analisis pengaruh faktor iklim terhadap tingkat … · terhadap tingkat serangan hama wereng...
Post on 10-Mar-2019
238 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS PENGARUH FAKTOR IKLIM
TERHADAP TINGKAT SERANGAN HAMA WERENG COKELAT
(Studi kasus : Kabupaten Karawang)
FEBRI KURNIA SARI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRACT
FEBRI KURNIA SARI (G24070027). Analysis of Brown Planthopper Attack Area as Influenced
by Climate Factor (Case study : Karawang Regency, West Java). Supervised by YONNY
KOESMARYONO and IMPRON.
Brown Planthopper (Nilaparvata lugens Stal) is one of the limiting factors that cause
decline in rice production. Based on existing data, the highest level of infestation occurred in 1998
in three areas of West Java, namely Karawang, Subang, and Indramayu at a total of 40.000 ha.
The purpose of this study was to determine the effect of climatic elements on the level of
infestation by brown planthopper on rice plantation in Karawang Regency. Climatic elements are
used as the independent variable (x) and area infested by brown planthopper as the dependent
variable (Y). A quadratic regression and multiple regression were used for the analysis. Quadratic
regression analysis is used to express the relationship between the area infested and the climatic
elements. Multiple linear regression analysis was performed to obtain the relationship of five
climatic factors, namely the maximum temperature, minimum temperature, average temperature,
humidity, and rainfall as a whole against area infested by brown planthopper. Climatic element
that had the most influence was the minimum temperature with the value of the coefficient of
determination (R2 = 17.6%) and with the regression equation of LS = - 8276 + Tm 797.6 - 18.69
TM2. The equation obtained from multiple regression analysis was LS = 905 - 28.0 Tr - 0:12 RH +
CH 0210, with R2 = 7.2 %. These results suggested that there was a weak relationship between the
area of infestation and the climatic elements.
Key words: climatic element, brown planthopper, area of infestation
ABSTRAK
FEBRI KURNIA SARI (G24070027). Analisis Pengaruh Faktor Iklim Terhadap Tingkat Serangan
Hama Wereng Cokelat (Studi kasus : Kabupaten Karawang). Dibimbing oleh YONNY
KOESMARYONO dan IMPRON
Hama wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens Stal) merupakan salah satu faktor pembatas
yang menyebabkan penurunan produksi padi. Berdasarkan data yang ada, tingkat serangan hama
tertinggi terjadi pada tahun 1998 di tiga wilayah Jawa Barat yaitu Karawang, Subang, dan
Indramayu dengan luas serangan sebesar 40,000 ha. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh unsur-unsur iklim terhadap luas serangan hama wereng cokelat di
Karawang. Unsur iklim digunakan sebagai variabel bebas (x) dan luas serangan hama wereng
cokelat digunakan sebagai variabel terikat (Y). Analisis statistik yang digunakan adalah analisis
regresi kuadratik dan analisis regresi berganda. Analisis regresi kuadratik digunakan untuk
menyatakan hubungan antara luas serangan dengan faktor iklim. Analisis regresi linier berganda
dilakukan untuk memperoleh hubungan lima faktor iklim yaitu suhu maksimum, suhu minimum,
suhu rata-rata, kelembaban, curah hujan secara keseluruhan terhadap luas serangan. Faktor iklim
yang memiliki pengaruh paling besar adalah suhu minimum dengan nilai koefisien determinasi (R2
= 17.6 %) dan dengan persamaan regresi adalah LS = - 8276 + 797.6 Tm - 18.69 Tm2. Persamaan
yang didapatkan dari analisis regresi berganda adalah LS= 905 - 28.0 Tr - 0.12 RH + 0.210 CH,
dengan R2= 7.2 %. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa hubungan antara luas serangan hama
dengan unsur-unsur iklim tidak nyata.
Kata kunci: unsur iklim, wereng cokelat, luas serangan
ANALISIS PENGARUH FAKTOR IKLIM
TERHADAP TINGKAT SERANGAN HAMA WERENG COKELAT
(Studi kasus : Kabupaten Karawang)
FEBRI KURNIA SARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada Mayor Meteorologi Terapan
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Faktor Iklim Terhadap Tingkat Serangan Hama Wereng
Cokelat (Studi Kasus: Kabupaten Karawang)
Nama : Febri Kurnia Sari
NIM : G24070027
Menyetujui
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS.
Dr. Ir. Impron, M.Agr.Sc.
NIP: 19581228 198503 1 003 NIP: 19630315 199203 1 002
Mengetahui:
Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi,
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.
NIP: 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus:
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan
sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mencantumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk
apapun tanpa izin IPB
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya
sehingga penelitian dengan judul Analisis Pengaruh Faktor Iklim Terhadap Tingkat Serangan
Hama Wereng Cokelat (Studi kasus : Kabupaten Karawang) dapat penulis seleseikan. Karya
ilmiah ini disusun dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Sains pada mayor Meteorologi
Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Penyusunan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak terutama Allah SWT,
kedua orang tua tercinta, ayahanda Adriandi, ibunda Yunne Rossa, adinda Miftahurrahmi, adinda
Azizah Ulfi, adinda Annisa, keluarga besar dan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS selaku pembimbing I dan Dr. Ir. Impron,
M.Agr.Sc selaku pembimbing II atas bimbingan, arahan, dan nasehat selama pelaksanaan
penelitian.
2. Dr. Ir. Rini Hidayati, MS selaku Ketua Departemen Meteorologi dan Geofisika yang telah
memberikan saran serta seluruh dosen GFM yang telah memberikan banyak ilmu.
3. Ka anang yang telah membantu penulis menyeleseikan penelitian, mbak wita yang
memberikan nasehat kepada penulis
4. Teman-teman GFM 44, terima kasih atas dukungan dan kebersamaan baik dalam suka
maupun duka.
5. Staf tata usaha Departemen Geofisikan dan Meteorologi.
6. Teman-teman Pondok Raos, terima kasih atas dukungan dan semangatnya.
7. Seluruh kakak kelas dan adik kelas GFM.
8. Semua pihak yang telah banyak membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari dalam penulisan karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki
kekurangan penulisan. Harapan penulis semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Bogor, Maret 2012
Febri Kurnia Sari
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Muara Panas Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 13 Februari 1989 sebagai
anak pertama dari empat bersaudara. Penulis dilahirkan dari pasangan Adriandi dan Yunne Rossa.
Penulis menyeleseikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2001 di SD Negeri 01 Muara Panas
dan melanjutkan pendidikan di Mts Negeri Koto Baru. Setelah menyeleseikan studi di Mts pada
tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Kota Solok dan lulus pada tahun
2007. Kemudian penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk
IPB) dengan Program Studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penulis menyeleseikan minor Ekonomi
Sumberdaya pada semester 7.
Selama masa studi, penulis aktif dalam organisasi himagreto tahun 2008 dalam bidang
keilmuan. Penulis juga mengikuti kegiatan seperti Earth Chalenge. Untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains (S.Si), penulis membuat tugas akhir dengan judul Analisis Pengaruh Faktor Iklim
Terhadap Tingkat Serangan Wereng Cokelat (Studi Kasus : Kabupaten Karawang) dibawah
bimbingan Bapak Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS. dan Dr. Ir. Impron, M.Agr.Sc.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ vii
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................... xii
I. PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................... 1
1.2 Tujuan ............................................................................................................................ 1
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................................... 1
2.1 Definisi Hama ............................................................................................................... 1
2.2 Hama Wereng Cokelat .................................................................................................. 1
2.2.1 Bioekologi Wereng Cokelat .................................................................................. 2
2.2.2 Gejala Serangan ................................................................................................... 2
2.2.3 Biotipe Wereng Cokelat ....................................................................................... 2
2.2.4 Perkembangan Populasi ....................................................................................... 3
2.2.5 Morfologi .............................................................................................................. 3
2.2.5.1 Siklus Hidup.............................................................................................. 3
2.2.5.2 Telur .......................................................................................................... 3
2.2.5.3 Nimfa ........................................................................................................ 4
2.2.5.4 Imago ........................................................................................................ 4
2.2.6 Faktor Pemicu Serangan Wereng Cokelat ............................................................ 4
2.2.7 Tekhnik Pengendalian Wereng Cokelat ................................................................ 4
2.3 Pengaruh Unsur Iklim Pada Wereng Cokelat ................................................................ 5
2.3.1 Suhu Udara ........................................................................................................... 5
2.3.2 Kelembaban Udara ................................................................................................ 6
2.3.3 Curah Hujan .......................................................................................................... 6
2.3.4 Cahaya dan Radiasi ............................................................................................... 6
2.3.5 Angin .................................................................................................................... 7
III. METODE PENELITIAN ..................................................................................................... 7
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................................ 7
3.2 Alat dan Bahan Penelitian .............................................................................................. 7
3.3 Tahapan Penelitian ......................................................................................................... 7
3.3.1 Persiapan Data ...................................................................................................... 7
3.3.2 Pengolahan Data ................................................................................................... 7
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................ 8
4.1 Kondisi Geografis Kabupaten Karawang ....................................................................... 8
4.2 Kondisi Iklim Kabupaten Karawang .............................................................................. 8
4.3 Periodisasi Musim Tanam Padi di Karawang ................................................................. 10
4.4 Kondisi Serangan Wereng Cokelat Kabupaten Karawang ............................................. 10
4.5 Analisis Regresi ............................................................................................................. 12
4.5.1 Regresi Kuadratik ................................................................................................. 12
4.5.2 Regresi Berganda .................................................................................................. 16
4.6 Analisis Klimogram ....................................................................................................... 16
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................ 17
5.1 Kesimpulan .................................................................................................................... 17
5.2 Saran .............................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 17
LAMPIRAN ................................................................................................................................ 19
x
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Intensitas serangan hama ..................................................................................................... 7
2 Periodisasi musim tanam padi di Karawang ......................................................................... 10
2 Koefisien determinasi (R2) unsur iklim ................................................................................ 12
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Wereng Cokelat .................................................................................................................... 2
2 Wereng Cokelat Makroptera dan Brakiptera......................................................................... 2
3 Siklus hidup Wereng Cokelat ............................................................................................... 3
4 Telur Wereng Cokelat ........................................................................................................... 4
5 Nimfa Wereng Cokelat ......................................................................................................... 4
6 Peta Karawang ...................................................................................................................... 8
7 Suhu Udara Bulanan (2004-2009) ........................................................................................ 9
8 Kelembaban Bulanan (2004-2009) ....................................................................................... 9
9 Curah hujan rata-rata (1974-2009) ........................................................................................ 9
10 Hubungan suhu rata-rata bulanan dengan luas serangan hama ............................................. 10
11 Hubungan suhu maksimum bulanan dengan luas serangan hama ........................................ 11
12 Hubungan suhu minimum bulanan dengan luas serangan hama .......................................... 11
13 Hubungan kelembaban bulanan dengan luas serangan hama ................................................ 12
14 Hubungan curah hujan bulanan dengan luas serangan hama ............................................... 12
15 Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu rata-rata (Tr) (tanpa lag) .................................. 13
16 Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu rata-rata (Tr) (lag 1) ......................................... 13
17 Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu rata-rata (Tr) (lag 2) ......................................... 13
18 Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu maksimum (TM) (tanpa lag) ............................ 14
19 Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu minimum (Tm) (tanpa lag) .............................. 14
20 Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu minimum (Tm) (lag 1) ..................................... 14
21 Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu minimum (Tm) (lag 2) ..................................... 15
22 Hubungan luas serangan (LS) dengan kelembaban (RH) (tanpa lag) ................................... 15
23 Hubungan luas serangan (LS) dengan curah hujan (CH) (lag 2) .......................................... 15
24 Klimogram Wereng Cokelat ................................................................................................. 16
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu rata-rata tanpa lag .......................................... 20
2 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu rata-rata lag 1 ................................................. 20
3 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu rata-rata lag 2 ................................................. 20
4 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu maksimum tanpa lag ...................................... 21
5 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu minimum tanpa lag ........................................ 21
6 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu minimum lag 1 .............................................. 21
7 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu minimum lag 2 .............................................. 22
8 Hasil output minitab 14 analisis regresi kelembaban tanpa lag ............................................ 22
9 Hasil output minitab 14 analisis regresi curah hujan lag 2 .................................................... 22
10 Hasil output minitab 14 analisis regresi curah hujan lag 2 .................................................... 23
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Padi merupakan tanaman pertanian yang
menyediakan beras bagi kebutuhan pokok
bagi masyarakat Indonesia. Berdasarkan data
sensus penduduk tahun 2010 kebutuhan
konsumsi beras penduduk perkapita adalah
109-139 kg pertahun sehingga kebutuhan
nasional beras pertahun adalah 66.649 juta ton
beras (BPS 2010). Pemenuhan kebutuhan ini
akan menjadi terhambat apabila terdapat
faktor pembatas yang mengganggu
pertumbuhan dan produktivitas padi. Salah
satu faktor pembatas tersebut adalah hama
tanaman.
