efek aplikasi gel propolis trigona sp sebagai terapi
Post on 15-Jul-2022
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DISERTASI
EFEK APLIKASI GEL PROPOLIS TRIGONA SP SEBAGAI
TERAPI TAMBAHAN PADA POKET PERIODONTAL
Tinjauan Efek Klinis dan Kadar Matrix Metalloproteinase-8
THE EFFECT OF THE APPLICATION OF THE PROPOLIS GEL
OF TRIGONA SP AS THE ADJUNCTIVE THERAPY IN THE
PERIODONTAL POCKET
An Evaluation on the Clinical Effect and the Level of the Matrix
Metalloproteinase-8
Oleh:
Asdar
P0200309053
PRORGAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
ii
EFEK APLIKASI GEL PROPOLIS TRIGONA SP SEBAGAI
TERAPI TAMBAHAN PADA POKET PERIODONTAL
Tinjauan Efek Klinis dan Kadar Matrix Metalloproteinase-8
THE EFFECT OF THE APPLICATION OF THE PROPOLIS GEL
OF TRIGONA SP AS THE ADJUNCTIVE THERAPY IN THE
PERIODONTAL POCKET
An Evaluation on the Clinical Effect and the Level of the Matrix
Metalloproteinase-8
Disertasi
Sebagai Salah satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Doktor
Program Studi Doktoral Ilmu Kedokteran
Disusun dan Diajukan Oleh
ASDAR P0200309053
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
iii
iv
TIM PENGUJI 1. Promotor : Prof. Dr.dr. Suryani As‟ad, MSc, SpGK (K)
2. Ko Promotor : Prof. Dr.drg. Sri Oktawati, Sp. Perio
3. Ko Promotor : Prof.Dr. M. Natsir Djide, MS, Apt
4. Penguji Eksternal : Prof. Dr.drg. M. Rubianto, Sp. Perio
5. Prof. Dr.drg. Hasanuddin Thahir, MS
6. Prof.Dr.drg. Rasmidar Samad, MS
7. Dr. dr. Ilhamjaya Patellongi, M.Kes
8. Dr. drg. Bahruddin Thalib, M.Kes
9. Dr. drg. Nurlindah Hamrun, M.Kes
v
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Yang bertanda tangan di bawah :
Nama : Asdar
Nomor Mahasiswa : P0200309053
Program : S3 Kedokteran Program Pascasarjana Unhas
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini banar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tulisan ini merupakan hasil
karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya
tersebut.
Makassar, 15 Januari 2015
Yang membuat pernyataan, A s d a r
vi
PRAKATA
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT
atas berkah, rahmat, hidayah dan karuniaNya, serta salawat dan salam atas
junjungan Nabi Besar Muhammad SAW sehingga penulis dapat
menyelesaikan disertasi ini guna memenuhi sebagian prasyarat mencapai
derajat sarjana S-3 bidang Ilmu Kedokteran.
Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan serta uluran tangan
dan bimbingan yang tak ternilai harganya dari berbagai pihak, disertasi ini
tidak mungkin dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu dalam kesempatan
ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada Promotor Prof. Dr.dr. Suryani As‟ad, MSc, SpGK
(K), Co-promotor : Prof. Dr.drg. Sri Oktawati, Sp. Perio dan Prof.Dr. M. Natsir
Djide, MS, Apt atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan sejak
pengembangan minat terhadap konsep permasalahan, pelaksanaan
penelitian, sampai akhir penulisan disertasi ini dengan tulus dan ikhlas.
Penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya juga kepada Tim
penguji : Prof. Dr. drg. M. Rubianto, Sp. Perio (K), Prof. Dr.drg. Hasanuddin
Thahir, MS, Prof.Dr.drg. Rasmidar Samad, MS, Dr. dr. Ilhamjaya Patellongi,
M.Kes, Dr.drg. Bahruddin Thalib, MKes dan Dr. drg. Nurlindah Hamrun,
M.Kes, atas segala masukan, perbaikan dan nasehat dalam rangka
penyempurnaan disertasi ini.
Rasa hormat dan terima kasih pula penulis sampaikan kepada :
vii
Rektor Universitas Hasanuddin, ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu,
MA, dan Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp.B., Sp.BO selaku mantan Rektor
Unhas (periode 2006–2014), Direktur Program Pendidikan Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, Prof, Dr. Syamsul Bachri, MH, dan mantan Direktur
Prof, Dr. Ir. Mursalim yang berkenan memberikan izin dan kesempatan dalam
mengikuti pendidikan Program Doktor di Pascasarjana Universitas
Hasanuddin.
Dekan Fakultas Kedokteran Unhas, Prof Dr. dr. Andi Asadul Islam,
Sp.BS, mantan Dekan FK-Unhas, Prof. dr. Irawan Yusuf, Ph. D., dan, Ketua
Pogram Studi Ilmu Kedokteran Pascasarjana Unhas, Prof.dr.Mochammad
Hatta, PhD, Sp.MK (K), yang telah memberi restu dan izin kepada penulis
mengikuti Program Doktor pada Program Studi Ilmu Kedokteran Pascasarjana
Unhas.
Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Unhas, Prof. drg. Mansjur Nasir, PhD,
mantan dekan Prof. drg. Muhammad Dharmautama, Ph.D, Sp. Pros (K)., atas
bimbingan, dorongan dan izin kepada penulis untuk melanjutkan studi pada
Program Pascasarjana Unhas.
Direktur RSGMP FKG-Unhas dan seluruh jajarannya, yang telah
memberi izin dan kemudahan pada penulis dalam penanganan dan
pengambilan sampel pada pasien subyek penelitian.
Kepala Bagian Periodontologi FKG Unhas, drg. Supiaty, M.Kes beserta
staf dosen yang telah memberikan izin untuk pengambilan sampel serta
petunjuk dan arahan selama penelitian di bagian Periodonsia FKG Unhas.
viii
Prof.Dr. M. Natsir Djide, MS, Apt selaku Kepala Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Farmasi Unhas beserta Ibu Dr. Sartini, M.Si, Apt, yang
telah memberi izin untuk melakukan pemeriksaan sampel, bimbingan dan
bantuan teknis selama penelitian. Besse Yuliana, S.Si, M.Si, Apt dan Nielma
Aulia Alimin, M.Si, Apt atas segala bantuannya selama proses penelitian di
Laboratorium Farmasi.
Kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Andi Mappatoba Sila, dosen senior dan
pakar bidang propolis Fakultas Kehutanan Unhas, saya menyampaikan
penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Beliau telah banyak
memberi konstribusi sebagai nara sumber dan banyak memberi kepustakaan
tentang propolis.
Seluruh Staf Pengajar bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi
Unhas yaitu drg. Supiaty, M.Kes, drg. Nurhayati Siregar, Dr. drg. A. Mardiana
Adam, MS., Prof. Dr. drg. Hasanuddin Thahir, MS, Prof. Dr. Drg. Sri Oktawati,
Sp.Perio, drg. Arni Irawaty Djais, Sp. Perio beserta Staf yaitu Muliaty Abbas
dan Fatmawati atas segala kesempatan, bimbingan, pengajaran dan
dukungan moril dan materil selama mengikuti pendidikan.
Ketua satgas KKN Profesi Kesehatan Unhas dr. Irwin Aras, M. Epid.,
M.MedEd dan teman-teman satgas KKN-PK serta staf KKN-PK atas bantuan,
kerja sama, dorongan dan doa bagi penulis selama menjalani pendidikan.
Kepada semua teman sejawat dan pegawai di Fakultas Kedokteran
Gigi Unhas dan Fakultas Kedokteran Unhas, penulis menyampaikan
penghargaan dan terima kasih yang tulus atas dukungan dan kerjasamanya
selama ini.
ix
Kepada rekan-rekan seperjuangan angkatan 2009, Dr. drg. Eka
Erwansyah, Sp.Ort, Dr. drg. Eddy Herianto Habar, Sp.Ort, Dr. drg. Juni Jekti
Nugroho, Sp.KG, Dr. drg. Ike Damayanti, Sp.Prost, Dr. drg. Aries Chandra,
Sp.KG, atas kebersamaan, dukungan dan semangat selama pendidikan yang
akan menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Tidak lupa dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan
dan terima kasih tiada terhingga serta sembah sujud kedua orang tua,
Ayahanda H. Abdul Gani (almarhum) dan Ibunda Hj. Sani yang telah
mengasuh , membesarkan, mendidik dan iringan doa restu sejak lahir sampai
saat ini sehingga penulis diberi kekuatan untuk menyelesaikan disertasi ini.
Ucapan terima kasih dan sembah sujud kepeda Bapak dan Ibu mertua, Drs.
H.A. Asis Rahim dan Hj. Mawar Dg Bau (alm) atas semangat yang
ditanamkan untuk menuntut ilmu, doa restu dan dorongannya untuk mencapai
cita-cita serta senantiasa bertakwa kepada Allah SWT.
Ungkapan rasa bangga dan terima kasih yang dalam penulis
sampaikan kepada istri tercinta, St. Wahidah dan ananda tersayang, Husnul
Khatimah Maulidina, As‟ad Saefullah Gani, Ahmad Iyad Gani, dan Nurul
Salsabila Gani atas segala pengertian, kesabaran, dorongan, semangat, cinta
kasih dan pengorbanan tak ternilai yang diberikan.
Kepada kakak, Hj. Nuraeni beserta keluarga, adik Hj. Artati Gani dan
keluarga, Astuti Gani dan keluarga, atas doa, dukungan, perhatian dan kasih
sayang selama ini.
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak sempat
dituliskan satu persatu, penulis sampaikan rasa terima kasih dan
x
penghargaan yang tinggi. Semoga Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang selalu melimpahkan karunia dan rahmatNya kepada semua pihak
yang telah membantu penyelesaian disertasi ini.
Makassar, 15 Januari 2015
A s d a r
xi
ABSTRAK
Asdar. Efek aplikasi gel propolis trigona sp sebagai terapi tambahan pada
poket periodontal, tinjauan efek klinis dan kadar Matrix Metalloproteinase-8 (dibimbing oleh Suryani As’ad, Sri Oktawati, M. Natsir Djide) Latar Belakang: Penyakit periodontal adalah salah satu infeksi mikroba yang umum pada orang dewasa. Penyakit ini merupakan penyakit inflamasi yang berasal dari bakteri yang mempengaruhi jaringan pendukung gigi. Berbagai studi menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik dalam perawatan infeksi periodontal meningkatkan hasil terapi. Propolis merupakan salah satu produk alami yang dihasilkan oleh lebah madu yang digunakan sebagai perekat untuk memelihara sarangnya. Propolis mempunyai efek antimikroba terhadap bakteri (gram positif dan negatif), anti jamur dan anti viral.Dental gel telah digunakan selama beberapa dekade, baik untuk keperluan kosmetik maupun untuk tujuan terapeutik. Dental gel memiliki kemampuan menyebar dan konsistensi yang sangat baik dan oleh karena itu diterima oleh masyarakat luas. Tujuan: Mengetahui efek pemberian gel propolis Trigona sp sebagai terapi tambahan pada poket periodontal dengan menggunakan indikator kedalamanan poket dan kadar MMP-8 cairan gingiva (GCF). Materi dan metode: Penelitian in vivo untuk melihat efek propolis gel terhadap poket periodontal dilakukan di RSGMP – FKG Unhas. Dengan subyek penelitian 20 orang, dipilih secara acak pada masing-masing kelompok yang terdiri dari 10 orang subjek menerima terapi standar SRP dan kuretase. Pada kelompok perlakuan ditambahkan terapi propolis gel dan pada kelompok kontrol ditambahkan placebo gel. Kedalaman poket (PD) dinilai pada baseline dan hari ke-30 pada masing-masing kelompok dan kadar MMP-8 dinilai pada baseline dan pada hari ke-7 hari pada masing-masing kelompok. Kesimpulan: gel propolis trigona sp yang berasal dari Sulawesi Selatan dapat menurunkan kedalaman poket periodontal dan dapat menekan kenaikan kadar MMP-8 pada area poket periodontal.
Kata-kata kunci: Cairan gingiva (GCF), gel Propolis, Kedalaman poket, MMP-8,.
xii
ABSTRACT Asdar. The effect of Trigona sp. propolis gel application as adjunctive therapy in periodontal pocket; an evaluation clinical effect and Matrix Metalloproteinase-8 level (Supervised by Suryani As’ad, Sri Oktawati, M. Natsir Djide) Background: Periodontal disease is one of the common microbial infections affecting adulthood. It‟s an inflammatory disease caused by the bacteria on the tooth supporting tissue. Various studies showed that antibiotic use in the periodontal infection treatments improving the therapeutic results. Propolis is naturally produced by honey bees and used as an adhesive to maintaining their nest. Propolis has an antimicrobial effect against bacteria (Gram-positive and negative), anti-fungal, and anti-viral. Dental gel has been used for decades, both for cosmetic and therapeutic purposes. Dental gel has the ability to spread and excellent consistency, therefore it‟s well-accepted. Objectives: To determine the effect of Trigona sp. propolis gel as an adjunctive periodontal pocket therapy, using probing depth indicator and MMP-8 levels in the gingival crevicular fluid (GCF). Material and Methods:This in vivo study examine the effect of propolis gel on periodontal pocket, and took place in RSGMP - Faculty of Dentistry UNHAS. A total of 20 subjects who are randomly selected from each group of 10 subject received a standard therapy SRP and curettage. The treatment group was receiving propolis gel treatment as an adjunctive, while placebo gel was added to the control group. In each group, probing depths (PD) were assessed at baseline and day 30, and MMP-8 levels was measured at baseline and day 7. Conclusion: Trigona sp. propolis gel that originally came from South Sulawesi has the ability to reduce the periodontal pocket depth and down-regulate MMP-8 levels in the periodontal pocket areas. Keywords: Gingivalcrevicular fluid (GCF), MMP-8, Pocket depth,Propolis gel.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………… i
HALAMAN PENGAJUAN DISERTASI ……………………………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………. iii
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI ……………………………… iv
PRAKATA ………………………………………………………………… v
ABSTRAK ………………………………………………………………… ix
ABSTRACT ………………………………………………………………. x
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… xi
DAFTAR TABEL ………………………………………………………… xiv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….. xv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… xvi
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN ……………………… xvii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Periodontal ................................................................. 7
1. Epidemiologi ...................................................................... 7
2. Mekanisme Terjadinya Penyakit Periodontal ........................ 8
3. Poket Periodontal ................................................................... 13
4. Perawatan Dasar Poket Periodontal ................................... 30
xiv
B. Mikroba Penyebab Penyakit Periodontal ................................... 32
C. Peranan dari Respon Imun Host .............................................. 33
D. MMP pada Inflamasi Periodontal ............................................... 35
E. Propolis ..................................................................................... 40
BAB III. KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Teori ......................................................................... 46
B. Kerangka Konsep ...................................................................... 47
C. Hipotesis .................................................................................... 48
BAB IV. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian ................................................................. 49
B. Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................... 49
C. Populasi dan Sampel Penelitian ............................................... 50
D. Identifikasi Variabel .................................................................. 51
E. Definisi Operasional Variabel ................................................... 51
F. Bahan dan Alat Penelitian ........................................................ 52
G. Prosedur Penelitian .................................................................. 52
H. Prosedur Penelitian pada Pasien ............................................. 56
I. Analisa Data ............................................................................. 57
J. Alur Penelitian .......................................................................... 59
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Efek Aplikasi Gel Propolis Trigona sp Terhadap Kadar MMP-8
GCF sebagai Terapi Tambahan pada Perawatan Poket
Periodontal ............................................................................... 61
xv
B. Efek Aplikasi Gel Propolis Trigona sp terhadap Kedalaman
poket sebagai Terapi Tambahan Pada Perawatan Poket
Periodontal………………………………………………………….. 63
C. Hubungan perubahan kadar MMP-8 dengan perubahan
kedalaman poket ...................................................................... 65
BAB VI PEMBAHASAN
A. Kadar Matrix Metalloproteinase-8 (MMP-8) ............................... 67
B. Indikator Klinis ........................................................................... 71
BAB VII PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 77
B. Saran ........................................................................................ 77
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 78
LAMPIRAN
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Hubungan Gambaran Klinis Dan Histopatologi Poket
Periodontal ......................................................................... 19
Tabel 5.1. Perubahan kadar MMP-8 GCF sesudah perlakuan pada
kedua kelompok ................................................................. 51
Tabel 5.2. Perubahan kedalaman Poket sesudah perlakuan pada
kedua kelompok .................................................................. 53
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Poket Periodontal ............................................................ 14
Gambar 2.2. Berbagai jenis poket periodontal .............................................. 15
Gambar 2.3. Probing dari poket periodontal yang dalam ....................................... 16
Gambar 2.4. Scanning elektron mikrograf bagian dinding poket periodontitis
berlanjut dalam spesimen manusia menunjukkan penetrasi bakteri
ke dalam epitel dan jaringan ikat ........................................................ 23
Gambar 2.5. Dinding poket periodontal ...................................................................... 25
Gambar 2.6. Ilustrasi skematik proses interaksi bakteri host pada penyakit
periodontal .......................................................................................... 36
Gambar 2.7. Propolis mentah dari lebah trigona sp ................................................... 40
Gambar 5.1. Pengambilan sampel GCF pada saku gusi ........................................... 50
Gambar 5.2. Pemberian gel propolis pada saku gusi ............................................... 50
Gambar 5.3. Grafik Box plot kadar MMP-8 sebelum dan sesudah perlakuan setelah
satu minggu terapi pada kedua kelompok ........................................ 52
Gambar 5.4. Grafik Box plot kedalaman poket sebelum dan sesudah perlakuan pada
kedua kelompok .................................................................................. 54
Gambar 5.5. Grafik sebaran antara persen penurunan kadar MMP-8
dengan perubahan kedalaman poket ............................... 55
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Rekomendasi Persetujuan Etik
Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan MMP-8
Lampiran 3. Hasil analisis data
Lampiran 4. Gambar Alat dan Bahan
xix
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/Singkatan Arti dan keterangan
MMP-8 Matriks Metalloproteinase-8
GCF Gingival Crevicular Fluid
PMN Polimorfonuklear
ICAM-1 Intercelluler Adhesi Molekul-1
ELAM-1 Endothelial Cell Leukocyte Adhesion Molecule-1
IL-8 Interleukin-8
MIC Minimun Inhibitory Concentration
PGE2 Prostaglandin E2
TNF-α Tumor Necrosis Factor-α
PD Probing Depth
ELISA Enzyme–Linked immunosorbent Assay
HEC Hidroxyethyl Cellulose
MHA Muller Hinton Agar
NA Nutrient Agar
FGF Fibroblast Growth Factor
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit periodontal adalah salah satu infeksi mikroba yang umum
pada orang dewasa. Penyakit ini merupakan penyakit inflamasi yang berasal
dari bakteri yang mempengaruhi jaringan pendukung gigi. Ada dua tipe
penyakit periodontal yaitu gingivitis dan periodontitis (Albandar, 2002).
Penyakit periodontal merupakan masalah utama di antara semua kelainan
yang terjadi dalam rongga mulut. Jika tidak dirawat, penyakit periodontal
menyebabkan kerusakan tulang dan jaringan lunak pendukung gigi dan dapat
mengakibatkan gigi tanggal.
