repository.unpar.ac.id › bitstream › handle › 123456789... pergeseran peran dan fungsi lembaga...
TRANSCRIPT
PERGESERAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA ADAT
PADA MASYARAKAT MINANGKABAU
( Dalam Perspektif Studi Hukum Adat )
Disusun oleh :
Catharina De11<i Wulansari
LEMBAGA PENELITIAN
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
BA NDU N G
1999
ABSTRACT
THE TRANSITION OF ROLES AND FUNCTIONS OF
TRADITIONAL INSTITUTION IN MINANGKABAU SOCIETY
( IN THE PERSPECTICAL SUDY OF ADAT LAW)
By: Catharina Dewi Wulansari, SH.,MH.
This research was performed in Kecamatan Lima Kaum, the country of Tanah Datar, the provence of West Sumatera. The research used the qualitative method, because of the close relation with the aims of this study to gain the deep understanding about the role and functional transition in Minangkabau society.
This sudy gave some understanding senses that Minangkabau traditional institution had the impact of social function, were needed, and l1ad to exist, to countinue the structural integration of tradition , social structure, and facilities in the Minangkabau society. If one of these elements didn't have "any " role nor function then it would have any impact to the role and function of the other elements in Minangkabau traditional institution . That's why, at December 7 th
' 2000 the west Sumatera's house of representatives, agreed to reiegalize pemerintahan Nagari through the regional regulation about the principle of the west Sumatera Rural Government Replacement become Pemerintahan Nagari which had been erase by Indonesian Government 52 years ago, by the m iddle Sumatera Regional Government Regulation No 17/GP/48 at April 8th, 1948; and No 58/GP/50 at June 14th 1950; The basic law about regional government No 22/1948; Rural Government Law No 5/ 1979 which performance in West Sumatera by the province of West Sumatera Government Regulation No 7 /1981. In the further development, this Minangkabau traditional institution experienced the role and functional shifting in the society life and Minangkabau tradition. These shifting were seen in the role and function of mamak in Kaum or in his tribes at Parui or rumah gadang which moved to "urang sumando'', and the relation between son and his "bako" became deeper and deeper, which drew social alteration i n the relatives system and Minangkabau tradition. The mamak's role and functional shiftin g in rumah gadang had been exist since the Islamic influence entered via Aceh to Minangkabau, which made the husband status was higher and higher in the family life. The influence of going abroad custom caused and acculturation in the social life and Minangkabau tradition. The agrarian
regulation No 511960, the government regulation No 10/1961 about the land registration, and the agriculture and agrarian minister regulation No 211962 about the confirm of conversi,on and land registration of ex
Indonesian rights which needed to be certified by government, caused the shifting of traditional institution's role and function exist in Minangkabau Society. As a whole, the role and functional transition of Minangkabau traditional institution were gave some influences to set apart the traditional methods by the society, towards the reorientation, the acceptance changing of the other cultures normative structure, without considering the reaffirmation possibilities, to strengthen the traditional custom of Minangkabau Society.
If the role and social function of Minangkabau traditional institution were studied, there were the binding and moving power of society; which pointed out the social system identity and Minangkabau society's culture. These binding and moving power were capable to become the supporting power of the developing implementation in the Province of west Sumatera. Then it's suggested that Minangkabau Government, and traditional society, eagered to realize the role and social function of Minangkabau traditional society. The effort of west Sumatera's House represntatives at December ih, 2000 to legalize the regional regulation about the basic principle, of the rural government changing in west Sumatera to become Pamarintahan Nagari, suggested the center government, West Sumatera Government and Minangkabau Society; to support seriously this plan in the relation of regional autonomy of west Sumatera. Considering Agrarian Law No 5/1960, Government Regulation No. 1011961 about Land Registration and the agriculture the agrarian minister regulation No 2/1962 about the confirm of conversion and land registration of ex Indonesian rights, which had broad impact to the land controlling, using, and possessing i n Minangkabau society, those are: the appearance of social changes in the nature of the social relation gap; wheter in Kaum or i nter kaum; the lost of Kaum and the testament law in Minangkabau society tradition. Then, it's suggested to observed the laws and regulations, so the negative issues which influenced the implementation of west Sumatera Province Development could be eliminate.
11
ABSTRAK
PERGESERAN PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA ADAT DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU
(DALAM PERSPEKTIF STUDI HUKUM ADAT) Oleh:
Catharina Dewi Wulansari, SH.,MH.
Penelitian ini dilaksanaka11 d i Kecamatan Lima Kaum, Kabupaten OT. II Tanah Oatar Propinsi OT. I Sumatera Bara!. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan alasan erat hubungannya dengan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini untuk memperoleh pemahaman dan makna yang mendalam tentang pergeseran peran dan fungsi lembaga adat dalam masyarakat Minangkabau.
Hasil penelitian menunjukkan pemahaman, bahwa lembaga adat Minangkabau memiliki fungsi sosial, yang memberi pengaruh dan merupakan suatu kebutuhan serta mutlak adanya terhadap kelangsungan masyarakat dan adat Minangkabau yang secara struktural. adat, struktur sosial dan pranata sosial terintegrasi kedalamnya. Apabila salah satu di antara u nsur-unsur lembaga adat Minangkabau ini seperti rumah gadang, mamak kaum atau mamak suku, lembaga kerapatan adat Minangkabau dan Nagari, tidak memiliki peran dan fungsinya, maka ia akan memberi pengaruh terhadap peran dan fungsi dari unsur-unsur yang lainnya. Sehubungan dengan adanya usaha DPRD Tingkat I Sumatera Barat pada tanggal 7 Desember tahun 2000 yang lalu, sepakat untuk mengesahkan kembali adanya pemerintahan nagari melalui Perda tentang Ketentuan Pokok Perunabahan Pemerintahan Desa di Sumatera Barat menjadi Pemerintah Nagari yang telah 52 tahun dihapuskan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui P P Oaerah Propinsi Sumatera Tengah No. 17 /GP/48 tertanggal 8 April 1948 dan No. 50/GP/50 tertanggal 1 4 juni 1950, serta UU Pokok tentang Pemerintahan Daerah No. 22 tahu n 1 948, UU No 5 tah u n 1979 tentang Pemerintahan Desa yang pelaksaanannya di Sumatera Barat ditetapkan dalam Perda Tingkat I P ropinsi Sumatera Barat No. 7 tah u n 1981, menunjukkan bahwa lembaga adat Minangkabau masih merupakan suatu kebutuhan serta mutlak adanya terhadap kelangsungan masyarakat dan adat minangkabau. Terjadinya pergeseran peran dan fungsi lembaga adat dalam masyarakat Minangkabau yang menggambarkan telah terjadi perubahan sosial dalam masyarakat dan ;:idat Minangkabau, sebenarnya telah terjadi sejak masuknya pengaruh Islam lewat Aceh di Minangkabau. lni terlihat pada lembaga mamak kaum atau suku pada parui' atau rumah gadang telah beralih ke " urang Sumando", kemudian semakin eratnya h ubungan antara anak dengan "bako" nya, semakin erat hubungan antara bako dengan anak
111
"pisang"nya, masuknya malim ke lembaga kerapatan adat Minangkabau, masuknya gelar Sutan atau Marah, Sidi, Bagindo ke dalam tatanan panghulu dalam kaum alau suku. Pergeseran peran dan fungsi lembaga adal dalam masyarakal Minangkabau ini dapal juga terjadi sebab adanya lradisi meranlau dalam masyarakal dan adal Minangkabau yang menyebabkan lerjadinya akullurasi budaya lain ke dalam masyarakat dan adat Minangkabau. Begilu pula dengan adanya UUPA No. 5 tahun 1960 dan PP No. 10 tahun 1961 lentang pedaftaran tanah dan peraluran menteri pertanian dan agraria No. 2 lahun 1962 lenlang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia alas Tanah yang menghendaki dibualnya serlifikal lanah oleh pemerinlah turul pula memberi pengaruh terhadap terjadinya pergeseran peran dan fungsi lembaga adal dalam masyarakat Minangkabau. Secara menyeluruh pergeseran peran dan fungsi lembaga adal Minangkabau ini memberi pengaruh lerhadap pengasingan cara-cara lradisional oleh masyarakal menuju ke arah reorientasi, penerimaan slruktur normalif kebudayaan lain lanpa mengindahkan kemungkinan penguatan kembali (reafirmation), unluk memperkokoh kebudayaan masyarakat Minangkabau.
Padahal apabila dililik lembaga adal Minangkabau di samping memiliki peran dan fungsi sosialnya yang menggambarkan identilas sosial dan budaya masyarakal dan adat Minankabau, ia juga memiliki daya pengikal dan daya gerak masyarakat yang dapat dijadikan polensi penunjang pelaksanaan pembangunan di propinsi OT. I Sumalera Baral. Oleh karena itu dalam penelilian ini d1sarankan agar pihak pemerintah dan masyarakat adal Minangkabau, mau memahami kembali tentang penting peran dan fungsi lembaga adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Sebab itu adanya usaha Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkal I Sumalera Baral yang pada tanggal 7 Desember 2000 unluk mengesahkan Peraluran Daerah tentang Ketentuan Pokok Perubahan Pemerintahan Desa di Sumatera Baral kembali menjadi Pemerintahan Nagari, perlu Pemerintah Pusal dan Pemerintah Daerah Sumalera Baral, serta masyarakat Minangkabau untuk secara bersungguh sungguh mendukung rancangan tersebut dalam kailannya dengan pelaksanaan otonomi daerah yang akan dilaksanakan di Sumatera Barat. Apabila ditilik tentang masih berlakunya UUPA No. 5 tahun 1960, P P No. 1 O lahun 1961 tenlang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 tenlang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia Alas Tanah, yang memberi akibat luas dalam penguasaan , penggunaan, dan kepemilikan lanah dalam masyarakat Minangkabau yang menimbulkan adanya perubahan sosial sebaiknya ketenluan peraluran perundang-undangan i n i perlu dilinjau kembali untuk menghilangkan adanya isu negalif dalam pelaksanaan pembangunan dan otonomi daerah d i propinsi OT. I S umatera Baral.
IV
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
penelitian ini yang merupakan pe'lelitian perorangan yang d ilaksanakan
dalam u.saha untuk memahami s·1stem sosial dan budaya masyarakat
Minangkabau dari perspektif kajian studi Hukum Ad at
Cukup sulit untuk memahami masyarakat dan adat Minangkabau,
yang disebabkan karena sangat kompleksnya struktur sosial yang ada
dalam sistem sosial dan budaya masyarakat Minangkabau. Sesulit
apapun usaha pemahaman terhadap masyarakat dan adat Minangkabau
ini haruslah dilakuka n , dalam rangka pengembangan studi hukum adat
pada Fcikultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.
Penelitian ini banyak melibatkan berbagai pihak, oleh karena itu
sudah pada tempatnya dalam kesempatan ini diucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya, terutama masyarakat di lokasi penelitian yang
dijadikan responden dalam penelitian ini seperti, Kaum Panghulu, Kaum
Alim Ulama, Kaum Cerdil\ Pandai, Kaum Ninik Mama!<, anggota
masyarakat Jainnya, Kepala Desa, Kepala Kelurahan dan Carnal. Begitu
pula ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya disampaikan kepada
yang terhormat Bapak Prof. Dr. Arief Sidharta ,S.H, Kepala Lembaga
Penelitian U n iversitas Katolik Parahyangan yang telah memberikan
kesempatan untuk terselenggaranya penelitian ini.
Harapan dari penelitian ini adalah dapat bermanfaat dalam proses
belajar dan mengajar serta pengembangan studi ilmu hukum adat pada
Fakultas Hukum U n iversitas Katolik Parahyangan.
Bandung, 25 Desember 2000
v
ABSTRACT
ABSTRAK
DAFTAR ISi
Halaman
iii
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISi
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
v
vi
viii
IX
BAB I
BAB 11
BAB Ill
PENDl\HULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
1.2. ldentifikasi Masalah
1.3. Maksud dan Tujuan Pener1tian
1.4. Kegunaan Penelitian
1.5. Kerangka Pemikiran dan Asumsi Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
1
1
16
16
17
17
38
2.1. Teori Perubahan Sosial 38
2.2. Teori Struktural-Fungsional 81
2.3. Teori Struktural-Fungsional Bronislaw K.Malinowski 84
2.4. Teori Struktural-Fungsional A.R.Radcliffe-Brown 110
OBYEK DAN METODE PENELITIAN 162
3.1. Metode Penelitian yang Digunakan 162
3.2. Pemilihan Daerah Penelitian 168
3.3. Data Penelitian yang Diperlukan 172
3.4. Teknik Pengumpulan Data Penelitian 173
3.5. Teknik Analisis Data Penelitian 178
VI
BAB IV
BAB V
HASIL PENEL/TIAN DAN PEMBAHASAN 184
4.1. Masyarakat Minangkabau Tradisional 184
4.2. Lembaga Adat Minangkabau 201
4.3. Peran dan Fungsi Lembaga Ada! Da/am
Masyarakat Minangkabau 205
4.4. Pergeseran Peran Dan F�ngsi Lembaga A.dat, Faktor
Yang Mempengaruhi Serta Dampaknya Dalam
Masyarakat Minangkabau
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpu/an
5.2. Saran
306
337
337
350
DAFTAR PUSTAKA 353
Vil
DAFT AR T ABEL
TABEL 11-1 Perbandingan Antara Organisme Biologi Dengan Organisme Sosial
TABEL 111-2 Pengelompokkan Sumber Data Penelitan
TABEL IV-1 Nama Suku dan Kumpulan Suku
Vlll
Halaman
129
173
214
DAFT AR GAMBAR
GAMBAR 111-1 Komponen-komponen Analisa Data
GAMBAR IV-1 Lembaga Rumah Gadang
GAMBAR IV-2 Lembaga Ada! Minangkabau
GAMBAR IV-3 Pola Perubahan Hubungan Sosial
IX
Halaman
182
207
254
320
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Masyarakat Minangkabau adalah satu dari 1 40 kumpulan etnik
yang tersebar di alas 3000 IPUlau di Indonesia yang menempati bagian
tengah pulau Sumatera sebagai kampung halaman mereka yang kin i
sebagian besarnya merupakan Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera
Ba rat.
Mengikuti hasil sensus penduduk yang di lakukan oleh
pemerintah Belanda (Kato, 1 989: 1 -2) pada tahun 1 930 saja, jumlah
masyarakat Minangkabau dikalangan penduduk I ndonesia telah
mencapai 3%, namun mereka in i merupakan kumpulan etnik yang ke
empat besarnya di Indonesia diband ingkan orang Jawa (47%), orang
Sunda ( 1 5% ) , dan orang Madura (7%). Sedangkan di pulau Sumatera
masyarakat Minangkabau i ni merupakan kelompok etnik yang terbesar
dengan jumlah penduduknrya 25,6% dari seluruh penduduk pulau
Sumatera, setelah itu d i ikuti orang Batak ( 1 5 ,6% ) , orang Jawa
1
( 1 1 ,4%), orang Aceh ( 1 0%), orang Palembang (9 ,9%) dan orang
Melayu (7 , 9%).
Dalam tahun 1 920-an dan 1 930-an menurut Gravis ( 1 971 :3-4)
dari l ima belas penulis utama di Indonesia sembilan diantaranya
adalah orang Minangkabau. Begiiu pula menurut Noer ( 1 973:3 1 -35)
sumbangan orang Minangkabau kepada kepemimpinan Islam baik
dalam bidang politik maupun pendidikan amat mengagumkan. Mereka
ini menurut Furnavall ( 1 967:47) dipercayai adalah satu dari bilangan
kecil kumpulan etnik I ndonesia yang berupaya bersaing dengan orang
Cina dalam perniagaan.
Pada tahun 1 952 (Yasunaka, 1 970: 1 16) surat kabar harian
"Abadi" di Jakarta melakukan suatu tinjauan pendapat umum
mengenai orang terkemuka di Indonesia, maka dari sepuluh orang
yang terpi l ih , empat diantaranya adalah orang Minangkabau yaitu
Mohammad Hatta, Mohammad Natzsir, Haji Agus Sal im, dan Sutan
Syahrir merupakan nasional!is terkenal pada waktu itu, dan 1 1 % dari
kursi kabinet antara 1 945 dan 1 957 di isi oleh orang Minangkabau.