Hama merupakan hewan pengganggu
yang dapat merusak tanaman serta
menimbulkan kerugian besar pada produksi
pertanian tanaman padi. Masalah hama di
Indonesia telah menjadi isu penting dalam
produksi pertanian. Ada dua parameter yang
menjadi masalah hama di Indonesia yaitu luas
persawahan dan kehilangan hasil pertanian
akibat ledakan hama. Sementara itu
kehilangan hasil pertanian lebih disebabkan
oleh variasi lokasi, kerentanan dari varietas
padi, hama yang dominan, serta kemampuan
dari petani sendiri untuk mengantisipasi
masalah hama.
Kehilangan hasil pertanian yang
disebabkan oleh serangan hama diperkirakan
mencapai 11.3 % - 33.1 % pertahun dalam 14
tahun terakhir. Salah satu hama yang sangat
merugikan petani dari segi produksi padi
adalah wereng cokelat. Pada periode 1970-
1980, luas serangan wereng coklat mencapai
2.5 juta ha. Dalam periode 1980-1990, luas
serangannya menurun menjadi 50,000 ha, dan
dalam periode 1990-2000 meningkat hingga
sekitar 200,000 ha (Baehaki 1996). Sementara
itu di Jawa Barat serangan wereng cokelat
terjadi di jalur pantura pada tahun 1998 dan
2005 meliputi wilayah Subang, Karawang,
dan Indramayu mencapai 40,000 ha. Serangan
tersebut menyerang semua varietas padi
dengan tingkat kerusakan berkisar dari ringan
sampai dengan berat, bahkan puso. (Nurbaeti
et al. 2010). Adanya serangan hama di
Karawang yang merupakan salah satu sentra
produksi padi dapat mengganggu suplai beras
domestik.
Pemahaman tentang perkembangan hama
pada ekosistem padi- salah satunya adalah
pemahaman tentang siklus hidup hama dan
kaitannya dengan faktor lingkungan, antara
lain iklim - merupakan hal yang penting.
Dengan mengetahui siklus hidup hama yang
dikaitkan dengan iklim di wilayahnya
diharapkan dapat membantu dalam mengelola
dan mengendalikan serangan hama wereng
yang pada akhirnya dapat membantu
mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia.
Kajian mengenai pengaruh iklim terhadap
serangan hama wereng cokelat perlu
dilakukan. Strategi antisipasi dan teknologi
adaptasi terhadap perubahan iklim dan
serangan hama merupakan salah satu aspek
yang harus menjadi rencana strategi untuk
menyikapi perubahan iklim. Dengan demikian
penelitian ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi untuk menekan penurunan produksi
maupun kegagalan panen.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis hubungan berbagai faktor iklim
dengan luas serangan hama wereng cokelat
(Nilaparvata lugens Stal) di Kabupaten
Karawang dan menggambarkan klimogram
Kabupaten Karawang.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Hama
Hama merupakan serangga perusak
tanaman budidaya yang berguna untuk
kesejahteraan manusia (Pracaya 2008). Proses
terjadinya hama tidak lepas dari pengaruh
lingkungan, perubahan pandangan manusia,
perpindahan tempat, dan aplikasi insektisida
yang tidak bijaksana. Pada ekosistem alami
makanan hama terbatas dan musuh alami
berperan aktif selain hambatan lingkungan,
sehingga populasi hama rendah. Sebaliknya
pada ekosistem pertanian, terutama
monokultur makanan hama relatif tidak
terbatas sehingga populasi bertambah dengan
cepat tanpa dapat diimbangi oleh musuh
alaminya.
2.2 Hama wereng cokelat
Menurut Soegawa (1986) hama padi yang
merusak adalah wereng cokelat. Wereng
coklat dapat menyebabkan daun berubah
kuning oranye sebelum menjadi coklat dan
mati. Dalam keadaan populasi wereng tinggi
dan varietas yang ditanam rentan wereng
coklat dapat mengakibatkan tanaman seperti
terbakar atau “hopperburn”. Wereng coklat
juga dapat menularkan penyakit virus kerdil
hampa dan virus kerdil rumput, dua penyakit
yang sangat merusak.
Pada awalnya serangga ini dianggap
sebagai minor pest dalam jumlah yang sedikit
2
sehingga tidak menyebabkan pengaruh yang
terlalu besar. Namun sejak tahun 1970 secara
signifikan serangan hama ini terus
berkembang di Indonesia terutama di daerah
Sumatera, Jawa, dan Bali. Penyebab
perkembangan hama ini antara lain
penanaman padi yang berkelanjutan sepanjang
tahun, sistem rotasi tanaman serta kurangnya
control terhadap rumput liar (Khalshoven
1981).
Gambar 1 Wereng Cokelat
Sumber: (www.agrocourier.com)
Wereng coklat adalah hama yang
berbahaya untuk tanaman padi, karena inang
utama wereng batang coklat adalah tanaman
padi. Dengan demikian perkembangan
populasi wereng batang coklat tergantung
pada adanya tanaman padi. Hama wereng
cokelat ini dapat menimbulkan kerusakan
pada tanaman padi, dimana tanaman padi akan
menguning dan cepat sekali mengering
(Pracaya 2008).
2.2.1 Bioekologi Wereng Coklat
Wereng cokelat merupakan
serangga yang menghisap cairan tanaman
dan bewarna kecoklat-coklatan. Serangga
ini memiliki panjang tubuh 2 - 4.4 mm.
Setelah dewasa serangga tersebut
memilki dua bentuk yaitu serangga
bersayap pendek (brachypters) dan
serangga yang bersayap panjang
(macropters.). Makroptera mempunyai
kemampuan terbang serta dapat
bermigrasi jauh. Brachypters mulai
bertelur lebih awal daripada macropters.
Wereng cokelat bersifat endernik di
daerah oriental tropis, tetapi secara
temporer dapat rnencapai Korea dan
Jepang khususnya di musim panas.
Wereng coklat adalah serangga monofag,
terbatas pada padi dan padi liar (Oryza
parennis dan Oryza spontanea) (Soegawa
1986 dalam Soemawinata dan
Sosromarsono1986).
Gambar 2 Wereng Cokelat Makroptera dan
Brakiptera
Sumber : Nurbaeti et al. (2010)
Kemunculan hama wereng cokelat
dengan morfologi brachypters
disebabkan oleh ketersediaan pakan pada
stadium nimfa yang berlebih serta
didorong oleh kisaran suhu optimal yang
sesuai dengan pertumbuhannya.
Sedangkan hama wereng cokelat dengan
morfologi macropters berkembang
karena populasi yang tinggi saat stadium
nimfa serta penurunan kualitas dan
kuantitas sediaan pakan (Oktarina 2009).
2.2.2 Gejala Serangan Serangan wereng ini terjadi pada
tanaman padi yang telah dewasa, tetapi
belum memasuki masa panen.
Adakalanya wereng juga menyerang
persemaian padi. Jika tanaman padi muda
yang terserang warna daun akan menjadi
kuning dan pertumbuhan akan terhambat
sehingga tanaman tetap menjadi kerdil.
Serangan hebat akan mengakibatkan
tanaman menjadi layu dan mati.
Perkembangan akar menjadi terhambat.