Plak gigi adalah suatu biofilm polimikrobial yang dianggap sebagai
faktor etiologi utama pada penyakit peradangan kronis periodontal (Kinane &
Attstrom, 2005). Diperkirakan terdapat lebih dari 700 spesies berbeda yang
mampu berkoloni di dalam rongga mulut, dan setidaknya ada 400 spesies
yang dapat ditemukan dalam plak subgingiva (Aas dkk, 2005). Plak gigi, yang
merupakan biofilm oral yang terbentuk pada permukaan gigi, memegang
peranan penting dalam etiologi karies gigi dan penyakit periodontal (Marsh,
1994).
Beberapa pendekatan berbeda telah diajukan untuk mengendalikan
biofilm, seperti: pencegahan pembentukan biofilm, pembersihan biofilm yang
terbentuk, menghalangi pertumbuhan biofilm, dan menghilangkan
mikroorganisme yang ada di dalam biofilm. Di antara pendekatan ini,
2
penggunaan agen anti-biofilm tidak hanya menurunkan viabilitas, tapi juga
mengendalikan kolonisasi dan akumulasi bakteri kariogenik pada permukaan
gigi dapat menjadi metode yang lebih efektif (Gaffar dkk, 1994).
Diagnosis penyakit periodontal umumnya didasarkan pada
pemeriksaan klinis dan radiologi. Dengan metode ini dimungkinkan untuk
mengetahui status inflamasi saat ini atau kehilangan perlekatan periodontal
yang sudah ada. Namun metode tersebut tidak optimal dalam
mengekspersikan aktivitas penyakit periodontal saat ini meskipun tidak
adanya perdarahan saat probing telah dianggap sebagai parameter stabilitas
periodontal yang dapat dipercaya (Mäntylä, 2006).
Matriks metalloproteinase (MMP) membentuk famili enzim yang
memediasi beberapa fungsi baik dalam kerusakan jaringan maupun respon
imun yang berkaitan dengan inflamasi periodontal, bahkan disebut sebagai
mediator kunci pada destruksi jaringan irreversible penyakit periodontal
(Sorsa dkk, 2006). Matrix metalloproteinase (MMP-8) atau collagenase-2
adalah salah satu sentral biomarker pada kerusakan jaringan ikat akibat
periodontitis (Lee dkk, 1995; Mancini dkk, 1999; Sorsa dkk, 2006) dan telah
ditemukan memiliki potensi sebagai alat bantu diagnostik. Perawatan
periodontitis dengan skeling dan root planning (SRP) mengurangi kadar MMP-
8 dalam cairan sulkus gingival (GCF), sementara poket periodontal yang
berada pada resiko kerusakan jaringan yang bersifat ireversibel menunjukkan
peningkatan kadar MMP-8 secara berulang-ulang (Mantyla dkk, 2006).
Pada tahap awal periodontitis, scaling dan root planning biasanya
efektif dalam mengeluarkan kalkulus dan plak, sehingga mengurangi jumlah
3
bakteri dan kedalaman probing. Apabila kedalaman probing meningkat,
keefektifan scaling dan root planning menurun. Oleh karena itu, beberapa
tahun terakhir, banyak antibiotik, baik topikal maupun sistemik yang
digunakan dalam perawatannya. Terapi antibiotik sistemik memiliki beberapa
keuntungan. Akan tetapi, penggunaan antibiotik sistemik dalam jangka
panjang memiliki beberapa efek samping seperti resistensi, hipersensitifitas,
dan efek samping yang tidak diinginkan (Rao, 2009).
Sebagai akibat dari masalah tersebut, penelitian yang berfokus pada
pengembangan system penghantaran obat secara lokal untuk melepaskan
antibiotik dalam poket periodontal menjadi lebih sering. Tujuannya memicu
konsentrasi obat yang lebih tinggi pada bagian target, meminimalkan
kemungkinan efek samping sistemik (Rams & Slots, 1996).
Terapi pada area spesifik memiliki tiga manfaat yang potensial:
memperkecil dosis obat, meningkatkan konsentrasi obat pada area infeksi,
dan mengurangi efek samping sistemik seperti gangguan gastrointestinal.
Perawatan penyakit periodontal dengan sistem pemberian obat terlokalisir
bertujuan agar dicapai level agen terapeutik yang tepat didalam poket
periodontal dan juga meminimalisir efek samping yang berhubungan dengan
pemberian obat secara sistemik. Dengan demikian, sistem pemberian obat
yang mengandung agen antimikroba digunakan pada poket periodontal.
Penggunaan agen antimikroba topikal untuk perawatan periodontitis
umumnya dipilih karena memudahkan akses agen antimikroba dengan
konsentrasi tinggi secara lokal. Banyak agen antimikroba telah diuji sebagai
obat kumur dalam perawatan penyakit periodontitis, dengan tingkat
4
kesuksesan berkisar antara kurang hingga sedang. Irigasi menggunakan
tetrasiklin diketahui efektif dalam mengontrol penyakit periodontal. Efek irigasi
pada poket periodontal dengan kelompok kontrol dan scaling-root planning
telah diuji. Parameter klinis dan mikrobiologi diamati dan penggunaan irigasi
tetrasiklin atau scaling dan root planning menghasilkan perbaikan mikroflora
subgingival yang signifikan secara statistik dari kondisi sakit ke sehat (Raor
dkk, 2009).
Chlorhexidine merupakan agen anti-biofilm yang secara klinis efisien
terhadap sejumlah mikroorganisme dalam rongga mulut. Namun, penggunaan
chlorhexidine, sebagai agen anti-karies, tidak hanya kontroversi, tapi juga
menimbulkan efek samping, meliputi pembentukan stain ekstrinsik pada gigi
dan lidah. Sebab itu, timbul minat yang besar untuk mengembangkan agen
anti-biofilm baru (Matthijs and Adriaens, 2002).
Dewasa ini terdapat usaha memanfaatkan bahan-bahan alami dalam
pelayanan kesehatan. Produk alami telah digunakan untuk keperluan
pengobatan diseluruh dunia selama ribuan tahun. Banyak diantaranya yang
memiliki sifat farmakoligis yang telah terbukti, seperti antimikroba,
antiinflamasi, dan sitostatik, diantaranya adalah propolis telah dikenal sebagai
obat yang berguna untuk manusia dan hewan.
Propolis merupakan salah satu produk alami yang dihasilkan oleh
lebah madu yang digunakan sebagai perekat untuk memelihara sarangnya
(Hill, 1981). Propolis merupakan substansi yang dibuat oleh lebah madu yang
memiliki potensi sebagai antimikroba dan antiinflamasi. Lebah madu
mengumpulkan resin ini dari retakan kulit pohon dan kuncup daun. Resin ini
5
dikunyah, dicampur enzim saliva dan sebagian materi yang dicerna dicampur
dengan lilin lebah dan digunakan untuk menutup lubang sarang mereka, yang
memudahkan keluar dan melindungi dari penyusup (Molan, 2001).
Penggunaan propolis sebagai bahan pengobatan hampir dilupakan
dalam era moderen saat ini karena adanya penemuan dan penggunaan yang
efektif dari antibiotik sintetik. Namun saat ini, beberapa patogen telah menjadi
resisten terhadap antibiotik yang kuat dan akhirnya menyebabkan efek
samping pada manusia, sehingga dibutuhkan pencarian agen antimikroba
yang baru (Ozan dkk, 2007).
Selama dekade terakhir hidrogel dibuat dari bahan alami, semi-sintetis,
dan polimer sintetis telah ditetapkan sebagai bahan untuk berbagai aplikasi
dibidang farmasi. Bahan tersebut memiliki viskositas yang baik, kemampuan
bioadhesif yang memuaskan, dan tidak menyebabkan iritasi atau reaksi
sensitif. Dental gel telah digunakan selama beberapa dekade, baik untuk
keperluan kosmetik maupun untuk tujuan terapeutik. Dental gel memiliki
kemampuan menyebar dan konsistensi yang sangat baik dan oleh karena itu
diterima oleh masyarakat luas (Raor dkk, 2009).
B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, diajukan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana efektifitas klinis obat gel propolis pada perawatan Poket
Periodontal
2. Bagaimana kadar MMP-8 pada poket periodontal yang diberi terapi
tambahan gel propolis.
6
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum:
Mengetahui efek gel propolis sebagai terapi tambahan pada perawatan
poket periodontal.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui efek gel propolis yang berasal dari Sulawesi Selatan
terhadap indikator Kedalaman Probing pada perawatan poket
periodontal.
b. Mengetahui efek gel propolis yang berasal dari Sulawesi Selatan
terhadap penurunan kadar MMP-8 pada GCF poket pada
perawatan poket periodontal
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Pengembangan Ilmu
Memberikan sumbangan ilmu dalam perawatan penyakit periodontal
2. Manfaat Aplikasi
a. Dari penelitian ini diharapkan akan memberikan alternatif baru
dalam penatalaksanaan penyakit periodontal.
b. Hasil penelitian ini dapat diarahkan untuk menjadi salah satu
program dalam upaya mengembangkan potensi lokal, khususnya
yang berasal dari Sulawesi Selatan.
c. Penelitian ini dapat dikembangkan untuk membuat obat-obat yang
berbasis bahan alami, sehingga berpotensi memiliki nilai ekonomi.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Periodontal
Penyakit periodontal dapat didefinisikan sebagai proses patologik yang
mengenai jaringan periodontium. Sebagian besar inflamasi pada jaringan
periodontium disebabkan oleh infeksi bakteri. Walaupun faktor lain dapat
mempengaruhi hal ini, namun agen kausatif penyakit periodontal yang paling
dominant adalah mikroorganisme yang terdapat pada permukaan gigi (bakteri
plak dan produk-produknya) (Fedi dan Vemino, 1995)
1. Epidemologi
Pada tahun 1978 WHO telah menyimpulan bahwa penyakit periodontal
merupakan salah satu penyakit yang paling luas penyebarannya pada
manusia. Meskipun lebih sering dialami oleh orang dewasa, data epidemologi
menunjukkan bahwa periodontitis juga dapat ditemukan pada anak-anak dan
remaja (Löe dan Brown, 1991; Jenkins dan Papapanou, 2001). Survei
nasional di Amarika Serikat dan Denmark menemukan bahwa gingivitis terjadi
pada 60% remaja dan 40-50% orang dewasa (Brown & Loe, 1993). Penelitian
yang dilakukan oleh Ababneh dkk, (2012) di Yordania mendapatkan bahwa
pada seluruh kelompok umur terdapat kira-kira 76% yang menderita gingivitis.
Di Indonesia, gambaran penyakit periodontal dapat dilihat dari salah satu
penelitian yang dilakukan oleh Tampubolon (2005). Dari penelitian yang
dilakukan pada semua kelompok umur, ditemukan bahwa 96,58% menderita
penyakit periodontal.
8
2. Mekanisme Terjadinya Penyakit Periodontal
Penyakit periodontal merupakan hasil interaksi yang kompleks antara
biofilm subgingiva dan inflamasi imun pada “host” yang berkembang dalam
gingiva dan jaringan periodontal dalam menanggapi serangan invasi bakteri.
Secara umum, periodontitis terjadi setelah gingivitis, tetapi tidak semua kasus
gingivitis berlanjut menjadi periodontitis. Pada gingivitis, lesi inflamasi terbatas
pada gingival, tetapi pada periodontitis, proses inflamasi juga meluas sampai
ligament periodontal dan tulang alveolar. Hasil dari adanya inflamasi adalah
kerusakan pada serat-serat ligamentum periodontal, yang mengakibatkan
hilangnya perlekatan secara klinis dan resorpsi tulang alveolar (Preshaw dan
Taylor, 2012).
Pada tahun 1970-an dan 1980-an, plak bakteri umumnya dianggap
sebagai penyebab utama periodontitis. Pada masa itu, dikatakan bahwa
kebersihan rongga mulut yang buruk adalah hasil dari peningkatan akumulasi
plak, yang kemudian menghasilkan penyakit periodontal. Namun, hasil
pengamatan tersebut tidak digunakan lagi karena ada banyak orang dengan
kebersihan mulut yang buruk tetapi tidak berkembang penyakit periodontal,
dan sebaliknya terdapat individu yang memiliki kesehatan mulut yang baik
dan sesuai dengan protocol perawatan periodontal, tetapi mengalami
kerusakan periodontal yang progresif dan periodontitis agresif. Hal tersebut
juga dikemukakan oleh Loe dkk yang melakukan pengamatan pada buruh teh
di Sri Lanka yang tidak memperhatikan perawatan gigi dan dibagi menjadi tiga
kategori utama: (1) individu (≈8% dari populasi yang diteliti) memiliki
perkembangan yang cepat pada penyakit periodontal, (2) individu (≈ 81%)
9
yang memiliki perkembangan moderat, dan (3) individu (≈ 11%) yang
menunjukkan tidak ada perkembangan penyakit periodontal maupun
gingivitis. Semua pasien pada populasi ini memperlihatkan adanya plak dan
deposit kalkulus yang banyak. Etiologi yang berperan adalah bakteri plak
yang merangsang respon inflamasi yang berkembang di jaringan gingival.
Namun, penentu utama kerentanan penyakit adalah sifat dari respon imun
inflamasi itu sendiri. Hal ini bersifat paradoks bahwa proses pertahanan, yang
proktektif dengan maksud (untuk mencegah masuknya bakteri dan produknya
ke dalam jaringan), yang akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang lebih
besar dan menjadi manisfestasi klinis penyakit (Preshaw dan Taylor, 2012).
a. Lesi Awal
Lesi awal terjadi dalam waktu empat hari pertama setelah plak mulai
berakumulasi. Ini adalah suatu lesi subklinis yang hanya dapat dilihat secara
histologi tetapi ditandai dengan adanya edema, peningkatan cairan sulkus
gingiva, akumulasi leukosit polimorfonuklear (PMN) dan hilangnya jaringan
ikat. Saat plak berakumulasi, enzim bakteri dan produk akhir metabolik
meningkatkan permeabilitas junctional epithelium, sehingga produk bakteri
dapat masuk lebih dalam dan pada saat yang bersamaan cairan gingiva
mengalir keluar. Cairan gingiva pada dasarnya adalah suatu produk serum,
yang mengandung semua komponen komplemen (Ohlrich dkk, 2009)
Aktivasi komplemen melalui “jalur alternatif” di dalam sulkus gingiva
akan menghasilkan C3a dan C5a anaphilaktosin, yang kemudian
menyebabkan pelepasan amina vasoaktif dari sel mast. Bahan vasoaktif ini
mendorong terjadinya peningkatan permeabilitas vaskular serta pembentukan
10
edema, salah satu ciri khas dari peradangan. Selain itu pada tahap awal ini,
sel mast melepaskan tumor necrosis factor-α (TNF- α) yang sangat berperan
terhadap adanya molekul adhesi oleh sel endotelial serta perlekatan dan
migrasi PMN ke dalam jaringan gingiva dan masuk ke dalam sulkus gingiva.
Meskipun aktivasi jalur alternatif komplemen sangat penting untuk respon
vaskular, bakteri yang berasal dari substansi kemotaktik serta C5a adalah
yang berperan terhadap migrasi awal dari PMN. Akan tetapi jika telah berada
dalam sulkus gingiva, maka PMN tidak dapat memfagositosis bakteri, yang
telah membentuk biofilm dan melekat kuat pada permukaan gigi. Pada kondisi
ini, PMN mengeluarkan kandungan lisosomnya ke dalam sulkus gingiva dan
proses ini disebut sebagai “fagositosis yang gagal”. Enzim lisosom ini
kemudian dapat kembali masuk ke dalam jaringan dan menyebabkan
kerusakan lokal pada jaringan ikat. Pada tahap awal, lesi menempati tidak
lebih dari 5-10 persen jaringan ikat, dan tetap tidak terlihat secara klinis.
(Ohlrich dkk, 2009; Preshaw dan Taylor, 2012).
b. Lesi Dini atau lesi stabil
Dalam waktu sekitar 4-7 hari akumulasi plak, terjadi perubahan sifat
dari lesi yang sebagian besar terdiri dari PMN menjadi lesi dengan
peningkatan jumlah limfosit dan makrofag. Ini disebut sebagai lesi dini dimana
perubahan vaskular menjadi lebih jelas terlihat yang ditunjukkan dengan
aktifnya capillary bed yang sebelumnya normal, serta terjadinya infiltrasi
inflammatory perivaskular. Akibatnya, terjadi peningkatan aliran cairan ke
dalam sulkus gingiva pada daerah gingiiva yang terpapar, dan kemudian
peningkatan aliran cairan sulkus gingiva. Terjadinya pelebaran ruang
11
interseluler antara sel epitel pada junctional epithelium menyebabkan
peningkatan difusi produk bakteri ke dalam jaringan gingiva dan peningkatan
respon peradangan (Ohlrich dkk, 2009).
Jenis sel infiltrasi dominan adalah PMN dan limfosit terutama limfosit
timus (sel-T) dan PMN bermigrasi melalui jaringan ke sulkus dan
memfagositosis bakteri. Fibroblast mengalami degenerasi terutama melalui
apopotosis (kematian sel terprogram) yang meningkatkan ruang untuk
infiltrasi leukosit. Kerusakan kolagen yang terejadi, mengakibatkan penipisan
kolagen didaerah apikal dan lateral junctional dan epitel sulkular. Sel-sel
basal dari struktur epitel berproliferasi sebagai pertahanan terhadap bakteri
dan produknya, dan sebagai hasilnya terlihat bahwa epitel dapat berproiferasi
ke jaringan ikat yang kekurangan kolagen. Adanya edema pada jaringan
gingiva, menyebabkan gingiva terlihat sedikit bengkak dan dengan demikan,
sulkus gingiva menjadi sedikit lebih dalam. Biofilm subgingiva berproliferasi ke
daerah apikal (sehingga kontrol plak menjadi lebih sulit). Lesi awal gingiva
dapat bertahan tanpa batas waktu atau dapat berkembang lebih lanjut
(Ohlrich dkk, 2009; Preshaw dan Taylor, 2012).
c. Lesi Tetap
Lesi ini merujuk ke gingivitis kronis. Perkembangan dari lesi awal ke
tahap lesi ini tergantung pada banyak faktor, termasuk perubahan plak
(komposisi dan kuantitas biofilm), faktor kerentanan “host”, dan faktor resiko
(baik lokal maupun sistemik). lesi tetap didominasi oleh sel plasma. Dalam
suatu penelitian, menunjukkan bahwa sel-sel plasma mendominasi lesi tetap
gingivitis pada subjek dewasa, sedangkan limfosit mendominasi pada individu
12
muda, meskipun relevansi temuan ini tidak jelas. Yang jelas dari semua studi
adalah bahwa ada infiltrasi sel radang yang signifikan dalam membentuk
gingivitis yang menempati volume yang cukup besar dari jaringan ikat yang
mengalami peradangan. Sejumlah besar sel infiltrasi dapat diidentifikasi yang
berdekatan dengan lateral epitel junctional dan sulkular, sekitar pembuluh
darah, dan antara serat kolagen bundel. Kolagen mengalami penipisan secara
terus-menerus, dengan adanya proliferasi lebih lanjut dari epitel ke dalam
ruang jaringan ikat. Adanya penumpukan neutrofil di jaringan dan yang
melepaskan lisosom secara ekstrasel (dalam upaya untuk membunuh bakteri
yang tidak “phagocytosed”), mengakibatkan kerusakan jaringan lebih lanjut.