Kemashyuran orang Minangkabau dalam bidang-bidang ini
banyak sedikitnya disebabkan pener imaan pendidikan lebih awal yang
diperoleh mereka dari orang-orang Belanda. Pada tahun 1 950-an,
2
kelebihan mereka dari segi pendidikan dibandingkan dengan
kumpulan etnik /ainnya mulai berkurang sejak adanya pemberontakan
"PRRI" di wi layah Sumatera Tengah dalam tahun 1 958. Menurut Kato
( 1 989:3) pemberontakan in i banyak sedikitnya mengurangi peranan
orang Minangkabau di tingkat nasional.
Jumlah orang Minangkabau in i cukup besar ditemukan di
berbagai w i layah Indonesia termasuk di Semenanjung tanah Melayu.
Di Aceh misa lnya menurut Teuku Syamsuddin (Koentjaraningrat,
1 97 1 : 229) di pantai barat dan barat daya Aceh terdapat kira-kira
350.000 orang Anak Jamee (tamu) yaitu para migran Minangkabau,
yang berdasarkan perkiraan pada tahun 1 961 menunjukkan bahwa
20% dari penduduk Aceh yaitu 1 .630. 983 menggunakan bahasa
Minangkabau. Hal ini bisa terjadi disebabkan oleh adanya tradisi
merantau dalam lembaga adat Minangkabau yang telah berjalan
cukup panjang.
Menurut Nairn ( 1 984:72) para migran Minangkabau di Aceh ini
dapat ditemukan di Sengkel, Trumon, Tapak Tuan , Moukok dan
Meu/aboh. Mereka in i diterima oleh masyarakat setempat sebagai
anak Jamee (tamu) dan diperlakukan sama dengan anggota mereka
sendir i . Sedangkan asimi lasi mereka dengan suku bangsa Aceh tidak
3
memerlukan waktu yang pa111jang, hal in i karena mereka menghadapi
musuh yang sama yaitu kolonial Belanda. Umpamanya Teuku Umar
Johan Pahlawan dan Cut Ny:ak Dien, pahlawan Aceh dalam memimpin
pertempuran melawan Belanda keduanya adalah Anak Jamee.
Walaupun demikian asimi lasi yang terjadi tidak menjauhkan
mereka dalam mempertahankan identitasnya sebagai masyarakat
Minangkabau. Bahkan di antara mereka sampai sekarang masih terus
mempergunakan logat Minangkabau dalam percakapan sehari
harinya, dan hanya mempergunakan bahasa Aceh dan Melayu dengan
orang l,a in . Karena itulah menurut Nairn (1 984: 7 1 ) mereka masih
mengikuti adat Minangkabau dan di atas segala-galanya mereka
bangga disebutkan sebagai keturunan Minangkabau.
Di Malaysia masyarak.at Minangkabau in i dapat ditemukan dan
penempatannya yang besar cii Neger i Sembilan. Perpindahan mereka
in i ke Malaysia menurut de .Jong ( 1952: 7) diperkirakan terjadi pada
awal abad ke-15 atau abad! ke-16 yang lampau. Perluasan daerah
merantau mereka in i sampai juga ke wilayah-wi layah pantai Serawak,
Brunei, dan bahkan ke SulUJ di Fi l ipina Selatan yang diperkirakan
terjadi pada awal abad ke-15.
4
Dalam hal ini Nairn (1 984: 75-76) menyebutkan bahwa keluarga
Kerajaan Brunei Darussalam pun sam pai kini masih mengakui dan
mengenal seluk beluk ketuirunan nenek moyang mereka dar i Johar
dan Minangkabau. Peninggalan in i dapat ter l ihat pada ::>i ls i lah Sultan
Muhammad Tajuddin dari Brunei yang terpahat pada batu nisan
makamnya.
Daerah MinangkabauJ secara tradisi terdiri dari kesatuan
kesatuan geografis, politik-ekonomis, kultur, histor is lazim disebut
sebagai Pesisir, Dare dan Rantau. Untuk daerah rendah di sebelah
barat Bukit Barisan dan berbiatasan d�ngan Samudera Indonesia biasa
disebut Pesisir. Daerah Pesisir itu terbagi pula atas kesatuan
kesatuan politik ekonomis., kultur-historis menurut nama daerah
ataupun kota (dagang) yang dalam sejarah pernah memainkan
peranan ekonomis dan pvlitik penting, seperti Tiku-Pariaman di
sebelah utara, Padang di te111gah-tengah, Bandar Sepuluh dan sebelah
lndrapura di selatan. Daera1h yang berbatasan dengan Pesisir, yang
terletak di tengah-tengah pegunungan Bukit Barisan disebut sebagai
Dare (darat). Dataran-dataran tinggi Dare ter letak di lembah gunung
Singgalang-Tandikat, Gunurng Merapi dan Gunung Sago. Oataran
tinggi d i lembah-lembah p•uncak Bukit Barisan itulah sebenarnya
5
daerah Minangkabau as;l i yang secara tradisi disebut Alam
Minangkabau.
Lembah- lembah surngai dan anak-anak sungai yang berasal
dari daerah pegunungan Bukit Bar isan dan bermuAra di Selat
Sumatera (Malaka) rnaupurn di Laut Cina Selatan kemudian disebut
sebagai daerah Rantau. P;ada mulanya pengertian rantau ini hanya
terbatas pada derah-daeralh kolonisasi di lembah sungai-sungai dan
anak-anak sungai yang m<engalir ke arah jurusan t imur dari Alam
Minangkabau. Akan tetapi pada dewasa ini istilah rantau itu telah
mengalami perluasan pengertian yang bermakna daerah-daerah yang
berada di luar Minangkabau1.
Pergi merantau dalann arti kata meninggalkan rumah orang tua,
sanak saudara dan kamfPung halaman untuk sementara waktu
maupun untuk selama- lamanya, telah menjadi darah daging sepanjang
perjalanan sejarah masyaral<at Minangkabau. Dan secara tradisi yang
dimaksud rantau adalah tempat mereka berusaha mencari pelbagai
i lmu pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang hasilnya
diharapkan dapat untuk menambah kesejahteraan dan kebahagiaan
diri mereka sendir i , sanak s;audara dan kampung halamannya seperti
diungkapkan dalam pantun :
6
Kerantau mandang dihulu,
Berbunga, berbuah belum,
Kerantau bujang dahulu,
Di kampung bergunia belum.
Melembaganya tra•disi merantau ini dalam masyarakat
Minangkabau bertalian erat dengan sistem sosial mereka yang terpatri
pada lembaga adatnya , d imana seorang laki-laki tidak memi l iki
peranan baik d i rumah ibu1nya sendiri maupun d i rumah istrinya. Di
rumah ibunya ia tidak memi i l iki ruangan atau bi l ik untuknya yang dapat
digunakan bagi kepentinga111 pribadinya, sebagaimana halnya dengan
anggota keluarga vvanitanya Sedangkan di rumah istrinya dia hanya
mengunjungi istrinya di malam hari , dan biasanya ia tidak mewarisi
bagian dari harta mil i k dari keluarga istrinya maupun keluarganya
sendirL Sebagai a nggota keluarga laki-laki dalam garis ibu, di rumah
ibunya dia hanya berfungsi sebagai pelindung dan wali (mamak
rumah), yang difatwakan dalam lembaga adat Minangkabau. Karena
7
itulah menjadi tugas mereka untuk memperbesar dan memperbanyak
harta benda kaum dari ibu1r1ya.
Dikarenakan posisinya yang tidak mapan dalam tradisi yang
terdapat pada lembaga adat Minangkabau, maka menurut Nairn
( 1984: 13) dia cenderung untuk bepergian ke mana saja yang
dikehendakinya. Bahkan sebelum kawin ia didorong untuk perg1
merantau dan untuk membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia
sanggup mencari uang dian berdiri sendiri meninggalkan kampung
halamannya.
Apa[?ila diti l ik tentang masyarakat Minangkabau di atas, maka
menarik untuk dikaji diantaranya adalah tentang lembaga adat
Minangkabau yang meletakkan dasar bagi sistem sosialnya, yang
pada dewasa ini telah men1galami pergeseran peran dan fungsinya.
Adanya pergeserarn peran dan fungsi dimaksudkan di atas
dapat dil ihat dari bergesernya peran dan fungsi pada lembaga nenek,
mamak (paman) dalam rumah gadang, begitu pula telah terjadi
pergeseran peran dan fungsi mamak kaum atau suku, dan juga pada
lembaga kerapatan adat lvll inangkabau. Sedangkan untuk peran dan
fungsi nagari secara melembaga telah hilang sejak tahun 1948 ketika
dikeluarkannya oleh pemeri ntah U ndang-Undang Pokok Pemerintahan
8
Nomor 22 tahun 1 948 yang menghapuskan pemerintahan nagari
diganti dengan pemerintahan wilayah otonom . Kemudian pada tahun
1 950 Propinsi Sumatera Tengah dengan peraturannya tertanggal 1 4
Juni 1 950 Nomor 50/GP/50 memperkenalkan kembali susunan baru
tentang pemerintallan wilayah sebagai tindak lanjut dari Undang
Undang Tahun 1 948 Nomor 22.
Di dalam Peraturan Pemerintah ini disebutkan tentang
dibentuknya pemerintahan wilayah sebagai pengganti pemerintahan
nagari. Dan kemudian drtetapkan pula bahwa pemerintahan wilayah
d ilakukan secara bersama-sama antara Kepala Wilayall dengan
Dewan Pemerintahan Wilayah. Untuk selanjutnya ditetapkan pula
berdirinya Dewan Perwakilan Rakyat Wilayah yang dengan tegas
nyata-nyata menghapuskan pemerintahan nagari ini . Yang lebih nyata
lagi sejak diberlakukarmya Undang-undang Nomor 5 tahun 1 979
tentang Pemerintahan Desa, yang pelaksanaannya di Sumatera Baral
ditetapkan dalam Peraturan Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Baral
Nomor 7 1 98 1 , dimana diantaranya dikatakan bahwa jorong adalah
merupakan bagian dari sebuah nagari yang diubah menjadi desa
Padahal jorong dalam sistem pemerintahan nagari, semata-mata
hanyalah merupakan perangkat dari wilayah adm inistratif nagari.
9
Akan tetapi pada tanggal 7 Desember tahun 2000 Dewan
Perwakilan Rakyat Daeralh Tingkal I Sumatera Bara! sepakal dengan
Pemerinlah Daerah Tingkat I Sumalera Barat mengesahkan Peraluran
Daerah lenlang Kelentuain Pokok Perubahan Pemerinlahan Desa di
Sumalera Baral k&mbali menjadi Pemerintahan Nagari Menurut
Gubernur Sumalera Barat hal in i di lakukan sebagai proses olonomi
daerah yang akan di laks;anakan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I
Sumatera Baral sebagai p>ersiapan pelaksanaan otonomi daerah yang
telah memiliki legitimasi hukum yaitu Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1 999 lenlang Oton<0m i Daerah.
Yang menjadi pers;oalan adalah bagaimana bentuk pemerinlah
nagari yang hendak dilak.sanakan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I
Sumalera Baral, apakah kembal i kepada benluk nagari pada masa
lalu ataukah benluk nagari yang lelah dimodifikasi yang merupakan
benluk gabungan pola rnigari masa lalu dengan pola pemerinlahan
desa yang dibentuk oleh pemerintah.
Persoalan in i meinjadi menarik unluk dikaji dalam perpektif
lembaga adal dalam masyarakat Minangkabau. Sebab efek negatif
yang timbu l sebagai akib•at lidak berperan dan berfungsinya lembaga
10
adat ini menurut Kemal ( 1984:7) antara lain dapat berupa lahirnya
bentuk kehidupan baru dalam keluarga, kaum atau suku.
Begitu pula berdasarkan hasil penelitian pendahuluan
ditemukan adanya efek negatif yang timbul ke dalam rumah gadang
yaitu semakin renggangnya hubunyan aniara mamak dan
kamanakannya, sementara itu hubungan antara ayah dengan anaknya
semakin erat yang semula demikian idealnya seperti yang
tergambarkan dalam kala adat "anak di pangku, kamanakan
dibimbiang", yang dalam kenyalaannya dewasa ini mulai sulit
ditemukan. Di samping itu efek negatif lainnya adalah adanya
pergeseran norma sosial dan perihal tanah serta waris yang
menimbulkan berbagai masalah dalam masyarakal M inangkabau.
Munculnya persoalan-persoalan waris dan lanah yang
dimaksudkan di alas, menurul Nairn ( 1 984:i) dapat d ikalakan sudah
demikian akuutnya yang dapal dibuklikan lebih dari 80% perkara
perkara perdala yang diajukan ke Pengadilan Negeri d i Sumalera
Baral lidak lain dari adanya sengkela mengenai harta pusaka
khususnya mengenai sengketa lanah dan waris yang pada waklu
masih adanya peran dan fungsi lembaga adat, Minangkabau masalah
1 1
yang demikian b isa diselesaikan dengan mudah melalui musyawarah
mufakat para pemuka adat.
Karena itu, apabi la p•ergeseran peran dan fungsi lembaga adat
Minangkabau ini tidak diantiisipasi lebih jauh atau dibiarkan begitu saja,
hal yang mungkin suatu ketika masyarakat Minangkabau kehiiangan
identitas jati dirinya sebagai masyarakat yang memi l ik i adat
Minangkabau.
Per ihal lembaga adat Minangkabau yang diperbincangkan di
sini , dimaksudkan adalah llembaga adat yang di dalamnya terdapat
norma-norma ,sosial yang pada tradisinya dimulai dari rumah gadang
kemudian berlanjut ke lembaga mamak kaum atau mamak suku dan
lembaga kerapatan adat Minangkabau serta nagar i , yang pada
hakikatnya menggambarkarn sistem sosial dan budaya masyarakat
Minangkabau. Lembaga adat ini lah yang kemudian meletakkan dasar
tradisi matrilineal dalam sistem sosial masyarakat Minangkabau.
Tradisi matr i l ineal in i menurut de Jong (1960:84) yang
menyebabkan adanya bahw�:
1 . Keturunan bagi masyarakat Minangkabau ditetapkan menurut garis
ibu, karena itu suku terbentuk menurut garis ibu;
12
2. Dalam perkawinan, sistemnya ditentukan sejalan dengan sistem
suku, dan harus dengan orang yang memi liki suku yang berbeda;
3. Pengurusan keluarga dikuasakan kepada mamak; akan tetapi
puncak kekuasaan di dalam rumah gadang masih di tangan nenek
perempuan yang dinamakan sebagai "amban purue"', karena itu
peran pria lebih kec i l pada masyarakat Minangkabau dalam
memberi nafkah kepada istrinya. Begitu pula bahwa hasil usaha
atau pencaharian orang laki-laki adalah diperuntukkan bagi
kamanakannya, sedangkan panghulu hanyalah berkuasa dalam
ha! menjaga harta kaumnya saja, dan mf?meriksa penggunaan
serta pengurusannya dengan pihak luar;
4. Bagi seorang mamak ,atau tungganai-tungganai, begitu pula
panghulu pada dasarnya tidak berhak membawa hasil pusaka
mereka ke dalam keluarganya atau ke rumah istrinya.
5. Apabila anak akan dikawinkan oleh mamak atau oleh tungganai
atau oleh panghulu, maka semenda atau urang sumando sifatnya
hanyalah diberi tahu saja.
Dalam hal ini lah terlihat bahwa seorang mamak dalam
masyarakat Minangkabau memitiki tradisi yang berperan dan berfungsi
sebagai pendidik dan pengasuh bagi setiap kamanakannya, serta turut
13
bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan dari segenap
anggota ke/uarganya.
Memetik pendapat Mansoer et.al ( 1 970: 1 9) sehubungan
dengan peran dan fungsi seorang mamak in i dalam tradisi lembaga
adat Minangkabau, maka seorang mamak itu memi l ik i peran dan
fungsinya sebagai mamak rumah, mamak kaum atau mamak suku.
Penamaan mamak rumah dimaksudkan ada/ah penamaan status dari
seorang mamak yang terpilih untuk menjadi wakil pembina dan
pembimbing anggota-anggota ke/uarganya serumah gadang, yang
!ugasnya ialah mengampungkan artinya memelihara, membina,
memimpin kehidupan dan kebahagiaan jasmani maupun rohaniah
para kamanakannya yaitu1 anak-anak dari anggota-anggota dari
seluruh keluarganya serumah gadang. Sebab itu dalam masyarakat
Minangkabau seorang mamak memi l ik i kuasa atau menguasai
penggunaan pusaka ke/uar9a serumah gadang seperti mengerjakan
sawah atau ladang dan me�manennya bagi kepentingan keluarganya
dalam rumah gadang.