Wereng cokelat mengeluarkan kotoran
embun madu yang biasanya akan
ditumbuhi cendawan jelaga sehingga
daun padi menjadi hitam. Banyaknya
kotoran putih bekas pergantian kulit
nimfa menunjukkan populasi wereng
telah tinggi. Wereng secara langsung
akan mematikan tanaman dan
menyebarkan penyakit virus kerdil
rumput (Pracaya 2008).
2.2.3 Biotipe wereng cokelat
Wereng coklat adalah serangga
yang plastis dan mudah beradaptasi pada
kondisi lingkungan yang berubah.
3
Populasi wereng coklat awal sebelum
varietas tahan digunakan disebut biotipe
1. Varietas tahan, seperti IR 26, yang
tahan terhadap biotipe I , dalam waktu
lima musim sudah tidak tahan terhadap
hama. Hal ini disebabkan oleh populasi
wereng coklat biotipe 1 sudah berubah
menjadi biotipe 2. Pada saat ini di
Indonesia pada umumnya populasi
wereng coklat adalah biotipe 2. Di dalam
populasi wereng coklat dengan genetik
yang sangat beragam, sebagian dari
populasi sebenarnya dapat hidup pada
varietas tahan (Soemawinata 1986).
2.2.4 Perkembangan Populasi Perkembangan populasi wereng
cokelat sejak penanaman padi sampai
panen merupakan dasar pengendalian
hama . Perkembangan populasi wereng
coklat dimulai dari makroptera wereng
cokelat yang datang sebagai serangga
migran dari tempat lain. Wereng coklat
pendatang ini kemudian berkembang biak
dan selama stadium vegetatif dapat
mencapai satu atau dua generasi
tergantung dari saat irnigrasinya. Bila
migrasi terjadi pada umur tanarnan 2 - 3
minggu setelah tanam (MST), maka
selama stadium vegetatif serangga itu
berkembang biak sebanyak dua generasi.
Populasi nimfa generasi pertama dan
kedua berturut-turut muncul pada umur 5
- 6 MST dan 10 - l l MST. Bila migrasi
terjadi setelah tanaman berumur 5 - 6
MST, maka akan hanya dijumpai satu
puncak populasi nimfa, yaitu pada umur 4
- 10 MST. Serangga dewasa generasi
pertama (pada lebih kurang 7 MST) pada
umumnya adalah brakiptera. Serangga
betina berakiptera tidak memencar, dan
meletakkan telur dalam jumlah besar.
Pada generasi berikutnya persentase
serangga dewasa makroptera meningkat.
Serangga dewasa yang muncul setelah
stadium pembungaan umumnya
makroptera yang kemudian memencar
bermigrasi ke persawahan lain
(Soemawinata dan Sosromarsono1986).
2.2.5 Morfologi
2.2.5.1Siklus Hidup
Satu generasi hama wereng
cokelat antara 28-32 hari pada suhu
250C dan 23-25 hari pada suhu
280C. Ada 3 fase dalam satu siklus
hidupnya yaitu: fase telur 8-10 hari,
fase nympha 12-14 hari, dan fase
imago praoviposisi adalah 4-8 hari
(Subroto et al. 1992).
Siklus hidup satu generasi
wereng cokelat di daerah tropis
rata–rata berkisar antara 21 – 28
hari, Seekor imago jantan rata-rata
hidupnya 21 hari dan imago betina
25 hari. Bentuk imago brakipetra
lebih dahulu bertelur daripada
bentuk makropetra. Berdasarkan
umur padi dan umur imago wereng
cokelat dalam setiap generasi, maka
selama satu musim tanam dapat
timbul 2-8 imago wereng cokelat
(Hidayat 2000).
Gambar 3 Siklus Hidup Wereng Cokelat
Sumber : Nurbaeti et al. (2010)
2.2.5.2Telur
Telur wereng coklat pada
saat diletakkan berwarna putih
bening dan lama kelamaan berubah
warna sesuai dengan perkembangan
embrio. Telur berbentuk oval,
bagian ujung, pangkal dan tutup
telurnya tumpul, serta mempunyai
perekat pada pangkal telurnya yang
menghubungkan telur satu dengan
lainnya (Subroto et al. 1992). Telur
biasanya diletakkan dalam jaringan
pelepah daun dan helaian daun padi.
Peletakkan telur secara
berkelompok dan tersusun seperti
buah pisang dengan jumlah telur
tiap kelompok antara 2-37 butir.
Selama hidupnya, seekor WBC
betina menelurkan telur sekitar 390
butir (Sogawa 1971).
Wereng cokelat berkembang
biak secara seksual dan memiliki
siklus hidup yang pendek. Wereng
bersayap pendek membutuhkan
masa peneluran selama 3-4 hari dan
4
3-8 hari untuk wereng bersayap
panjang. Tingkat perkembangan
wereng betina dapat dibagi ke
dalam masa peneluran 2-8 hari dan
masa bertelur 9-23 hari. Masa
peneluran dapat berlangsung dari
beberapa jam sampai 3 hari. Masa
pra-dewasa adalah 19-23 hari.
Gambar 4 Telur Wereng Cokelat
Sumber : IRRI (2009)
2.2.5.3 Nimfa
Wereng cokelat yang baru
menetas sebelum menjadi dewasa
(imago) akan melewati lima tahapan
pergantian kulit (instar) nimfa yang
dibesakan menurut ukuran bentuk
tubuh dan bakal sayapnya. Periode
setiap instar nimfa berkisar antara 2-
4 hari, sehingga wereng cokelat
rata-rata menghabiskan 12-15 hari
pada seluruh fase nimfa (Sogawa
1971).
Nimfa akan berkembang
menjadi dua bentuk wereng dewasa
yaitu bentuk bersayap pendek dan
bersayap panjang. Kemunculan
makroptera lebih banyak pada
tanaman tua daripada tanaman
muda, dan lebih banyak pada
tanaman setengah rusak daripada
tanaman sehat.
Gambar 5 Nimfa Wereng Cokelat
Sumber : Nurbaeti et al. (2010)
2.2.5.4 Imago
Serangga dewasa wereng
cokelat mempunyai dua bentuk,
yaitu bersayap sempurna
(makroptera) dan bersayap tidak
sempurna atau tidak dapat terbang
(brakhiptera). Wereng cokelat
makroptera dapat bermigrasi dari
satu sawah ke sawah lain setelah
persemaian. Generasi WBC yang
umumnya ditemukan terdiri dari
betina brakhiptera dan jantan
makroptera (Subroto et al. 1992).
Pada kepadatan populasi tinggi atau
keadaan kekurangan makanan maka
akan terbentuk lebih banyak
serangga makroptera pada generasi
berikutnya. Sebaliknya, jika
keadaan makanan cukup, maka akan
terbentuk lebih banyak serangga
dewasa brakhiptera.
2.2.6 Faktor Pemicu Serangan Wereng
Cokelat
Kerusakan tanaman padi akibat
populasi wereng cokelat yang tinggi
dipicu oleh beberapa faktor pendukung
perkembangan wereng cokelat. Menurut
Baehaki (1985) faktor yang mendukung
perkembangan wereng cokelat mencapai
populasi yang tinggi adalah penggunaan
pupuk nitrogen yang berlebihan, iklim
yang sesuai bagi perkembangan wereng
cokelat, dan teknik penanaman yang
rapat.
2.2.7 Teknik Pengendalian Wereng
Cokelat
Pengendalian hama wereng cokelat
dapat dilakukan dengan mengganti pola
bercocok tanam, memilih varietas tahan
hama, pengendalian biologi, dan
penggunaan pestisida. Cara bercocok
tanam yang dianjurkan adalah tanam
serentak dalam satu wilayah, pergiliran
tanaman, penggunaan varietas tahan dan
sanitasi. Pada daerah yang kekurangan air
dan bertanam padi hanya dapat dilakukan
satu kali yaitu pada musim hujan, maka
pergiliran tanaman dapat berjalan dengan
sendirinya. Pada musim hujan sebaiknya
ditanam varietas tahan terhadap wereng
coklat, seperti Mekongga, Inpari 1, Inpari
2, Inpari 3, dan Inpari 13. Selanjutnya
pengaturan jarak tanam, yaitu tanaman
ditanam dalam barisan yang teratur
dengan jarak tanam sesuai dengan kondisi
agroekosistem setempat agar dapat yang
5
dianjurkan untuk memperlancar gerakan
angin dan cahaya matahari masuk ke
dalam pertanaman. Hal ini dapat
mengubah iklim mikro yang cocok untuk
menekan perkembangan wereng coklat
(Nurbaeti et al. 2010).
Musuh alami yang dapat
mengendalikan hama wereng coklat
adalah parasitoid, predator dan pathogen.
Parasitoid telur seperti Anagrus flaveolus
waterhouse, A. Optabilis Perkins, A.
Perforator Perkins, Mymar
tabrobanicum, Polynema spp., Olygosita,
spp., dan Gonatocerus spp. Parasitoid ini
dapat memparasitasi telur wereng coklat
45- 87%. Parasitoid nimfa dan wereng
dewasa seperti Elenchus, spp., dan
Haplogonatopus orientalis. Predator
wereng coklat seperti Cytorrhinus
lividivennis, Microvelia douglasi,
Ophionea indica, dan Paedorus fuscipes,
laba-laba Lycosa pseudoannulata (Wolf
spider), Tetragnatha sp. (four spider),
Clubiona javonicola (sack spider),
Araneus inustus (orb spider), Calitrichia
formosana, Oxyopes javanus, dan
Argiope catenulata (Nurbaeti et al. 2010).