Neutrofil juga merupakan sumber utama MMP-8 (neutrofil kolagenase) dan
MMP-9 (gelatinase B), dan enzim ini diproduksi dalam jumlah besar pada
jaringan gingiva yang mengalami peradangan sebagai neutrofil yang
bermigrasi melalui serat kolagen untuk masuk daerah sulkus. Junctional dan
epitel sulkular membentuk epitel poket yang tidak melekat erat pada
permukaan gigi dan yang berisi sejumlah besar neutrofil dan lebih permeable
terhadap sel-sel yang membentuk jaringan ikat. Epitel poket dapat menjadi
ulserasi dan kurang mampu menahan probe periodontal, sehingga terjadi
perdarahan saat probing yang merupakan tanda umum dari gingivitis kronis.
Penting untuk diingat bahwa inflamasi tersebut masih reversibel jika dilakukan
kontrol plak secara efektif (Ohlrich dkk, 2009; Preshaw dan Taylor, 2012).
d. Lesi Tingkat Lanjut
Lesi tingkat lanjut ini ditandai adanya transisi dari gingivitis menjadi
periodontitis. Transisi ini disebabkan oleh banyak faktor, yang penting untuk
13
diketahui mencakup perubahan bakteri (baik komposisi dan jumlah biofilm),
respon inflamasi “host”, dan faktor kerentanan, termasuk faktor-faktor resiko
lingkungan dan genetik. Pemeriksaan histologis menunjukkan bukti adanya
lanjutan kerusakan kolagen (meluas sampai ke ligamen periodontal dan
tulang alveolar). Neutrofil mendominasi dalam epitel poket dan poket
periodontal, dan sel-sel plasma mendominasi dalam jaringan ikat. Epitel
junctional bermigrasi ke apikal sepanjang permukaan akar ke daerah yang
telah kehilangan kolagen dan berkembang dibawahnya untuk
mempertahankan epitel. Resorpsi tulang osteoklastik dimulai, inflamasi
menyebabkan berkurangnya tulang sebagai mekanisme pertahanan untuk
mencegah penyebaran bakteri ke dalam tulang. Poket yang menjadi lebih
dalam, menyebabkan bakteri plak berkembang biak ke apikal dan menjadi
tempat yang sangat menguntungkan bagi banyak spesies yang dianggap
sebagai bakteri patogen. Poket menyediakan lingkungan yang hangat,
lembab, dan anaerobik dengan pasokan gizi yang tersedia untuk bakteri
sehingga tidk dapat dapat dihilangkan dengan respon inflamasi. Dengan
demikian siklus berkembang di mana peradangan kronis dan kerusakan
jaringan terjadi terus menerus, kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh
respon inflamasi, namun faktor awal yaitu biofilm tidak dihilangkan. Kerusakan
serat kolagen dalam ligamen periodontal terjadi terus menerus, resorpsi
tulang berlangsung, adanya migrasi epitel junctional ke apikal untuk
pertahanan, dan membuat lebih sulit untuk sebagai hasilnya kedalaman poket
bertambah. Hal ini membuat penghapusan bakteri dan biofilm melalui teknik
14
kebersihan mulut menjadi lebih sulit, sehingga keadan menjadi lebih parah
(Ohlrich dkk, 2009; Preshaw dan Taylor, 2012).
3. Poket Periodontal
a. Definisi Poket Periodontal
Poket periodontal adalah bertambah dalamnya sulkus gingiva
secara patologis yang merupakan salah satu gambaran klinis yang paling
penting pada penyakit periodontal. Periodontitis dibedakan berdasarkan
etiologi, riwayat perjalanan, perkembangan dan respon terhadap terapi
(Carranza dan Camargo, 2012).
b. Klasifikasi Poket Periodontal
Poket periodontal dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Carranza
dan Camargo, 2012):
1) Poket gingival terjadi karena pembesaran gingiva tanpa didasari
kerusakan jaringan periodontal. Sulkus menjadi lebih dalam karena
peningkatan sebagian besar gingiva.
Gambar 2.1. Poket periodontal Sumber : Chonic Periodontitis http ://www.angelfire.com/ok3/terri1/6
15
2) Poket periodontal menyebabkan kerusakan jaringan periodontal
dan kegoyangan gigi bahkan kehilangan gigi.
Terdapat dua jenis poket periodontal, sebagai berikut (Carranza dan
Camargo, 2012):
1) Suprabony, (supracrestal atau supraalveolar), dimana bagian
bawah poket adalah koronal tulang alveolar.
2) Intrabony (infrabony, subcrestal, intraalveolar), dimana bagian
bawah poket adalah bagian apikal yang berdekatan dengan tulang
alveolar. Pada tipe ini, dinding lateral poket terletak di antara
permukaan gigi dan tulang alveolar. Poket dapat melibatkan satu,
dua, atau lebih permukaan gigi dan dapat memiliki kedalaman dan
jenis yang berbeda pada permukaan gigi yang sama dan mendekati
permukaan interdental yang sama. Poket juga dapat spiral (yaitu,
berasal pada satu permukaan gigi dan sekeliling gigi yang
melibatkan satu atau lebih permukaan). Poket paling sering terjadi
di bagian furkasi.
Gambar 2.2 Berbagai jenis poket periodontal. A, poket gingiva. Tidak ada
kerusakan jaringan periodontal pendukung. B, Poket Suprabony. Dasar poket adalah koronal ke tingkat tulang di bawahnya. Pengeroposan tulang horisontal. C, Poket intrabony. Dasar poket adalah apikal dengan tingkat tulang yang berdekatan. Pengeroposan tulang vertikal (Carranza dan Camargo, 2012).
16
c. Gambaran Klinis
Tanda-tanda klinis yang menunjukkan adanya poket periodontal
meliputi adanya warna merah kebiruan, penebalan pada marginal gingiva,
zona vertikal dari margin gingiva pada mukosa alveolar, perdarahan
gingiva dan supurasi, mobilitas gigi; Pembentukan diastema dan gejala
seperti nyeri lokal atau nyeri "dalam tulang". Satu-satunya metode yang
dapat digunakan untuk mencari poket periodontal dan menentukan sejauh
mana kedalamannya adalah dengan menyelidiki disepanjang margin
gingiva pada masing-masing permukaan gigi. Terkadang sulit untuk
membedakan antara sulkus normal yang dalam dan poket periodontal
yang dangkal jika hanya berdasarkan kedalamannya saja. Pada kasus
tersebut, yang dapat membedakan kedua kondisi tersebut adalah
perubahan patologis pada gingiva (Carranza dan Camargo, 2012).
Gambar 2.3. Probing dari poket periodontal yang dalam. Seluruh panjang probe periodontal telah dimasukkan ke dasar saku di permukaan palatal premolar pertama (Carranza dan Camargo, 2012).
d. Patogenesis Poket Periodontal
Lesi awal pada perkembangan periodontitis adalah adanya respon
inflamasi gingiva terhadap serangan bakteri. Perubahan yang terjadi
17
dalam transisi dari sulkus gingiva normal menjadi poket periodontal
adalah berkaitan perbedaan jumlah sel-sel bakteri dalam plak gigi.
Gingiva sehat berhubungan dengan beberapa mikroorganisme, sebagian
besar sel coccoid dan batang lurus. Gingiva yang tidak sehat
berhubungan dengan meningkatnya jumlah spirochetes dan batang motil.
Namun, mikroorganisme ini tidak dapat digunakan sebagai indikator
hilangannya perlekatan dan kehilangan tulang karena adanya
mikroorganisme tersebut tidak cukup untuk memulai atau berkembangnya
penyakit (Carranza dan Camargo, 2012).
Pada konsep terdahulu dinyatakan bahwa setelah adanya
serangan bakteri maka kerusakan jaringan periodontal terus berlanjut.
Sekarang ini, dibuktikan bahwa respon inflamasi “host” terhadap serangan
bakteri menyebabkan terjadinya kerusakan kolagen dan tulang secara
terus menerus. Mekanisme ini berhubungan dengan berbagai sitokin,
sebagian diproduksi secara normal oleh sel-sel pada jaringan yang tidak
mengalami inflamasi dan oleh sel yang terlibat dalam proses inflamasi
seperti leukosit polimorfonuklear (PMN), monosit, dan sel-sel lain yang
menyebabkan kerusakan tulang dan kolagen (Carranza dan Camargo,
2012).
Terdapat dua mekanisme yang berhubungan dengan kehilangan
kolagen yaitu (Carranza dan Camargo, 2012):
1) Kolagenase dan enzim lainnya yang dikeluarkan oleh berbagai sel
sehat dan jaringan yang mengalami peradangan, seperti fibroblast,
PMN, dan makrofag, menjadi ekstraseluler dan menghancurkan
18
kolagen (enzim yang mendegradasi kolagen dan makromolekul matriks
lainnya menjadi peptida kecil disebut matriks metalloproteinase)
2) Fibroblast memfagositosis serat kolagen dengan memperluas proses
sitoplasma ke ligamen-sementum dan menurunkan pemasukan fibril
kolagen dan fibril dari matriks sementum. Sebagai akibat dari
hilangnya kolagen sel-sel epikal epitel junctional berproliferasi
sepanjang akar, yang menyerupai jari dengan ketebalan dua atau tiga
sel. Sebagai hasil dari peradangan, PMN menjadi meningkat dan
mengurangi ujung koronal epitel junctional. PMN tidak bergabung satu
sama lain atau ke sel epitel oleh desmosom. Ketika volume PMN
mencapai sekitar 60% atau lebih dari epitel junctional, jaringan
kehilangan kohesifitas dan melepaskan diri dari permukaan gigi.
Dengan demikian bagian koronal epitel junctional terlepas dari akar
dan bermigrasi, sehingga terjadi pergeseran sulkus epitel mulut ke
apikal secara bertahap dan meningkatkan lapisan kedalaman sulkus
(menjadi poket).
Pemanjangan epitel junctional sepanjang akar memperlihatkan
adanya sel epitel yang sehat. Degenerasi ditandai adanya nekrosis epitel
junctional yang merusak tetapi tidak mempercepat pembentukan poket.
(Ini terjadi pada necrotizing ulseratif gingivitis yang mengakibatkan ulser
dan tidak menyebabkan pembentukan poket) (Carranza dan Camargo,
2012).
Perubahan degeneratif yang terlihat pada epitel junctional di dasar
poket periodontal tidak begitu parah dibandingkan epitel dinding lateral
19
pada poket. Migrasi epitel junctional membutuhkan sel-sel yang sehat
sehingga dapat diasumsikan bahwa perubahan degeneratif dapat terlihat
setelah epitel junctional mencapai sementum (Carranza dan Camargo,
2012).
Perubahan sulkus gingiva menjadi poket periodontal membuat
pelepasan plak menjadi tidak mungkin. Alasan pengurangan poket
didasarkan pada kebutuhan untuk menghilangkan daerah akumulasi plak
(Carranza dan Camargo, 2012).
Tabel 2.1. Hubungan Gambaran Klinis Dan Histopatologi Poket
Periodontal
No Gambaran Klinis Gambaran Histopatologis
1. Dinding gingiva pada pocket
memperlihatkan berbagai
tingkat perubahan warna
merah kebiruan, normal,
permukaan halus, permukaan
mengkilap dan jaringan tidak
kembali sewaktu ditekan.
Perubahan warna ini disebabkan
karena terhambatnya peredaran
darah, hal ini merupakan
keadaan normal, kerusakan serat
gingiva dan jaringan sekitarnya
menyebabkan permukaan
menjadi halus, mengkilap,
dengan atrofi epitel dan edema,
dan jaringan tidak kembali
setelah ditekan dan
berdegenerasi.
2. Dinding gingiva berwarna
merah muda dan berbatas
tegas, namun tidak sering
tejadi.
Dalam kasus tersebut, perubahan
fibrotik lebih dominan menjadi
eksudat dan degenerasi,
terutama yang berhubungan
dengan permukaan luar dari
dinding poket. Namun, meskipun
20
tampakan klinis sehat, dinding
bagian dalam poket biasa
memperlihatkan beberapa ulser
dan adanya degenerasi.
3. Perdarahan ini dapat terjadi
saat dilakukan probing di
dinding jaringan lunak dari
pocket.
Peningkatan vaskularisasi
mempermudah terjadinya
perdarahan, terjadi degenerasi
dan penipisan epitel, dan
pembuluh darah yang berdekatan
membesar ke permukaan dalam.
4. Ketika dilakukan pemeriksaan
dengan probe, bagian dalam
poket umumnya terasa sakit.
Nyeri pada rangsangan sentuhan
disebabkan karena adanya
ulserasi pada bagian dalam
dinding poket.
5. Dalam banyak kasus, pus
biasanya ditemukan dengan
menggunakan tekanan digital.
Pus yang terjadi dalam poket
disebabkan adanya peradangan
supuratif dari dinding bagian
dalam
e. Histologi Poket Periodontal
1) Dinding Jaringan Lunak
Jaringan ikat adalah edema dan diinfiltrasi dengan sel plasma
(sekitar 80%) secara padat, limfosit, dan PMN yang berhamburan.
Terjadinya peningkatan, pelebaran, dan pembesaran, terutama dilapisan
jaringan ikat subepitelial. Jaringan ikat memiliki berbagai tingkat
degenerasi. Terdapat satu atau beberapa jaringan nekrotik. Selain
eksudatif dan perubahan degeneratif, menunjukkan adanya proliferasi sel-
21
sel endotel pada jaringan ikat, terbentuknya pembuluh kapiler baru,
fibroblas, dan serat kolagen (Carranza dan Camargo, 2012).
Epitel junctional di dasar poket biasanya lebih pendek daripada
sulkus normal. Meskipun terdapat beberapa variasi yang ditemukan pada
sel epitel yang lebih panjang dan lebar, biasanya panjang corona apikal
epitel juncional berkurang dari 50 hingga 100 μm. Sel-sel dapat terbentuk
dengan baik atau mungkin menunjukkan sedikit tanda degenerasi
(Carranza dan Camargo, 2012).
Perubahan degeneratif yang paling parah terjadi di sepanjang
dinding lateral poket periodontal. Epitel dinding lateral poket
memperlihatkan proliferasi dan perubahan degeneratif. Benih epitel atau
rangkaian sel epitel dihasilkan dari dinding lateral yang berdekatan
dengan jaringan ikat yang mengalami peradangan dan membuat epitel
junctional apikal menjadi lebih jauh. Proyeksi epitel, serta sisa epitel
lateral, yang padat berinfiltrasi sebagai leukosit dan edema dari jaringan
ikat yang meradang. Sel-sel mengalami degenerasi vacuolar dan pecah
membentuk vesikel. Kecepatan degenerasi dan nekrosis pada epitel
menyebabkan ulserasi pada dinding lateral, terlihatnya jaringan ikat yang
mengalami peradangan, dan supurasi. Dalam beberapa kasus,
peradangan akut menjadi dasar terjadinya perubahan kronis (Carranza
dan Camargo, 2012).
Sebuah studi perbandingan mengenai perubahan gingiva pada
periodontitis agresif dan kronis menunjukkan bahwa perubahan
degenerasi epitel lebih jelas terlihat dalam kasus periodontitis agresif
22
dengan ruang antarsel yang lebih terbuka, dengan daerah nekrosis dan
microclefts (Carranza dan Camargo, 2012).
Tingkat keparahan perubahan degeneratif tidak selamanya
berhubungan dengan kedalaman poket. Ulserasi dinding lateral dapat
terjadi pada poket yang dangkal, dan kedalaman poket kadang-kadang
diamati berdsarkan epitel lateral yang relatif utuh atau menunjukkan
sedikit degenerasi. Epitel di puncak gingiva dari poket periodontal adalah
umumnya utuh dan menebal, dengan dasar pasak yang menonjol
(Carranza dan Camargo, 2012).
2) Invasi Bakteri
Invasi bakteri pada daerah apikal dan dinding lateral poket telah
dijelaskan dalam proses periodontitis kronis. Mikroorganisme berbentuk
filamen, batang, dan coccoid dengan dinding sel gram negatif lebih sering
ditemukan di ruang interseluler sel epitel. Hillmann et al melaporkan
adanya Porphyromonas gingivalis dan Prevotella intermedia dalam
gingiva pada kasus periodontitis agresif. Actinobacillus
actinomycetemcomitans juga telah ditemukan di dalam jaringan (Carranza
dan Camargo, 2012).
Bakteri dapat menginvasi ruang interseluler dibawah sel epitel yang
terkelupas, dan juga ditemukan antara sel epitel yang lebih dalam dan
terakumulasi pada dasar lamina. Beberapa bakteri melewati dasar lamina
dan menyerang jaringan ikat subepitel. Adanya bakteri dalam jaringan
gingiva telah diduga sebagai invasi bakteri atau sebagai "passive
translocation"dari bakteri plak. Hal ini merupakan poin penting karena
23
memiliki implikasi patologi klinis dan belum pernah diklarifikasi (Carranza
dan Camargo, 2012).
Gambar 2.4 Scanning elektron mikrograf bagian dinding poket periodontitis berlanjut
dalam spesimen manusia menunjukkan penetrasi bakteri ke dalam epitel dan jaringan ikat. Scanning elektron mikroskop tampilan dari permukaan dinding poket (A), Epitel yang dibelah (B), dan Jaringan ikat yang dipotong (C). Panah melengkung menunjuk ke daerah penetrasi bakteri ke dalam epitel. Panah putih tebal menunjukkan penetrasi bakteri ke dalam jaringan ikat melalui perubahan pada lamina basal. CF, serat jaringan ikat; D, akumulasi bakteri (batang, coccus, filamen) pada lamina basal; F, organisme filamen pada permukaan epitel. Poin tanda bintang untuk coccobacillus dalam jaringan ikat. (Carranza dan Camargo, 2012)
3) Mekanisme Kerusakan Jaringan
Respon inflamasi disebabkan oleh bakteri plak dimana hal tersebut
menyebabkan kaskade kompleks yang bertujuan untuk menghancurkan
atau menghilangkan bakteri, sel nekrotik, dan agen perusak. Namun,
proses ini tidak spesifik sebagai upaya pemulihan kesehatan, sel host,
seperti neutrophiles, makrofag, fibroblas, sel-sel epitel lainnya, yang
menghasilkan proteinase, sitokin, dan prostaglandin yang bisa merusak
atau menghancurkan jaringan di sekitarnya (Carranza dan Camargo,
2012).
4) Poket Periodontal Sebagai Penyembuhan Lesi
24
Poket periodontal adalah lesi inflamasi kronis dan terus-menerus
mengalami perbaikan. Penyembuhan total tidak dapat terjadi karena
masih adanya serangan bakteri yang merangsang respon inflamasi,
menyebabkan degenerasi pada jaringan baru yang terbentuk terus-
menerus dalam upaya perbaikan (Carranza dan Camargo, 2012).
Kondisi dinding jaringan lunak dari poket periodontal merupakan
hasil dari interaksi pembentukan dan kerusakan jaringan. Keseimbangan
ditentukan dari tampakan klinis seperti warna, konsistensi, dan
permukaan tekstur dari dinding poket. Jika cairan inflamasi dan eksudat
selular mendominasi, dinding poket akan berwarna merah kebiruan,
lembut, kenyal, dan rapuh, dengan permukaan halus yang mengkilap,
biasanya disebut edema dinding poket. Jika sel-sel jaringan ikat dan serat
mendominasi, dinding poket menjadi lebih tegas dan berwarna merah
muda, tampakan klinis ini disebut juga sebagai dinding poket fibrotic
(Carranza dan Camargo, 2012).