Disini lah seorang mamak dalam tradisi lembaga adat
Minangkabau disebutkan sebagai instansi pertama dalam
menyelesaikan segala macam dan jenis persengketaan yang mungkin
14
timbul d i antara sesama anggota keluarganya. Peran dan fungsinya
yang demikian itu, menyebabkan seorang mamak rumah disebut
sebagai tungganai yang dipanggil dengan sebutan datuk dan
memakai gelar pusaka kaumnya.
Kemudian tungganai-tungganai yang memi l ik i suku yang sama
dari kaum yang sama secara melembaga ia akan menjadi anggota dari
lembaga mamak kaum atau mamak suku, yang dalam tradisinya di
antara mereka dapat dipilih sebagai wakil mereka yang berperan dan
berfungsi sebagai pembimbing, atau pembina seluruh kaumnya.
Dalam ha/ inilah seorang tungganai akan berperan dan berfungsi
sebagai mamak kaum yang disebut panghulu dipanggil dengan gelar
kaumnya. Sebagai panghulu mamak kaum ia disebut sebagai ninik
mamak yang lazimnya juga ia akan menjadi anggota lembaga
kerapatan adat Minangkabau yang memiliki peran dan fungsinya
sebagai dewan pemerintahan dalam nagari. Sedangkan nagari sendiri
memiliki peran dan fungsinya secara historis sebagai lembaga adat
Minangkabau yang tertinggL
Menilik dari uraian di atas menarik kemudian untuk diteliti /ebih
jauh tentang pergeseran peran dan fungsi lembaga adat dalam
masyarakat Minangkabau
15
1.2. ldentifikasi Masalah
Berdasarkan uraian Jatar belakang penelitian di alas, dapat
diajukan identifikasi masalah sebagai berikut :
1 . Sejauhmana pergeseran peran dan fungsi lembaga adat dalam
masyarakat Minangkabau
� .. 1inangkabau serta dampaknya forharian .... ., ,' ................. ,..... masyarakat
Mina ngkabau
1.3. Maksud danTujuan �ene!itian
Pene!itian in i bermaksud :
1. f\�engkaji sejauh mana pergeseran peran dan fungsi /embaga adat
dalam masyarakat M ina:ngkabau;
2. Mengkaji faktor-fa ktor epa saja yang dapat memberi pengaruh
terhadap pergeseran peran dan fungsi lembaga adat da!am
masyarakat Minangkabau serta apa dampaknya terhadap
masyarakat Minangkabau;
Adapun penelitian in i bertujuan untuk :
16
1 . Memperoleh pemahaman dan makna yang mendalam tentang
pergeseran peran dan f ungsi lembaga adat dalam masyarakat
Minangkabau;
2. Memperoleh pemahaman dan makna yang mendalam tentang
faktor-faktor apa saja yang dapat memberi pengaruh terhadap
pergeseran peran dan fungsi lembaga adat dalam masyarakat
Minangkabau serta aipa dampaknya terhadap masyarakat
Minangkabau
1.4. Kegunaan Penelitian
Seiring dengan tujuan pene!itian di alas, m3ka kegunaan
penelitian in i diharapkan dapat :
1 . Menambah bahan kaj ian analisis dan sumbangan bagi
pengembangan teori sosiologi tentang masyarakat M inangkabau;
2. Memberikan masukkan kepada pemerintah dalam rangka
pe/aksanaan pembangunan di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera
Ba rat
1.5. Kerangka Pemikiran dan Asumsi Penelitian
1. Kerangka Pemikir.an
Untuk mengkaji serta guna memperoleh pemahaman dan
makna yang mendalam tentang pergeseran peran dan fungsi lembaga
17
adat dalam masyarakat Minangkabau digunakan pendekatan teoritis
melalui perspektif teori st;ruktural-fungsional dari Bronislaw King
Malinowski dan AR. Radcliftfe Brown, serta perspektif teori perubahan
sosial . Melalu i perspektif i n i diharapkan dapat ditelaah tentang
pergeseran peran dan fUJngsi lembaga adat dalam masyarakat
Minangkabau.
Jika perspektif teori perubahan sosial yang digunakan untuk
memahami pergerseran pieran dan fungsi lembaga adat da!am
masyarakat Minangkabau, maka titik tolak pemahaman dalam
penelitian ini dapat digunakan pemahaman tentang perubahan sosial
dari Wilbert Moore ( 1 967:23) yang menyatakan bahwa perubahan
sosial merupakan perubahan penting yang terjadi pada struktur sosial ,
yaitu berupa perubahan dairi pola-pola perilaku dan interaksi sosial
yang terjadi dalam suatu masyarakat. Sebab dalam setiap perubahan
sosial itu terdapat berbagai variasi atau modifikasi pada aspek proses
sosial, pola sosial , dan benrtuk-bentuk sosial , serta set iap modifikasi
pola antar hubungan yang telah mapan dengan standar perilaku yang
ada.
Begitu pula dengan pemahaman Lauer (1993:5) tentang
perubahan sosial yang mengatakan bahwa perubahan sosial itu
18
dipandang sebagai sebuah konsep yang serba mencakup, yang
menunjuk kepada perubahan fenomena sosial diberbagai tingkat
kehidupan manusia, mulai dari tingkat individu h ingga ke tingkat
masyarakat. Karena itu semua kajian teori perubahan sosia/ mengacu
kepada mekanisme yang m endorong perubahan, dan bagaimana
caranya memahami ja/annya proses perubahan sosial dalam arti
bentuk dan po/a perubahan yang terjadi.
Dikalangan antropolog ada tiga po/a yang d ianggap sangat
penting da/am memahami bentuk dan po/a perubahan sosial itu, yakni
evolusi , difusi dan alkulturasi. Di akhir abad 1 9 para antropo/og sosial
mengidentifikasi evolusi menurut po/a perkembangan kehidupan
kebudayaan mulai dari bentuk yang rendah h ingga kebentuk yang
lebih tinggi. Pola ini dilakukan o leh Morgan (Stern & Jacobs, 1952 :
122) dalam usahanya mengkategorisasikan masyarakat menurut
perbedaan ciri-ciri sosial yang dimiliki bersama o /eh anggotanya pada
t ingkat organisasi sosial te1rtentu dan untuk memperhatikan rentetan
perkembangan setiap tipe organisasi sosia/ itu.
Sementara itu Murdock ( 1 949:47 , 185) mengatakan bahwa inti
tu/isan teoritis evolusi kuno memuat ide bahwa bentuk organisasi
sosial yang paling primitif adalah kekeluargaan matril ineal. Bentuk ini
19
akhirnya menghasilkan bentuJk kekeluargaan patr ilineal dan patriarkhat
karena laki-laki memperoleh dominasi. Akhirnya garis keturunan
bilateral dan keluarga batih muncul ke penghujung tingkat evolusi.
Aspek evolusi kebudayaan ini nampak sedemikian logis dan sangat
sesuai dengan seluruh fakta yang diketahui dan benar-benar dapat
diterima oleh sesuai ahli ilmu sosial hingga penghujung abad 1 9.
Sekarang ini telah muncul pemikiran tentang evolusi baru yang
menurut Lauer (op.cit. ,390) muncul berangkat dari upaya untuk
mensintesiskan pemikiran ahli evolusi kuno, serta pemikiran ah l i difusi,
dan pemikiran ahli fungsior<al pada dewasa in i yang penekanannya
lebih ke arah sifat dari mobilitas berbagai unsur kebudayaan dan
mencoba untuk mengetahui bagaimana cara berbagai unsur yang
membentuk suatu kebudayaan tertentu menyatu bersama. Sebab
pemikiran ahli teori fungsional yang menekankan pada saling
ketergantungan unsur-unsuir kebudayaan , hubungan masing-masing
unsur menjadi satu keseluruhan yang penuh makna, seperti
pandangan fungsionalisme sosiologis tidak mampu menerangkan
masalah perubahan secara memadai.
Karena itulah menu rut Lauer ( ibid.) muncul pemikiran
evolusionisme baru yang mencakup berbagai ide, di antaranya para
20
antropolog kontemporer yang menyamakan evolusi dengan
perubahan, atau membayangkan evolusi sebagai pertumbuhan,
perkembangan, atau kemajuan
Mengenai yang dimaksud dengan unsur kebudayaan dalam
uraian Lauer di atas secara universal dapat dijelaskan memetik
pendapat Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1964: 79) yang mengatakan
sebagai berikut (a) peraPatan dan perlengkapan hidup manusia
(pakaian , perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat
produksi, transport, dan sebagainya); (b) mata pencaharian hidup dan
sistem ekonomi (pertanian, peiernakan, sistem produksi , s.istem
distribusi); (c) sistem kernasyaratan (sistem kekerabatan, organisasi
po litik , sistem hukum, sistem perkawinan) ; (d) bahasa (lisan maupun
tertulis); (e) kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak); (f) sistem
pengetahuan; (g) religi.
Begitu pula mengenai pemahaman tentang kebudayaan di atas
dapat dilihat dari pemahaman Taylor dalam bukunya "Primitive
Culture" ( Harsojo, 1 977:92) yang mengatakan bahwa kebudayaan
adalah keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkandung i lmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral , hukum, adat-istiadat,
21
dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang di dapat oleh
manusia sebagai anggota masyarakat.
Sehubungan dengan minat terhadap evolusi yang dewasa ini
hidup kembali, maka pendef<atan yang lebih umum atas perubahan
kebudayaan itu menurut Lauer (op.cit . ,397) kini dipusatkan pada
proses difusi atau alkulturasi . Difusi adalah merupakan proses yang
menyebarkan inovasi (penemuan) keseluruh lapisan satu masyarakat
atau ke dalam satu bagian atau dari satu masyarakat ke masyarakat
lain, dan pendekatan antropologis, difusi mengacu kepada penyebaran
unsur-unsur satu kebudayaan ke kebudayaan lain.
Mengenai alkulturasi di atas memetik pendapat dari Herskovits
et.al. (Lauer,op.cit. ,403) memberi penjelasannya yang mengatakan
bahwa akulturasi adalah bentuk sebagai pengaruh suatu kebudayaan
terhadap kebudayaan lain atau bisa juga saling mempengaruhi satu
sama lain antara dua kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya
perubahan kebudayaan. Karena itu alkulturasi mel iputi fenomena yang
dihasilkan sejak dua kelomjpok yang berbeda kebudayaannya m ulai
melakukan kontak langsung, yang di ikuti perubahan pada pola
kebudayaan yang asl i dari salah satu atau kedua kelompok itu.
22
Apabila akulturasi dik�itkan dengan difusi, maka yang terlihat
adalah bahwa difusi itu menupakan suatu aspek saja dari akulturasi.
Oleh karena itu Lauer ( ibid ) berpendapat bahwa difusi selalu terjadi
pada proses akulturasi, dan akulturasi itu sendiri hanyalah merupakan
satu aspek saja dari perubahian kebudayaan.
Menurut Barnett et.a l . ( Lauer. ibid. ) pemahaman yang menjadi
standar dalam studi perubahlan kebudayaan pada dewasa ini adalah
alkulturasi yang dipahamkan sebagai perubahan kebudayaan yang
dimulai dengan bernubungannya dua sistem kebudayaan atau lebih
ya:ig masing-masing otono;n_ Yang menjadi unit analisis dalam kajian
ini adalah setiap kebudayaan yang dimi l iki masyarakat, karena individu
adalah sebagai anggota masyarakat yang mendukung kebudayaan,
sebab itu ia menjadi peran1tara dalam penyebaran kebudayaannya
kepada individu lain yang berasal dari masyarakat lain. Dalam analisis
alkulturasi, individu-individu tidakiatl menjadi pusat perhatian, yang
menjadi pusat perhatian adalah adat masyarakat, walaupun individu
yang mengubah kebiasaan berperilaku dan keyakinan mereka karena
pengaruh bentuk kebiasaan dan keyakinan asing, namun dikatakan
adat masyarakatnyalah yang mengalami alkulturasi.
23
Karena itu menurut Kroeber ( 1 948 :425) alkulturasi berarti
mempunyai pengaruh yang besar ketimbang difusi, setidaknya dalam
arti kebudayaan lain yang dipengaruhi akan lebih menyerupai
kebudayaan yang mempengaruhi. Sebab itulah bisa jadi alkulturasi itu
merupakan proses perubaharn ke arah peningkatan keserupaan antara
dua kebudayaan.
Kalau demikian adanya, dapat dikatakan bahwa alkulturasi
merupakan pola perubahan sebagai akibat terjadinya penyatuan
antara dua kebudayaan, yang penyatuan ini dihasilkan dari adanya
kontak yang berlanjut. Kontak ini rnenurut Lauer (ibid. ) dapat terjadi
antara lain melalui migrasi, perdagangan, misi penyebaran agama,
media massa terutama media cetak, radio dan televisi.
Akulturasi yang terjad i melalui kontak sebagaimana disebutkan
di alas dalam masyarakat Minangkabau bisa terjadi sebab adanya
tradisi merantau dalam masyarakat Minangkabau yang telah
berlangsung lama yang memberi pengaruh terhadap pergeseran
peran dan fungsi lembaga adat Minangkabau. D i samping itu
akulturasi yang terjadi ke dalam masyarakat Minangkabau bisa
disebabkan juga oleh karena adanya perkembangan pendidikan di
kalangan masyarakat Minangkabau yang telah terjadi sejak masuknya
24
Islam dan pemerintah jajahan Belanda dan alam kemerdekaan hingga
dewasa ini. Adanya pendidikan yang berkembang dalam masyarakat
Minangkabau dengan sendirinya memberi pengaruh pula terhadap
pekerjaan atau mata pencaharian serta tingkat pendapatan
masyarakat Minangkabau.
Begitu pula adanya pola merantau di atas memberi pengaruh
terhadap hubungan kelua rga dalam masyarakat dan adat
Minangkabau. Secara keseluruhan memberi pengaruh pula terhadap
struktur sosial dan budaya masyarakat Minangka bau
Adanya perubahan kebudayaan di alas sebagai akibat dari ·
adanya kontak dua kebudayaan itu menurut Dobrenwend dan Smith
(Lauer, ibid) ada tiga kemungkinan arah perubahan yang dapat
dihasilkan dari kontak itu, yakni (a) pengasingan, menyangkut
pembuangan cara-cara tradisional oleh anggota pendukung suatu
kebudayaan tanpa menerima cara-cara kebudayaan lain; (b)
reorientasi, menyangkut perubahan ke a rah penerimaan struktur
normatif kebudayaan lain', (c) penguatan kembali (reaffirmation).
dalam hal ini dimaksudkan adalah diperkokohnya kembal i kebudayaan
tradisional .
25
Sedangkan menurut Sani ( 1 986:3) dalam perspektif sosiologi
tentang perubahan sosial pada hakikatnya digambarkan melalui suatu
perspektif struktural historikal, dimana dimungkinkan adanya
pendeskripsian suatu perubahan sosial. Sebab itulah tidak ada suatu
perubahan tanpa adanya iattanan dan tidak ada suatu tatanan tanpa
perubahan. Dalam ha! ini ya1ng patut menjadi obyek perubahan sosial
itu ialah kelompok-kelompok manusia yang terinteraksi dalam struktur
sosial menurut ruang dan waktunya Dengan demikian perubahan
sosial itu mesti terjadi dikalangan masyarakat rnanapun di dunia ini.
ltulah sebabnya Moore ( 1 974:4) berpendapat bahwa perubahan
sosial bukanlah suatu gejala masyarakat modern saja, akan tetapi
sesuatu ha! yang berlaku universal, sifatnya yang dinyatakan dalam
pengalaman hidup manusia.. Manifestasi seperti ini sifatnya adalah
dinamis, baik dalam masyarakat maupun dalam suatu kebudayaan
tertentu.
Apabila penjelasan di atas dikaitkan dengan masalah penelitian
ini, maka pergeseran peran dan fungsi lembaga adat dalam
masyarakat Minangkabau meliputi lembaga rumah gadang, mamak
kaum atau mamak suku, lembaga kerapatan adat Minangkabau dan
nagari.