Penggunaan insektisida yang tidak
bijaksana akan menyebabkan
permasalahan hama semakin kompleks,
banyak musuh alami yang mati sehingga
populasi serangga bertambah tinggi
disamping berkembangnya resistensi,
resurgensi dan munculnya hama
sekunder. Resistensi terhadap insektisida
bisa terjadi kalau digunakan jenis
Insektisida yang lama (bahan aktif sama
atau kelompok senyawa yang sama)
secara terus-menerus, terutama dosis
yang digunakan tidak tepat (dosis
sublethal). Pada populasi serangga di
alam terjadi keragaman genetik antara
individu - individunya. Ada individu yang
tahan terhadap suatu jenis insektisida dan
ada yang tidak tahan. Bila digunakan
jenis insektisida yang sama secara terus
menerus maka individu yang ada dalam
populasi tersebut akan terseleksi menjadi
individu yang tahan. Apabila serangga
tersebut berkembangbiak dan masih
digunakan insektisida yang sama dengan
dosis yang sama maka jumlah individu
yang tahan akan semakin banyak
demikian seterusnya (Soemarsono 1979).
Beberapa jenis pestisida yang
dapat digunakan pada saat ini diantaranya
adalah yang berbahan aktif: Fipronil,
Tiamektosam, dan Imidakloprid.
Penggaruh penggunaan insektisida yang
tidak tepat dan dilakukan secara terus
menerus dapat mengakibatkan resistensi,
resurjensi dan kematian musuh alami.
Oleh karena itu sebelum dilakukan
pengendalian insektisida, harus dilakukan
monitoring secara dini (Nurbaeti et al.
2010).
2.3 Pengaruh Unsur Iklim Pada Wereng
Cokelat
2.3.1 Suhu Udara
Serangga merupakan spesies
poikilotermal yang suhu tubuhnya
bergantung pada suhu udara lingkungan
sekitar. Hal ini mengakibatkan suhu udara
lingkungan akan memengaruhi proses
metabolisme serangga. Menurut Mavi
dan Tupper (2004), aktivitas serangga
akan lebih cepat dan efisien pada suhu
yang tinggi, tapi akan mengurangi lama
hidup serangga. Pada beberapa serangga,
suhu tinggi akan menghambat
metabolisme atau mengakibatkan
kematian, tetapi serangga yang hidup di
gurun dapat menurunkan laju
metabolisme sehingga dapat bertahan
pada daerah dengan jumlah makanan dan
air terbatas (Speight et al. 2008).
Pengaruh suhu udara terhadap hama
dan penyakit tumbuhan antara lain
mengendalikan perkembangan,
kelangsungan hidup dan penyebaran
serangga (Koesmaryono 1999). Suhu
dinyatakan dalam derajat panas, sumber
pada permukaan tanah berasal dari radiasi
matahari. Tinggi rendahnya intensitas
cahaya matahari berbanding lurus dengan
tinggi rendahnya suhu udara.
Semua spesies serangga mempunyai
kisaran suhu udara tertentu dalam
mempertahankan hidupnya. Kisaran ini
akan berbeda pada setiap spesies
serangga. Bila suhu udara berada di
bawah atau di atas keadaan optimal, maka
akan menimbulkan kematian serangga
dalam waktu dekat. Beberapa serangga
dapat beradaptasi menghadapi lingkungan
ekstrim dengan diapause. Suhu udara
minimum yang memungkinkan serangga
masih dapat bertahan hidup adalah pada
suhu -30 0C. Perkembangan dan aktivitas
serangga akan normal kembali jika suhu
udara berada pada kisaran yang cocok
(Mavi dan Tupper 2004).
Keadaan suhu selama fase nimfa
dan dewasa dapat mempengaruhi umur
serangga. Sangat sulit menentukan pada
6
keadaan suhu berapa yang paling sesuai
bagi perkembangan populasi wereng
batang coklat. Kisaran suhu normal untuk
wereng cokelat makroptera jantan adalah
9-300C dan untuk wereng cokelat
makroptera betina adalah 10-320C
(Subroto et al. 1992). Kondisi suhu
optimal untuk WBC, terutama untuk
perkembahngan telur dan nimfa adalah
25-300C, perkembangan embrio WBC
akan terhenti jika suhu kurang dari 100C
(Hirano, 1942 dalam Subroto et al. 1992).
Menurut Abraham dan Nair (1975) dalam
IRRI (1979), bahwa ledakan hama
wereng batang cokelat terjadi pada selang
suhu 20-300C. Subroto et al., (1992)
menyimpulkan suhu harian antara 28-
300C dan suhu malam hari yang rendah
adalah suhu yang paling sesuai untuk
pemunculan sejumlah serangga dewasa.
2.3.2 Kelembaban Udara
Kelembaban udara berpengaruh
terhadap proses biologi serangga, dimana
kisaran kelembaban udara optimum pada
umumnya sekitar 73-100%. Kelembaban
udara yang terlalu tinggi atau terlalu
rendah dapat menghambat aktivitas dan
kehidupan serangga, kecuali pada
beberapa jenis serangga yang biasa hidup
di tempat basah. Kelembaban optimum
serangga berbeda menurut jenis dan
stadium (tingkatan kehidupan) pada
masing-masing perkembangan (Sunjaya
1970).
Kelembaban udara merupakan
faktor iklim yang penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan wereng
cokelat. Wereng cokelat sangat menyukai
lingkungan yang memiliki kelembaban
tinggi dengan RH optimal berkisar antara
70-85%. Dalam sebuah penelitian,
perkembangan wereng cokelat akan
terhambat apabila dipelihara dalam
kelembaban nisbi yang konstan di atas
80% pada suhu 290C, namun
perkembangannya lebih baik pada
kelembaban nisbi yang konstan di bawah
80% pada suhu yang sama (IRRI 1976
dalam Baco 1984). Serangan wereng
cokelat berhubungan dengan kepadatan
tanaman, radiasi matahari yang rendah,
kelembaban yang tinggi, dan perbedaan
suhu yang kecil antara siang dan malam
hari.
2.3.3 Curah Hujan
Kejadian curah hujan dalam suatu
areal yang dihuni serangga
mengakibatkan pengaruh langsung yaitu
hentakan butir hujan pada tempat hidup
serangga serta pengaruh tidak langsung
pada kelembaban dan tanah. Sebaran
hujan sepanjang tahun juga memiliki pola
tertentu yang menunjukkan panjang
pendeknya pendeknya periode bulan
dengan curah hujan banyak (bulan basah)
dan periode bulan dengan curah hujan
sedikit (bulan kering). Ledakan populasi
suatu hama mungkin sangat erat
hubungannya dengan periodisitas sebaran
hujan tersebut. (Koesmaryono 1991).
Variasi curah hujan musiman
memengaruhi kelimpahan spesies. Pada
saat curah hujan rendah, beberapa spesies
serangga kelimpahannya tinggi, walaupun
ketersediaan tanaman inang rendah.
Curah hujan yang tinggi dapat
mengakibatkan kematian langsung pada
serangga, atau memungkinkan
perkembangan patogen serangga (Mavi
dan Tupper 2004).
Wereng cokelat memiliki sifat
biological clock, dimana wereng cokelat
mampu berkembang dengan baik di
musim hujan dan musim kemarau yang
terdapat hujan (Baehaki 2005 dalam
Susanti et al. 2007). Curah hujan tidak
bisa dipisahkan dari faktor iklim lain
seperti keadaan angin. Kombinasi
keduanya dapat menyebabkan tekanan
rendah dan konvergensi cuaca dan
berakibat pada penyebaran populasi
serangga (Speight et al. 1999).
2.3.4 Cahaya dan Radiasi
Intensitas cahaya memengaruhi
kehidupan serangga. Fluktuasi harian
berpengaruh pada suhu udara,
kelembaban, makanan, dan sebagainya.
(Andrewartha dan Birch 1954). Pengaruh
cahaya terhadap perilaku serangga
berbeda-beda antara serangga yang aktif
pada siang hari (diurnal) dengan yang
aktif pada malam hari (nocturnal). Pada
serangga yang aktif pada siang hari,
keaktifannya akan dirangsang oleh
keadaan intensitas maupun panjang
gelombang cahaya di sekitarnya.
Sebaliknya pada serangga malam hari
keadaan cahaya tertentu mungkin dapat
menghambat keaktifannya (Koesmaryono
1991). Serangga yang mempunyai
kebiasaan hidup dengan cahaya minimum
7
dan lemah, apabila intensitas cahaya
ditingkatkan akan mengakibatkan
aktivitasnya akan tertekan, begitu pula
sebaliknya. Meningkatnya intensitas
cahaya dapat mempercepat kedewasaan
serangga dan mempersingkat umur
imagonya (Sunjaya 1970).
Faktor cahaya dan radiasi juga
mempengaruhi kehidupan wereng batang
coklat. Apabila wereng cokelat dewasa
dipelihara di tempat gelap maka
pematangan indung telur terhambat dan
jumlah telur yang di letakkan juga kecil.
Wereng cokelat lebih banyak ditemukan
pada musim yang sering mendapat radiasi
langsung dibandingkan musim yang
kurang mendapat sinar matahari langsung
(Baco 1984).
2.3.5 Angin
Pertumbuhan dan perkembangan
serangga secara tidak langsung
dipengaruhi oleh angin. Angin
mempengaruhi penguapan dan
kelembaban udara yang secara tidak
langsung memberi efek pada suhu tubuh
serangga maupun kadar air dalam tubuh
serangga. Namun pengaruh angin yang
paling penting adalah karena angin dapat
memengaruhi pemencaran dan keaktifan
serangga (Koesmaryono 1991).
Pemencaran dan aktivitas serangga
dipengaruhi oleh gerak udara. Misalnya
pada serangga yang bertubuh ringan
walaupun berdaya terbang lemah dan
tidak bersayap akan mampu pindah ke
daerah yang lebih jauh, hal ini terjadi
akibat adanya gerak udara vertikal
maupun gerak udara horizontal (Sunjaya
1970).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei
sampai dengan bulan September 2011 di
Laboratorium Agrometeorologi Departemen
Geofisika dan Meteorologi. Dengan kajian di
Karawang
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan pada
penelitian ini:
1. Seperangkat komputer
2. Microsoft Office (Microsoft Word
dan Microsoft Excell
3. Minitab 14
4. Data iklim harian 6 tahun stasiun
Jatisari, Kabupaten Karawang
(periode tahun 2004 sampai 2009)
meliputi data suhu maksimum (T
max), data suhu minimum (T min),
data suhu rata-rata (T rata), dan data
kelembaban udara (RH) serta data
curah hujan bulanan periode 1974-
2009
5. Data luas serangan hama wereng
cokelat 2 mingguan di wilayah
Karawang selama 4 tahun (2006-
2009)
3.3 Tahapan Penelitian
3.3.1 Persiapan Data
Data luas serangan hama yang
diperoleh merupakan data 2 mingguan
sehingga data iklim disesuaikan dengan
data luas serangan hama tersebut. Data
luas serangan tersebut merupakan luas
tanaman terserang yang dinyatakan dalam
hektar. Intensitas serangan hama secara
kuantitatif dinyatakan dalam persen.