Edema dan poket fibrotik biasanya tidk menunjukkan proses
patologis yang terjadi di seluruh dinding poket. Edema dan poket fibrotik
tergantung pada perubahan pembentukan dan eksudat yang mendominasi
(Carranza dan Camargo, 2012).
Dinding poket fibrotik biasanya tidak mencerminkan apa yang
terjadi di seluruh permukaan dinding poket. Perubahan degeneratif yang
paling parah terjadi pada jaringan periodontal yang berdekatan dengan
permukaan gigi dan plak subgingiva. Dalam beberapa kasus, peradangan
dan ulserasi di bagian dalam dinding poket disebabkan oleh jaringan
25
fibrosa pada bagian luar. Meskipun perubahan inflamasi terjadi didalam
poket perioontal, juga akan menyebabkan bagian luar poket berwarna
merah muda dan fibrotik (Carranza dan Camargo, 2012).
Gambar 2.5 Dinding poket periodontal. Setengah bagian meradang dan ulserasi; setengah luar adalah padat kolagen (Carranza dan Camargo, 2012).
5) Kandungan Poket
Poket periodontal terdiri atas debris yang berupa mikroorganisme
dan produk (enzim, endotoksin, dan produk metabolik lainnya), cairan
gingiva, sisa-sisa makanan, mucin saliva, desquaminasi sel epitel, dan
leukosit. Plak yang tertutup oleh kalkulus biasanya ditemukan pada
permukaan gigi. Jika terdapat eksudat virulen yang terdiri dari leukosit
hidup, menurunan leukosit,dan leukosit yang neksrosis, bakteri yang
hidup dan mati, serum dan sedikit fibrin. Kandungan poket periodontal
yang berisikan organisme dan debris telah terbukti menjadi racun ketika
disuntikkan subkutan ke hewan eksperimental (Carranza dan Camargo,
2012).
Pus merupakan gambaran yang biasa terlihat pada penyakit
periodontal, tetapi itu hanya tanda sekunder. Adanya pus hanya
26
memperlihatkan perubahan inflamasi dalam dinding poket. Ini bukan
merupakan indikasi kedalaman poket atau kerusakan jaringan pendukung
yang parah. Pembentukan pus yang meluas dapat terjadi pada poket
yang dangkal, sedangkan pada poket yang dalam mungkin menunjukkan
sedikit atau tidak ada pus (Carranza dan Camargo, 2012).
f. Cara Mendeteksi Poket
Satu-satunya metode yang akurat untuk mendeteksi dan mengukur
poket periodontal adalah dengan menjelajahi dengan teliti menggunakan
probe periodontal. Poket periodontal tidak apat dideteksi menggunakan
pemeriksaan radiologi. Poket periodontal adalah perubahaan yang terjadi
pada jaringan lunak. Pemeriksaan radiografi digunakan untuk melihat
kehilangan tulang, dimana poket periodontal diduga sebagai salah satu
penyebabnya, tetapi pemeriksaan radiografi tidak memperlihatkan gambaran
dan kedalaman poket dan tidak menunjukan perbedaan sebelum dan setelah
penghilangan poket periodontal kecuali ada perubahan yang terjadi pada
tulang (Takei dan Caranzza, 2012)
Gutta percha atau kalibrasi silver point dapat digunakan pada
pemeriksaan radiografi untuk menentukan tingakat perlekatan dari poket
periodontal. Hal tersebut dapat digunakan secara efektif pada poket
periodontal individu atau dalam penelitian klinis, tetapi penggunaan yang
terlalu sering pada rongga mulut sulit untuk diatur. Pemeriksaan klinis dan
penggunaan probe lebih efisien dan jelas (Takei dan Caranzza, 2012).
27
g. Probing Pocket
Pada pemeriksaan poket periodontal harus meliputi tampilan dan
distribusi pada permukaan setiap gigi, kedalaman poket, tingkat perlekatan
akar dan tipe poket (suprabony dan infrabony) (Takei dan Carranza, 2012).
Ada dua kedalaman poket yang berbeda: (1) biologis atau histologist
mendalam dan (2) kedalaman klinis atau probing. Kedalaman biologis adalah
jarak antara margin gingiva dan dasar poket (ujung koronal epitel junctional).
Hal ini dapat diukur hanya pada persiapan yang cermat dan secara memadai
pada bagian histology. Kedalaman probing adalah jarak yang ditembus probe
ke dalam poket (Takei dan Carranza, 2012).
Penetrasi probe dapat bervariasi, bergantung pada bentuk dan ukuran
ujung probe, arah penetrasi, ketahanan jaringan, konveksitas mahkota, dan
tingkat peradangan jaringan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk
menentukan kedalaman penetrasi probe dalam sulkus atau poket. Armitage
dan rekan-rekannya, menggunakan anjing pemburu untuk mengetahui
penetrasi probe menggunakan kekuatan yang standar yaitu 25 gram. Mereka
melaporkan bahwa pada gingival sehat probe menembus epitel sekitar dua
pertiga dari panjangnya; pada kasus gingivitis, probe berhenti 0,1 mm pada
akhir apikal yang pendek dan pada periodontitis, ujung probe secara
konsisten melewati sel-sel epitel junction yang paling apikal (Takei dan
Carranza, 2012).
Pada poket periodontal manusia, ujung probe menembus ke koronal
dari perlekatan jaringan ikat. Kedalaman penetrasi probe di apical jaringan
ikat pada epitel junctional di dalam poket periodontal adalah sekitar 0,3 mm.
28
Hal ini penting untuk diketahui dalam mengevaluasi perbedaan kedalaman
probing sebelum dan setelah pengobatan, seperti pengurangan penetrasi
probing yang mungkin diakibatkan oleh berkurangnya respon inflamasi pada
perlekatan. Kekuatan probing telah diteliti oleh beberapa peneliti gaya 0,75 N
dan ditemukan dapat ditahan dengan baik dan akurat. Kesalahan
pemeriksaan (perbedaan kedalaman antara pemeriksa) dilaporkan sebanyak
2,1 mm, dengan rata-rata 1,5 mm, di wilayah yang sama (Takei dan Carranza,
2012).
h. Teknik Probing
Probe harus dimasukkan sejajar dengan sumbu vertikal gigi dan
“berjalan” mengelilingi setiap permukaan gigi untuk mendeteksi daerah
penetrasi terdalam. Selain itu, penting untuk memeriksa adanya lubang pada
daerah interdental dan keterlibatan furkasi. Untuk mendeteksi adanya lubang
pada daerah interdental, probe harus ditempatkan miring pada permukaan
fasial dan lingual sehingga dapat diketahui titik terdalam dari poket yang
berada dibawah titik kontak. Pada gigi yang memiliki akar jamak, adanya
keterlibatan furkasi harus diperiksa dengan teliti. Penggunaan probe yang
dirancang khusus (misalnya probe nabers) memungkinkan pemeriksaan lebih
mudah dan lebih akurat pada komponen horistal dari lesi furkasi. (Takei dan
Caranzza, 2012)
i. Perbedaan Tingkat Perlekatan Dan Kedalaman Poket
Kedalaman poket adalah jarak antara dasar poket dengan margin
gingiva. Kedalaman poket ini dapat berubah dari waktu ke waktu jika tidak
29
dilakukan perawatan pada penyakit periodontal sehingga menyebabkan
perubahan posisi pada margin gingiva. (Takei dan Caranzza, 2012)
Tingkat perlekatan adalah jarak antara dasar poket dan titik tetap pada
mahkota seperti cementoenamel junction (CEJ). Perubahan pada tingkat
perlekatan merupakan hasil dari pertambahan dan kehilangan perlekatan dan
menjadi indikasi kerusakan periodontal (Takei dan Caranzza, 2012).
j. Penentuan Tingkat Perlekatan
Ketika margin gingiva berada pada mahkota anatomis, tingkat
perlekatan ditentukan dengan cara mengurangkan kedalaman poket dengan
jarak dari gingiva ke cementoenamel junction (CEJ). Jika hasilnya sama,
kehilangan perlekatan adalah nol (Takei dan Caranzza, 2012).
Ketika margin gingiva berada tepat dengan cementoenamel junction
(CEJ), hilangnya perlekatan sama dengan kedalaman poket. Ketika margin
gingiva berada di bagian apikal dari cementoenamel junction (CEJ), hilangnya
perlekatan lebih besar dibanding kedalaman poket. Oleh karena itu jarak
antara CEJ dan margin gingiva harus digabungkan untuk mendapatkan
kedalaman poket (Takei dan Caranzza, 2012).
k. Perdarahan Pada Probing
Memasukkaan probe kebawah poket dapat menimbulkan perdarahan
jika gingiva mengalami peradang dan epitel poket atrofi atau ulserasi. Bagian
yang tidak mengalami peradangan jarang terjadi perdarahan. Dalam banyak
kasus, perdarahan saat probing merupakan tanda awal peradangan daripada
perubahan warna. Namun, perubahan warna juga mungkin ada meskipun
tanpa perdarahan saat probing. Tergantung pada tingkat keparahan inflamasi,
30
perdarahan bisa bervariasi seperti adanya garis merah tipis sepanjang sulkus
gingiva hingga perdarahan yang banyak. Jika perawatan periodontal berhasil,
perdarahan saat probing akan berhenti (Takei dan Caranzza, 2012).
Untuk mengetahui perdarahan setelah probing, probe dimasukkan
secara hati-hati ke bagian bawah poket dan bergerak perlahan secara lateral
disepanjang dinding poket. Kadang-kadang perdarahan muncul segera
setelah pengangkatan probe, kadang-kadang tertunda selama beberapa
detik. Oleh karena itu dokter harus memeriksa kembali perdarahan tersebut
hingga 30-60 menit setelah probing (Takei dan Caranzza, 2012).
Sebagai satu-satunya tes, perdarahan saat probing tidak dapat
dijadikan prediksi yang jelas mengenai kehilangan perlekatan yang
progresif,namun tidak adanya perdarahan adalah prediksi yang baik untuk
kestabilan periodontal. Ketika perdarahan terjadi dibanyak tempat yang
merupakan kelanjutan dari penyakit, maka perdarahan pada probing
merupakan indikator yag baik untuk memprediksikan kehilangan perlekatan
(Takei dan Caranzza, 2012).
4. Perawatan Dasar Poket Periodontal
a. Skelling
Skelling adalah prosedur awal pembuangan plak, kalkulus,
akumulasi materi dan stain dari mahkota gigi dan permukaan gigi. Alat
yang digunakan dalam skelling disebut dengan scaller. Secara umum
instrument-instrumen yang digunakan dalam skelling , meliputi scaller,
kuret, file, dan alat scaller sonic dan ultrasonic (Fedi dkk.,1995)
31
Instrumen yang digunakan untuk membuang deposit supragingiva
yaitu scaller meliputi chisel, hoe, sicle. Chisel digunakan untuk mengungkit
jembatan kalkulus pada gigi-gigi anterior bawah. Hoe digunakan untuk
mengungkit deposit kalkulus supramarginal. Sicle digunakan untuk
memecahkan kalkulus terutama di daerah interproksimal. File juga
digunakan untuk merontokkan dan menghilangkan deposit kalkulus yang
tebal (Fedi dkk.,2012)
b. Kuretase
Kuretase (scraping/pengerukan/pengkuretan) : Membuang dinding
poket yang mengalami granulasi/fibroblastikangioblastik dan inflamasi.
Kuretase bertujuan untuk mempercepat penyembuhan karena enzim dan
fagositosis yang bertugas mengambil jaringan nekrose yang tertinggal
selama terjadi proses penyembuhan (Bakar,2012).
Indikasi kuretase (Bakar,2012):
1) Eliminasi pocket suprabony yang lokasi inflamasinya masih dapat
dilihat.
2) Untuk tujuan perlekatan kembali = reattachment poket infrabony tapi
masih mudah untuk dijangkau dan dapat dilihat.
3) Menghilangkan inflamasi atau mengurangi inflamasi, pada pasien yang
merupakan kontraindikasi flap atau bedah yang lain, misalnya umur,
penyakit sistemik, psikologis, dan lain-lain.
4) Untuk maintenance phase yaitu kunjungan sesudah perawatan.
32
Tujuan kuretase antara lain adalah membersihkan jaringan
granulasi dan jaringan inflamasi, mengurangi kedalaman poket,
mengambil papilla interdental yang rusak.
Tata laksana kuretase (Bakar, 2012):
1) Indikasi (pengukuran bleeding or probing, kedalaman poket
periodontal, dan pemeriksaan radiograf untuk menilai kerusakan tulang
alveolar).
2) Skeling and root planing
3) Masukkan kuret sejajar aksisi gigi sampai dasar poket, sisi tajam pada
epitel sulkuler. Dinding di luar gingiva ditahan dengan ibu jari.
4) Lakukan pengerokan (kuret) beberapa kali
5) Irigasi dengan bahan irigasi (NaCl, clorhexidin, dll)
6) Tekan daerah operasi 3-5 menit agar jaringan nekrotik keluar dari
sulkus gingival.
7) Kontrol 1 minggu
B. Mikroba Penyebab Penyakit Periodontal
Plak gigi adalah suatu biofilm mikroba. Biofilm memiliki karateristik
yang dapat mempengaruhi penanganan klinis pada penyakit periodontal.
Contohnya, perubahan pola gen serta komposisi dan densitas dari matriks
ekstraseluler dapat mengurangi kerentanan mikroba terhadap agen
antimikroba (Marsh, 2005; Gilbert dkk, 2002; Stewart dan Costerton, 2001).
Bakteri yang berkembang dalam biofilm gigi mengalami peningkatan toleransi
terhadap agen antimikroba, termasuk yang digunakan dalam pasta gigi dan
obat kumur (Wilson, 1996; Pratten dan Wilson, 1999). Selain itu, pengamatan
33
dengan menggunakan mikroskop confocal pada biofilm memperlihatkan
bahwa chlorhexidine hanya mempengaruhi sel di lapisan terluar biofilm plak
yang berusia 24 dan 48 jam, menunjukkan bahwa agen tersebut kurang
efektif pada permukaan biofilm atau kurangnya penetrasi (Zaura-Arite dkk,
2001). Biofilm bakteri oral juga lebih toleran terhadap antibiotik (misalnya,
amoksisilin, doxycycline, minocycline, dan metronidazole) dibandingkan
dengan sel planktonik. Selain itu, biofilm Porphyromonas gingivalis terbukti
memiliki toleransi 160 kali lipat terhadap minimum inhibitory concentration
(MIC) metronidazole untuk sel planktonik (Socransky dan Haffajee , 2002;
Noiri dkk, 2003; Wright dkk, 1997).
Ada lebih dari 700 spesies bakteri aerob dan anaerob yang telah
diidentifikasi di dalam rongga mulut manusia (Aas dkk, 2005; Paster dkk,
2006). Mikroba tumbuh sebagai koloni kompleks, campuran, dan
interdependen di dalam biofilm dan dapat mencapai ketebalan yang cukup
besar, yaitu sekitar 1 mm dalam waktu 96 jam jika dibiarkan saja (Listgarten,
1976; Cobb dan Killoy, 1990). Seperti halnya semua biofilm mikroba, biofilm
oral merupakan suatu kolonisasi yang diawali oleh spesies aerob gram-positif
Streptococci (spp), secara berturut-turut diikuti dengan Actinomyces spp,
Corynebacterium spp, Vellonella spp, dan pada biofilm yang lebih mature,
berbagai jenis mikroba anaerob gram-negatif seperti Treponema spp.,
Fusobacterium spp., Porphyromonas spp., Prevotella spp., dan Tannerella
spp (Cobb dan Killoy, 1990; Socransky dkk, 1998; Sbordone dan Bortolaia,
2003).
34
C. Peranan dari Respon Imun Host
Bakteri merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan
penyakit periodontal destruktif. Awal dan perkembangan penyakit memerlukan
host yang rentan (Cobb, 2008). Aksi dari mikroba menimbulkan respon
peradangan dan imun pada host. Sifat dan besar respon turut mempengaruhi
keparahan dan perkembangan penyakit periodontal (Page dan Kornman,
1997). Secara lokal, bakteri dan produk akhir metabolit mereka merangsang
respon imun seluler di dalam gingiva secara lokal, ditunjukkan dengan adanya
infiltrasi sel neutrofil, makrofag, limfoid dalam jumlah besar. Sel tersebut dan
sel jaringan ikat host didalam lesi inflammatory distimulasi untuk bersintesis
dan melepaskan sitokin proinflammatory, prostanoid, dan enzim proteolitik,
misalnya interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-8, tumor necrosis factor alpha (TNF-α),
prostaglandin E2 (PGE2), matriks metalloprotease (Offenbacher, 1996).
Respon peradangan-imun host ini yang menyebabkan tanda klinis dari
gingivitis dan periodontitis kronis serta gambaran khas mereka yaitu
degradasi jaringan ikat fibrous, resorpsi tulang alveolar pendukung gigi, dan
pembentukan poket periodontal (Cobb, 2008).
Berbeda dengan epidermis kulit, lapisan epithel dinding jaringan lunak
pada poket periodontal tidak memiliki stratum corneum dan stratum
granulosum. Sehingga epithelium poket mudah mengalami ulserasi dan
dirusak oleh bakteri patogenik subgingiva (Hujoel dkk, 2001). Oleh karena itu,
endotoksin dan antigen mikroba lainnya dapat masuk ke jaringan ikat dan
vaskularisasi gingiva menyebabkan terjadinyan bakteremia dan endotoksin.
Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa sitokin proinflamatory dan
35
prostanoid yang dihasilkan secara lokal dapat masuk kedalam sistem sirkulasi
dan kemudian menyebabkan munculnya markers dari liver pada reaksi
peradangan sistemik, seperti C-reactive protein, fibrinogen, amyloid-A serum,
dan haptoglobulin (Ebersole dkk, 1997; Noack dkk, 2001; Amar dkk, 2003;
Slade dkk, 2003; Leivadaros dkk, 2005).
D. MMP pada Inflamasi Periodontal
Gen MMP diekspresikan ketika diperlukan dalam remodeling fisiologis
matriks ekstraselular atau dalam kerusakan jaringan patologis. Namun,
ekspresi induktif MMPs dapat dinaikkan atau diturunkan oleh sitokin oleh pro-
dan anti-inflamasi, protein matriks ekstraseluler, faktor virulensi bakteri dan
enzim, sel stres, perubahan bentuk sel, kontak dan komunikasi selular, dan
dengan ester phorbol. Selanjutnya, ekspresi MMP dapat diturunkan atau
ditekan oleh substrat dari MMP itu sendiri secara utuh dan/atau
dibelah/diproses dengan berbagai hasilnya. Sebagai contoh, kolagen tipe I
dapat bertindak sebagai ligan untuk domain discoidin yang mengandung
reseptor yang mirip dengan kinase tirosin, dimana dapat menaikkan ekspresi
MMP-1 ketika diaktifkan oleh kolagen tipe I dan menjadi tidak aktif jika ligan
kolagen tipe I terdegradasi oleh kolagenase (Sorsa dkk, 2006).