26
Bagaimana lembaga adat Minangkabau di atas memiliki peran
dan fungsinya dalam masyarakat Minangkabau, serta peran dan
fungsinya untuk kelangsufllgan struktur sosial dalam masyarakat
Minangkabau ada baiknya pula dikaji melalui perspektif teori struktural
fungsional dari Malinowski dlan Radcliffe-Brown.
Menurut Malinowski dan Radcliffe-Brown perspektif teori
struktural fungsional pada lhakikatnya mencoba mengkaji mayarakat
dan kebudayaannya melalui ide struktur dan fungsi.
Sehubungan dengan ide struktur dan fungsi ini, Malinowski
(Daud, 1991: 1 5) mendeskripsikan pengertian struktur dan fungsi ke
dalam pemahaman adanya satu pola hubungan di dalam satu unit
sosial yang stabil, yang memiliki identitas sendiri. Dimana setiap pola
memiliki fungsi-fungsi tertentu bagi individu dalam masyarakat, dan
bagi kelanjutan masyarakat. Karena itu semua tradisi dalam
kebudayaan merupakan bagian-bagian yang penting dalam
masyarakat sebab ia memiliki fungsi tertentu.
Sebab itu menurut Daud (ibid) para fungsionalis selalu
memandang bahwa setiap pola adat merupakan bagian dari fungsi
dasar di dalam kebudayaan itu. Sehubungan dengan hal itu
27
Malinowski percaya bahwa fungsional mempunyai ni lai praktis yang
penting dalam kehidupan masyarakat.
Tumpuan kajian Mal inowski terhadap masyarakat melalui
kebudayaan bisa dikatakan erat hubungannya dengan para antrop0log
Amerika yang menerima deif in isi Taylor tentang kebudayaan sebagai
dasar antropologi budaya Amerika, dimana Taylor mendefinisikan
kebudayaan adalah sebagai keseluruhan cara hidup manusia.
Pemahaman ini yang dideskripsikan o leh Kluckhohn dalam
menyebutkan dan menjela1skan tentang unsur-unsur kebudayaan
sebagaimana terlihat di atas.
Sehubungan dengan pemahaman Malinowski di atas,
Koentjaraningrat (1987:127) mengatakan bahwa Malinowski pernah
mengatakan bahwa masyarakat dapat di l ihat sebagai suatu gabungan
s istem-sistem sosial dimana sistem-sistem itu melibatkan unsur-unsur
yang berhubungan dengan usaha manusia untuk memenuhi keperluan
dasarnya seperti keselamatan, makanan, memi lki keturunan,
kebebasan, dan pertumbuhannya.
Pendekatan struktural fungsional yang dinyatakan Malinowski
di atas menurut Daud (op.cit.) memil ik i tiga persoalan penting yaitu:
adakah ia berfungsi, bagaimana ia berfungsi dan mengapa ia
28
berfungsi. Ketiga persoalan in ilah merupakan hal yang penting dalam
pendekatan struktural fungsional dari Malinowski. ln i bisa di l ihat dari
apa yang dikatakan Malin•owski yang menyarankan apabila ingin
mengkaji masyarakat, seharusnya di l ihat hukum-hukum yang
menentukan pengekalan suatu kebudayaan. Hukum-hukum dalam
masyarakat in i pada hakikatnya berhubungan erat dengan individu,
atau individu dengan individu, atau juga antara individu dengan
lembaga yang terdapat dalam masyarakat itu, bisa juga terjadi
hubungan antara lembaga tersebut dengan lembaga yang lainnya.
Karena itu lah sebuah masyarakat merupakan suatu sistem yang
berhubungan dan mempunyai pola-pola kepentingan untuk
masyarakat itu sendiri.
Cara hidup individu dalam masyarakat yang digambarkan
Malinowski di alas menurut Daud (ibid) erat hubungannya guna
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sebagai manusia. Setiap
keperluan dasar individu ini akan membawa kepada perwujudan
lembaga, dimana lembaga in i kemudian memi l iki suatu organisasi
tertentu dan yang menjadi ahl inya adalah individu itu sendiri.
Sekiranya salah satu anggota lembaga itu tidak berfungsi, maka
lembaga itu akan berhenti fungsinya, oleh sebab itu pemahaman
29
terhadap masyarakat tidak terlepas dari suatu kerangka konsep yang
mengatakan bahwa masyairakat itu merupakan suatu sistem yang
berpadu dan dapat diselaraskan.
Apabila pemahaman Malinowski dikaitkan dengan masalah
penelitian in i dapat d ikati:lkan bahwa pergeseran peran dan fungsi
lembaga adat dalam masyarakat Minangkabau, memberi pengaruh
terhadap pola hubungan dalam sistem kekerabatan dan kelanjutan
masyarakat dan adat Minangkabau. Sebab lembaga adat
Minangkabau merupakan hal yang penting dalam melestarikan tradisi
kebudayaan masyarakat Minangkabau. Lembaga adat Minangkabau
in i memi l iki peran dan fungsinya sebagai suatu sistem sosial dan
sistem budaya masyarakat Minangkabau yang terintegrasi ke dalam
pola-pola adat yang me111entukan sistem hubungan di dalam
masyarakat Minangkabau. ldentitas masyarakat dan adat
M inangkabau muncul dalam pola hubungan anggota masyarakat
yang terstruktur ke dalam lembaga adat Minangkabau.
Di sinilah terlihat bahwa lembaga adat M inangkabau rnerni l iki
peran dan fungsi rnengekalkan kebudayaan masyarakat dan adat
Minangkabau. Memetik pendapat Malinowski d i atas dapat
d iselaraskan bahwa lembaga adat Minangkabau in i memi l iki fungsi
30
kebudayaan. Karena itu hga persoalan penting dari pendekatan
struktural fungsional Malinowski sangat relevan diajukan kepada peran
dan fungsi lembaga adat Minangkabau bagi masyarakatnya yaitu
adakah ia berfungsi, bagaimana ia berfungsi dan mengapa ia
berfungsi merupakan panduan yang dapat digunakan sebagai
kerangka telaahan dalam penelitian ini.
Sebab itu apabila ingin mengkaji masyarakat Minangkabau,
maka seharusnyalah di l ihat adakah, bagaimanakah, dan mengapakah
hukum-hukum yang menenrtukan pengekalan masyarakat dan adat
Minangkabau memil iki perall! dan fungsinya. Peran dan fungsi ini pada
dasarnya terstruktur ke dalam iembaga adat Minangkabau , yang
mel iputi "cupak nan duo, kato nan ampek, undang-undang nan ampek,
nagari nan ampek" yang berakar ke dalam masyarakat dan adat
Minangkabau.
Apabila terjadi pergeseran peran dan fungsi lembaga adat
dalam masyarakat Minangkabau maka pergeseran ini dapat dikatakan
menuju ke arah terjadinya perubahan dalam masyarakat dan adat
Minangkabau. Dan jika pergeseran peran dan fungsi in i tidak dapat
d iikuti perkembangannya maka perkembangan ini dapat
membahayakan kelangsungan lembaga adat dalam masyarakat
31
Minangkabau yang di dalarn kata adat disebutkan "bak abu di ateh
tunggua ditiuk angin"
Kajian terhadap peran dan fungsi lembaga adat dalam
masyarakat Minangkabau di alas, berikutnya dijelaskan melalui
perspektif pemahaman Radcliffe Brown ( 1 952:59) tentang teori
struktural fungsional yang mengatakan bahwa masalah teoritis yang
mendasar dalam kajian sosi<0logi adalah tentang kelangsungan suatu
masyarakat dimana kelangsungan itu ditentukan oleh kelangsungan
struktur yaitu kelangsungan dalam penyusunan orang dan hubungan
mereka antara satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu
kelangsungan rangkaian hubungan sosial yang membentuk struktur
ditentukan oleh proses sosial. Tingkah /aku individu yang saling
berhubungan satu dengan yang lainnya pada hakikatnya dikontrol oleh
norma dan peraturan yang cfibentuk dalam kehidupan sosial tertentu
yang dikenal sebagai lembaga, yang diterima oleh suatu kelompok
atau kelas sosial yang terdapat pada masyarakat itu sendiri.
ltulah sebabnya menu.irut Radcliffe Brown ( ibid) terdapat dua
aspek struktur sosial, pertama semua hubungan sosial di antara
individu itu merupakan sebagai bagian dari struktur sosial, misalnya
dalam struktur keluarga terdlapat hubungan antara anak dengan ibu
32
bapaknya. Kedua, bahwa dlalam struktur sosial terdapat perbedaan
antara individu dan kelas sosial yang ditentukan oleh peran sosial
yang dimainkan oleh mereka. Contohnya, seperti perbedaan dari segi
peranan dan kedudukan sosial antara lelaki dengan perempuan,
pemimpin dan rakyat, majika111 dan pekerjanya.
Untuk kelangsungan struktur sosia l itu menurut Malinowski
(Daud,op.cit , .29) selalu menigikuti masa dan sifatnya dinamis, seperti
penerusan struktur organik suatu anggota tubuh manusia. D imana
sepanjang hayatnya strukt1Ur dari suatu organisme itu senantiasa
selalu mengalami perubahan, demikian pula halnya dengan kehidupan
sosial, dimana senantiasa selalu memperbaiki struktur sosialnya.
Hubungan antara pemimpin imungkin saja berubah dari masa ke masa,
yaitu perubahan pada strukturnya, namun bentuk struktur yang umum
mungkin secara relatifnya tetap ada dalam jangka waktu yang lebih
panjang, biasanya bentuk struktur yang umum ini mengalami
perubahan. Tetapi meskipun demikian penerusan struktur pada derajat
tertentu tetap ada.
Mengenai konsep stiruktur sosial di alas menurut Radcliffe
Bro\Nll (ibid . ) memili ki hubungan yang era! dengan konsep personaliti
sosial yaitu kedudukan seseorang dalam struktur sosial yang
33
kompleks, dimana setiap manusia itu memi l ik i dua ciri yaitu individu
dan manusia. Sebagai individu ia adalah satu organisme biologi yaitu
kumpulan dari sejumlah besar molekul yang tersusun dan di
dalamnya berlaku proses sal ing bertindak, serta perubahan yang
terjadi bersifat fisiologikal dan psikologikal. Dalam hal manusia sebagai
orang, ia adalah sesuatu yang kompleks dalam hubungan sosial
dengan berbagai peran dan fungsi yang dapat dimainkannya.
Apabila diti l i k pergeseran peran dan fungsi lembaga adat
Minangkabau ini yang menjadi persoalan dalam perspektif di alas
adalah apakah pergeseran 1n1 memberi pengaruh terhadap
kelangsungan masyarakat Minangkabau, karena kelangsungan
masyarakat Minangkabau ditentukan oleh kelangsungan struktur
sosial masyarakat Minangka1bau.
Sebab struktur sosial yang terdapat d i dalam masyarakat
Minangkabau memil ik i aspek sebagaimana dikemukanan Radcliffe
Brown yaitu adanya hubu;ngan sosial d i antara individu dan
terdapatnya perbedaan individu dan kelas sosial di dalam masyarakat.
Hubungan sosial di antara individu dalam masyarakat Minangkabau
terstruktur ke dalam lembaga adat Minangkabau. Karena itu di dalam
lembaga adat d itetapkan peran dan fungsi seseorang berdasarkan
34
hubungan sistem kekerabatan yang diatur dalam norma adat seperti
peran dan fungsi seorang mamak di dalam kaum atau sukunya pada
sebuah parui' atau rumah gadang. Kemudian bagaimana peran dan
fungsi in i diterima oleh setiap anggota kaum atau sukunya. Peran dan
fungsi yang demikian kemrudian menempatakan adanya perbedaan
individu dan kelas sosial dalam struktur sosial masyarakat
Minangkabau seperti peran seorang nenek sebagai amban purue
artinya bermakna sebagai bendahara keluarga di rumah gadang
karena itu ia menguasai harta benda dari keluarganya serumah
gadang dan mfiJngatur penglhidupan keluarga serumah gadang.
Begitu pula adanya peran seorang mamak yang mengurus
anggota keluarga dan kamanakan serta mengurus ekonomi anggota
keluarga dan harta pusako kaum atau sukunya serumah gadang.
Karena itu ia menguasai penggunaan hasi l sawah ladang keluarganya
yang dikerjakan dan dirnil ik i bersama oleh anggota-anggota
keluarganya. la pu lalah yarng dalam instansi pertama menyelesaikan
segala macam dan jenis persengketaan yang timbul di antara sesama
anggota keluarganya. la disebut sebagai tungganai dipanggilkan datuk
dan memakai gelar pusaka kaumnya.
3 5
Peran dan fungsi lembaga adat dalam masyarakat
Minangkabau terlihat pula adanya lembaga mamak kaum atau suku
yang memiliki peran dan fungsi sebagai orang yang dituakan dalam
kaum atau sukunya untuk membina atau memelihara harta pusako
keluarga sekaum atau sesuiku dalam bentuk tanah dan rumah pusako
Peran dan fungsi lembaga adat Minangkabau ini juga ditunjukkan oleh
adanya lembaga kerapatan adat Minangkabau yang berperan dan
berfungsi sebagai dewan p>emerintahan dalam nagari yang tertinggi
yang menentukan peran dan fungsi nagari di mana para anggotanya
terdiri dari panghulu pucuk atau andiko yang merupakan waki l dari
panghulu-panghulu mamak kaum atau sukunya.
Di sini terlihat bahw;a kelangsungan struktur sosial masyarkat
Minangkabau sangat ditentukan oleh peran dan fungsi lembaga adat
Minangkabau. Apabila pera1n dan fungsi ini h i lang sebagaimana telah
diuraikan di atas, maka m a<Syarakat dan adat Minangkabau pun akan
h i lang, sebab identitas struktur sosial masyarakat Minangkabau
menampakkan dirinya dalam lembaga adat Minangkabau.
36
2. Asumsi Penelitiarn
Berdasarkan uraian d i atas dapat diajukan asumsi penelitian
sebagai kerangka pemikiran penelitian yaitu:
1. Pergeseran peran dan fungsi lembaga adat dalam masyarakat
Minangkabau menyentuh peran dan fungsi lernbaga rumah
gadang, lembaga mamiak kaum atau mamak suku, lembaga
kerapatan adat Minangkabau dan Nagari sebagai akibat adanya
akulturasi dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau melalui
pendidikan, pekerjaan attau mata pencaharian, tingkat pendapatan
yang berkembang dan adanya tradisi pola merantau dalam
masyarakat MinangkabaUJ.
2. Adanya pergeseran peran dan fungsi lembaga adat dalam
masyarakat MinangkabaUJ sebagai akibat adanya alku!turasi di atas
memberi pengaruh terhadap pengasingan, yang menyangkut
pergeseran cara-cara tradisional oleh masyarakat Minangkabau
menuju ke arah reorientasi, yaitu perubahan penerimaan struktur
normatif kebudayaan lain tanpa mengindahkan kemungkinan
penguatan kembali ( reaffirmation), untuk memperkokoh
kebudayaan tradis ionaJ masyarakat Minangkabau.
3 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2 .1 . Teori Perubahan Sosial
2 .1. 1 . Arti Perubahan Sosial
Perubahan Sosiia/ ada/ah fenomena kompleks yang
menembus pada berb;agai tahapan dari kehidupan sosial.
Perubahan itu sendiri pada wujudnya senantiasa menyertai
setiap kehidupan masyarakat. Dengan kata lain suatu atau
sejumlah perubahan selalu berlaku pada semua masyarakat
manusia, setiap saat diimanapun mereka hidup dan berada.
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa tidak ada
sesuatupun yang tidalk berubah dalam perjalanan sejarah
kehidupan masyarakat. Perubahan itu dapat berupa
kemajuan atau kemunduran, luas ataupun terbatas, cepat
atau lambat.