Tabel 1 Intensitas serangan hama
Kategori Tingkat serangan
>25 % Ringan
25 – 50 % sedang
50-90 % berat
>90 % puso
Sumber : Ditjentan 1986
3.3.2 Pengolahan Data Analisis yang digunakan untuk
mengetahui pengaruh iklim terhadap
serangan hama adalah regresi kuadratik,
dan regresi berganda. Data faktor iklim
digunakan sebagai peubah bebas dan data
luas serangan WBC sebagai peubah
respon.
Persamaan regresi kuadratik
digunakan untuk menyatakan hubungan
antara luas serangan dengan faktor iklim
yaitu suhu rata-rata, suhu makasimum,
suhu minimum, kelembaban, dan curah
hujan. Persamaan umum regresi kuadratik
adalah sebagai berikut :
Y = a + b1x1 + b2x22
dimana :
Y = luas serangan wereng cokelat
x = Tmax, Tmin, Trata,RH, dan CH
a,b= konstanta
8
Analisis regresi linier berganda
dilakukan untuk memperoleh hubungan
lima faktor iklim, yaitu suhu maksimum,
suhu minimum, suhu rata-rata,
kelembaban, curah hujan secara
keseluruhan terhadap luas serangan,
sehingga dapat diketahui hubungan faktor
iklim dan luas serangan WBC secara
umum. Persamaan regresi linier berganda
adalah sebagai berikut :
Y : a + b1x1 + b2x2 + b3x3 + b4x4 + b5x5
dimana :
Y = luas serangan WBC
x = unsur iklim (Tmax, Tmin, Trata,RH,
dan CH)
a,b= konstanta
(Tingkat keeratan hubungan antara Y
dan x dinyatakan dalam koefisien
determinasi R2), yang nilainya berkisar
dari 0-100 %)
Analisis hubungan faktor iklim
dengan luas serangan WBC dilakukan
pada berbagai waktu tunda (time lag)
berdasarkan siklus hidup WBC. Siklus
hidup WBC berkisar 28-32 hari atau
kurang lebih satu bulan sampai WBC
menjadi serangga dewasa (Subroto et al.
1992). Analisis tanpa memperhitungkan
lag berarti faktor iklim secara langsung
mempengaruhi luas serangan pada saat
terjadi serangan atau ketika WBC pada
fase imago aktif mencari makan. Analisis
pada waktu tunda setengah bulan (lag 1)
berarti faktor iklim mempengaruhi luas
serangan pada WBC pada fase nimfa.
Analisis pada waktu tunda satu bulan (lag
2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas
serangan pada WBC pada fase telur.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Geografis Wilayah Kajian
Karawang adalah sebuah Kabupaten yang
terdapat di Provinsi jawa Barat dengan luas
daerah 1.737,30 km2. Secara geografis
Kabupaten Karawang terletak antara 107°02'-
107°40' BT dan 5°56'-6°34' LS. Topografi
Kabupaten Karawang sebagian besar adalah
berbentuk dataran yang relatif rata dengan
variasi antara 0-5 m di atas permukaan laut
(dpl). Hanya sebagian kecil wilayah yang
bergelombang dan berbukit-bukit dengan
ketinggian antara 0-1.200 mdpl. Sesuai
dengan bentuk morfologi Kabupaten
Karawang, daerah ini terdiri dari dataran
rendah yang mempunyai temperatur udara
rata-rata 270C dengan tekanan udara rata-rata
0,01 milibar, penyinaran matahari 66 persen
dan kelembaban nisbi 80 persen. Curah hujan
tahunan berkisar antara 1.100-3.200
mm/tahun.
Gambar 6 Peta Karawang
4.2 Kondisi Iklim Wilayah Kajian
Kondisi iklim wilayah Karawang yang
terletak di lintang tropis dengan penyinaran
matahari sepanjang tahun salah satunya
dipengaruhi oleh topografi setempat.
Berdasarkan data yang diperoleh hubungan
unsur cuaca suhu rata-rata, suhu maksimum,
9
dan suhu minimum bulanan dalam rentang
waktu 6 tahun tertera dalam gambar berikut.
Gambar 7 Suhu udara bulanan (2004-2009)
Secara umum suhu rata-rata, suhu
maksimum, dan suhu minimum Karawang
mengikuti pola yang sama. Suhu rata-rata
bulanan berkisar antara 24.30C-28
0C. Suhu
maksimum bulanan berkisar antara 27.30C-
32.90C.Suhu minimum bulanan berkisar
antara 21.20C-23
0C. Puncak suhu tertinggi
terjadi pada bulan September dan terendah
pada bulan Januari. Pada saat memasuki
musim hujan suhu cenderung mengalami
penurunan yaitu pada bulan September –
Januari. Penurunan tersebut disebabkan oleh
kurangnya intensitas penyinaran matahari
karena lebih sering terjadi hujan.
Suhu rata-rata bulanan wilayah Karawang
berfluktuasi menurut tahun masing-masing
pengamatan. Namun suhu rata-rata sangat
fluktuatif pada tahun 2007. Peningkatan suhu
yang tinggi terjadi dari bulan Juni hingga
maksimum pada bulan September. Hal ini
dimungkinkan karena pengaruh El-Nino yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu.
Kejadian El-Nino biasanya berasosiasi dengan
kejadian kemarau panjang atau kekeringan
karena terjadinya penurunan hujan jauh dari
normal khususnya musim kemarau (Boer
2003).
Peningkatan suhu tersebut juga diikuti
dengan pengurangan curah hujan sehingga
menimbulkan kekeringan di beberapa wilayah
Indonesia. Kejadian ini berdampak pada
penurunan hasil padi di wilayah tertentu. Suhu
rata-rata terendah terjadi pada bulan Februari
tahun 2009. Suhu rata-rata tertinggi terjadi
pada tahun 2005 yaitu 22.9 0C.
Gambar 8 Kelembaban bulanan (2004-2009)
Kelembaban menunjukkan kandungan
uap air di udara. Kelembaban udara di
Indonesia selalu tinggi yaitu diatas 60 %.
Kelembaban udara Karawang berkisar antara
69-79 %. Gambar di atas merepresentasikan
hubungan kelembaban rata-rata selama dalam
rentang waktu 6 tahun. Wilayah Karawang
mengalami penurunan kelembaban udara dari
bulan Februari-Mei dan mengalami kenaikan
pada bulan Oktober-Januari. Pada saat musim
hujan kandungan uap air di udara lebih besar
sehingga nilai kelembaban udara pada
mengalami kenaikan dari bulan Oktober.
Kelembaban tertinggi terjadi pada tahun 2008.
Kelembaban dipengaruhi oleh curah hujan dan
angin. Semakin tinggi curah hujan maka
semakin tinggi pula kelembaban udara karena
kelembaban udara menun jukkan kondisi uap
air di udara.
Gambar 9 Curah hujan rata-rata (1974-2009)
Unsur iklim curah hujan wilayah
Karawang menunjukkan tipe hujan monsunal
yaitu wilayah yang memiliki perbedaan yang
jelas antara periode musim hujan (DJF) dan
periode musim kemarau (JJA). Kurva curah
10
hujan itu sendiri memiliki pola seperti huruf v
seperti yang tertera pada Gambar 8.
4.3 Periodisasi Musim Tanam Padi di
Karawang
Penanaman padi di Indonesia secara
umum bisa dilakukan sepanjang tahun.
Namun sebagian besar petani menanam padi
pada saat musim hujan karena ketergantungan
padi akan ketersediaan air yang tinggi. Berikut
ini periodisasi musim tanam padi di
Karawang.
Tabel 2 Periodisasi musim tanam padi di Karawang
Sumber : pustaka.litbang.deptan.go.id
Pemanenan padi rata-rata dilakukan
empat bulan setelah masa tanam. Tanam
utama akan menghasilkan panen raya, tanam
gadu menghasilkan panen gadu, dan tanam
kemarau menghasilkan panen kecil. Panen
raya dilakukan pada saat memasuki musim
hujan. Pemanfaatan curah hujan tersebut
memberikan hasil optimum terhadap tanaman
padi sehingga hasil yang didapatkan cukup
besar. Pada saat tanam gadu (kering) hasil
yang didapatkan tidak sebanyak pada tanam
utama karena curah hujan yang terjadi tidak
sebesar pada musim tanam utama. Untuk
kebutuhan pertanaman petani memanfaatkan
saluran irigasi. Panen paling kecil didapatkan
pada saat musim tanam kemarau. Pada musim
tanam ini petani juga membutuhkan saluran
irigasi yang besar karena minimnya curah
hujan.
4.4 Kondisi Serangan Wereng Cokelat
Kabupaten Karawang
Luas serangan hama wereng cokelat di
wilayah Karawang pada selang pengamatan
2006-2009 berbeda-beda. Peningkatan luas
serangan berbanding lurus dengan
peningkatan populasi hama wereng cokelat itu
sendiri di wilayah kajian. Penurunan luas
serangan berbanding lurus dengan
pengurangan populasi wereng cokelat di
wilayah kajian. Berikut merupakan analisis
hubungan suhu udara dengan luas serangan.
Gambar 10 Hubungan suhu rata-rata bulanan
dengan luas serangan hama
Berdasarkan gambar di atas luas serangan
hama wereng cokelat bulanan periode 2006-
2009 meningkat seiring dengan peningkatan
suhu udara. Suhu udara rata-rata terendah
terjadi pada bulan Januari. Jumlah serangan
mulai mengalami peningkatan sampai pada
bulan April. Namun serangan menurun ketika
suhu menjadi maksimum. Menurut Effendi
11
(1985) suhu optimum untuk perkembangan
wereng cokelat berkisar antara 180C-28
0C.