36
Gambar 2.6. Ilustrasi skematik proses interaksi bakteri host pada penyakit periodontal (Carranza dkk, 2006)
Penelitian telah mengungkapkan bahwa ikatan substrat MMP,
pengolahan dan pembelahan permukaan luar domain katalitik dan sisi aktif
MMPs; yang dapat membelah substrat MMP non-kolagen/non-matriks
termasuk sitokin pro dan anti-inflamasi dan kemokin. Exocites dapat
memperluas substrat dan profil jaringan MMPs. Pengolahan dan pembelahan
exocites menghasilkan ukuran kecil molekul atau peptida, yang efeknya dari
lebih berpotensi dibanding molekul asli. Dalam hal ini, IL-8 diekspresikan
dalam periodontitis yang diakibatkan oleh sel epitel cairan sulkus yang dapat
melepaskan MMP-8 dan -9 oleh neutrofil dan juga merupakan target potensial
dari pengeluaran MMPs. Dengan demikian, proteolisis dari beberapa substrat
37
matriks non-matriks seperti sitokin, kemokin, reseptor, molekul adhesi,
komponen komplemen dan serpin saat ini mendapat perhatian sebagai peran
tradisional dari MMP-8 dan -9 dalam degradasi matriks ekstraseluler dan
lapisan luar membran selama patogenesis baik pada inflamasi dan penyakit
ganas. Oleh karena itu, tingkat dan keterlibatan MMPs tidak bisa lagi
dianggap penting semata-mata karena jaringan yang merusak aktivitas, tetapi
juga harus dianggap penting bagi peroteksi proses imun anti-inflamasi
pelindung (Sorsa dkk, 2006).
1. MMPs cairan sulkus gingiva (GCF) pada penyakit periodontal
GCF telah ditemukan mengandung banyak serum protein, mediator
inflamasi, produk degradasi sel jaringan host, metabolit mikroba dan enzim.
Terutama proteinase seperti MMPs, yang serupa pada neutrofil elastase dan
cathepsin G, yang berperan sentral dalam pengaturan kesehatan dan
penyakit jaringan periodontal. Enzim-enzim dalam GCF atau peri-implan
cairan sulkus (PISF) dianggap berhubungan dengan kesehatan dan penyakit
jaringan periodontal dan gigi. Pengumpulan dan analisis sampel GCF dan
PISF dapat memberikan alat non-invasif yang berguna untuk menilai dan
memantau status patofisiologi dari periodonsium gigi dan jaringan peri-implan
dalam lokasi spesifik. Dengan demikian, harapan besar diletakkan pada
enzim GCF dan PISF dalam mencari indikator molekul atau biomarker untuk
memandu dokter terhadap deteksi chair-side dan point-of-care dan
pemantauan kesehatan dan penyakit periodontal dan peri-implan gigi (Sorsa
dkk, 2004; Sorsa dkk, 2006).
38
Predominan MMPs tampak pada jaringan gingival yang mengalami
inflamasi, cairan sulkus gingiva (GCF), air liur/air kumur serupa dengan cairan
sulkus peri-implan gigi (PISF) adalah derivat PMN yang diturunkan termasuk
MMP-8 dan -9 dan epitel atau sel tulang-derivat MMP-13, dinyatakan lebih
baik dibanding dengan ekspresi MMP-1 dan MMP-2. Tingkat dan derajat
aktivasi PMN yang diturunkan MMP-8 dan -9 dan sel epitel atau tulang-
derivat MMP-13 telah terbukti meningkat dengan meningkatnya aktivitas dan
keparahan penyakit periodontal dan menurunnya perawatan jaringan
periodontal (scaling dan root planing). Gangguan antara rasio MMP dan TIMP
telah terlibat dalam ethiopathogenesis dari periodontitis. (Sorsa dkk, 1994;
Preshaw dkk, 2004).
2. MMP-8 dan Penyakit Periodontal
Kolagenase-2 (MMP-8), disebut juga kolagenase neutrofil, yang
sebelumnya diekspresikan oleh leukosit polimorfonuklear (PMN). MMP-8
disintesis selama pematangan PMN dalam sumsum tulang, tetapi kemudian
menjadi glikosilat dan awalnya disimpan dalam granul subselular tertentu, dari
area dimana degranulasi selektif ini dikeluarkan sebagai respon terhadap
stimulus pemicu. Neutrofil (PMN)- tipe MMP-8 lebih banyak mengandung
glikosilat dibanding MMPs lainnya termasuk fibroblast- tipe MMP-8; gugus
karbohidrat PMN - tipe MMP-8 ini diyakini bertindak sebagai sinyal target yang
mengarahkan lokasi subselular ke dalam granul interselular tertentu dari
PMNs dan menjelaskan sensitivitas PMN tipe MMP-8 untuk aktivasi dan
inaktivasi oleh oksigen reaktif. MMP-8 dapat juga diproduksi (diekspresikan
secara de novo) oleh kondrosit artikular, dan selama inflamasi pada berbagai
39
penyakit seperti bronchitis, asma, periodontitis, dan arthritis akibat residen
sinovial dan fibroblast gingiva, sel epitel/keratinosit, odontoblasts, sel kanker
pada mulut, monosit/makrofag dan plasma sel (Kiili dkk, 2002; Sorsa dkk,
2006).
Beberapa penelitian menegaskan bahwa jumlah dan aktivitas MMP-8
bertambah dalam GCF poket penyakit periodontal pada pasien penderita
periodontitis kronis. Meningkatnya jumlah dan aktivtias MMP-8 berkorelasi
dengan keparahan penyakit periodontal. Perawatan periodontal seperti
skeling dan root planing dinyatakan dapat mengurangi kadar MMP-8 dan
aktivitasnya secara bermakna. Poket periodontal atau daerah-daerah yang
memberikan respon buruk terhadap perawatan ditemukan memiliki kadar
MMP-8 yang tinggi. Kadar MMP-8, secara signifikan, lebih tinggi dalam GCF
yang mengandung Prevotella intermedia, Tannerella forsythia, dan
Treponema denticola. Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa
dalam daerah-daerah yang sehat atau diberi perawatan periodontal, kadar
MMP-8 sangat bervariasi (Chen dkk, 2000; Mantyla dkk, 2003).
LPS bekerja sebagai endotoksin prototipikal, yang merupakan
komponen utama dari membran luar bakteri gram negatif dan memulai
rangkaian reaksi yang menghasilkan destruksi jaringan periodontal. LPS
berasal dari biofilm plak pada permukaan akar gigi yang kemudian
menstimulasi polymorphonuclear leukocytes (PMNs) pada suatu sisi. Monosit
dan makrofag merespon dengan mengeluarkan berbagai sitokin
proinflammatory, meliputi interleukin (IL)-1β dan tumor necrosis factor (TNF)-
alpha, di mana langsung menuju proses destruksi. Cathepsin dan osteoclast-
40
derived mediator of bone resorption lainnya bekerja bersama dengan
sekelompok besar endopeptidase yang dilepaskan oleh fibroblas dan PMNs
pada tahap ini adalah MMPs. Bagian spesifik dari famili MMP menjadi target
dari intervensi terapeutik. Bagian MMP ini dapat memeriksa fungsi fisiologis
secara detail, karena bagian ini memiliki peranan yang kompleks terhadap
periodontitis (Giannobole, 2008).
E. Propolis
Propolis adalah salah satu produk alam yang dihasilkan oleh lebah.
Propolis yang disebut juga lem lebah adalah bahan yang dihimpun oleh lebah
pekerja dari sari bunga, tunas, daun dari berbagai tipe pohon dan tanaman,
yang digunakan sebagai penutup retakan dan lubang yang terdapat dalam
setiap sarang lebah serta bermanfaat sebagai pelindung sarang lebah
(Aagard, 1974; Kaal, 1991 cit. Horax, 1999; Hill, 1981). Bahan yang sejenis
balsem tersebut dicampur oleh lebah dengan derivat pollen dan berbagai tipe
enzim aktif. Enzim tersebut disekresi dari kelenjar yang terletak di kepala dan
dada lebah (Kaal, 1991; Chen, 1993).
Gambar 2.7. Propolis mentah dari lebah trigona sp
41
Sari tumbuhan menghasilkan propolis dengan warna yang berbeda,
sehingga warna propolis bervariasi mulai dari coklat muda, coklat tua, kuning
kemerahan, hijau tua sampai coklat kehitaman tergantung dari sumber
tumbuhan. Baunya spesifik, segar, disebabkan kandungan resin dan minyak
eterisnya (Ghisalberti, 1979; Root, 1983; Dadant, 1984). Secara fisik propolis
adalah bahan yang liat dan mengkilat, dalam keadaan dingin (dibawah 15oC )
bersifat getas (brittle), dan menjadi lunak, sangat liat dan mudah melekat
dalam keadaan hangat (36oC). Sedangkan bila suhu dinaikkan menjadi 60o-
70oC maka propolis akan meleleh menjadi cairan yang lengket dan beewax
akan terekstraksi dari propolis tersebut. Berat jenis propolis berkisar antara
1,112-1,136 (Chen, 1993). Secara kimia tidak larut dalam air, larut sebagian
dalam alkohol, larut dalam aseton, petroleum eter, dan kloroform (Aagard,
1974 cit. Horax, 1999; Root, 1983).
1. Karakteristik.
Karakteristik utama propolis dapat disebutkan sebagai berikut
(Kaal, 1991; Scheller dkk, 1988; Ghisalberti, 1979):
a) Kemampuan untuk membunuh atau menghentikan pertumbuhan
sejumlah tipe bakteri. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa
propolis lebih efektif bila diaplikasikan pada tubuh dari pada
percobaan laboratorium (lebih efektif secara in vivo dibanding in vitro).
Fenomena ini kemungkinan karena propolis menstimulasi fungsi
sejumlah organ dan selanjutnya menginduksi tubuh membangkitkan
resistensi terhadap agen kausatif penyakit. Efek tersebut
42
kemungkinan diakibatkan oleh asam benzoik, asam ferulat, galangin
dan pinocembrin,
b) Mempunyai sifat antimikotik. Substansi yang bertanggung jawab pada
efek tersebut yaitu: asam kafeik, benzylcumarate P, pinocembrin dan
pinobanksin.
c) Mempunyai sifat anestetik. Sifat anestetik tersebut lebih kuat dari
kokain. Efek tersebut dihasilkan dari minyak esensial.
d) Propolis efektif terhadap infeksi virus. Propolis dalam larutan 5%
alkohol menunjukkan kemampuan menghambat proliferasi virus
influensa ketika diberikan secara intra nasal atau sebagai aerosol
pada anjing 2 jam sebelum diinfeksi virus.
e) Propolis menstimulasi pembentukan sel dan jaringan. Karasteriktik ini
penting dalam mempercepat penyembuhan luka dan mengurangi
pembentukan jaringan parut.
f) Menstimulasi sistem imun dan meningkatkan resistensi terhadap
penyakit infeksi dalam tubuh. Studi yang dilakukan oleh Scheller dkk
(1988), mengemukakan bahwa pemberian 500 µg/mencit
meningkatkan produksi sel antibodi (plaque-forming) dalam limfa
mencit. Lebih lanjut disebutkan bahwa aktivitas imonologis dari
propolis mungkin berkaitan dengan aktivasi makrofag yang
meningkatkan kapasitas fagositnya. Aktivasi makrofag adalah penting
pada sifat imunogenitas dari propolis yang selanjutnya mempengaruhi
faktor-faktor regulasi fungsi sel B dan sel T (Kurkland dkk, 1977 cit.
Scheller dkk, 1988).
43
2. Komposisi Propolis
Propolis mempunyai komposisi yang kompleks, hal ini sangat
berkaitan dengan jenis tumbuhan sumber propolis tersebut (Chen, 1993).
Secara kimia komposisi propolis adalah sebagai berikut:
1) Resin dan balsem 50% - 53%,
2) Polifenol 1,2% - 17%,
3) Pollen 2% - 3% yang terdiri dari: air 12% - 20%, protein 20%, asam
amino 13%, karbohidrat 25% - 48%, asam lemak jenuh 12%-12,5%,
karbohidrat 11%-17%, air 2,5%,
4) Bee wax 19% - 35% terdiri dari ester 70% - 75%, asam lemak jenuh
12% - 12,5%, karbohidrat 11% - 17%, air 2,5%,
5) Asam ferulat,
6) Disamping itu terdapat mineral yang mengandung K, P, Na, Ca, Si, Al,
Fe, Mg (Grange 1990 cit. Horax, 1999). Komposisi yang hampir sama
dikemukakan oleh Dadant (1984) dan Kaal (1991) yaitu terdiri dari
resin dan balsem ± 50%, vegetable waxes ±30%, minyak esensial
±10%, pollen ±5%, senyawa organik dan mineral ± 5%.
3. Aktivitas Farmakologis.
Penelitian terhadap propolis dibidang kesehatan telah banyak
dilakukan, baik secara in vivo, maupun in vitro. Ethanolic extract of
propolis (EEP) menunjukkan sejumlah aktivitas farmakologis yaitu:
antibakteri, antifungi, anti-inflamasi, anestetik, hipotensif, immuno-
stimulatori, mendorong regenerasi jaringan dan sifat sitostatik (Bankova
dkk, 1983; Ghisalberti, 1979; Bankova dkk, 1989; Marcucci, 1995 cit. Park
44
dkk, 1997; Chen, 1993). Ekstrak propolis (larutan alkohol 30%) dapat
digunakan untuk mengobati ulkus, berdasarkan hasil yang diperoleh pada
percobaan yang dilakukan terhadap binatang. Efek propolis terhadap
pertumbuhan sel-sel tumor juga dilaporkan (Kaal, 1991).
Komponen penting lain dari propolis adalah asam ferulat. Asam
ferulat dikenal mempunyai efek antimikroba yang kuat, baik terhadap
bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Komponen asam ferulat
juga dilaporkan efektif terhadap penyakit kolagen (Kaal, 1991; Root,
1983).
Menurut Takaisi-Kikuni dan Schilcher (1994), propolis menghambat
pertumbuhan bakteri dengan mencegah pembelahan sel, selanjutnya
menghasilkan pembentukan pseudo-multiseluler. Sebagai tambahan,
propolis mengacaukan sitoplasma, membran sitoplasma, dan dinding sel,
menyebabkan bakteriolisis partial, dan menghambat sintesis protein.
Semua EEP dari berbagai daerah di Brazil menghambat aktivitas
glukosiltransferase dan pertumbuhan S.mutans (pembentukan karies gigi
disebabkan oleh kolonisasi dan akumulasi mikroorganisme oral dan
polisakarida ekstraselular yang disintesa dari sukrosa glukosiltransferase
S.mutans) (Park dkk, 1998)
4. Dosis pemakaian.
Propolis yang diekstrak dalam ether maupun alkohol menunjukkan
LD50 0,7 mg/gr BB setelah 19 jam. Sebagai perbandingan, prokain
dengan dosis dan periode yang sama menyebabkan kematian 60%
hewan coba. Propolis dalam larutan ether tidak toksik terhadap mencit
45
dengan dosis 0,35 mg/g BB (Ghisalberti, 1979). Menurut Donadieu (1980
cit. Kaal, 1991) propolis diberikan dalam dosis tinggi (10 - 15 gr/kg BB)
pada sejumlah uji coba terhadap binatang percobaan termasuk anjing,
tikus dan marmot. Ternyata setelah beberapa bulan pemberian, tidak
ditemukan efek toksik dan dosis tinggi tidak menyebabkan kelainan
patologis. Dalam penelitian Burdock (1998) yang menguji toksisitas
propolis, menemukan bahwa dosis sampai 1400 mg/kg BB/hari propolis
relatif non-toksik. Sedang Lin dkk (1997), yang meneliti efek terapeutik
propolis ekstrak ethanol terhadap lever yang diinduksi alkohol,
menggunakan dosis 10 mg/kg BB/hari yang diberikan per oral.
46
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Teori
Mikroba
Faktor Risiko Dapatan dan Lingkungan
Faktor Risiko Genetik
Respon Imun Host
Metabolisme Jaringan Ikat dan Tulang
Tanda Klinis Penyakit Periodontal
LPS Antigens Antibodi PMNs
Prostanoids MMPs Sitokin
Intervensi obat
47
B. Kerangka Konsep
Variabel bebas
Variabel antara
Variabel tergantung
Variabel terkendali
Variabel tidak terkendali
- Faktor Genetik
- Resiko Dapatan
dan Lingkungan
- Usia
- Keadaan umum
Poket Periodontal
MMP-8
Propolis
48
Hipotesis
1. Kedalaman probing pada pasien poket periodontal yang diberi terapi
tambahan gel Propolis Trigona sp lebih rendah dari kelompok control
2. Kadar MMP-8 dalam GCF pasien poket periodontal yang diberi terapi
tambahan gel Propolis Trigona sp lebih rendah dari kelompok kontrol.
49
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain penelitian
Penelitian ini terdiri 3 tahap:
1. Tahap pertama: proses ekstraksi komponen propolis trigona sp. yang
berasal dari Sulawesi Selatan. Ekstrak propolis tersebut selanjutnya
diracik dalam bentuk gel yang akan digunakan pada penderita poket
periodontal (uji in vivo). Penelitian ini merupakan jenis penelitian
laboratorium murni.
2. Tahap kedua: merupakan penelitian eksperimental murni, untuk
mengetahui daya hambat gel propolis terhadap bakteri
Periodontopatogen.
3. Tahap ketiga: tahap ini adalah uji klinis (clinical trials), merupakan
penelitian eksperimental terencana yang dilakukan pada manusia.
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah uji klinis
acak terkontrol (randomized controlled trial) dengan rancangan pre and
post test with control group.
50
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
1. Waktu Penelitian :
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April – November 2014
2. Lokasi Penelitian
Proses ekstrakasi dilakukan di PKP Unhas, sedang pembuatan gel
propolis dilakukan di laboratorium Bioteknologi Farmasi Unhas dan uji
daya hambat bakteri dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Farmasi
Unhas. Perawatan poket periodontal dengan pemberian terapi
tambahan gel propolis di RSGMP-FKG UNHAS, sedangkan
pemeriksaan kadar MMP-8 dilakukan menggunakan uji ELISA pada
Laboratorium Prodia Makassar
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi Penelitian adalah semua pasien yang datang berobat di
bagian Periodonsia RSGMP FKG UNHAS selama periode penelitian
2. Sampel Penelitian
Sampel dipilih dengan consecutive sampling, yaitu semua subyek yang
datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian
sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi.
KrIteria inklusi:
1. Kasus poket periodontal dengan kadalaman probing 3 mm – 5 mm.
Usia 18 – 50 tahun.
2. Keadaan umum baik (bebas dari penyakit sistemik)
51
3. Tidak pernah menjalani terapi anti-mikroba dan anti-inflamasi sistemik
dan lokal dalam 6 bulan terakhir.
4. Tidak ada kelainan periapikal
5. Tidak ada restorasi servikal yang luas
6. Setuju berpartisipasi dalam proses penelitian hingga selesai.
Kriteria eksklusi:
1. Wanita hamil
2. Sedang menjalani perawatan ortodontik.
3. Menggunakan gigi tiruan lepasan dan gigi tiruan mahkota
4. Memiliki riwayat hipersensitif terhadap propolis.
5. Tidak mampu menyelesaikan kunjungan follow up
D. Identifikasi variable
1. Variabel bebas
- Gel propolis
2. Variabel antara
- Konsentrasi MMP- 8
3. Variabel terpengaruh
- Kedalaman poket (Probing depth)
E. Definisi operasional variabel
1. Gel propolis adalah propolis lebah trigona sp yang diekstraksi dalam
etanol 70% yang diformulasi dalam bentuk gel dengan konsentasi 10%
m/v.
2. Kadar MMP-8: merupakan konsentrasi MMP- 8 yang terkandung dalam
GCF dan diukur dengan pemeriksaan ELISA.