Bagaimana unttuk memahami tentang arti dari
perubahan sosial itu ada baiknya dipahamkan beberapa
batasan tentang perubahan sosial sebagaimana terlihat d i
bawah ini :
a. Wilbert Moore(Lauer, 1 977:4) , mendefinisikan perubahan
sosial sebagai peirubahan yang penting dari struktur
3 8
sosial Struktur s<0sial di sini d imaksudkan pola-pola
perilaku dan interaksi sosial.
b. Robert H . Lauer ( Ibid. , ) , memandang perubahan sosial
sebagai sebuah knnsep yang serba mencakup, yang
menunjuk kepada perubahan fenomena sosial di
berbagai tingkat kehidupan manusia mulai dari tingkat
individual hingga tingkat dunia. Berbagai tingkat
perubahan yang mewaki l i kawasan analisis, dan satuan
(unit) analisis yang mewakil i setiap tingkat perubahan
pada setiap tingkat kehidupar. sosial yang dianggap
sebagai perubahan sosial.
c. Selo Soemardjan ( 1 974:491 ), mendefinisikan perubahan
sosial segala perubahan pada lembaga-lembaga sosiai di
dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem
sosialnya, termasuk d i dalamnya ni lai-ni lai , sikap-sikap
dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat.
d. Kingsley Davis ( 1 960: 17- 1 8), memberi arti perubahan
sosial sebagai perU!bahan yang terjadi pada struktur dan
fungsi masyarakat. Misalnya, timbulnya
pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalis
menyebabkan timbulnya perubahan dalam h ubungan
3 9
antara buruh deingan majikannya, yang kemudian
rnenyebabkan t imbulnya perubahan-perubahan dalam
organisasi ekonomi politik.
e. Samuel Konig ( 1 9fi7:279), mengartikan bahwa
perubahan sosiai itu menuntut pada modifikasi-modifikasi
yang terjadi dala1m pola-pola kehidupan manusia.
Modifikasi tersebutt terjadi karena sebab-sebab yang
intern dan ekstern.
f. Karl Manheim (Susanto: 1 985: 1 60), mengatakan bahwa
inti dari proses perubahan sosia'. itu adalah perubahan
norma-norma masyarakat karena perubahan norma dan
proses pembentuklkan norma baru merupakan i nt i dari
usaha mempertahankan persatuan h idup berkelompok
dengan sendirinyai proses disintegrasi dalam banyak
bidang, sehingga demi kemajuan harus diusahakan
adanya re-integras:i yaitu penampungan kembali dalam
suatu kehidupan bermasyarakat yang lebih cocok dengan
kebutuhan baru masyarakat di mana norma-norma yang
lebih cocok in i akain merupakan i katan dari ITlasyarakat
yang baru dan lebihi luas lagi .
g . Soedjono Dirjosisworo ( 1 982:63-B4) menyebutkan bahwa
perubahan sosial adalah perubahan fudamental yang
40
terjadi dalam struktux sosial, sistem sosial dan organisasi
sosial. Struktur sosial d imaksudkan adalah bentuk dari
pada seluruh jaringan hubungan antar individu dalam
masyarakat dimana terjadi interaksi , interrelasi , dan
komunikasi sosial. Sistem sosiai yang dimaksudkan
adalah keseluruhan jaringan-jaringan antar individu
dalam kelompok sosial, yang berhubungan dengan nilai-
ni lai dan pola-pola kebudayaan serta kaidah-kaidah
masyarakat terseburt. Sedangkan yang dirnaksud dengan
organisasi sosial adalah wadah-wadah pergaulan
kelompok yang disusun secara jelas antara para petugas
dan tugas-tugasnya yang berhubungan dengan usaha
mencapai tujuan tertentu, yang umumnya berhubungan
dengan aspek kesejahteraan dan keamanan anggota
organisasi tersebut.
h. Astrid S.Susanto ( Ib id. , ) , mengatakan bahwa : inti
perubahan masyarakat itu adalah demi kemajuan
anggota masyarakat yang bersangkutan guna
menemukan penyesuaian dirinya dengan perkembangan
anggota masyarakat dalam usaha menguasai keadaan
yang baru guna menghindarkan kekacauan yang
mungkin terjadi di dalam masyarakat. Langkah pertama '
4 1
penyaluran/pengarahan perkembangan sosial menuju ke
kemajuan sosial ialah meyakini bahwa kejadian-kejadian
politik-ekonomi-tekrnik-administratif tidak merupakan
kejadian yang lepas satu sama lain, melainkan
merupakan kejadiarn yang mutual-interdependent (Sal i ng
berkaitan).
1 . F.Ogburn (Johnson, 1 988 : 1 1) menambahkan bahwa,
ruang l ingkup perubahan sosial itu mencakup setiap
unsur-umsur kebudayaan baik yang materiil maupun
immateri i l , terutama penekanan besarnya pengaruh
unsur kebudayaan materiil terhadap immateriil. Sebagai
akibatnya perubahan sosial itu selalu ditandai oleh
adanya ketegangan antara kebudayaan materiil dengan
immaterii l seperti , besarnya pengaruh i /mu pengetahuan
dan perkembanga111 teknologi yang merangsang adanya
perubahan sosial. Perubahan yang demikian
mencerminkan adanya perubahan materil dalam aspek
kebudayaan i mmateriil .
Berdasarkan pendapat para ahl i di alas dapatlah
dimengerti bahwa yang dimaksud dengan perubahan sosial
itu adalah perubahan y.ang terjadi dalam masyarakat meli puti '
42
perubahan struktur, sistem dan organisasi sosial sebagai
akibat adanya modifikasi pola-pola kehidupan manusia yang
dipengaruhi oleh adanrya faktor kebutuhan intern dan ekstern
masyarakat itu sendiri.
Perubahan di atras terjadi secara terus menerus, oleh
karena itu perubahan sosial merupakan fenomena yang
kompleks menembus pada berbagai tahapan dari kehidupan
sosial. Perubahan itu sendiri pada wujudnya senantiasa
menyertai setiap kehidupan masyarakat dimanapun ia
berada, oleh karenanya tidak ada satu masyarakat pun yang
tidak mengalami perubahan di dalam sejarah perjalanan
kehidupannya.
Apabila masyarakat ditil ik dari perspektif perubahan
sosial maka masyarakat sebagai suatu sistem sudah tentu
dalam perwujudannya1, senantiasa mengalami perubahan
dapat berupa kemajjuan atau kemunduran, luas atau
terbatas, cepat atau lambat sebagaimana disebutkan di atas.
Sebagai suatu sistem masyarakat itu terdiri dari sub
sub sistem yang saliing berinteraktif dan secara abstrak
masyarakat itu terdiri dari pranata sosial, struktur sosial,
sistem ni lai , norma, aturan maupun kebiasaan-kebiasaan
yang mewujud ke dalam tatanan konkrit sub-sistem ekonomi,
43
sub-sistem sosial, subi-sistem budaya, sub-sistem politik dan
sub-sub sistem lainnya.
Jika salah satu p ihak mengalami perubahan, maka
dalam perspektif pern;bahan sosial dapat dikatakan akan
memberi pengaruh kepada sub-sub sistem yang lain baik
langsung atau tidak langsung. Keberadaan sub-sub sistem
pada hakikatnya saling memperkokoh satu sama lainnya
karena setiap sub-sistem itu dengan peranannya dipandang
mutlak adanya. Bagaimana gambaran tentang hal in i dapat
terlihat dalam uraian berikutnya.
2.1 .2. Sebab-Sebab Terjadinya Perubahan Sosial
Sebab-sebab terjadinya perubahan sosial itu dapat
diterangkan menurut pendapat para ahl i berikut :
a. Raymond Firth (1 960:241 -242) menyebutkan sebab
terjadinya perubahan sosial itu karena penggerak tertentu
di dalam masyarakat yang dapat datangnya dari luar atau
dalam masyarakat. Yang datang dari dalam adalah daya
gerak berupa penemuan baru di lapangan teknik,
perjuangan perseorangan untuk memperoleh tanah dan
kekuasaan, perum!llsan baru dari paham-paham orang
kritis yang dianugerahi bakat-bakat istimewa (para ahl i
44
atau filsuf), lekanan jumlah penduduk atas mata
pencaharian dan barangkali perubahan ikl im. Sebab yang
datang dari luar, untuk sebagian terletak dalam
l ingkungan pergauffan itu sendiri dan untuk sebagian lagi
terletak dalam kekuatan ekspansinya peradaban.
b. Alvin L. Bertrand ( 1 980: 1 06) berpendapat bahwa
perubahan sosial itu disebabkan oleh faktor adanya
komunikasi yaitu proses dengan mana informasi
disampaikan dari individu yang satu kepada individu yang
l ain . Sedangkan yang dikomunikasikan adcilah suatu
gagasan-gagasanl'ride-ide atau keyakinan maupun hasil
budaya yang berupa fisik.
c. Robert L.Sutherland et.a l . ( 1 961 : 369) menyebutkan
bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan
sosial itu adalah faktor adanya inovasi (penemuan
baru/pembaharuan), invensi (penemuan baru), adaptasi
(penyesuaian secara sosial dan budaya), adopsi
(penggunaan dari penemuan baru/teknologi).
d. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi ( 1 964:489-
490) menyebutkan pada umumnya dapat dikatakan
bahwa sebab-sebab terjadinya perubahan sosial adalah
dikarenakan adanya pengaruh dari dalam dan luar
45
masyarakat itu. Selbab-sebab yang bersumber dari dalam
masyarakat itu sendiri misalnya bertambah atau
berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru
(inventions), pertentangan antar golongan dan
pemberontakan attau revolusi yang terjadi di dalam
masyarakat. Apabil sebab-sebab perubahan sosial itu
bersumber dari luar masyarakat, maka biasanya
perubahan itu terja<di karena kebudayaan dari masyarakat
yang lain melanca1rkan pengaruhnya pada kebudayaan
dari masyarakat yang sedang dipelajari . Hubungan yang
dilakukan secara fisik antara kedua masyarakat,
memilikikecenderu111gan untuk menimbulkan pengaruh
timbal balik , aniinya masing-masing masyarakat
mempengaruhi masyarakat yang lainnya, tetapi juga
menerima pengarLli.h dari masyarakat yang lain. Proses
penerimaan pengairuh kebudayaan dari masyarakat lain
yang berbeda kebudayaannya di dalam studi antropologi
budaya dinamaka111 alkulturasi (alculturation) . Apabila
pengaruh itu diteriima tidak karena paksaan dari pihak
yang mempenganuhi maka hasilnya di dalam ilmu
ekonomi dinamaka111 demonstration effect
46
Dengan demiki;an dapatlah dimengerti bahwa sebab
sebab terjadinya perubahan sosial itu dapat disebutkan
karena adanya pengairuh dari dalam dan luar masyarakat itu
sendiri sebagaimana digambarkan di atas.
2.1 .3. Faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial
Beberapa faktor pendorong perubahan sosial dapat
disebutkan antara laiin adalah sebagaimana dikemukakan
oleh Ralph Linton dan Soerjono Soekamto berikut ini :
a. Menurut Linton ( 1 952:324) faktor pendorong perubahan
sosial itu adalah karena terjadinya kontak dengan
kebudayaan lain. Salah satu proses menyangkut hal ini
adalah misalnya difusi (diffut ion). Difusi adalah suatu
proses penyebara111 unsur-unsur kebudayaan dari orang
perorangan kepad!a orang perorangan lain, dan dari
suatu masyarakat ke masyarakat lain. Dengan proses
tersebut manusia mampu untuk menghimpun penemuan
penemuan baruyang telah dihasilkan. Dengan terjadinya
difusi suatu penemuan baru yang telah diterima oleh
masyarakat dapat diteruskan dan disebarluaskan pada
masyarakat lain sampai umat manusia di dunia in i dapat
menikmati kegunaan bagi kemajuan peradaban, yaitu
47
antara lain proses tersebut merupakan pendorong bagi
pertumbuhan suatu kebudayaan dan memperkaya
kebudayaan masyarakat manusia
b. Menurut Soekanto ( 1 982:355) yang dapat menjadi faktor
pendorong perub;ahan sosial adalah adanya sistem
pendidikan formal yang maju, adanya sikap menghargai
karya orang lain :serta keinginan untuk maju, toleransi
terhadap perbuatain-perbuatan yang menyimpang yang
bukan merupakan delik, sistem terbuka dalam lapisan-
lapisan , sosial, adanya penduduk yang heterogen,
ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang
kehidupan tertentu, orientasi ke masa depan, n i lai bahwa
manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki
h idupnya, adany<a disorganisasi dalam masyarakat,
sikapmudah menerima hal-hal yang baru dan seterusnya.
Beberapa faktor penghambat terjadinya perubahan
sosial memetik pendapat Soekanto (Ibid.,) menyebutkan
karena kurangnya h!ubungan suatu masyarakat dengan
masyarakat lain sehingga keterasingan anggota masyarakat
yang demikian ini tidak jarang tidak mengetahui
perkembangan apa yang terjadi dalam masyarakat lain, '
48
padahal kebudayaan masyarakat lain dapat memperkaya
kebudayaan sendiri. Di samping itu dapat juga disebabkan
karena terlambatnya perkembangan i lmu pengetahuan
dalam suatu masyarakat yang dimungkinkan oleh Adanya
keterasingan dan ketertutupan masyarakat tersebut dari
pengaruh luar.
Sementara itu Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi (Op.Cit. ,383) mengatakan bahwa faktor
penghambat terjadinya perubahan sosial dikarenakan sikap
masyarakat yang sangat tradisiona,I, adanya kepentingan
yang telah tertanam dengan kuat sekali dalam suatu
organisasi sosial dan mereka sangat menikmati
kedudukannya karena dimungkinkan o leh adanya sistem
lapisan-laoisan kedudukan yang enggan melepaskan
kedudukan yang sedang dipangkunya. Bahkan tidak jarang
mereka mengidentifikasikan dirinya dengan usaha-usaha
dan jasa-jasanya di dalam membentuk organisasi sosial itu.
J .M van der Kroef (1 954:206) mengatakan bahwa
faktor penghambat terjadinya perubahan sosial dapat
disebutkan antara lain adalah adanya hambatan yang
bersifat ideologis seperti yang ditemukan pada masyarakat
yang memi l iki unsur-unsur kebudayaan rohaniah yang kuat
49
sekali. Begitu pula terjadi hambatan perubahan sosial akibat
rasa takut atau kuatir terjadinya kegoncangan pada transisi
kebudayaan, disamping tertutup terhadap hal-hal yang baru
dan adanya adat atau kebiasaan yang menjadi pola
perikelakuan bagi anggota masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan utamanya. Adat atau kebiasaan ini dapat berupa
kepercayaan, sistem mata pencaharian hidup, cara-cara
berpakaian, pembuatain rumah dan lain sebagainya.
2.1 .4. Proses Perubahan Sosial
Menu rut Astrid S.Susanto (Op. Cit. , 170) proses
perubahan sosial d:apat terjadi melalui evo lusi sosial,
mobilitas sosial dan revolusi sosial. Evolusi sosial
merupakan perkembangan gradual yaitu karena adanya
kerja sama yang harmonis antara manusia dengan
lingkungannya. Bent1Uk evolusi ini dapatberupa evolusi
kosmis, evolusi orgaITTis, evolusi mental . Evolusi kosmis
adalah taraf evol1Usi dalam bentuk pertumbuhan,
perkembangan atau kemunduran hidup manusia. Evo lusi
organis adalah evolusi yang ditemukan dalambentuk
"survival of the fittest", yaitu perjuangan manusia untuk
mempertahankan hidupnya. Evolusi mental adalah evolusi
50
sebagai akibat adanya perubahan teknologi dan perubahan
kebudayaan .
Sedangkan proses perubahan sosial melalu i mobilitas
sosial menurut J\stid S.Susanto di atas (Ibid . , ) terjadi karena
adanya keinginan akan perubahan yan g diorganisasi. Sebab
dari gerakan sosial in i terjadi penyesuaian diri manusia
dengan keadaan (ekologi) karena didorong oleh keinginan
manusia akan hidup dalam keadaan yang lebih baik , serta
pemanfaatan dari penemuan-penemuan baru. Pada
umumnya mobilitas sosial ini terbentuk apabila ada konsep
yang jelas terlebih lagi apabila konsep i n i memiliki
strategiyang jelas pula. Suatu gerakan akan berakhir apabila
suatu idea oleh pengikut-pengikutnya dirasakan telah
terwujudkan atau bila keadaan telah berubah kembali.
Untuk proses perubahan sosial melalui revolusi sosial
pada umumnya ditaridai oleh adanya ketidakpuasan dari
golongan tertentu hal mana biasanya telah didahulu i oleh
terbesarnya suatu idea baru . Oleh Astrid S.Susanto (Ibi d . , )
disebutkan saat peca hnya suatu revolusi sosial ditandai
dengan adanya teror suatu coup d'etat.