Meskipun suhu rata-rata tersebut berada pada
kisaran yang sesuai dengan perkembangan
hama wereng cokelat, terdapat pengaruh lain
yang menyebabkan penurunan populasi
wereng itu sendiri. Salah satunya adalah
pengaruh kelembaban mikro yang disebabkan
oleh curah hujan maupun keadaan air sawah.
Penurunan luas serangan hama juga
dipengaruhi oleh ada tidaknya tanaman padi.
Keadaan serangan pada bulan Desember,
Januari, dan Februari yang bernilai 0 terkait
dengan periodisasi musim tanam padi. Musim
tanam utama yang terjadi pada musim hujan
(DJF) yang baru mulai tanam menyebabkan
luas tanaman terserang menjadi tidak ada,
sesuai dengan Pracaya (2008) yang
menyatakan bahwa serangan wereng cokelat
terjadi pada tanaman padi yang sudah dewasa
tapi belum memasuki masa panen. Sementara
itu luas serangan paling tinggi terjadi pada
bulan Agustus pada saat musim gadu.
Gambar 11 Hubungan suhu maksimum
bulanan dengan luas serangan
hama
Gambar di atas menunjukkan hubungan
luas serangan terhadap suhu maksimum. Suhu
maksimum merupakan suhu tertinggi yang
terukur pada wilayah pengamatan. Pengaruh
suhu udara terhadap hama tumbuhan antara
lain mengendalikan perkembangan,
kelangsungan hidup dan penyebaran serangga.
Suhu maksimum bulanan mengalami
penurunan pada periode September-Januari.
Hal ini dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
yang lembap karena musim hujan. Luas
serangan terbesar terjadi pada bulan Agustus
yaitu dengan total serangan 1377 ha pada saat
suhu maksimum 310C. Untuk musim tanam
utama di wilayah ini pemanenan dilakukan
pada sekitar bulan Juni sehingga pada bulan
tersebut luas serangan tanaman yang terukur
juga lebih kecil. Sama halnya dengan Gambar
10 musim tanam mempengaruhi tidak ada
serangan pada bulan Desember, Januari, dan
Februari. Hal ini disebabkan oleh musim
tanam raya baru mulai sedangkan hama
wereng cokelat menyerang pada padi yang
sudah dewasa tapi belum memasuki masa
panen.
Gambar 12 Hubungan suhu minimum
bulanan dengan luas serangan
hama
Suhu minimum merupakan suhu yang
paling rendah yang terukur dalam jangka
waktu tertentu. Suhu yang terlalu rendah
mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan
dan perkembangan hama. Hal ini terlihat pada
Gambar 11 . Suhu minimum pada bulan
Januari, Juli, dan Desember menyebabkan
berkurangnya populasi wereng cokelat. Pada
bulan Agustus terjadi ledakan luas serangan
hama dengan suhu minimum 220C. Pada
bulan berikutnya populasi wereng cokelat
berkurang karena terjadi kenaikan suhu
sehingga luas serangan menjadi 209.5 Ha.
Fluktuasi suhu bulanan tersebut memberikan
gambaran yang sesuai dengan pernyataan
Abraham dan Nair (1975) dalam IRRI (1979),
bahwa ledakan hama wereng batang cokelat
terjadi pada selang suhu 20-300C. Suhu yang
terlalu rendah dapat mengakibatkan kematian
pada wereng cokelat sehingga luas serangan
hama menjadi lebih kecil. Pengaruh musim
tanam menyebabkan serangan tinggi terjadi
pada musim tanam gadu. Pada musim tanam
ini keadaan iklim yang tidak terlalu basah
serta suhu yang optimum menyebabkan hama
12
lebih nyaman untuk tumbuh dan berkembang
biak.
Gambar 13 Hubungan kelembaban bulanan
dengan luas serangan hama
Hubungan kelembaban dengan luas
serangan hama dapat diinterpretasikan oleh
Gambar 12. Pada saat kelembaban tinggi luas
serangan menjadi kecil sedangkan pada saat
kelembabn rendah luas serangan cenderung
besar. Kelembaban udara dapat meningkatkan
fekunditas dan fertilitas serangga. Merujuk
pada penelitian IRRI tentang kelembaban
relatif udara wereng cokelat di Filipina
menunjukkan bahwa hama akan tertekan
pertumbuhan dan perkembangannya pada
kelembaban 50-60% dan sangat sesuai pada
kelembaban 80 % (Mochida et al.1986 dalam
Ahmadi 2011).
Gambar 14 Hubungan curah hujan bulanan
dengan luas serangan hama
Hubungan antara luas serangan dengan
curah hujan terlihat pada Gambar 13 . Curah
hujan meningkat pada periode September-
Februari. Pada umumnya persentase telur
pada musim kemarau lebih rendah
dibandingkan dengan musim hujan. Hal
tersebut diduga karena tingginya faktor
mortalitas terutama parasit dan predatornya
(Soebroto et al. 1992). Dengan demikian
presentase telur pada periode Maret-Agustus
lebih besar sehingga menyebabkan
perkembangan populasi wereng cokelat pada
bulan Agustus. Selain itu hujan dapat
menyebabkan pengaruh langsung yaitu
menyapu telur hama. Menurut Ahmadi (2011)
Curah hujan yang tinggi belum tentu dapat
mejadikan serangan wereng cokelat tinggi.
Karena curah hujan yang tinggi juga dapat
membuat tergenangnya air di sawah melebihi
kapasitasnya.
4.5 Analisis Regresi
4.5.1 Regresi Kuadratik
Keragaman dan perubahan iklim
telah menimbulkan dampak terhadap
perubahan luasan tanaman yang terserang
hama wereng cokelat. Untuk itu
diperlukan analisis regresi yang bertujuan
untuk mengetahui pola dan hubungan
antara luas serangan hama dengan
komponen-komponen iklim mencakup
suhu rata-rata, suhu maksimum, suhu
minimum, kelembabab, dan curah hujan.
Dengan demikian akan dihasilkan
koefisien determinasi dari setiap unsur
iklim.
Tabel 3 Koefisien determinasi (R2) unsur
iklim
Unsur iklim tanpa
lag (%)
lag 1
(%)
lag 2
(%)
suhu rata-
rata
8.7 8.5 7.5
suhu
maksimum
6.9 6.9 6.5
suhu
minimum
15.7 16.1 17.6
kelembaban 6.7 2.1 1.8
curah hujan 6 4.6 7.2
Tabel di atas menggambarkan
koefisien determinasi (R2) dari unsur
iklim terhadap luas serangan hama.
Dengan demikian koefisien determinasi
yang lebih besar memiliki pengaruh yang
lebih kuat dibandingkan dengan koefisien
determinasi yang kecil.
Pada unsur iklim suhu rata-rata
diperoleh koefisien determinasi tertinggi
saat analisis tanpa lag yaitu sebesar 8.7
13
%. Pada unsur suhu maksimum diperoleh
nilai koefisien tertinggi pada saat analisis
tanpa lag dan lag 1. Pada unsur suhu
minimum diperoleh koefisien determinasi
tertinggi pada lag 2. Pada unsur
kelembaban diperoleh koefisien
determinasi tertinggi pada analisis tanpa
lag dan koefisien determinasi curah hujan
pada tahap lag 2. Beberapa unsur iklim
yang dianalisis tersebut memiliki
hubungan dengan luas serangan hama.
Unsur yang paling berpengaruh adalah
suhu minimum yang memiliki koefisien
determinasi paling besar diantara unsur
iklim lainnya.
Gambar 15 Hubungan luas serangan (LS)
dengan suhu rata-rata (Tr)
(tanpa lag)
Berdasarkan gambar di atas suhu
rata-rata yang memberikan koefisien
determinasi terbaik adalah pada saat
tanpa lag. Pada analisis ini hama wereng
cokelat berada pada fase dewasa.
Hubungan luas serangan dengan suhu
rata-rata diwakili oleh persamaan sebagai
berikut:
LS = - 3607 + 321.9 Tr - 6.7 Tr2
(R2=8.7% )
dimana: LS = luas serangan (ha)
Tr = suhu rata-rata (0C)
Persamaan tersebut menjelaskan
bahwa luas serangan memiliki keterkaitan
dengan suhu rata-rata. Perubahan suhu
rata-rata mengakibatkan perubahan
terhadap luas serangan hama wereng
cokelat.
Gambar 16 Hubungan luas serangan (LS)
dengan suhu rata-rata (Tr) (lag
1)
Analisis hubungan luas serangan
dengan suhu rata-rata pada lag 1
menghasilkan koefisien determinasi
sebesar 8,5 % yang tertera pasa Gambar
15. Pada kondisi ini hama berada pada
fase telur. Persamaan yang menjelaskan
hubungan luas serangan dengan suhu
rata-rata adalah :
LS = - 3838 + 339.9 Tr - 7.1 Tr2
(R2 = 8.5 %)
dimana: LS = luas serangan (ha)
Tr = suhu rata-rata (0C)
Perubahan suhu rata-rata
memberikan perubahan pada luas
serangan. Suhu rata-rata yang semakin
meningkat menyebabkan penurunan luas
serangan dengan bentuk kurva yang lebih
landai. Artinya peningkatan suhu
memberikan pengaruh berkurangnya luas
serangan yang sedikit.
Gambar 17 Hubungan luas serangan (LS)
dengan suhu rata-rata (Tr) (lag
2)
Hubungan antara suhu rata-rata
dengan luas serangan dengan
14
menggunakan lag 2 tertera pada gambar
di atas. Koefisien determinasi yang
didapatkan adalah 7,5 %. Nilai tersebut
lebih rendah dibandingkan pada lag 1 dan
lag 2. Hal ini menunjukkan bahwa
dibandingkan fase telur dan fase
nimfa,suhu rata-rata lebih berpengaruh
terhadap luas serangan pada fase dewasa.