52
3. Probing Depth (Kedalaman Poket)
Nilai yang diperoleh dari pengukuran probe dari margin gingival ke
dasar sulkus atau poket
4. GCF (Gingival crevicular fluid/ cairan krevikuler gingival) adalah cairan
yang keluar dari jaringan ikat gingiva ke dalam sulkus gingival.
F. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan Penelitian
a) Gel propolis
Propolis yang digunakan adalah propolis dari jenis lebah Trigona
sp., yang berasal dari Sulawesi Selatan. Kemudian diformulasi
dalam bentuk gel.
b) Spesimen GCF yang diambil dari sulkus gingival
c) ELISA kit untuk mengukur kadar MMP- 8 dari sampel GCF.
2. Alat Penelitian
a) Alat ultrasonic scaler tipe piezo elektrik
b) Paper strip untuk mengambil cairan GCF dalam sulkus gingiva.
c) Diagnostik set.
d) Probe sonde
e) Sikat gigi standar
G. Prosedur Penelitian
Secara keseluruhan prosedur kerja dalam penelitian ini terdiri dari :
ekstraksi propolis, pembuatan gel propolis, uji daya hambat gel propolis
terhadap bakteri (uji in vitro), dan uji efektifitas gel propolis pada poket
periodontal (uji in vivo).
53
1. Ekstraksi Propolis
Metode ekstraksi yang digunakan ialah teknik maserasi. Maserasi
merupakan penyarian yang sederhana. Adapun tahap ekstraksi ialah :
a) Propolis yang sebelumnya didinginkan dalam refrigerator,
dimasukkan ke dalam oven selama tiga hari dengan suhu 400C.
b) Propolis yang telah dimasukkan ke dalam oven kemudian
ditambahkan cairan ethanol 70% sebanyak 2 L.
c) Untuk mempercepat pelarutan, propolis dihancurkan dengan
pengaduk.
d) Diamkan propolis dalam cairan ethanol selama 48 jam. Selama
didiamkan, aduk setiap hari.
e) Propolis yang telah didiamkan kemudian disaring dengan
penyaringan dan hasil hasil saringan dibiarkan selama waktu
tertentu untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan tetapi
tidak ikut terlarut dalam ethanol.
f) Sisa penyaringan kemudian dicampurkan kembali ke dalam larutan
ethanol 70%, kemudian lakukan tahapan 3-5. Ulangi hingga tiga
kali penyaringan.
2. Pembuatan Gel propolis
Tahapan pembuatan gel propolis sebagai berikut :
Pembuatan basis gel :
a) Hydroxyethyl cellulose (HEC) didispersikan dalam air suling dan
ditambahkan zat tambahan trietanolamin, propilenglikol, dan
54
nipagin sambil diaduk dalam lumpang hingga membentuk massa
gel.
b) Gel ditempatkan dalam wadah kaca terlindung dari cahaya.
c) Untuk sediaan gel 10% ekstrak propolis sebanyak 10 gram
ditambahkan ke dalam basis gel HEC yang telah dilarutkan
sebelumnya sambil diaduk di lumpang membentuk massa gel
10%.
d) Gel propolis disimpan dalam wadah kaca terlindung dari cahaya.
3. Uji aktivitas antimikroba
a) Penyiapan Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah cawan petri, Gelas Erlenmeyer
(Pyrex), Gelas ukur (Pyrex), Tabung reaksi, Botol pengencer 30 ml,
lampu spiritus, mikropipet, pencadang silinder, incubator (Memmert),
Oven (Ecocell), Otoklaf (All American), Laminar air flow, jangka
sorong (Tricle Brand), kompor listrik, lemari pendingin, timbangan
analitik (Chyo JL 200).
Bahan-bahan yang digunakan adalah air suling, larutan NaCl
fisiologis, aluminium foil, kapas, biakan mikroba Streptococcus
mutans, medium MHA (Muller Hinton Agar), Medium NA (Nutrient
Agar), Larutan Pembanding.
Komposisi medium:
- Nutrient Agar (NA): pepton 3 gram, ekstrak daging 5 gram, agar
20 gram, air suling ad 1000 ml
55
- Muller Hinton Agar (MHA): ekstrak daging 2 gram, hidrolisa kasein
17,5 gram, pati 1,5 gram, agar 17,5 gram
b) Pembuatan Medium Kultur
Medium NA (Nutrient Agar)
Medium NA dibuat dengan menimbang medium Nutrient Broth
(NB) 8 g dan serbuk agar 20 g lalu dilarutkan dengan air suling
hingga 1000 ml pada labu erlenmeyer dan dipanaskan hingga
larut kemudian disterilkan di otoklaf dengan suhu 121o C tekanan
2 atm selama 15 menit. Kemudian dicek pH 7,0 ± 0,2.
Medium Muller Hinton Agar (MHA)
Medium MHA dibuat dengan menimbang 38 g serbuk medium
MHA lalu didispersikan dengan air suling hingga 1000 ml pada
labu erlenmeyer dan dipanaskan hingga larut kemudian disterilkan
di autoklaf dengan suhu 121oC tekanan 2 atm selama 15 menit,
kemudian dicek pH 7,3 ± 0,1
Peremajaan Biakan Murni Bakteri Uji
Bakteri uji S.mutans dibiakkan dalam medium NA miring
selanjutnya diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam, lalu
disuspensikan dengan NaCl fisiologis
c) Penentuan Daya Hambat dengan Metode Difusi Agar
Aktivitas antimikroba diuji menggunakan metode difusi agar
dengan menggunakan medium MHA. Suspensi bakteri uji
sebanyak 20 µl dipindahkan ke dalam botol steril lalu
ditambahkan 20 ml medium MHA dan dicampur homogen.
56
Campuran medium dan suspensi bakteri kemudian dituang ke
dalam cawan petri steril dan dibiarkan memadat. Dengan
menggunakan pencadang silinder dibuat sumur-sumur pada
media. Masing-masing bahan uji (ekstrak propolis atau gel
propolis) sebanyak 10 µl dimasukkan ke dalam sumur-sumur.
Cawan kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Lalu
diukur zona hambatan dengan menggunakan jangka sorong.
Uji daya hambat Streptococcus mutans
- Siapkan labu erlenmeyer berisi MHA dan isolat murni bakteri
Streptococcus mutans
- Siapkan 3 cawan petri, kemudian tuangkan MHA pada gelas
kimia. Kemudian ambil bakteri S.mutans dengan mikropipet
lalu campurkan MHA pada gelas kimia.
- Setelah itu, tuangkan pada cawan petri masing-masing
kurang lebih 25 ml. Tunggu hingga setengah memadat.
- Buat 2 lubang pada masing-masing cawan dengan
menggunakan pencadang
- Kemudian isi masing-masing lubang pada tiap cawan dengan
gel propolis dan metronidazole gel sebagai kontrol.
- Tutup cawan petri dan bungkus dengan kertas.
- Inkubasi dalam inkubator dengan suhu 37oC selama 1x24
jam.
H. Prosedur Penelitian pada pasien
1. Penetapan sampel berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
57
2. Responden diberitahu tentang maksud dan tujuan dari penelitian,
dilanjutkan dengan wawancara untuk mengetahui usia dan hal-hal yang
berkaitan dengan kriteria sampel. Semua responden diminta
menandatangani informed consent.
3. Enam puluh subjek dipilih dan ditempatkan secara acak pada masing-
masing kelompok yang terdiri dari tiga puluh subjek, yang menerima
gel propolis dan kontrol negatif
4. Kadar MMP-8 pada (1) sebelum tindakan perawatan (baseline), (2)
satu minggu setelah tindakan perawatan,
5. Tindakan SRP dan kuretase dilakukan pada masing-masing kelompok
setelah pengambilan GCF dan pengukuran PD.
6. Kedalaman probing (PD) dinilai pada (1) sebelum tindakan perawatan
(baseline), (2) empat minggu setelah tindakan perawatan.
7. Cara pengukuran kadar MMP-8: Paper strip dibuat terstandar dengan
lebar 3 mm. Gigi sampel dikeringkan dengan semprotan udara dan
daerah pengambilan GCF diisolasi, plak supragingiva dibersihkan.
Paper strip dimasukkan ke dalam orifisium sulkus/poket sampai dicapai
daerah yang basah sepanjang 15 mm. Paper strip yang terkontaminasi
dengan saliva dan darah dibuang. Kemudian, strip dimasukkan ke
dalam tabung effendorf 50 l salin buffer-fosfat 0,9%. Setiap sampel
disimpan pada suhu -200 C sampai proses pengukuran kadar MMP-8
dilakukan
58
8. Pada pemeriksaan akhir PD serta kadar MMP-8 dicatat seperti yang
dilakukan sebelumnya. Data kemudian diproses dengan analisis
statistik.
I. Analisa Data
Untuk mengetahui efek aplikasi gel propolis Trigona sp sebagai terapi
tambahan pada poket periodontal dilakukan analisis paired test pada
masing-masing kelompok dan untuk menganalisis besarnya perubahan
pada masing kelompok dilakukan uji Mann Whitney U.
Untuk menganalisis hubungan perubahan kadar MMP-8 dengan
perubahan kedalaman poket dilakukan uji korelasi (uji korelasi Pearson).
59
J. Alur Penelitian
PASIEN POKET PERIODONTAL
Kelompok I (perlakuan) Kelompok II (kontrol) (Pemberian gel propolis) (Pemberian gel placebo)
H-7 H-7 Pengkuran: Pengukuran: Kadar MMP-8 Kadar MMP-8 H-30 H-30
Pengukuran: Pengukuran: PD PD
Pengolahan data dan analisa statistik
Hasil
Gel Propolis
Ekstraksi Propolis
Uji Daya Hambat
H-0 (baseline)
Pengukuran: PD dan kadar MMP-8 SRP + kuretase
60
BAB V
HASIL PENELITIAN
Uji klinis pada pasien poket periodontal di laksanakan di RSGMP-FKG
Unhas di Kampus Lama Baraya. Tahapan uji klinis ini untuk menguji efek gel
propolis trigona sp pada pasien penderita poket periodontal yang memenuhi
syarat. Prosedur penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik dari komisi
etik Fakultas Kedokteran Unhas.
Dari total 33 orang pasien yang memenuhi syarat dan bersedia
berpartisipasi pada penelitian ini, hanya 20 orang yang sampai tahap akhir
penelitian dan pengamatan secara penuh sampai minggu ke-4. Sedangkan
13 orang dinyatakan drop out oleh karena berbagai alasan, antara lain tidak
koperatif dan tidak berhasil diamati selama 4 minggu.
Pasien yang memenuhi syarat inklusi terlebih dahulu dicatat
kedalaman poketnya, dilanjutkan dengan pengambilan sampel GCF pada
saku gusi gigi yang mengalami poket periodontal. Setelah itu dilakukan
tahapan terapi standar pada area yang mengalami poket periodontal yaitu
perawatan skeling dan rootplaning (SRP) dilanjutkan dengan terapi kuretase.
Selanjutnya dilakukan random sampel untuk menentukan kelompok
perlakuan yang akan diberi terapi tambahan berupa gel propolis dan pada
kelompok kontrol diaplikasi dengan gel plasebo. Aplikasi gel propolis
dilakukan dengan menggunakan spuit 3 ml yang telah dimodifikasi, yaitu
dengan mengganti jarumnya dengan kanula yang berujung tumpul.
61
Pemberian gel propolis dilakukan setelah terapi kuretase dan satu
minggu pasca kuretase. Demikian juga dengan pemberian gel placebo pada
kelompok kontrol. Pengambilan sampel GCF untuk mengukur kadar MMP-8
dilakukan sebelum SRP dan satu minggu pasca kuretase.
Seperti yang telah disebutkan, Indikator yang diamati pada uji in vivo ini
adalah kedalaman probing (PD) sebagai indikator klinis dan kadar MMP-8
sebagai indikator biologis. Adapun hasil pengamatan pada penelitian ini dapat
dilihat pada grafik dan tabel dibawah.
A. Efek Aplikasi Gel propolis Trigona sp Terhadap Kadar MMP-8 GCF
sebagai Terapi Tambahan pada Perawatan Poket Periodontal
Untuk mengetahui efek aplikasi gel propolis Trigona sp terhadap kadar
MMP-8 GCF sebagai terapi tambahan pada perawatan poket periodontal
dilakukan analisis paired test pada masing-masing kelompok dan analisis
besarnya perubahan pada masing kelompok dengan Mann Whitney U test.
Hasilnya dapat dilihat pada tabel .
Gambar 5.1. Pengambilan sampel GCF pada saku gusi.
Gambar 5.2. Pemberian propolis gel pada saku gusi.
62
Tabel 5.1. Perubahan kadar MMP-8 GCF sesudah perlakuan pada kedua
kelompok
Kelompok
Kadar MMP-8 (µl)
p* Sebelum Hari - 7 Perubahan
Perlakuan
(n=10) 156,52±84,67 129,66±69,88 26,86±60,44a 0,203
Kontrol (n=10) 96,98±46,53 226,47±88,09 129,49±84,90b 0,007
*Wilcoxon test Superscrpt yang berbeda pada kolom perubahan menunjukkan
hasil Mann Whitney U test p<0,05.
Tabel 5.1 menunjukan bahwa terjadi perubahan kadar MMP-8 pada
kelompok kontrol; meningkat sebesar 129,49 µl, dari 96,98±46,53 menjadi
226,47±84,90. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan p<0,05; sementara pada
kelompok perlakuan menurun sebesar 26,86 µl, dari 156,52±84,67 menjadi
129,66±60,44 tetapi tidak bermakna secara statatistik (p>0,05). Hasil analisis
Mann Whitney U test antara perubahan MMP-8 antara kelompok perlakuan
dan kontrol menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,05). Hal ini menunjukkan
bahwa efek aplikasi gel propolis Trigona sp terhadap kadar MMP-8 GCF
sebagai terapi tambahan pada perawatan poket periodontal dapat menekan
kenaikan kadar MMP-8 pada minggu pertama.
63
Gambar 5.3. Grafik Box plot kadar MMP-8 sebelum dan sesudah perlakuan setelah
satu minggu terapi pada kedua kelompok
Dari gambar 5.3 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kadar MMP-8
setelah perlakuan 7 hari pada kelompok perlakuan; sedangkan pada
kelompok kontrol, terjadi kenaikan kadar MMP-8.
B. Efek Aplikasi Gel propolis Trigona sp terhadap Kedalaman poket
sebagai Terapi Tambahan Pada Perawatan Poket Periodontal
Untuk mengetahui efek aplikasi gel propolis Trigona sp sebagai terapi
tambahan pada poket periodontal dilakukan analisis paired test pada masing-
masing kelompok dan analisis besarnya perubahan pada masing kelompok
dengan Mann Whitney U test. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.2.
64
Tabel 5.2. Perubahan kedalaman Poket sesudah perlakuan pada kedua
kelompok
Kelompok
Kedalaman Poket (mm)
p* Sebelum Hari - 30 Perubahan
Perlakuan
(n=10) 3,65±0,41 2,10±0,39 1,55±0,44b <0,001
Kontrol
(n=10) 3,90±0,52 2,95±0,44 0,95±0,64a <0,001
*paired t test; Superscrpt yang berbeda pada kolom perubahan menunjukkan hasil
Mann Whitney U test p<0,05.
Tabel 5.2 menunjukan bahwa terjadi perubahan kedalaman poket, baik pada
kelompok perlakuan maupun kontrol. Hasil uji paired t-test menunjukkan
penurunan kedalaman poket yang bermakna (p<0,05) sebesar 1,55 mm pada
kelompok perlakuan dan 0,95 mm pada kelompok kontrol. Hasil analisis
dengan Mann Whitney U test menunjukkan perbedaan yang bermakna. Efek
aplikasi gel propolis Trigona sp meningkatkan penurunan kedalaman poket
pada perawatan poket periodontal.
65
Gambar 5.4. Grafik Box plot kedalaman poket sebelum dan sesudah perlakuan pada
kedua kelompok
Dari gambar 5.4 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kedalaman
poket setelah perlakuan 30 hari baik pada keompok perlakuan maupun
kontrol; akan tetapi pada kelompok perlakuan penurunan kedalaman poket
lebih besar daripada penurunan kedalaman poket pada kelompok kontrol.
C. Hubungan perubahan kadar MMP-8 dengan perubahan kedalaman
poket
Untuk mengetahui hubungan perubahan kadar MMP-8 dengan
perubahan kedalaman poket dilakukan uji korelasi antara persentase
perubahan kadar MMP-8 7 hari setelah terapi dan persentase perubahan
66
kedalaman poket setelah 30-hari terapi. Hasilnya dapat dilihat pada gambar
5.5.
Gambar 5.5. Grafik sebaran antara persen penurunan kadar MMP-8 dengan
perubahan kedalaman poket.
Dari gambar 5.5 dapat dilihat bahwa terdapat hubungan linier antara
persentase penurunan kadar MMP-8 dengan persentase penuruanan
kedalaman poket. Semakin besar persentase penurunan kadar MMP-8,
semakin besar penurunan kedalam poket. Hasil uji korelasi Pearson
menunjukkan koefisien korelasi (r) sebesar 0,565 adan p=0,005. Berarti ada
hubungan bermakna (p<0,05) antara persen penurunan MMP-8 dengan
persen penurunan kedalaman poket.
67
BAB VI
PEMBAHASAN
Propolis merupakan subtansi resin yang dikumpulkan dari lebah
dengan menggunakan pucuk daun dan kulit kayu, khususnya pohon jarum.
Lebah menggunakan propolis bersamaan dengan beeswax untuk
membangun sarangnya. Propolis memiliki aktivitas antibiotik yang dapat
melindungi sarang dari serangan virus, bakteri dan organisme lain. Propolis
telah diteliti secara luas oleh karena berbagai sifat biologisnya, terutama
aktivitas anti mikrobanya.
Penelitian ini terdiri 3 tahap, tahap pertama: proses ekstraksi
komponen propolis trigona sp. yang berasal dari Sulawesi Selatan. Ekstrak
propolis tersebut akan digunakan pada penelitian selanjutnya. Kemudian
ekstrak propolis tersebut diracik dalam bentuk propolis gel yang akan
digunakan pada penderita poket periodontal (in vivo). Tahap kedua:
merupakan penelitian eksperimental murni, untuk mengetahui daya hambat
propolis gel terhadap bakteri Streptococcus mutans. Tahap ketiga: tahap ini
adalah uji klinis (clinical trials), dimana efektifitas propolis gel diuji pada
subyek pasien poket periodontal dengan indikator kedalaman poket (PD) dan
kadar MMP-8. Hasil penelitian yang diperoleh dibahas dalam bab ini.
Kadar Matrix Metalloproteinase-8 dan Efek Uji Klinis
A. Kadar Matrix Metalloproteinase-8 (MMP-8)
Hasil penelitian yang ditampilkan pada grafik 5.1 menunjukkan bahwa
pada kelompok perlakuan satu minggu setelah terapi terjadi penurunan kadar
68
MMP-8, sementara pada kelompok kontrol terjadi peningkatan kadar MMP-8.
Hasil analisis satatistik menunjukkan bahwa penurunan kadar MMP-8 pada
kelompok perlakuan tidak bermakna, smentara pada kelompok kontrol
menunjukkan peningkatan kadar MMP-8 yang bermakna secara statistik. Hal
ini menunjukkan bahwa efek aplikasi propolis gel Trigona sp terhadap kadar
MMP-8 GCF sebagai terapi tambahan pada perawatan poket periodontal
dapat menekan kenaikan kadar MMP-8 pada minggu pertama.