Pada dewasa i n i proses perubahan sosial dapat
diketahui terjadinya karena ada beberapa kecenderungan
5 1
disebabkan tidak ada masyarakat yang lain stagnant (tidak
berproses). Setiap masyarakat sebagaimana terlihat dari arti
perubahan sosial diatas, cenderung untuk mengalami
perubahan-perubahan tinggal terjadinya dapat secara lambat
atau cepat.
Sehubungan de11gan ini Wi lbert Moore ( 1 963:27)
mengatakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada
suatu lembaga sosial tertentu cenderung mengikuti
perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya. Oleh
karE:na itu lembaga-lembaga sosial tadi bersifat
interdependen, sehingga sulit sekali untuk mengisolasikan
perubahan pada lembaga sosial tertentu. Proses yang
dimulai dan proses-proses selanjutnya tidak jarang
merupakan suatu mata rantai.
Hanya saja perubahan sosial yang cepat biasanya
mengakibatkan terjadinya disorganisasi yang sementara
sifatnya di dalam proses penyesuaian diri. Disorganisasi
biasanya akan diikuti o leh suatu reorganisasi yang
mencakup pemantapan dari norma-norma dan nilai-nilai baru
sehingga melembaga.
52
Secara tipologis menurut Neil J .Sme1ser ( 1 976: 1 5)
perubahan-perubahan sosial ini dapat dikategorisasikan
sebagai :
a. Suatu proses sosial yaitu hubungan timbal balik antara
berbagai bidang-bidang kehidupan , yakni bidang politik,
ekonomi, sosial , hukum dan hankam.
b. Segmentasi yaitu perpecahan struktural antara unit-unit
dalam masyarakat yang sebenarnya tidak berbeda
secara kual itatif.
c. Perubahan struktural yang menyangkut perubahan dalam
peranan dan organis;asi .
d. Perubahan kelompolk-kelompok sosial yang mencakup
komposisinya, taraf kesadaran dan h ubungan antar
kelompok sosial .
Suatu proses perubahan sosial akan lebih mudah
terjadi apabila masyarakat yang bersangkutan bersifat
terbuka terhadap hal-hal atau unsur-unsur baru baik yang
datangnya dari luar maupun dari dalam. Biasanya
perubahan sosial itu harus dimulai dengan usaha-usaha
yang persuasif oleh karena ada kecenderungan bahwa hal
hal yang dipaksakan akan menghas ilkan suatu sikap atau
perikelakuan yang menentang yang mungkin berwujud atau
531
mungkin merupakan sikap melawan yang diam-diam. Sikap
melawan secara diam-diam tersebut suatu ketika akan
meledak sehingga m-enimbulkan akibat negatif yang
menggoncangkan masyarakat secara menyeluruh dan
mendasar.
Berdasarkan rangkaian pemahaman di atas dapat
disebutkan bahwa pembahan sosial itu bentuknya dapat
meliputi perubahan pada bentuk struktur sosial, sistem
sosial, organisasi sosial atau stratifikasi sosial . Pada struktur
sosial terlihat bentuk periubahannya pada jaringan h,ubungan
antar individu dalammasyarakat berupa jal inan interaksi,
interrelasi dan komunikarsi sosial.
Pada sistem sosial terlihat bentuk perubahannya pada
jaringan hubungan antair individu dalam masyarakat berupa
jal inan sistem nilai, norma-norma, pola-pola perilaku individu,
kelompok sosial dan kebudayaan serta kaidah-kaidah
masyarakat lainnya. Paida organisasi sosial terl ihat bentuk
perubahannya pada wadah pergaulan kelompok yang
disusun secara jelas antara para petugas dengan tugas
tugasnya yang berhubungan dengan usaha untuk mencapai
tujuan tertentu yang umumnya berhubungan dengan aspek
541
kesejahteraan dan keam•anan para anggota organisasi sosial
tersebut.
Pada stratikasi s<0sial terlihat bentuk perubahannya
pada kedudukan sosial seseorang karena faktor tertentu baik
secara vertikal maupun secara horizontal. Misalnya seorang
buruh karena pendidikain dapat menjadi seorang i lmuwan,
atau menjadi pedagang, komandan pasukan mi l iter dan lain
sebagainya.
Yang berhubungan dengan bentuk perubahan struktur
sistem dan organisasi sosial di atas m isalnya suatu gerak
masyarakat yang berhubungan dengan ruang geografi atau
terjadinya perpindahan tempat dari sekelompok anggota
masyarakat dari suatu daerah ke daerah lain dalam jumlah
yang relatif besar, bentuknya yang terkenal d iantaranya
adalah imigrasi, emigrasi, transmigrasi, dan urbanisasi.
2.1 .5. Pola-Pola Perubahan
Oikalangan antropologi ada tiga pola perubahan yang
dianggap sangat penting dalam kebudayaan satu
masyarakat yaitu evolusi, difusi, dan alkulturasi.
Landasannya adalah penemuan atau inovasi . Penemuan
yang paling menentukan dalam pertumbuhan kebudayaan
55
dalam arti penemuan sesuatu atau secara etimologis
menerima sesuatu yang baru.
Dalam hal ini Lauer (Op. Cit. , 389) mengatakan bahwa
seperti dalam sosiologi1., pemikiran ten\lmg evolusi dalam
antropologi adaiah ha:si i pemikiran yang berubah-ubah.
Antropolog kuno tergi la-gila dengan ide evolusi ini.
Sementara generasi antropolog berikutnya hampir fanatik
menolak ide ini . Tetapi generasi berikutnya lagi dengan hati
hati menelitinya kembal1i. Selama perjalanan sejarah ide ini
telah dilekatkan makna yang agak berbeda-beda padanya.
Menurut Jacobs & Stern ( 1 952: 1 22) mengatakan
bahwa diakhir abad ke- 1 9 para antropolog sosial
mengidentifikasikan evolusi menurut pola perkembangan
kehidupan kebudayaan mulai dari bentuk yang rendah
hingga ke bentuk yang lebih tinggi. Contohnya Lewis
H.Morgan orang pertama yang menerapkan ide evolusi pada
perkembangan sosial menelusuri evolusi kebudayaan
manusia secara berurutan mulai dari tingkat kekejaman,
kebiadaban hingga ke tiingkat peradaban. Perhatian Morgan
ditujukan untuk mengkategorisasikan masyarakat menurut
perbedaan ciri-ciri sosial yang dimi l iki bersama oleh
anggotanya pada tingkat organisasi sosial tertentu dan untuk
56
memperhatikan rentertan perkembangan setiap tipe
organisasi sosial itu.
Teori evolusi ini dalam tulisan teoritis evolusi kuno
menurut Murdock ( 1 949:47) intinya adalah memuat ide
bahwa bentuk organisasi sosiai yang pal ing primitif adalah
kekeluargaan matri l ineal. Bentuk in i akhirnya menghasilkan
bentuk kekeluargaan patrilineal dan patriarakhat karena laki
laki memperoleh dominasi . Akhirnya garis keturunan bilateral
dan keluarga batih muincul ke penghujung tingkat evolus1.
A�pek evolusi kebudayaan in i nampak sedemikian logis dan
sangat sesuai dengan seluruh fakta yang diketahui dan
benar-benar dapat diterima oleh seluruh ahl i ilmu sosial
h ingga penghujung abad ke-1 9.
Pemikiran evolusi baru yang muncul setelah !ama
hancur karena serangan kritik, mengurangi mitos
perkembangan kebudayaan menurut garis lurus di atas.
Pemikiran evolusi banu in i menurut Lauer (Op.Cit. , 391 )
merupakan upaya untuk mensintesiskan pemikiran ahl i
evolusi kuno dan pemikiran ahl i difusi dan fungsional yang
muncul kemudian. Pemikiran ahl i difusi, menekankan s ifat
mobilitas berbagai unsur kebudayaan dan mencoba
mengetahui bagaimana cara berbagai unsur yang
57
membentuk s?tLJ kebLJQ?Y??n tertentu menyatu bersama.
Pemikiran ahli teori fungsional menekankan pada saling
ketergantungan unsur-unsur kebudayaan, hubungan
masing-masing unsur menjadi satu keseluruhan yang penuh
makna. Seperti pandangan fungsionalisme sosioiogis,
pandangan inipun te�rnyata tak mampu menerangkan
masalah perubahan sec:ara memadai.
Pemikiran evolu:sinisme baru menurut Lauer ( Ibid . , )
mencakup berbagai ide. Beberapa antropolog kontemporer
menyamakan evolusi c;J!engan perubahan, sedangkan yang
lain membayangkan evolusi sebagai pertumbuhan,
perkembangan atau kemajuan.
Menurut Leslie White ( 1 959: 1 40) kebudayaan itu
harus dipahami menurut tiga lapisan yaitu lapisan teknologi
adalah yang terendah, lapisan sosiologis yang menengah
dan lapisan filosofis yal!lg tertinggi. Artinya teknologi adalah
bidang paling mendasar dan pendorong utama proses
kebudayaan. Teknologii dan perkembangannya membentuk
sistem sosial dan falsafah yang mencerminkan baik sistem
sosial maupun teknologi yang melandasinya. Karena
ituteknologi menentukan jenis sistem sosial yang ada, dan
teknologi bersama masyarakat menentukan si lfat falsafah.
58
Terdapat pengaruh timbal balik antara ketiga lapis
kebudayaan itu namun arah hubungan kausal antara
ketiganya dimulai dari teknologi ke masyarakat dan ke
falsafah.
Sementara minat terhadap evolusi hidup kembali,
pendekatan lebih umum alas perubahan kebudayaan
dipusatkan pada proses difusi atau alkulturasi. Dalam ha! ini
Lauer (Op.Cit.,) mengatakan bahwa difusi sebagai proses
yang menyebarkan penemuan (inovasi) ke seluruh lapisan
satu masyarakat atau Ike dalam satu bagian atau, dari satu
masyarakat ke masyarai:kat lain pada pendekatan aniropologi
difusi meletakan dasar acuannya pada penyebaran umsur
umsur atau ciri-ciri suatuJ kebudayaan ke kebudayaan lain.
Tetapi beberapa antropolog memperdebatkan hal ini.
Seperti Malinowski (1945:19) mengatakan bahwa difusi
takkan dapat dipelajarii kecuali bila kita mengambil sistem
organisasi atau institusi sebagai unit-unit yang disebarkan
ketimbang ciri-ciri atau lkompleks ciri-ciri kebudayaan.
Karena itu menurut Lauer (Op.Cit.,398) mengatakan
bahwa definisi yang umum tentang difusi dipahamkan
sebagai penyebaran aspek tertentu dari suatu kebudayaan
59
ke kebudayaan lain. Teori difusi muncul sebagai alternatif
bagi teori evolusi.
Mengenai alkulturasi yang dimaksudkan di atas
menurut Lauer (lbidl .. ,402) merupakan pengaruh satu
kebudayaan terhadaip kebudayaan lain atau saling
mempengaruhi antar d!ua kebudayaan yang mengakibatkan
terjadinya perubah1an kebudayaan. Sebenarnya
sebagaimana difusi, tak ada definisi alkulturasi yang dapat
memberikan kepuasan terhadap apa yang dimaksud dengan
alkulturasi.
Seperti Linton & Herskovits (Bonannan et.al.,
1967: 182) mengatakain bahwa yang dimaksud dengan
alkulturasi adalah meliJPuti fenomena yang dihasilkan sejak
dua kelompok yang berbeda kebudayaannya mulai
melakukan kontak langsung, yang diikuti perubahan pola
kebudayaan asli salah :satu atau kedua kelompok itu.
Apabila ditilik batasan di alas jelaslah bahwa
alkulturasi dipahamkain sebagai satu aspek saja dari
perubahan kebudayaain. Sedangkan difusi hanyalah suatu
aspek saja dari alkulturasi. Begitu pula difusi selalu terjadi
dalam proses alkulturasi, tetapi tak dapat terjadi tanpa
60
berlanjutnya kontak langsung yang diperlukan bagi
alkulturasi.
Menurut Lauer (Op.Cit. , ) definisi yang menjadi standar
dalam studi perl'bahan1 kebudayaan adalah yang dirumuskan
pada tahun 1954 yang menyatakan bahwa alkulturasi adalah
perubahan kebudayaan yang dimulai dengan
berhubungannya dua sistem kebudayaan atau lebih yang
masing-masing otonom. Yang menjadi unit analisis adalah
setiap kebudayaan yang dimiliki masyarakat tertentu.
lndividu di sini merupakan anggota masyarakat yang jelas
sebagai pendukung kebudayaan, karena itu menjadi
perantara yang meinyebarkan kebudayaannya kepada
individu yang berasal dari masyarakat lain.
Barnett et.al. (Lauer.Ibid., ) mengatakan bahwa dalam
analisis alkulturasi, individu tidak menjadi pusat perhatian,
walaupun individu yang mengubah kebiasaan, berperilaku
dan keyakinan mereka karena pengaruh bentuk kebiasaan
dan keyakinan asing, namun dikatakan adat
masyarakatnyalah yang mengalami alkulturasi.
Karena itu Kroeber (Op.Cit.,) mengatakan bahwa
alkulturasi berarti mempunyai pengaruh Jebih besar
ketimbang difusi, setidak-tidaknya dalam arti kebudayaan
61
lain yang dipengaruhi akan lebih menyeruoai kebudayaan
yang mempengaruhL Sebab itu alkulturasi dapat
didefinisikan sebagai perubahan dimana terjadi peningkatan
keserupaan antara '<ed!ua kebudayaan.
Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa
alkulturasi adalah pola perubahan dimana terjadi penyatuan
antara dua kebudayaian yang dihasilkan melalui kontak
kontak yang berlanjutt. Kontak ini dapat terjadi menurut
sejumlah cara seiperti, misi penyebaran agama,
perdagangan, penaklukan dan pendudukan militer, serta
melalui sejumlah media cetak, radio dan televisi.
Di samping polai-pola perubahan kebudayaan di atas,
dapat pula pola penubahan kemasyarakatan yang turut
membantu terjadinya perubahan sosial yaitu melalui
industrialisasi dan modlernisasi. Secara historis kedua istilah
ini berkaitan erat sekali, akan tetapi ditilik dalam arti
keduanya tidaklah sarma. Modernisasi adalah istilah yang
lebih inklusif, karena modernisasi dapat terjadi terlepas dari
industrialisasi. Seperti dikemukakan Apter (1965:43)
modernisasi barat dlidahului oleh komersialisasi dan
industrialisasi, sedangkan di negara non barat, modernisasi
didahului oleh komersialisasi dan birokrasi. Jadi modernisasi
62
dapat dilihat terlepas dari industrialisasi. Di barat
modernisasi disebabkan oleh industrialisasi, sedangkan di
kawasan lain modernisasi menyebabkan industrialisasi.
Yang jelas menurut Lauer (Op.Cit.,) baik modernisasi
maupun industrialisasi menyangkut unsur penting
pertumbuhan ekonomri, tetapi pertumbuhan ekonomi tak
dapat terjadi terlepas dari industrialisasi, dan industrialisasi
ini senantiasa menjadi lbagian integral dari modernisasi.
Dalam pengertiian yang sederhana industrialisasi
menurut Lenski (1966:298) adalah pembangunan ekonomi
melalui transformasi sumber daya dan kuantitas energi yang
digunakan.
Dengan demikian industrialisasi dapat merupakan
faktor lain yang turut se1ia terjadinya perubahan sosial,
sebab industrialisasi bukanlah merupakan pola perubahan
ekonomi dan teknologi semata, tetapi juga merupakan pola
perubahan sosial dan kultural. lmplikasi sosial dan kultural
industrialisasi ini terlihat pada kehidupan dewasa ini.
Sehubungan dengan modernisasi yang dimaksudkan
di atas menurut Lauer (Op.Cit,), modernisasi juga
menyangkut pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan
ekonomi itu mungkin didasarkan atau mungkinpula tidak
63
didasarkan alas industirialisasi. Jadi kita akan mengacu pada
industrialisasi sebagai pertumbuhan ekonomi yang terjadi
melalui penerapan teknologi terhadap perkembangan
industri, dan mengacu kepada modernisasi sebagai proses
umurn yang mencaku1p pertumbuhan ekonomi bersama
sama dengan perkemb.angan sosial dan kebudayaan.