Sementara itu persamaan yang didapatkan
untuk menunjukkan hubungan keduanya
adalah :
LS = - 3305 + 297.1 Tr - 6.241 Tr2
(R2=7.5 %)
dimana: LS = luas serangan (ha)
Tr = suhu rata-rata (0C)
Kurva yang landai menunjukkan
bahwa perubahan suhu rata-rata
mengakibatkan penurunan luas serangan
hama yang sedikit.
Gambar 18 Hubungan luas serangan (LS)
dengan suhu maksimum (TM)
(tanpa lag)
Gambar di atas menunjukkan
persamaan regresi untuk analisis tanpa
lag. Hubungan luas serangan dengan suhu
maksimum adalah:
LS = 5273 - 303.2 TM + 4.455 TM2
(R2=6.9%)
dimana: LS = luas serangan (ha)
TM = suhu maksimum (0C)
Persamaan tersebut menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara suhu
maksimum dengan luas serangan.
Peningkatan suhu maksimum juga
mengakibatkan peningkatan luas
serangan namun tidak signifikan.
Gambar 19 Hubungan luas serangan (LS)
dengan suhu minimum (Tm)
(tanpa lag)
Berdasarkan gambar di atas regresi
quadratik suhu minimum dengan luas
serangan memberikan koefisien
determinasi sebesar 15.7 %. Hal ini
berarti terdapat kontribusi suhu minimum
terhadap luas serangan hama sebesar 15.7
% pada fase telur (lag 1). Persamaan yang
mewakili hubungan keduanya adalah:
LS = - 8120 + 780.7 Tm - 18.26 Tm2
(R2 = 15.7 %)
dimana: LS = luas serangan (ha)
Tm = suhu minimum (0C)
Dengan demikian perubahan suhu
minimum berpengaruh terhadap
perubahan luas serangan.
Gambar 20 Hubungan luas serangan (LS)
dengan suhu minimum (Tm)
(lag 1)
Pada fase nimfa persamaan regresi
yang menunjukkan hubungan suhu
minimum dan luas serangan adalah:
LS = -8120 + 780.7 Tm - 18.26 Tm2
(R2=16.1 %)
dimana: LS = luas serangan (ha)
15
Tm = suhu minimum (0C)
Nilai koefisien determinasi yang
dihasilkan adalah sebesar 16.1 %. Suhu
minimum yang terlalu kecul memberikan
pengaruh pada peningkatan luas
serangan. Sedangkan suhu minimum
yang terlalu tinggi memberikan pengaruh
pada penurunan hama wereng cokelat.
Gambar 21 Hubungan luas serangan (LS)
dengan suhu minimum (Tm)
(lag 2)
Bardasarkan gambar di atas suhu
minimum dengan koefisien tertinggi
terjadi pada lag 2. Suhu minimum
memberikan pengaruh lebih besar pada
fase telur terhadap luas serangan.
Hubungan suhu minimum dengan luas
serangan adalah:
LS = - 8276 + 797.6 Tm - 18.69 Tm2
(R2 =17.6 %)
dimana: LS = luas serangan (ha)
Tm = suhu minimum (0C)
Persamaan tersebut menjelaskan
bahwa perubahan suhu minimum
mengakibatkan perubahan luas serangan.
Pada saat suhu minimum berada pada
kisaran 180C-21
0C peningkatan suhu
minimum berbanding lurus dengan
peningkatan luas serangan. Namun pada
saat suhu minimum diatas 210C
peningkatan suhu minimum
menyebabkan penurunan luas serangan.
Gambar 22 Hubungan luas serangan (LS)
dengan kelembaban (RH)
(tanpa lag)
Hubungan kelembaban terhadap luas
serangan ditunjukkan oleh Gambar 21 .
Kelembaban berpengaruh pada
perkembangan serangan saat wereng
berada pada fase dewasa. Persamaan
regresi yang didapat adalah:
LS= - 1990 + 65.50 RH - 0.4884 RH2
(R2=6.7 %)
dimana: LS = luas serangan (ha)
RH = kelembaban (%)
Dengan demikian unsur iklim
kelembaban mempengaruhi luas serangan
hama. Kelembaban yang terlalu rendah
tidak baik untuk perkembangan wereng
cokelat begitu pula kelembaban yang
terlalu tinggi sehingga kelembaban
optimum untuk pertumbuhan dan
perkembangan hama wereng cokelat
adalah 50 – 60 % (Mochida et al.1986).
Gambar 23 Hubungan luas serangan (LS)
dengan curah hujan (CH) (lag
2)
16
Gambar di atas menunjukkan
hubungan antara curah hujan dan luas
serangan dengan menggunakan lag 2
sehingga curah hujan lebih berpengaruh
pada fase telur. Hubungan tersebut
diwakili oleh persamaan :
LS = 172.8 - 2.9 CH + 0.02 CH2
(R2=7.2 %)
dimana: LS = luas serangan (ha)
CH = curah hujan (mm)
Dengan demikian terdapat hubungan
antara curah hujan dengan luas serangan
hama.
4.5.2 Regresi Berganda
Analisis regresi berganda dilakukan
untuk mengetahui hubungan linier antara
luas serangan hama dengan beberapa
unsur iklim secara bersama-sama. Hasil
keluaran minitab yang menunjukkan
koefisien determinasi tertinggi adalah
pada hubungan berikut:
LS = 905 - 28.0 Tr - 0.12 RH + 0.210 CH
dimana: LS = luas serangan (ha)
Tr = suhu rata-rata (0C)
RH = kelembaban (%)
CH = curah hujan (mm)
Persamaan tersebut memiliki nilai
keeratan 7.2 %. Dengan demikian dari
unsur iklim suhu rata-rata, suhu
maksimum, suhu minimum, kelembaban,
dan curah hujan unsur iklim yang
memiliki hubungan lebih besar menurut
koefisien determinasi secara bersamaan
adalah suhu rata-rata, kelembaban, dan
curah hujan. Faktor-faktor iklim yang
diduga berpengaruh terhadap hama
menurut Kisimoto dan Dyck (1976) di
antaranya adalah suhu, kelembapan
relatif, curah hujan dan angin. Nilai
koefisien determinasi yang kecil
menunjukkan bahwa kontribusi unsur
iklim terhadap luas serangan juga kecil.
Hal ini dikarenakan luas serangan hanya
menjelaskan luasan tanaman padi yang
terserang tanpa mengetahui populasi
hama wereng tersebut.
4.6 Analisis Klimogram
Klimogram merupakan grafik yang
menunjukkan interaksi dari dua buah unsur
iklim rata-rata bulanan. Grafik berikut
memperlihatkan klimogram yang merupakan
interaksi dari unsur iklim kelembaban dan
suhu udara. Kedua unsur iklim tersebut dipilih
karena memiliki pengaruh besar terhadap
pertumbuhan dan perkembangan hama.
Gambar 24 Klimogram wereng cokelat
Keterangan angka dalam kurung menunjukkan [bulan, tingkat serangan]
Klimogram di atas dibuat untuk menguji
kesesuaian antara unsur iklim kelembaban dan
suhu rata-rata daerah Karawang dengan hama
wereng cokelat. Pada dasarnya kelembaban
optimum untuk perkembangan dan
pertumbuhan hama wereng cokelat adalah 70
– 85 % sedangkan untuk suhu rata-rata berada
pada kisaran 250C – 30
0C sehingga
didapatkan beberapa titik di dalam daerah
yang diarsir sebanyak sembilan titik. Titik-
titik tersebut merupatkan plot serangan hama
bulanan yang meliputi bulan Februari, Maret,
April, Juni, Agustus, September, Oktober,
November, dan Desember. Dengan demikian
pada bulan-bulan tersebut di daerah Karawang
hama wereng cokelat dapat berkembang
17
secara optimum sehingga menjadi rawan
untuk tanaman padi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Analisis regresi linier yang menunjukkan
hubungan yang paling kuat adalah hubungan
suhu minimum dengan luas serangan yang
memiliki koefisien determinasi sebesar 17.6
% pada lag 2. Analisis regresi berganda
menunjukkan hasil bahwa unsur iklim yang
berpengaruh secara bersamaan terhadap luas
serangan hama wereng adalah suhu rata-rata,
kelembaban, dan curah hujan dengan
koefisien determinasi sebesar 7.2 %. Dengan
koefisien determinasi yang kecil ini belum
mampu menunjukkan pengaruh unsur iklim
terhadap luas serangan hama secara nyata.
Klimagrom dapat memberikan gambaran
potensi serangan hama wereng cokelat.
Analisis menunjukan bahwa potensi serangan
ada pada selang suhu 250C – 30
0C dan
kelembaban pada selang 70-85 %.
5.2 Saran
Analisis klimogram menggambarkan
potensi hama dalam kisaran unsur iklim yang
optimum untuk pertumbuhan dan
perkembangan hama. Analisis ini hanya
mampu memetakan potensial wilayah bulanan
sehingga dibutuhkan data beberapa wilayah
untuk analisis lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Baehaki SE. 1985. Studi Perkembangan
Populasi Wereng Coklat Nilaparvata
lugens (Stal) Asal Imigran dan
Pemencarannya di Pertanian.
Fakultas Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Baehaki SE, Sasmita P, Kertoseputro D, Rifki
A. 1996. Pengendalian Hama
Berdasar Ambang Ekonomi dengan
Memperhitungkan Musuh Alami
Serta Analisis Usaha Tani dalam
PHT. Temu Teknologi dan Persiapan
Pemasyarakatan Pengendalian Hama
Terpadu. Lembang. 81 hlm.
Baco D. 1984. Biologi Wereng Coklat,
Nilaparvata Lugens Stal. Dan
Wereng Batang Putih, Sogatella
Furcifera Horvath Serta Interaksi
Antara Keduanya Pada Tanaman
Padi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Bayer CropScience. The long-lasting
Solution Againts Brownplanthopper.
[www.agrocourier.com] [21
Desember 2011]
[BBPTP] Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi. 2007. Tegnologi Pengendalian
Wereng Cokelat. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Balai
Besar Penelitian Tanman Padi.
Subang.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Luas
Panen,Produktivitas dan Produksi
Tanaman Padi Seluruh Provinsi.
