri.
Tabel ‘masuk’ ke dalam teks, tidak dikumpulkan di bagian akhir makalah
sebagaimana halnya lampiran.
Judul tabel terletak di atas tabel yang bersangkutan dan hendaknya berupa
satu kalimat yang singkat dan jelas (termasuk keterangan tempat dan waktu).
Angka desimal ditandai dengan koma (bahasa Indonesia) atau titik (bahasa
Inggris).
Besaran ditulis menurut standar internasional, bukan besaran lokal (e.g.
kuintal, are) dan mengikuti kaidah Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan (misalnya g, l, kg, bukan gr, ltr, atau Kg).
Catatan kaki pada tabel ditandai dengan huruf atau angka dengan posisi agak
naik (superscript).
Gambar & Grafis hendaknya dibuat dengan piranti lunak komputer berikut
ini : Excel, SPSS, Corel Draw, dll.
Foto hendaknya kontras, tajam dan jelas.
DAFTAR ISI PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD AGRICULTRAL PRACTICES (GAP) DALAM PRODUKSI JAGUNG DI MALUKU UTARA (Yopi Saleh, Novendra Cahyo Nugroho) ........................................ 1-23 PENGARUH VARIETAS DAN PEMATAHAN DORMANSI FISIK BENIH TERHADAP DAYA BERKECAMBAH DAN TUMBUH BIJI PALA (MYRISTICA FRAGRANS) (Wawan Sulistiono, Chris Sugihono) ............................................. 24-33 SEBARAN PENYAKIT VASCULAR STREAK DIEBACK (VSD) PADA TANAMAN KAKAO (THEOBROMAE CACAO. LINN) DI HALMAHERA SELATAN (Hakim Ode Ramida, Slamet Hartanto) ......................................... 34-39 POTENSI FULI PALA SEBAGAI ANTIOKSIDAN PANGAN ALAMI (Hasbullah, Sri Raharjo, Pudji Hastuti) ......................................... 40-51 ANALISIS MINERALOGI TANAH UNTUK MENGETAHUI JENIS DAN KANDUNGAN LIAT PADA TANAH YANG SEDANG BERKEMBANG (Himawan Bayu Aji, Mardianah) ................................................... 52-57
top related