Sementara itu Bendix ( Lauer,lbid.,) mengatakan
bahwa mcdernisasi adalah sebagai seluruh perubahan
sosial dan politik yang menyertai industrialisasi
dikebanyakan negara yang menganut peradaban barat.
Menurut Lauer (Ibid.,) banyak ahli yang telah
mencoba menangkap makna esensi modernisasi, dimana
sebagian asli mengatalkan bahwa esensi modernisasi berarti
sejenis tatanan sosiall modern atau yang sedang berada
dalam proses menjadi modern. Diantara ciri-ciri kemodernan
yang disepakati dikaillangan ahli terlihat indikator yang
dikemukakan adalah :
a. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang terus berlanjut
sendiri setidaknya tingkat pertumbuhan yang cukup
untuk meningkatkan produksi maupun konsumsi secara
tetap.
64
b. Kadar partisipasi rakyat dalam pemerintahan yang
memadai.
c. Difusi norma-norma sekuler-rasional dalam kebudayaan.
d. Peningkatan mobilitras dalam masyarakat
e. Transformasi kepr-ibadian individu, sehingga dapat
berfungsi secara efektif dalam tatanan sosial yang sesuai
dengan tuntutan kemodernan.
Dengan demikian jelaslah bahwa modernisasi
menuntut penyelesaiain masalah pemenuhan kebutuhan
pokok masyarakat Seperti industrialisasi , modernisasi selain
menyangkut pertumbuhan ekonomi juga menyangkut
sejumlah perubahan sosial dan kebudayaan.
2.1.6. Teori Perubahan Sosiial
Beberapa teori telah dikembangkan oleh para ahli
disekitar faktor-faktor utama yang telah menjadi sebab
adanya perubahan sosial. Lima teori diantaranya yang telah
dikembangkan oleh para ahli disekitar faktor-faktor utama
yang menyebabkan adanya perubahan sosial diantaranya
oleh S.C. Dube (1971 :47) disebutkan sebagai berikut:
a. Teori Ekonomi
b. Teori Idea
65
c. Teori Teknologi
d. Teori Konflik
e. Teori Adaptasi
Berikutnya S.C.Dube (lbid.,47-53) menjelaskan
masing-masing teori di atas sebagai berikut :
1) Teori Ekonomi
Marx adalah eksponen teori ini. la mencoba
menjelaskan segal.a bentuk perubahan sosial sebagai
akibatperubahan-perubahan yang terjadi di dalam infra
struktur ekonomi (y.ang terdiri dari totalitas kekuatan dan
hubungan-hubungan dalam tatanan produksi)
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan-
hubungan kerja produksi 1n1 akan menyebabkan
terjadinya perubalhan-perubahan pula dalam supra
struktur yang terdffri dari pranata-pranata politik, tata
hukum, dan agama. Bertolak dari teori seperti inilah Marx
menjelaskan perubahan sosial dari sistem perbudakan ke
sistem feodal, dari sitem feodal ke sistem kapitalisme dan
dari sistem kapitalisme ke sistem sosialisme.
2) Teori Idea
Teori ini me111ekankan peranan utama idea sebagai
determinan setiap perubahan sosial. Setiap gejala sosial '
66
itu selalu memiliki aspek-aspeknya yang ideal. Bukankah
manusia itu selalu memiliki idea tentang setiap hubungan
sosial yang telah ada dan yang seharusnya ada atau
diadakan dalam masyarakat? Idea tentang hubungan
hubungan apa yang seharusnya diwujudkan dalam
masyarakat itu yang - oleh teori ini- ditunjuk sebagai
penyebab utama terjdinya perubahan, pembenahan
kembali, dan penataan kembali tatanan-tatanan sosial.
Revolusi danterjadinya perubahan, dari masyarakat
kolonial ke masyarakat nasional yang merdeka adalah,
contohnya : Idea tentang masyarakat nasional telah
berkembang terlebih dahulu , mendahului lahirnya
negara-negara, dan masyarakat-masyarakat nasional
abad ke-20 ini.
3) Teori Teknologi
Teori ini - seperti misalnya yang dikemukakan
oleh Ogburn - yang mencoba menemukan korelasi yang
eratantara, perubahan sosial dengan perubahan
perubahan teknologi. Perubahan-perubahan teknologi
selalu ditunjuk sebagai penyebab terjadinya perubahan
perubahan terteintu dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat: misalnya perubahan-perubahan teknologi
r/S7
di bidang persenjataan (kecepatan kemajuannya diukur
atas dasar besarnya daya bunuh yang memiliki) atau di
bidang transportasi (dengan kemajuan yang diukur atas
dasar kecepatan maksimal alat-alat transport yang
ditemukan dan d1buat itu), atau di bidang kesehatan
( dengan kemajuan yang diukur atas dasar panjang
harapan hidup manusia), atau di bidang persebaran
informasi serta difusi kultural. Tak pelak lagi munculnya
dan tersebarnya invensi (inovasi) tertentu dalam
masyarakat .tertentUJ akan selalu menimbulkan sebagai
bentuk yang baru pula dalam pola-pola kultural dan
hubungan-hubungan sosial.
4) Teori Konflik
Masyarakat yang tertib, tenang, mengalami
gangguan konflik macam apapun serta penuh dengan
kesepakatan-kesepakatan dalam keadaan keseimbangan
yang sempurna. Dalam situasi seperti ini, perubahan
perubahan yang akan menimbulkan kegoncangan
struktural tentulahJ tak akan dikehendaki, tak akan
diperlukan, dan tak akan terjadi . Tetapi adakah di alam
kenyataan orang akan menemui keadaan yang tenang
berkesinambungan penuh dan statis seperti ini tidaklah
68
demikian halnya. Berbagai macam konflik kepentingan -
dikehendaki maupun tidak - selalu terjadi. Maka apabila
orang mulai menentang kemufakatan yang ada, dan
konflik-konflik mulai terjadi, kegoncangRn-kegoncangan
akan mulai timbufi. Tekan menekan antar komponen
dalam sistem sosialpun lalu akan melahirkan gerakan
gerakan dan doroingan-dorongan ke arah perubahan.
Oposisi radikal, kompetisi , bentrokkan kepentingan, dan
konflik-konflik dengan demikian dapatlah disebut sebagai
penyebab perubahan.
5) Teori Adaptasi
Beberapa sarjana memandang keterpaksaan
orang untuk beradaptasi sesuatu Jingkungan yang baru
sebagai sebab u;tama proses perubahan. Dalam
hubungan ini kutural dapatdianggap sebagai mekanisme
adaptif. Kultur mermbantu manusia, hidup rnanusia, dan
tatanan (sosial) kehidupan manusia untuk beradaptasi ke
situasi-situasi yang terus menerus berubah. Apabila
lingkungan (alam ataupun sosial) berubah misalnya dari
lingkungan perladangan kering ke lingkungan
persawahan basahi, atau dari lingkungan kehidupan pra
industri ke lingkungan kehidupan industri yang urban -
fi9
maka demi kelestarian hidup, manusia dan tatanan
kehidupannyapun harus berubah guna penyesuaian diri
dengan segala perubahan tersebut. Perubahan struktur
keluarga yang mengiringi perubahan lingkungan (dari
alam pra industri ke alam industri) dapatlah dijelaskan
dari sudut telaahan teori ini.
Disamping lima teori di atas, sebenarnya masih
terdapat beberapa teori pendekatan lainnya yang digunakan
para ahli sosiologi untuk menyoroti perubahan sosiai itu
diantaranya adalah:
1. lbnu Khaldum (1332-1406)
Pandangan lbnu Khaldum tentang pola perubahan
sosial 1n1 ditemukan di dalam karya besarnya
"Mukadimah" yang meneliti tentang pengaruh lingkungan
fisik terhadap manusia, bentuk-bentuk organisasi sosial
primitif dan modern, hubungan anter kelompok dan
berbagai fenomena kultural seperti kesenian, kerajinan,
ilmu pengetahuan dan sebagainya.(Lauer, Op.Cit.,41)
lbnu Kha Id um (Op. Cit. ,42) menyebutkan bahwa
banyak faktor yang menyebabkan perubahan sosial itu,
70
tetapi ada enam pninsip diantaranya yang harus diketahui
yaitu:
a. Bahwa fenomena sosial itu mengikuti pola-pola yang
sah menurut hukum.
b. Hukum-hukum 1Perubahan itu pada prinsipnya berlaku
pada tingkat kehidupan masyarakat,bukan pada
tingkat individual.
c. Bahwa hukum-hukum proses sosial harus ditemukan
melalui pengumpulan data dan denganbanyak
mengamati hubungan antara berbagai variabel.
d. Bahwa hukum--lhukum sosial yang serupa berlaku di
dalam berbagai masyarakat yang serupa strukturnya.
e. Bahwa masyarakat itu ditandai oleh perubahan.
f. Hukum-hukum yang berlaku terhadap perubahan itu
sifatnya adalah! sosiologis dan bukan biologis atau
bersifat ilmiah.
Menurut Lauer (Op.Cit.,49) Khaldum merupakan
tokoh yang mengemukakan teori perubahan sosial
dengan tajam dan sumbangan pikirannya dapat terlihat
sebagai berikut
a. Metode historisnya menawarkan pendekatan
pemahaman terbaik tentang perubahan sosial '
7 1
b. Faktor penyebab perubahan sosial menurutnya
banyak dan beiraneka ragam. Faktor tunggal seperti
kepribadian ataiu teknologi tidak mampu menerangkan
tentang perubahan sosial itu secara memadai.
c. Bentuk organisasi sosial yang berbeda menciptakan
tipe kepribadian yang berbeda pula.
d. Konflik adalah mekanisme mendasar dari perubahan.
e. Berbagai faktor psikologis sosial , kepemimpinan,
kepribadian, kekompakan kelompok, membantu kita
di dalam mematiami penyebab dan akibat dari konflik
yang terjadi antar kelompok-kelmpok masyarakat.
f. Perubahan cenderung merembes terjadi di semua
lembaga sosial, agama, keluarga, pemerintah dan
ekonomi dan sebagainya semuanya terlibat dalam
proses perubahian sosial.
2. Auguste Comte ( 1798-1853)
Comte (Op.Cit.,8) mengemukakan tentang
perubahan sosial disebabkan dari suatu akibat dari
perkembangan intelektual yang terjadi melalui tiga tahap
yaitu:
72
a. Tahap alam pi,i<iran teologi atau fiktif diasosiasikan
dengan bentuk militer daripada organisasi sosial.
b. Tahapalam pikiran meta-fisik dihubungkan dengan
militerisme defensif.
c. Tahap alam pii<iran positif atau ilmiah dihubungkan
dengan organisasi sosial yang industrial dan bersifat
tentram.
3. Herbert Spencer (1 820-1903)
Hampir sejalan dengan buah pikiran Auguste
Comte adalah pendapat Herbert Spencer yang
melakukan klasifikasi masyarakat ke dalam dua cara
yaitu melalui organiisasinya yang begitu kompleks dan ke
dalam tipe-tipe industrial serta militer. Masyarakat
Industrial dirumuskan oleh Herbert Spencer berbeda
dengan masyarakat industrial yang ada pada dewasa ini,
oleh karena ia juga menggolongkan masyarakat-
masyarakat seder1hana yang telah menetap dan tidak
gemar berperang ke dalam kategori masyarakat seperti
ini.
Herbert Spe•ncer menganggap masyarakat ini lebih
superior karena didasarkan pada kerjasama sukarela •
73
antara individu-individu yang statusnya bebas
(Op. Cit., 10).
4. Emile Durkheim (1815-1917)
Analisa Emile Durkheim (Johnson, 1988 181)
menyebutkan teritang perubahan sosial atau
perkembangan masyarakat terhadap konsekuensi sosial
dari pembagian kerja membedakan masyarakat ke dalam
tingkatan solidaritas yaitu solidaritas mekanis dan
organis.
Solidaritas mekanis merupakan ciri dari
masyarakat dimana taraf pembag1an kerja masih rendah
dan sifat masyarakat relatif adalah utuh, dimana sanksi
sanksi represif sangat diutamakan.
Sedangkan solidaritas organis ditemukan pada
masyarakat yang kompleks dengan taraf pembagian
kerja yang tinggi Pada masyarakat ini struktur sosial
terdiri terdiri dari unsur-unsur yang interdependen yang
masing-masing menyumbangkan kebudayaan-
kebudayaan khusus (Sub-Culture) Diferensiasi
kepentingan warga>-warga masyarakat terlihat lebih tegas
dan berkembang ke arah spesialisasi.
74
5. Ferdinand Tonnies (1855-1936)
Perubahan sosial dapat diikuti menurut teori
Tonnies (Lee, 1960:82) melalui teorinya tentang
"gemeinschaft" dan gesselschaft". Jika gemeinschaft sifat
hubungan manusia itu adalah alamiah dan batiniah,
sedangkan pada gE>sselschaft sifat hubungan manusia
lebih menekankan sifat artifisial yang didasarkan pada
hubungan karena kepentingan-kepentingan rasiona/.
Kenyataan ini merupakan gambaran perkembangan
masyarakat Eropa Baral pada abadnya yang terlihat
berangkat dari unit keluarga yang merupakan prototipe
"gemeinschaft" melalui koperasi-koperasi di mana orang
berguru pada par:a ahli untuk menuju pada bentuk
perubahan yang disebut "gesselschaft" Gesselschaft ini
merupakan kelompok sosial yang didasarkan pada ikatan
lahiriah yang bersifat pokok dalam jangka waktu yang
pendek_ Gesse/schaft ini didasarkan pada Kurwille yaitu
kemauan yang dituj!Ukan pada tujuan tujuan yang tertentu
dan yang rasional sifatnya, terhadap tujuan-tujuan mana
unsur-unsur kehidiupan lainnya hanyalah berfungsi
sebagai a/at belaka.
75
6. LT. Hobhouse (1864-1929)
L. T. Hobhouse ( Soekanto, Op. Cit., 10) menyebutkan
terdapat empat kriteria perkembangan sosial yaitu, skala,
efisiensi (yang dikaitkannya dengan adanya diferensiasi,
serta spesialisasi dari struktur sosial), kebebasan dan
mutualitas. Keempat kriteria ini menurut L.T. Hobhouse
saling berhubungan atau terjadi hubungan timbal balik.
Konsepsi tentang kebebasan dan mutualitas
mengungkapkan posisi Hobhouse sebagai filsafat sosial
yang liberal, sedangkan kriteria serta efisiensi
menempatkannya pada posisi pengikut ajaran Durkheim.
7. Max Weber (1864-1920)
Pendapat Weber (Wulansari, 1999:37) tentang
suatu perubahan menyebutkan bahwa perkembangan
hukum terjadi sebagai akibat dari terjadinya
perkembangan di bidang-bidang lainnya dalam
kehidupan ini. Tujuan Weber dalam mengemukakan
teorinya adalah untuk mengemukakan tahap-tahap
rasionalisasi peradaban Bara! pada zamannya beserta
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sejalan dengan itu
76
tujuan teori Weber berikutnya menelaah pengaruh politik,
agama dan ekonomi terhadap perkembangan hukum,
serta juga pengaruh dari para praktikus hukum, teoritisi
hukum maupun golrmgan masyarakat terpandang, yakni
para "honoratioren".
Berikutnya Max Weber (Wulansari,lbid. ,)
mengemukakan empat tipe ideal dari hukum tersebut
yaitu:
a Hukum irrasional dan material yakni dirnana
pembentuk undang-undang dan hakim mendasarkan
keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai-nilai
emosional tanpa menunjuk pada suatu kaedahpun.
b. Hukum irrasional dan formal yaitu dimana pembentuk
undang-undang dan hakim berpedoman pada
kaedah-kaedah di luar akal oleh karena didasarkan
pada wahyu atau ramalan.
c. Hukum rasional dan material dimana keputusan
keputusan para pembentuk undang-undang dan
hakim menunjuk pada suatu kitab suci,
kebijaksanaan-kebijaksanaan penguasa dan ideologi.
77
d. Hukum rasional dan formal yakni dimana hukum
dibentuk semata-mata atas dasar-dasar konsep
abstrak dari ilmu hukum.