[http://www.bps.go.id] [13 Februari
2012]
Hidayat T. 2000. Analisis Hubungan Iklim
dengan Populasi dan Luas Serangan
Wereng Batang Cokelat (Nilparavata
lugens Stal.) di Jatisari, Karawang.
Laporan Praktik Lapang. Jurusan
Geofisika dan Meteorologi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
[IRRI] International Rice Reseach Intitute.
1979. Brown Planthopper : Treat to
Rice Production in Asia. Filipina :
International Rice Reseach Intitute.
[IRRI] International Rice Reseach Intitute.
2009. Part of the image collection of
the International Rice Research
Institute (IRRI). [26 Juli 2011]
[Ditjentan] Direktorat Jenderal Pertanian
Tanaman Pangan. 1986.
Pengendalian Hama Terpadu
Wereng Coklat Pada Tanaman Padi.
Jakarta: Ditjentan.
Kalshoven LGE. 1981. Pest of Crops in
Indonesia. Jakarta : PT Ichtiar Baru –
Van Hoeve.
Kisimoto R and Dyck VA. 1976. Climate and
rice insects. p.367-390. In Proc.
Symposium on Climate and Rice
(International Rice Research
Institute, ed.). IRRI, Los Banos,
Philippines.
Koesmaryono Y. 1991. Kapita Selekta dalam
Agrometeorologi. Jakarta: Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Koesmaryono Y. 1999. Hubungan Cuaca-
Iklim Dengan Hama dan Penyakit
Tanaman. Kumpulan Makalah
Pelatihan Dosen-dosen Perguruan
Tinggi Negeri Indonesia Bagian
18
Barat dalam Bidang
Agrometeorologi. Bogor 1-12
Febuari 1999.
Mavi HS dan Tupper GJ. 2004.
Agrometeorology Principles and
Applications of Climate Studies in
Agriculture. New York: Food
Products Press
Mochida. 1978. Brown Plantopher “Hama
Wereng” Problems on Rice in
Indonesia. Sukamandi, Jawa Barat :
Cooperative CRIA –IRRI Program.
Nurbaeti B, Diratmaja A, Putra S. 2010. Hama
Wereng Cokelat (Nilaparvata Lugens
stal) dan Pengendaliannya. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa
Barat. Departemen Pertanian.
Oktarina R. 2009. Tanggap Fungsional
Predator Cyrotorhinus lividipennis
Reuter (Hemiptera:Miridae) terhadap
Hama Wereng Batang Cokelat
Nilaparvata lugens Stal
(Hemiptera:Delphacidae). Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Pracaya. 2008. Hama dan Penyakit
Tanaman. Penebar swadaya :
Jakarta.
Soemawinata TA, Sosromarsono S. 1986.
Hama Wereng Cokelat dan masalah
Pengendaliannya di Indonesia.
Prosiding Diskusi Ilmiah. Institut
Pertanian Bogor.
Soegawa K. 1971. Feeding Behaviors of The
Brown Planthopper and Variental
Resistance of Rice to This Insect.
Tropical Agriculture Research
Center. Tokyo : Ministry of
Agriculture and Foresry.
Soegawa K. 1986. Resurgence of BPH
populations by insecticides. Short
Report. Indonesia Japan Join.
Programme on Food Crop.
Protection. 5 p.
Sosromarsono S. 1979. Pengaruh Iklim
Terhadap Perkembangan Serangga
Hama. Simposium Meteorologi
Pertanian Bogor.
Speight MR, Hunter MD, Watt AD. 2008.
Ecology of Insects: Consepts and
Application. Britain: The Alden Press
Subroto SWG, Wahyudin, Toto H, Sawanda
H. 1992. Taksonomi dan Bioekologi
Wereng Batang Coklat Nilparvata
lugens Stall. Kerjasam Teknis
Indonesia – Jepang Bidang
Perlindungan Tanaman Pangan
(ATA-162) Laporan Akhir Wereng
Batang Coklat. Direktorat Bina
Perlindungan Tanaman. Direktorat
Jendral Pertanian Tanaman Pangan.
Sumarno. 2000. Periodisasi Musim Tanam
Padi Sebagai Landasan Manajemen
Produksi Beras Nasional
[pustaka.litbang.deptan.go.id] [13
Februari 2012]
Sunjaya IP. 1970. Dasar-dasar Ekologi
Serangga. Diktat tidak
dipublikasikan. Ilmu Hama Tanaman
Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB.
Bogor.
19
LAMPIRAN
20
Lampiran 1 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu rata-rata tanpa lag
The regression equation is
Luas serangan (Ha) = - 3607 + 321.9 Suhu rata-rata (C)
- 6.747 Suhu rata-rata (C)**2
S = 194.383 R-Sq = 8.7% R-Sq(adj) = 2.6%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 108423 54211.5 1.43 0.254
Error 30 1133546 37784.9
Total 32 1241969
Sequential Analysis of Variance
Source DF SS F P
Linear 1 86977.1 2.33 0.137
Quadratic 1 21445.9 0.57 0.457
Lampiran 2 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu rata-rata lag 1
The regression equation is
Luas serangan (Ha) = - 3838 + 339.9 Suhu rata-rata (C)
- 7.091 Suhu rata-rata (C)**2
S = 194.681 R-Sq = 8.5% R-Sq(adj) = 2.3%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 104951 52475.6 1.38 0.266
Error 30 1137018 37900.6
Total 32 1241969
Sequential Analysis of Variance
Source DF SS F P
Linear 1 82045.7 2.19 0.149
Quadratic 1 22905.5 0.60 0.443
Lampiran 3 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu rata-rata lag 2
The regression equation is
Luas serangan (Ha) = - 3305 + 297.1 Suhu rata-rata (C)
- 6.241 Suhu rata-rata (C)**2
S = 195.684 R-Sq = 7.5% R-Sq(adj) = 1.3%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 93200 46599.9 1.22 0.310
Error 30 1148769 38292.3
Total 32 1241969
Sequential Analysis of Variance
Source DF SS F P
Linear 1 75049.9 1.99 0.168
Quadratic 1 18150.0 0.47 0.496
21
Lampiran 4 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu maksimum tanpa lag
The regression equation is
Luas serangan (Ha) = 5273 - 303.2 Suhu maksimum (C) + 4.455 Suhu maksimum
(C)**2
S = 196.365 R-Sq = 6.9% R-Sq(adj) = 0.6%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 85188 42594.2 1.10 0.344
Error 30 1156781 38559.4
Total 32 1241969
Sequential Analysis of Variance
Source DF SS F P
Linear 1 75701.9 2.01 0.166
Quadratic 1 9486.5 0.25 0.624
Lampiran 5 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu minimum tanpa lag
The regression equation is
Luas serangan (Ha) = - 7807 + 752.6 Suhu minimum (C) - 17.64 Suhu minimum
(C)**2
S = 186.779 R-Sq = 15.7% R-Sq(adj) = 10.1%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 195380 97690.0 2.80 0.077
Error 30 1046589 34886.3
Total 32 1241969
Sequential Analysis of Variance
Source DF SS F P
Linear 1 50468 1.31 0.261
Quadratic 1 144912 4.15 0.050
Lampiran 6 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu minimum lag 1
The regression equation is
Luas serangan (Ha) = - 8120 + 780.7 Suhu minimum (C) - 18.26 Suhu minimum
(C)**2
S = 186.368 R-Sq = 16.1% R-Sq(adj) = 10.5%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 199976 99988.1 2.88 0.072
Error 30 1041993 34733.1
Total 32 1241969
Sequential Analysis of Variance
Source DF SS F P
Linear 1 44463 1.15 0.292
Quadratic 1 155513 4.48 0.043
22
Lampiran 7 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu minimum lag 2
The regression equation is
Luas serangan (Ha) = - 8276 + 797.6 Suhu minimum (C) - 18.69 Suhu minimum
(C)**2
S = 184.659 R-Sq = 17.6% R-Sq(adj) = 12.1%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 219004 109502 3.21 0.054
Error 30 1022965 34099
Total 32 1241969
Sequential Analysis of Variance
Source DF SS F P
Linear 1 53160 1.39 0.248
Quadratic 1 165844 4.86 0.035
Lampiran 8 Hasil output minitab 14 analisis regresi kelembaban tanpa lag
The regression equation is
Luas serangan (Ha) = - 1990 + 65.50 Kelembaban (%) - 0.4884 Kelembaban
(%)**2
S = 196.489 R-Sq = 6.7% R-Sq(adj) = 0.5%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 83726 41863.1 1.08 0.351
Error 30 1158243 38608.1
Total 32 1241969
Sequential Analysis of Variance
Source DF SS F P
Linear 1 418.5 0.01 0.919
Quadratic 1 83307.7 2.16 0.152
Lampiran 9 Hasil output minitab 14 analisis regresi curah hujan lag 2
The regression equation is
Luas serangan (Ha) = 172.8 - 2.860 Curah hujan (mm)
+ 0.02446 Curah hujan (mm)**2
S = 196.014 R-Sq = 7.2% R-Sq(adj) = 1.0%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 89329 44664.3 1.16 0.326
Error 30 1152640 38421.3
Total 32 1241969
Sequential Analysis of Variance
Source DF SS F P
Linear 1 1103.4 0.03 0.869
Quadratic 1 88225.2 2.30 0.140
23
Lampiran 10 Hasil output minitab 14 analisis regresi curah hujan lag 2
The regression equation is
Luas serangan (Ha) = 905 - 28.0 Suhu rata-rata (C) - 0.12 Kelembaban (%)
+ 0.210 Curah hujan (mm)
Predictor Coef SE Coef T P
Constant 905.1 562.2 1.61 0.118
Suhu rata-rata (C) -28.01 19.81 -1.41 0.168
Kelembaban (%) -0.123 3.532 -0.03 0.972
Curah hujan (mm) 0.2101 0.7672 0.27 0.786
S = 199.308 R-Sq = 7.2% R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 3 89986 29995 0.76 0.528
Residual Error 29 1151983 39724
Total 32 1241969
Source DF Seq SS
Suhu rata-rata (C) 1 86977
Kelembaban (%) 1 32
Curah hujan (mm) 1 2978
top related