Berbagai penelitian menegaskan bahwa jumlah dan aktivitas MMP-8
bertambah dalam cairan sulkus gingiva (GCF) poket periodontal pada pasien
penderita periodontitis kronis. Meningkatnya jumlah dan aktivtias MMP-8
berkorelasi dengan keparahan penyakit periodontal. Perawatan periodontal
seperti skeling dan root planing dinyatakan dapat mengurangi kadar MMP-8
dan aktivitasnya secara bermakna. Poket periodontal atau daerah-daerah
yang memberikan respon buruk terhadap perawatan ditemukan memiliki
kadar MMP-8 yang tinggi. Kadar MMP-8, secara signifikan, lebih tinggi dalam
GCF yang mengandung Prevotella intermedia, Tannerella forsythia, dan
Treponema denticola. Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa
dalam daerah-daerah yang sehat atau diberi perawatan periodontal, kadar
MMP-8 sangat bervariasi (Passoja dkk, 2008).
Masih tingginya kadar MMP-8 pada kelompok kontrol 1 minggu setelah
terapi dapat juga dikaitkan dengan masih tingginya aktifitas penyakit pada
jaringan periodontal kelompok kontrol. Hal ini sesuai dengan temuan Herr dkk.
(2007), bahwa MMP-8 bukan hanya merupakan indikator keparahan penyakit
tapi juga aktivitas penyakit.
69
Penurunan kadar MMP-8 pada kelompok perlakuan kemungkinan
berkaitan dengan turunnya volume sel-sel PMN daerah poket yang telah
mengalami penyembuhan satu minggu pasca SRP dan kuretase.
Sebagaimana diketahui bahwa sumber utama MMP-8 (neutrofil kolagenase)
dan MMP-9 (gelatinase B) adalah sel-sel PMN (Preshaw dan Taylor, 2012).
Hal sebaliknya terjadi pada kelompok kontrol. Teori lain yang bisa
menjelaskan mengapa pada kelompok kontrol justru terjadi peningkatan kadar
MMP-8 satu minggu pasca tindakan SRP dan kuretase adalah sebagaimana
diuraikan oleh (Cobb, 2008) bahwa meskipun periodontitis kronis telah
berhasil dirawat, pengurangan pada mikroba patogen subgingiva hanya
bersifat sementara. SRP pada permukaan akar yang sakit dapat membuka
tubulus dentinal, sehingga patogen periodontal dapat masuk kedalam tubulus
yang terbuka, sehingga dapat berfungsi sebagai penampung untuk kemudian
menyebabkan infeksi ulang pada poket. Oleh karena itu, perawatan follow-up
yang terdiri dari debridement supra dan subgingiva setiap 3 atau 4 bulan
sekali perlu dilakukan untuk mempertahankan efek menguntungkan yang
telah diperoleh.
Dari penelitian ini juga, seperti terlihat pada grafik gambar 5.5, terdapat
hubungan linier antara persentase persentase penurunan kadar MMP-8
dengan persentase penuruanan kedalaman poket. Semakin besar persentase
penurunan kadar MMP-8, semakin besar penurunan kedalam poket. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Sorsa (2010) yang menyatakan bahwa
Matrix metalloproteinase (MMP-8) atau collagenase-2 adalah salah satu
sentral biomarker pada kerusakan jaringan ikat akibat periodontitis dan
70
memiliki potensi sebagai alat bantu diagnostik. Perawatan periodontitis
dengan skeling dan root planning (SRP) mengurangi kadar MMP-8 dalam
cairan sulkus gingival (GCF), sementara poket periodontal yang berada pada
resiko kerusakan jaringan yang bersifat ireversibel menunjukkan peningkatan
kadar MMP-8 secara berulang-ulang.
Kenaikan kadar MMP-8 juga dapat dikaitkan dengan keberadaan
bakteri pada jaringan periodontal yang mengalami kerusakan. Sebagaimana
dipahami faktor virulensi bakteri dapat menyebabkan degradasi jaringan host
atau pelepasan mediator biologis dari sel jaringan host yang menimbulkan
kerusakan jaringan host. Mediator tersebut dihasilkan sebagai bagian dari
respon host yang mengambil bagian dalam kerusakan jaringan meliputi
proteinase, sitokin dan prostaglandin. Selain itu, berbagai enzim yang
bervariasi dihasilkan oleh mikroorganisme periodontal yang menyebabkan
kerusakan jaringan.
Secara lokal, keberadaan bakteri yang dalam sulkus gingiva dan
kontak langsung antara lipopolisakarida bakteri dengan sel host dapat
memicu monosit, leukosit PMN, makrofag dan sel-sel lain untuk melepaskan
mediator inflamasi seperti IL-1, TNF-α dan prostaglandin E2. IL-1 dan TNF-α
serta enzim MMP-8 yang memiliki peran penting dalam kerusakan jaringan
periodontal dan PGE2 yang nampaknya mengambil sebagian peran dalam
kerusakan tulang yang berhubungan dengan penyakit periodontal (Miyasaki
2004; Preshaw dan Taylor, 2012).
71
B. Indikator Klinis
Indikator klinis yang digunakan pada penelitian ini adalah Kedalaman
poket (PD). PD telah lazim digunakan para peneliti untuk mengevaluasi hasil
perawatan pada poket periodontal. Hasil uji klinis pada penelitian ini
ditunjukkan pada table 5.2. Dari table 5.2 tampak adanya penurunan nilai PD
baik pada kelompok perlakuan, yaitu kelompok yang diberi terapi standar
ditambah propolis gel, maupun pada kelompok kontrol, yaitu kelompok yang
hanya diberi terapi standar yaitu SRP dan kuretase. Hasil uji paired t-test
menunjukkan penurunan kedalaman poket yang bermakna (p<0,05) sebesar
1,55 mm pada kelompok perlakuan dan 0,95 mm pada kelompok kontrol.
Hasil analisis dengan Mann Whitney U test menunjukkan perbedaan yang
bermakna. Sehingga dapat dikatakan bahwa efek aplikasi propolis gel Trigona
sp meningkatkan penurunan kedalaman poket pada perawatan poket
periodontal.
Dalam literatur periodontal banyak penelitian yang membuktikan bahwa
perawatan periodontitis menggunakan SRP menyebabkan pengurangan
kedalaman probing (misalnya pengurangan rata-rata sebesar 1.29 mm untuk
poket berukuran 4 – 6 mm dan rata-rata 2.16 mm untuk poket ≥ 7 mm) dan
jumlah bakteri subgingiva dan mendapatkan kembali perlekatan klinis.
Pengurangan kedalaman poket umumnya lebih besar pada daerah yang
awalnya memiliki kedalaman poket lebih besar. Penurunan PD disebabkan
oleh 2 hal, yaitu pengerutan dinding jaringan lunak poket bermanifestasi
sebagai resesi margin gingival sebagai akibat penurunan peradangan jaringan
lunak dan edema; dan terjadinya perlekatan klinis. Adanya perlekatan ini
72
biasanya menghasilkan pengurangan sekitar setengah dari kedalaman poket
awal. Umumnya, klinisi harus mengevaluasi penyembuhan pada masa 4
hingga 6 minggu setelah SRP. Setelah 6 minggu, sebagian besar
penyembuhan telah terjadi tetapi pemulihan dan maturasi kolagen dapat terus
berlanjut selama 9 bulan kedepan (Cobb,1996; Greenstein, 2000).
Dari grafik gambar 5.4 ditunjukkan bahwa walaupun kedua kelompok
mengalami penurunan kedalaman poket (PD), tapi terdapat perbedaan
penurunan PD antara kelompok perlakuan dan kontrol. Pada penelitian ini
rata-rata pengurangan PD pada kelompok perlakuan adalah 1,55 mm sedang
pada kelompok kontrol hanya 0,95 mm pada hari ke-30 setelah perlakuan.
Perbedaan penurunan kedalaman poket ini dapat dikaitkan dengan efek
pemberian propolis gel pada kelompok perlakuan. Sehingga dapat dinyatakan
bahwa dalam penelitian ini propolis gel trigona sp yang berasal dari Sulawesi
Selatan meningkatkan penurunan kedalaman poket pada perawatan poket
periodontal.
Penurunan kedalaman poket tersebut dapat disebabkan oleh kerja
propolis yang mengeliminasi secara langsung mikroba yang ada dalam poket
periodontal. Sebagaimana kita ketahui bahwa bakteri plak adalah kausa
utama terjadinya penyakit periodontal. Sehingga salah satu faktor kunci dalam
terapi periodontal adalah terlebih dahulu mengeliminasi faktor kausanya, yaitu
bakteri periodontopatogen. Ini sesuai dengan hasil studi dari beberbagai
peneliti yang menyatakan bahwa karakteristik utama propolis adalah
kemampuannya sebagai agen antimikroba (Bansal dkk., 2012; Kaal, 1991;
Scheller dkk, 1988; Ghisalberti, 1979).
73
Untuk mengetahui efek antimikroba propolis gel yang digunakan dalam
penelitian ini, kami telah melakukan uji pendahuluan dengan melaksanakan
tes daya hambat propolis gel terhadap bakteri Streptococcus mutans
(S.mutans). Bakteri S.mutans diketahui merupakan salah satu bakteri
periodontopatogen. Bakteri S. mutans merupakan salah satu bakteri aerob
yang berperan dalam pembentukan penyakit periodontal. Bakteri tersebut
merupakan salah satu bakteri pertama yang membentuk koloni pada
permukaan gigi dan menyebabkan lengket serta menginisiasi bakteri lain
untuk membentuk koloni (Bansal dkk., 2012). Pada penelitian ini diperoleh
bahwa propolis gel trigona sp yang berasal dari Sulawesi Selatan memiliki
daya hambat terhadap bakteri Streptococcus mutans pada masa inkubasi 1 x
24 jam dan 2 x 24 jam. Hal ini sejalan dengan penelitian Sabir (2005) yang
meneliti kemampuan zat flavonoid dari propolis Trigona sp dalam
menghambat Streptococcus mutans serta menunjukkan adanya pengaruh
waktu terhadap luas zona hambat yang terbentuk, meskipun dibutuhkan
konsentrasi zat flavonoid >0,1% untuk periode waktu lebih dari 24 jam.
Pada suatu penelitian yang dilakukan terhadap tikus juga ditemukan
bahwa propolis dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus
mutans. Penelitian tersebut dilakukan dengan mengaplikasikan ekstrak
propolis secara topikal dua kali sehari selama 5 minggu pada permukaan gigi
tikus (Arslan dkk., 2012).
Efektifitas propolis tidak hanya terbatas pada abkteri aerob, tapi juga
pada bakteri anaerob. Pada penelitian secara in vitro oleh Agarwal dkk.,
(2012) ditemukan bahwa propolis yang berasal dari China dengan berbagai
74
kandungan di dalamnya dapat menghambat bakteri Porphyromonas gingivalis
dan Aggregatibacter actinomycetemcomitans yang merupakan bakteri
anaerob penyebab penyakit periodontal. Bakteri pada enelitian ini diinkubasi
pada suhu 370C dalam 48 jam. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa
propolis dapat digunakan sebagai obat alami dalam terapi periodontal.
Penelitian serupa juga dilakukan (Özen dkk., 2010) untuk mengetahui
kemampuan propolis dalam menghambat pertumbuhan sebelas bakteri
anaerob yang menyebabkan penyakit periodontal. Pada penelitian ini propolis
yang digunakan berasal dari Turki dan mengkhusus pada kandungan ethanol
yang terdapat didalamnya. Adapun waktu inkubasi yang digunakan ialah 48
jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ethanol propolis efektif dalam
menghambat bakteri anaerob khususnya bakteri jenis gram-positif.
Pada penelitian Dodwad dan Kukreja (2011) disimpulkan bahwa
ekstrak propolis menunjukkan aktivitas anti plak dan meningkatkan kesehatan
gingiva. Ekstraknya dapat digunakan sebagai pengukuran alternatif untuk
mencegah masalah periodontal dan gingiva. Demikian pula penelitian Takaisi-
Kikuni dan Schilcher (1994), propolis menghambat pertumbuhan bakteri
dengan mencegah pembelahan sel, selanjutnya menghasilkan pembentukan
pseudo-multiseluler. Horax (2000) dalam penelitian yang dilakukan pada
manusia mendapatkan bahwa propolis 8% dapat mengurangi jumlah koloni
kuman setelah diberi perlakuan selama 4 minggu dan dapat menyembuhkan
gingivitis ringan serta dapat mengurangi tingkat keparahan pada gingivitis
sedang dan gingivitis berat
75
Peningkatan penurunan kedalaman poket pada kelompok perlakuan
juga dapat disebabkan oleh karakteristik propolis yang tidak hanya bersifat
antibakteri, tapi juga mempunyai karasteristik yang dapat menstimulasi respon
host jaringan. Menurut Kaal (1991), Scheller dkk (1988) salah satu
karasteristik propolis adalah mempunyai kemampuan menstimulasi
pembentukan sel dan jaringan. Karasteristik ini penting dalam mempercepat
penyembuhan luka. Walaupun dalam studi literatur tidak disebutkan peran
propolis secara langsung terhadap fibroblas, dapat diduga bahwa propolis
berpengaruh secara tidak langsung terhadap fibroblas, yaitu antara lain
melalui perantaraan makrofag. Dari penelitian yang dilakukan oleh Scheller
(1988) disebutkan bahwa propolis mempunyai sifat imunogenitas dengan cara
mengaktifasi makrofag. Kemungkinan makrofag inilah yang selanjutnya
menstimulasi fibroblas untuk memproduksi serabut kolagen. Pendapat
tersebut didukung oleh Tatefuji dkk (1996) yang menyatakan bahwa propolis
mempunyai efek meningkatkan penyebaran dan mobilitas makrofag murine.
Menurut Fawcett (1994) makrofag antara lain memproduksi Interleukin 1
(IL-1), fibroblast growth factor (FGF) dan tumor necroting factor (TNF).
Fibroblast growth factor diketahui mempunyai kemampuan menginduksi
proliferasi fibroblas mencit, sedang IL-1 mempunyai fungsi antara lain
memediasi remodeling, reparasi dan inflamasi jaringan melalui proses
fisiologis dan patologis. Interleukin 1 dan TNF dapat memacu proliferasi
fibroblas. Keduanya bersifat kemotaksis terhadap fibroblas dan selanjutnya
menstimulasi sintesis kolagen (Mitchell dan Cotran, 1997). Propolis juga
diketahui dapat menstimulasi pembentukan sel dan jaringan. Karasteriktik ini
76
penting dalam mempercepat penyembuhan luka, termasuk terjadinya
epitelisasi pada juntional epithelium pada jaringan periodontal. Hal ini juga
sejalan dengan penelitian oleh Asdar (2002), yang dalam penelitiannya
mendapatkan bahwa pemberian propolis dapat memacu kolagenisasi luka
subkutan punggung mencit yang diinduksi bakteri Actinobacillus
actinomytemcomitans.
77
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Gel propolis trigona sp yang berasal dari Sulawesi Selatan dapat
meningkatkan hasil terapi standar pada poket periodontal, yaitu
meningkatkan pengurangan kedalaman poket periodontal.
2. Gel propolis trigona sp yang berasal dari Sulawesi Selatan dapat
menekan kenaikan Kadar MMP-8 pada area poket periodontal.
3. Gel propolis trigona sp yang berasal dari Sulawesi Selatan dapat
dipertimbangkan sebagai terapi tambahan pada penatalaksanaan
poket periodontal.
B. Saran
1. Perlu penelitian lebih lanjut efek klinis dan biologis gel propolis trigona
sp terhadap poket periodontal dengan menambah jumlah sampel dan
durasi pengamatan.
2. Perlu penelitian lebih lanjut efek klinis dan biologis gel propolis
terhadap penyakit periodontal yang lain.
78
DAFTAR PUSTAKA
Aas JA, Paster BJ, Stokes LN, Olsen I, Dewhirst FE. 2005. Defining the
normal bacterial flora of the oral cavity. J Clin Microbiol.;43:5721-5732.
Ababneh KT, Abu Hwaij ZMF dan Khader YS. 2012. Prevalence and risk
indicators of gingivitis and periodontitis in a Multi-Centre study in North
Jordan: a cross sectional study, BMC Oral Health, 12: 1-8
Agarwal G., G.G.Vemanaradhya, D.S. Mehta. (2012), “Evaluation of chemical
composition and efficacy of Chinese propolis extract on
Porphyromonas gingivalis dan Aggregatibacter
actinomycetemcomitans: an in vitro study”, Contemporary Clinical
Dentistry vol.3(3).pp.256-60
Ahuja, V dan A Ahuja. 2011. “Apitherapy- A sweet approach to dental
diseases. part II: propolis”, J. Academy Adv Dental Research vol.2.pp.
1-7
Albandar JM, Rams TE. 2002. Global epidemiology of periodontal diseases:
an overview. Periodontol 2000. 29:7-10.
Amar S, Gokce N, Morgan S, Loukideli M, Van Dyke TE, Vita JA. 2003.
Periodontal disease is associated with brachial artery endothelial
dysfunction and systemic inflammation. Arterioscler Thromb Vasc
Biol.;23:1245-1249.
Arslan, S., S. Sīlīcī, D. Perҫın, A.N. Koҫ, dan Ö. Er. (2012), “Antimicrobial
activity of poplar propolis on mutans streptococci and caries
development in rats”, Turk J Biol vol.36.pp.65-73
Asdar. 2002. Pengaruh propolis terhadap kolagenisasi pada proses
penyembuhan luka subkutan punggung mencit yang diinduksi bakteri
Actinobacillus Actinomycetemcomitans, Dentofas. Vol 1 (1): 11-19.
Bakar, A. (2012), Kedokteran gigi klinis.ed.2, Yogyakarta, Quantum Sinergis
Media. Hal.110-112
Bansal, S., S.Rastogi, dan M.Bajpai. (2012), “Mechanical, chemical and
herbal aspects of periodontitis: a review”, IJPSR vol.3(5).pp. 1260-1
Carranza, F.A., P.M. Camargo. (2012), „The periodontal pocket‟ in Newman
MG, H.H. Takei, F.A. Carranza (ed.), Carranza’s clinical
periodontology. 11th ed, st Louis, Elsevier saunders Inc.pp.127-36
79
Chen, Y., 1993, Apiculture in China, pp: 96-8, Agricultural Publishing House.
Chen, H. Y., Cox, S. W., Eley, B. M., Ma¨ntyla¨, P., Ro¨nka¨, H. & Sorsa, T.
2000. Matrix metalloproteinase-8 levels and elastase activities in
gingival crevicular fluid from chronic adult periodontitis patients. Journal
of Clinical Periodontology 27, 366–369.
Cobb CM. 1996. Non-surgical pocket therapy: Mechanical. Ann
Periodontol.;1:443-490.
Cobb CM. 2008. Microbes, Inflammation, Scaling and Root Planing and the
Periodontal Condition, Journal of Dental Hygiene, 83 (6):4-9
Cobb CM, Killoy WJ. 1990. Microbial colonization in human periodontal
disease: an illustrated tutorial on selected ultrastructural and ecologic
considerations. Scan Microsc.;4:675-691.
Dodwad V dan Kukreja BJ. 2011. Propolish mouthwash: A new beginning.
Jour of Indian Sosc of Periodontol. 15: April-Juni.
Duailibe, SAC., A.G.Gonҫalves, dan F.J.M. Ahid. (2007), “Effect of a propolis
extract on streptococcus mutans counts in vivo”, J appl Oral Sci
Vol.15(5).pp.420-3
Dziedzic, A., R.Kubina, R.D.Wojtyczka, A.K. Dzik, M. Tanasiewicz, dan T.
Morawiec. (2013), “The antibacterial effect of ethanol extract of polish
propolis on mutans streptococci and lactobacili isolated from saliva”,
Hindawi.pp.1-10
Ebersole JL, Machen RL, Steffen MJ, Willmann DE. 1997. Systemic acute-
phase reactants, C-reactive protein and haptoglobin in adult
periodontitis. Clin Exper Immunol.;107:347-352.
Fawcett, D.W., 1994, A Textbook of Histology,12th ed., p:133-168,Chapman &
Hall, New York.
Fedi PF and Vemino AR. Immunologi and Periodontal Desease in The
Periodontic Syllabus, 3rded. Baltimore, A Waverly Co. 1995;37-40.
Fedi, P.F., A.R.Vernino, danJ.L. Gray. (2012),Silabusperiodonti 4thed, Jakarta, EGC
Fischman S.L, 1997. The history of oral hygiene products: how far have we
come in 6000 years?” Periodontology 2000, 15(1):7–14.
80
Fishman S.L. 2000. Summary of Brush Up in Wellness Symposium, Meeting
Summary.J.Periodontal. 71:679-682.
Fokt, H., A. Pereira, A.M.Ferreira, A. Cunha, dan C. Aguiar. (2010), “How do
bees prevent hive infections? The antimicrobial properties of propolis”,
Current Research, Technology and Education Topics in Applied
Microbiology and Microbial Biotechnology. p.485
Giannobile WV. Host-response therapeutics for periodontal deseases. J
Periodontol 2008; 79: 1592-1600.
Gilbert P, Maira-Litran T, McBain AJ, Rickard AH, Whyte FW. 2002. The
physiology and collective recalcitrance of microbial biofilm communities.
Adv Microbial Physiol.;46: 203–255.
Greenstein G. 2000. Nonsurgical periodontal therapy in 2000; a literatur
review. J Am Dent Assoc; 131: 1580-1592
Haffajee A.D., Yaskell T., and Socransky S.S. 2008. Antimicrobial
effectiveness of an herbal mouthrinse compared with an essential oil
and a chlorhexidine mouthrinse, Journal of the American Dental
Association, vol. 139, no. 5, pp. 606–611.
Handa, A., N. Hedge, Mahendra, Mahesh, R. Kumar, dan Soumya. (2012),
“Propolis” and its potential in dentistry: a review”, International Journal
of Health Sciences and Research vol.1. pp. 145-6
Herr AE, Hatch AV, Throckmorton DJ, Tran HM, Brennan JS, Giannobile WV,
Singh AK. 2007. Microfluidic immunoassays as rapid saliva-based
clinical diagnostics. Proceedings of National Academy of Sciences
USA, 104: 5268–5273.
Hill, R., 1981, Propolis the natural antibiotic, 6th ed., Thorsons Publisher Ltd,
Wellingborough.
Horax S. 2000. Efek antimikroba obat kumur propolis terhadap penderita
gingivitis, Disertasi Program Pascasarjana UNHAS, Makassar.
Hujoel PP, White BA, Garcia RI, Listgarten MA. 2001. The dentogingival
epithelial surface area revisited. J Periodont Res.;36:48-55.
Jenkins WM, 2001. Papapanou PN. Epidemiology of periodontal disease in
children and adolescents. Periodontol 2000.;26:16-32.
81
Julovi SM, Yasuda T, Shimizu M, Hiramitsu T, Nakamura T. 2004. Inhibition
of interleukin-1beta-stimulated production of matrix metalloproteinases
by hyaluronan via CD44 in human articular cartilage. Arthritis
Rheum.;50:516–25.
Kaal, J., 1991, Natural Medicine from Honey Bees (Apitherapy), pp: 8-21,
Kaal‟s Printing House, Amsterdam.
Ka¨ha¨ri VM, Saarialho-Kere U. 1999. Matrix metalloproteinases and their
inhibitors in tumour growth and invasion. Ann Med.;31:34–45.
Kalogeropoulos N., Konteles S. J., Troullidou E, Mourtzinos I, and
Karathanos V. T, 2009. Chemical composition, antioxidant activity and
antimicrobial properties of propolis extracts from Greece and Cyprus,”
Food Chemistry. 116 (2): 452–461.
Kashi TSJ, Kermanshahic RK,, Erfand M, Dastjerdie E V, Rezaeia Y and
Tabatabaei F S. 2011. Evaluating the In-vitro Antibacterial Effect of
Iranian Propolis on Oral Microorganisms, Iranian Journal of
Pharmaceutical Research, 10 (2): 363-368
Kiili M, Cox SW, Chen HY, Wahlgren J, Maisi P, Eley BM, et al. 2002.
Collagenase-2 (MMP-8) and collagenase-3 (MMP-13) in adult
periodontitis: molecular forms and levels in gingival crevicular fluid and
immunolocalisation in gingival tissue. J Clin Periodontol.;29:224–32.
Kinane, D. F, 2001. Causation and Pathogenesis of Periodontal Desease,
Periodontol 2000; 25: 8-20.
Kinane D F. & Attstrom R. 2005. Advances in the pathogenesis of
periodontitis. Group B consensus report of the fifth European Workshop
in Periodontology. Journal of Clinical Periodontology 32 (Suppl. 6),
130–131.
Kocak M.M., Ozcan S., Kocak S., Topuz O., and Erten H. 2009. Comparison
of the efficacy of three different mouth rinse solutions in decreasing the
level of Streptococcus mutans in saliva, European Journal of Dentistry,
vol. 3, pp. 57–61.
Ledon,N., Casaco, A., Gonzalez,A., and Tolon, Z. Antipsoriatic, Anti-
Inflammatory, and Analgesic Effects of an Extract of Red Propolis,
Chung-Kuo-Yao-Li-Hsueh-Pao, 1997;18: 274 - 6.
82
Lee W, Aitke S, Sodek J, McCulloch CA. 1995. Evidence of a direct
relationship between neutrophil collagenase activity and periodontal
tissue destruction in vivo: role of active enzyme in human periodontitis.
J Periodontol Res 30: 23-33.
Leivadaros E, van der Velden U, Bizzaro S, et al. 2005. A pilot study into
measurements of markers of atherosclerosis in periodontitis. J
Periodontol.;76:121-128.
Liacini A, Sylvester J, Li WQ, Huang W, Dehnade F, Ahmad M, et al. 2003.
Induction of matrix metalloproteinase-13 gene expression by TNF-alpha
is mediated by MAP kinases, AP-1, and NF-kappaB transcription
factors in articular chondrocytes. Exp Cell Res.;288:208–17.
Listgarten MA. 1976. Structure of the microbial flora associated with
periodontal health and diseases in man. J Periodontol.;47:1-18.
Löe H, Brown LJ. 1991. Early-onset periodontitis in the United States of
America. J Periodontol. 62:608-616.
Lotfy, M. (2006), “Biological activity of bee propolis in health and disease”,
Asian Pac J Cancer Prev vol.7.pp.22-31
Mancini S, Romanelli R, Laschinger CA, Overall CM, Sodek J, McCulloch CA
(1999). Assessment of a novel screening test for neutrophil collagenase
activity in the diagnosis of periodontal diseases. J Periodontol 70:
1292–1302.
Mäntylä P, Stenman M, Kinane D et al (2006). Monitoring periodontal disease
status in smokers and non-smokers using a gingival crevicular fluid
matrix metalloproteinase-8 (MMP-8) specific chair-side test. J Periodont
Res 41: 503–512.
Mäntylä P, Stenman M, Kinane DF, Tikanoja S, Luoto H, Salo T dan Sorsa T.
(2003) Gingival crevicular fluid collagenase- 2 (MMP-8) test stick for
chair-side monitoring of periodontitis. Journal of Periodontal Research
38, 436–439.
Mäntylä P, 2006. The scientific basis and development of a matrix
metalloproteinase (MMP) -8 specific chair-side test for monitoring of
periodontal health and disease from gingival crevicular fluid. Academic
dissertation for the degree of PhD, Faculty of Medicine-University of
Helsinki, Helsinki.
83
Marcucci M.C. 1995. Propolis: chemical composition, biological properties
and therapeutic activity, Apidologie. 26(2): 83–99.
Marsh PD. 2004. Dental plaque as a microbial biofilm. Caries Res.;38:204-
221.
Marsh P. 1994. Microbial ecology of dental plaque and its significance in
health and desease. Adv. Dent. Res. 8:263
Marsh PD. 2005. Dental plaque: Biological significance of a biofilm and
community life-style. J Clin Periodontol.;32(Suppl 6):7-15.
Matthijs S and Adriaens P. Chlorhexidine varnishes: a review. J. Clin.
Periodontol. (2002) 29: 1-8.
Mitchell, R.N and Cotran, R.S., 1997, Acute and Chronic Inflammation, dalam
V. Kumar, R.S.Cotran and S.L.Robbins: Basic Pathology, 6 th ed., W.B.
Saunders Co., Philadelphia.
Molan P. Why honey is effective as a medicine. Part 2. The scientific
explanation of its effects. Bee World 2001;82:22-40.
Mombelli,A., Gmur,R., Gobbi,C. and Lang,N.P., 1994b, Actinobacillus
actinomycetem-comitans in adult periodontitis. II. Characterization of
isolated strains and effect of mechanical periodontal treatment, J.
Periodontol., 65: 827-34.
Miyasaki KT, Nisengard RJ, Haake SK. 2004. Immunity and inflammation;
basic concepts. 9th edition. In: MG Newman, HH Takei, FA Carranza,
editors. Carranza‟s Clinical Periodontology, W.B. Saunders
Philadelphia, PA. 113–32.
Netto, C.A., M.C. Marucci, N. Paulino, A.A. Anido, R. Amore, S. Mendonҫa,
et.al. (2013), “Effects of typified propolis on mutans streptoococci and
lactobacilli: a randomized clinical trial", ”Braz Dent Sci vol.16(2).pp.31-6
Newman, M.G, Takei, H.H., Klokkevold P.R and Carranza, F. A. 2012,
Carranza‟s Clinical Periodontology. 11th ed. Philadelphia: WB.
Saunders.
Noack B, Genco RJ, Trevisan M, Grossi S, Zambon JJ, De Nardin E. 2001.
Periodontal infections contribute to elevated systemic C-reactive protein
level. J Periodontol.;72:1221- 1227.
84
Noiri Y, Okami Y, Narimatsu M, Takahashi Y, Kawahara T, Ebisu S. 2003.
Effects of chlorhexidine, minocycline, and metronidazoleon
Porphyromonas gingivalis strain 381 in biofilms. J Periodontol.;74:1647-
1651.
Offenbacher S. 1996. Periodontal diseases: pathogenesis. Ann
Periodontol.;1:821-878.
Ohta T, Kunimasa K, Ahn M.R.et al. 2011. Brazilian propolis suppresses
angiogenesis by inducing apoptosis in tubeforming endothelial cells
through inactivation of survival signal ERK1/2. Evidence-Based
Complementary and Alternative Medicine, vol. 2011, Article ID 870753.
Ohlrich EJ, Cullinan MP, Seymour GJ. 2009. The immunopathogenesis of
periodontal disease. Australian Dental Journal; 54:(1 Suppl): S2–S10
Ozan F, Sumer Z, Polat ZA, Kursat E, Ozan U, Deger O. 2007. Effect of
Mouthrins, Eur J Dent; 1: 195-201.
Özen,T., A.Kilic, O. Bedir, Ö. Koru, K. Sorkun, M. Tanyuksel, S. Kilic, Ö.
Gencay, Ö. Ildiz, dan M. Baysallar. (2010), “In vitro activity of Turkish
propolis samples against anaerobic bacteria causing oral cavity
infections”, Kafkas Univ Vet Fak derg vol 16(2).pp.293-298
Page RC, Eke PI. 2007. Case definition for use in populationbased
surveillance of periodontitis. J Periodontol.; 78: 1387-1399.
Page RC, Kornman KS. 1997. The pathogenesis of human periodontitis: an
introduction. Periodontol 2000.:14:9-11
Papapanou PN. Epidemiology of periodontal desease: an update. J Int Acad
Periodontol 1999; 4(1): 110-16
Paster BJ, Boches SK, galvin JL, Ericson RE, Lau CN, Levanos VA, and
others. 2001. Bacterial diversity in human subgingival plaque.
J.Bacteriol.; 183(12):3770-83.
Paster BJ, Olsen I, Aas JA, Dewhirst FE. 2006. The breadth of bacterial
diversity in the human periodontal pocket and other oral sites.
Periodontol 2000.;42:80-87.
Passoja A, Ylipalosaari M, Tervonen T, Raunio T, Knuuttila M. 2008. Matrix
metalloproteinase- 8 concentration in shallow crevices associated with
the extent of periodontal disease. J Clin Periodontol; 35: 1027–1031.
85
Pratten J, Wilson M. 1999. Antimicrobial susceptibility and composition of
microcosm dental plaques supplemented with sucrose. Antimicrob
Agents Chemother.;43:1595-1599.
Pereira EMR, Cˆandido da Silva JLD, Silva FF, De Luca MP, Ferreira EF,
Lorentz TCM, dan Santos VR. 2011. Clinical Evidence of the Efficacy of
aMouthwash Containing Propolis for the Control of Plaque and
Gingivitis:A Phase II Study, Hindawi Publishing Corporation, Volume
2011
Preshaw PM, Hefti AF, Jepsen S, Etienne D, Walker C, Bradshaw MH. 2004.
Subantimicrobial dose doxycycline as adjunctive treatment for
periodontitis. A review. J Clin Periodontol.;31:697–707.
Preshaw, P.M., dan J.J Taylor. (2012), „Peridontal pathogenesis‟ in Newman
MG, H.H. Takei, F.A. Carranza (ed.), Carranza’s clinical
periodontology. 11th ed, st Louis, Elsevier saunders Inc.pp.195-99
Pussinen PJ, Paju S, Mantyla P, Sorsa T. Serum microbial- and host-derived
markers of periodontal diseases: review. Curr Med Chem
2007;14:2402-2412.
Rams TE, Slots J. Local delivery of antimicrobial agents in the periodontal
pocket. Periodontol 2000. 1996;10:139-59.
Rao NGR, Rao KP, Muthalik S, Shivanand A. 2009. Clinical Studies of
Ciprofloxacin Hydrochloride gels for Periodontal Infection, Asian
Journal of Pharmaceutics, April-Juni
Ronderos M., Michalowicz B., Camara R., Contreras A.2000. Bacterial and
Viral Risk Markers for Juvenile Periodontitis.J.Periodontal.71.1208.
Root, A.I., 1983, The ABC and XYZ of bee culture, pp: 539-41, The A.I. Root
Company., Ohio.
Sbordone L, Bortolaia C. 2003. Oral microbial biofilms and plaque-related
diseases: Microbial communities and their role in the shift from oral
health to disease. Clin Oral Invest.;7:181-188.
Scheller S, Ilewixs L, Lucial M, Skrobidurska D, Matuga W. Biological
properties and clinical application of Propolis IX. Investigation of the
influence of EEP on dental pulp regeneration. Arzneim Forsch
1978;28:289-291.
86
Siqueira FM, Cota LOM, Costa JE, Haddad JPA, Lana AMQ, Costa FO.
2008. Maternal periodontitis as a potential risk variable for
preeclampsia: A case-control study. J Periodontol.;79:207-215.
Slade GD, Ghezzi EM, Heiss G, Beck JD, Riche E, Offenbacher S. 2003.
Relationship between periodontal disease and C-reactive protein
among adults in the Atherosclerosis Risk in Communities study. Arch
Intern Med.;163:1172-1179.
Socransky, S.S. and Haffajee, A.D., 1991, Microbial mechanisms in the
pathogenesis of destructive periodontal deseases; a critical assesment,
J. Periodont. Res., 26: 195-212.
Socransky SS, Haffajee AD, Cugini MA, Smith C, Kent RL, Jr. 1998. Microbial
complexes in subgingival plaque. J Clin Periodontol.;25:134-144.
Socransky SS, Haffajee AD. 2002. Dental biofilms: difficult therapeutic
targets. Periodontol 2000.;28:12–55.
Sorsa T, Ding Y, Salo T, Lauhio A, Teronen O, Ingman T, et al. 1994. Effects
of tetracyclines on neutrophil, gingival, and salivary collagenases. A
functional and western-blot assessment with special reference to their
cellular sources in periodontal diseases. Ann N Y Acad Sci.;732: 112–
31.
Sorsa T, Ding YL, Ingman T, Salo T, Westerlund U, Haapasalo M, et al.
Cellular source, activation and inhibitionnof dental plaque collagenase.
1995. J Clin Periodontol. 22:709–17.
Sorsa T, Derhane LT, Konttinen YT, Lauhio A, Salo T, Lee HM, Golub LM,
Brown DL dan Pa¨ MaNtyla I. 2006. Matrix metalloproteinases:
Contribution to pathogenesis, diagnosis and treatment of periodontal
inflammation, An Med.. 38: 306–321.
Sorsa T, Hernandez M, Leppilahti J, Munjal S, Netuschil L, Ma¨ ntyla P. 2010.
Detection of gingival crevicular fluid MMP-8 levels with different
laboratory and chair-side methods, Oral Diseases, 16, 39–45
Sorsa T, Tja¨derhane L, Salo T. 2004. Matrix metalloproteinases (MMPs) in
oral diseases. Oral Dis.;10:311–8.
Stewart PS, Costerton JW. 2001. Antibiotic resistance of bacteria in biofilms.
Lancet.;358:135-138.
87
Suwandi, T. (2010), “Perawatan awal penutupan diastema gigi goyang pada
penderita periodontitis kronis dewasa”, Jurnal PDGI vol.59(3).Hal.105-9
Takei, H.H., dan F.A. Carranza. (2012), „Clinical diagnosis‟ in Newman MG,
H.H. Takei, F.A. Carranza (ed.), Carranza’s clinical periodontology. 11th
ed, st Louis, Elsevier saunders Inc.pp.349-53
Takaisi-Kikuni, N.B. and Schilcher, H. Electron microscopic and
microcalorimetric investigations of the possible mechanism of the
antibacterial action of defined propolis provenance, Planta. Med. 1994;
60(3): 222 - 7.
Tampubolon NS. 2005. Dampak karies gigi dan penyakit periodontal
terhadap kualitas hidup, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Tetap, Kampus USU.
Tatefuji, T., Izumi, N., Ohta, T., Arai, S., Ikeda, M. and Kurimoto, M., 1996,
Isolation and Identification of Compounds from Brazilian Propolis Which
Enhance Macrophage Spreading and Mobility, Biol.Pharm.Bull., 19(7):
966-70.
Wilson M. 1996. Susceptibility of oral bacterial biofilms to antimicrobial
agents. J Med Microbiol.;44:79-87.
Wright TL, Ellen RP, Lacroix JM, Sinnadurai S, Mittelman MW. 1997. Effects
of metronidazole on Porphyromonas gingivalis biofilms. J Periodont
Res.;32:473-477
Zaura-Arite E, van Marle J, ten Cate JM. 2001. Confocal microscopy study of
undisturbed and chlorhexidine-treated dental biofilm. J Dent
Res.;80:1436-1440.
88
Lampiran:
Dokumentasi Kegiatan
Ekstrak Propolis Gel Propolis
Proses ekstraksi propolis
top related