Bagi /V!lax Weber (Wulansari,lbid.,) hukum yang
rasional dan formal merupakan dasar dari pembentukan
suatu negara modern. Kondisi-kondisi sosial yang
memungkinkain tercapainya taraf tersebut adalah sistem
kapitalisme cf:an profesi hukum. Sebaliknya introduksi
unsur-unsur yang rasional dalam hukum juga membantu
sistem kapitaffisme. Proses tersebut tak mungk1n terjadi
dalam masyarakat yang didasarkan pada kepemimpinan
kharismatis attau dasar ikatan darah, oleh karena proses
mengambil keputusan pada masyarakat-masyarakat tadi
mudah dipengaruhi oleh unsur-unsur yang irrasioanal.
8. William F.Ogburn (1886-1959)
Satu diantara dari sekian teori tentang perubahan
sosial itu yang terkenal adalah teori " Cultural Lag" dari
Ogburn (Soennardjan & Soemardi, Op. Cit.,493) . Teori
ini mulai dengan kenyataan bahwa pertumbuhan
kebudayaan tidak selalu sama cepatnya dalam
keseluruhannya, akan tetapi ada bagian yang tumbuh
78
lebih cepat, sedang ada bagian yang lain tumbuhnya
sangat lambat. Perbedaan antara taraf kemajuan dan
berbagai bagian dalamkebudayaan dari suatu
masyarakat itu yang dinamakasn sebagai "cultural lag"
(ketinggalan kebudayaan). Bagi mereka yang
berkewajiban membuat rancangan pembangunan
masyrakat atau pembangunan ekonomi, maka teori
"cultural lag" ini mempunyai kegunaan yang praktis.
9. Pitirim A Sorokin (1889-1968)
Teori Sorokin tentang perubahan sosial ini disebut
"pola perubahan sosiokultural". Menurut Sorokin
(Lauer,Op.Cit.,59), sejarah sosio kultural merupakan
lingkaran yang bervariasi antara ketiga super sistem yang
mencerminkan kultur yang agak homogen. Sebuah kultur
besar bukan sekedar "tempat meloncat sejumlah besar
fenomen kultural yang berbeda", melainkan "sebuah
kesatuan atau indivualitas yang unsur-unsurnya
dirembesi oleh prinsip sentral yang sama dan
membentuk nilai-nilai dasar yang sama".
Ketiga supersistem ini adalah, sistem inderawi,
dan sistem campuran. Ketiga supersistem atau
79
mentalitas budaya ini menunjukan perbedaan dasar
berpikir. Sistem ideasional diliputi oleh prinsip atau dasar
berpikir yang menyatakan tuhan sebagai realitas tertinggi
dan nilai terbenar. Sistem ideasional ini terbagi alas
ideasional as\\dik dan ideasional aktif. Mentalitas budaya
ideasiona/ asketik menunjukkan keterikatan pada
tanggung jawab untuk mengurangi sebanyak mungkin
kebutuhan duniawi atau material agar mudah terserap ke
dalam alam transenden. Mentalitas budaya ideasional
aktif, selain mengurangi kebutuhan duniawi juga
berupaya mengubah dunia material agar selaras dengan
alam transenden.
Berdasarkan uraian di alas dapatlah sudah diketahui bahwa
beberapa teori telah dikembangkan oleh para ahli disekitar faktor
faktor utama yang menyebabkan adanya perubahan sosial itu, dan
memberi kesimpulan kepada kita bahwa banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Oleh sebab itu
perbincangan mengenai teori perubahan sosial menjadi menarik
dalam hubungannya dengan pembangunan sedang berkembang
pada dewasa ini.
80
Mengapa perubahan sosial itu banyak diteliti para ahli dan
masyarakat luas? yang menjadi sebab utama tiada lain adalah
karena disadari bahwa perubahan sosial yang tidak dapat diikuti
perkembangannya dapat membahayakan kelangsungan hidup
manusia, masyarakat dan suatu negara.
2.2. Teori Struktural-Fungsional
Teori struktural fungsional pada awalnya diperkenalkan
untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat pada teori
evolusi. Menurut Daud (1992:13) jika dibandingkan df'?ngan teori
evolusi, maka teori struktural-fungsional ini dianggap lebih saintifik
dan empirikal. Karena setiap hipotesisnya dapat diuji melalui suatu
kajian yang sistematis dan metodologi yang amat populer
digunakan dalam kajian teori struktural fungsional ini adalah
mengenai metode partisipasi dan metode pengamatannya, yaitu
mengadakan hubungan secara langsung dengan orang-orang yang
menjadi bahan tulisannya. Berbeda dengan teori evolusi, banyak
mendapatkan kritik karena teori ini hanya didasarkan kepada
pemikiran semata-mata, tanpa memiliki bukti-bukti yang jelas dalam
kehidupan manusia.
Misalnya andaian Lewis Henry Morgan (1818-1881) menurut
Daud (ibid.,) yang mengatakan bahwa dalam kekeluargaan,
8 1
manusia tidak mengenal hubungan adik- beradik. Hal ini adalah
tidak benar dan sulit dtemui buktinya dikalangan masyarakat
manapun di dunia ini. Begitu pula mengenai skemanya tentang
masyarakat dan kebudayaan manusia yang menyebutkan adalah
bersifat uniliniear dan universal, ternyata tidaklah mesti berlaku
pada setiap bangsa-bangsa di dunia ini. Demikian pula mengenai
penelitiannya tentang sejarah perkembangan masyarakat manusia
yang ternyata juga tidak harus mengikuti proses perkembangan
yang dikemukakannya, disinilah terlihat bahwa Morgan terlalu
menumpukan uaraian pemikirannya kepada pendekatan sejarah
dan arkeologi.
Apabila ditilik tentang teori struktural fungsional ini dari segi
ide struktur dan fungsi yang terdapat di dalamnya bisa dikatakan
bahwa teori ini tidaklah dapat dipisahkan dari dua orang tokoh
pemikirnya, yaitu Broinislaw K.Malinowski (1884-1942) dan
A.R.Radcliffe-Brown (1881-1955). Walaupun sebenarnya teori ini
telah lahir sejak lbnu Khaldun (1332-1406), Herbert Spencer (1820-
1903), Emilie Durkheim (1858-1917) dan Auguste Comte (1798-
1857).
Comte misalnya mengatakan (Daud,ibid.,) bahwa dalam
mengkaji tentang masyrarakat dapat dilakukan melalui kajian
terhadap dinamika sosial dan statika sosial suatu masyarakat itu.
82
Menurut Oaud (1992:14) dari sinilah bermula pemikiran
Comte tentang "fungsi", begitu pula dengan Spencer yang
mencoba mengkaji tentang masyarakat melalui pendekatan fungsi
biologi. Sedangkari pemikiran Durkheim mengenai teori struktural
fungsional ini muncul melalui pengaruhnya terhadap kedua orang
tokoh teori ini yaitu Malinowski dan Radcliffe Brown.
Da/am perkembangannya di awal tahun 1920-an teori ini
telah mengalami perpecahan mengikuti perpecahan yang terjadi
antara antropologi Amerika Serikat dan lnggris. Terutama sekali
setelah perpindahan Malinowski ke Amerika Serikat yang
mengembangkan pemikirannya di sana, sementara itu Radc/iffe
Brown tetap terus mengembangkan pemikirannya di lnggris, yang
kemudian dikenal sebagai teori struktural-fungsional dalam tradisi
Amerika Serikat dan tradisi lnggris.
Kedua tokoh ini dianggap berjasa dalam mempopulerkan
penggunaan teori struktural-fungsional dalam mengkaji tentang
masyarakat. Sebab itu dalam pene/itian ini digunakan sebagai
perspektif kajian untuk menelaah masalah yang diteliti. Bagaimana
pokok-pokok pemikiran teori struktural-fungsional mengikuti kedua
tokoh di atas baiklah disimak uraian berikutnya.
83
2.3. Teori Struktural-Fungsional Bronislaw K.Malinowski
Bronislaw K.Malinowski (1884-1942) lahir di Cracow,
Polandia sebagai putra keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya
adalah seorang guru besar dalam ilmu sastra Slavik, yang tidak
heran kemudian apabiia Malinowski juga memperoleh jenjang
pendidikan dan karier akademik yang tinggi. Pada tahun 1908
Malinowski lulus dari Fakultas llmu Pasti dan Alam dari Universitas
Cracow, Polandia.
Selama mengikuti pendidikannya itu disamping ia
m�mpelajari llmu Pasti dan Alam, ia juga gemar membaca buku
buku tentang Folklor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia
kemudian menjadi tertarik untuk belajari ilmu psikologi. la kemudian
belajar psikologi di bawah bimbingan seorang guru besar psikologi
yang pada waktu itu sangat terkenal yaitu W.Wundt, di Leipzig ,
Jerman, yang dikemudian hari turut memberi pengaruh terhadap
pemikirannya mengenai teori fungsional tentang kebudayaan.
Di antara buku-bku tentang Folkloryang paling ia minati
adalah buku karya J.G. Frazer, "The Golden Bough" , mengenai
ilmu gaib, yang menyebabkan pula ia tertarik kepada ilmu etnologi.
Setelah tamat dari Universitas Cracow ia melanjutkan studinya ke
London School of Economics , lnggris, tetapi karena di perguruan
tinggi ini tidak ada ilmu tentang Folklor dan etnologi, maka ia
84
memilih ilmu yang paling dekat kepada kedua perhatiannya itu,
yakni ilmu yang disebut "llmu Sosiologi Empirikal", gurunya antara
lain adalah ahli etnologi C.G Seligman.
Usahanya untuk memahami Folklor dan etnologi tersebut,
menghasilkan dua buah buku karangannya, yaitu "The Family
Among The Australian Aborigines" (1913) dan "The Native of Mailu"
(1913). Kedua buku ini pula yang dijadikannya sebagai pengganti
disertasi untuk memperoleh gelar Doktor pada tahun 1916 di
London School of Economics, lnggris. Kedua karangan tersebut
ditulisnya tanpasekalipun melakukan penelitian lapangan, di
daerah-daerah yang bersangkutan. Berpuluh-puluh buku dan
karangan mengenai penduduk Mailu di Papua Niugini Selatan.
dibacanya yang menyebabkan ia menjadi tertarik akan penelitian
lapangan di sana.
Kemudian berkat bantuan C.G.Seligman, pada tahun 1914 ia
berangkat ke kepulauan Trobiand di bagian utara Kepulauan
Masin, sebelah tenggara Papua Niugini untuk melakukan penelitan
selama dua tahun. Ketika ia melakukan penelitian lapangan ini
pecah Perang Dunia I di Eropa, karena ia seorang warga negara
Austria seharusnya ia ditangkap lnggris sebagai musuh dalam
peperangan ini, namun berkat surat rekomendasi C.G. Seligman ia
diperkenalkan tinggal di kepulauan Trobiand, dan bahkan ia
85
diperkenankan mengunjungi Australia di beberapa kesempatan
Dengan demikia ia mendapatkan kesempatan untuk
mengobservasi dan meneliti orang Trobiand selama dua tahun.
Sehabis Perang Dunia I pada tahun 1918 ia kembali ke
lnggris dan mendapatkan pekerjaan sebagai asisten ahli di London
School of Economics dimana ia pernah studi. Karena sekembalinya
dari kepulauan Trobiand ia terserang penyakit paru-paru, maka
baru tahun tahun 1921 ia dapat mulai melakukan penulisan buku
buku hasil penelitiannya di Papua Niugini itu, dan pada tahun 1922
terbitlah bukunya yang pertama, yang bany,ak menarik perhatian
para dunia ilmu etnologi dan antropologi yang berjudul "Argonauts
of the Western Pacific". Ketika ia naik pangkat menjadi Lektor pad a
tahun 1924, ia kembali menyusun bul<.unya yang kedua dari hasil
penelitian lapangan di atas, yang berjudul "Crime and Custom in
Savage Society" dan diterbitkannyapada tahun 1926.
Bersamaan dengan itu, jenjang karir akademiknya menanjak
terus, tepatnya pada tahun 1925 ia diangkat sebagai guru besar
penuh dalam ilmu antropologi, yang merupakan suatu jabatan yang
baru pertama kali diadakan di London of Economics ketika itu.
Setelah itu masih terbit lagi beberapa buku hasil penelitiannya di
Trobiand yaitu "Sex and Repression in Savage Society" (1927),
86
"The Sexual Life of the Savages in North-Western Melanesia"
(1929), "Coral Gardens and Their Magic" (1935).
Setelah ia meninggal dunia pada tahun 1942, beberapa
bukunya yang belum sempat diterbitkannya yang diantaranya
bersumber dan hasil penelitian lapangannya itu yang setelah
diredaksi, antara lain oleh seorang muridnya yang bernama
H. Cairns, kemudian diterbitkan masing-masing berjudul, "A.
Scientific Theory of Culture andOther Essays" (1944), "The
Dynamics of Culture Change An Inquiry into Race Relation in
Africa" (1945)", "Myth in Primitive Psychology (1948), "Magic,
Science and Religion and Other Essays" (1954), dan "A Diary in the
Strict Sense of the Term" (1967).
Pemahaman mengenai pokok-pokok pikiran Malinowski
tentang teori struktural-fungsional itu tersebar di dalam karya
karyanya di atas. Yang tak pelak lagi telah mengangkat namanya
sebagai tokoh dalam studi Antropologi dan Sosiologi terkenal
hingga dewasa ini. Banyak sarjana Antropologi lnggris dan India
yang ternama pernah menjadi mahasiswanya, seperti E.E. Evans
Pritchavd, M. Fortes, Raymond Firth, L.Hogbin, S.F. Nadel, L.
Schapera, M.N. Srinivas, A. Richard, L. Mair, H.L. Kuper, dan M.
Wilson.
87
Dalam perkuliahannya banyak dikunjungi oleh calon-calon
pegawai pemerintah jajahan lnggris, pendeta-pendeta penyiar
agama, serta dokter-doktrer yang ingin buka praktek atau bekerja di
daerah jajahan lnggris. Sebagai akibatnya Malinowski mulai tertarik
pula akan penggunaan prakt1s dari ilmu antropologi, dalam meneliti
dan mengatur perubahani kebudayaaan tradisional bangsa-bangsa
Afrika Selatan, Asia dan Oseania, karena adanya pengaruh
kebudayaan Eropa. Begitu pula ia menaruh perhatian terhadap
Antropologi terapan dalarn Administrasi kolonial yang disebutnya
sebagai "Practical Antropologi", serta masalah-masalah yang ada
hubungannya dengan perubahan kebudayaan atau "cultural
change".
Berkaitan dengan perhatiannya terhadap Antropologi praktis
atau terapan tadi, ia breberapa kali diminta menjadi konsultan
Departemen Pemerintahan Kolonia! lnggris. Dalam kedudukkannya
itu ia pernah berkunjung ke Afrika Selatan dan Afrika Timur dalam
tahun 1934. la juga banivak diundang untuk memberi ceramah di
berbagai Universitas di Eropa dan Amerika dalam dasawarsa
antara tahun 1926 dan 1936. Dalam tahun 1938 ia sekali lagi pergi
Amerika Serikat, dan akhirnya ia menetap di negara itu setelah
pecah Perang Dunia II pada tahun 1939.
88
Satu tahun setelah itu, 1940 ia diundang menjadi guru besar
tamu di Universitas Yale, dan di universitas ini pula ia bertemu
dengan para ahli psikologi-behaviorisme Amerika Serikat, seperti
M.E. Miller dan J. Dollar yang mengembangkan teori-teori baru
tentang proses belajar, sebagai hasil dari penelitian-penelitian
mereka dengan binatang-binatang percobaan di laboratorium. Pada
saat itulah ia mulai tertarik kembali kepada ilmu psikologi, dan coba
mengadopsi ilmu ini ke dalam ilmu antropologi yang kemudian
melahirkan kerangka teori baru untuk menganalisa fungsi dari
kebudayaan manusia, yang disebutnya sebagai suatu teori
fungsional tentang kebudayaan, atau "A Functional Theory of
Culture". Dalam usahanya untuk mengembangkan teori ini, 1a
kemudian mengambil suatu keputusan untuk menetap di Amerika
Serikat, dan ketika itu pula ia ditawari untuk menjadi guru besar
tetap antropologi di UniversitasYale padatahun 1942. Namun,
disayangkan pada tahun itu pula ·1a men·1nggal dunia di Amerika
Serikat.
Mengenai konsep dan teori Malinowski tentang struktural
fungsional, pada dasarnya berawal dari minat dan usahanya untuk
memahami studi etnologi dan antropologi secara secara mendalam.
Konsep dan teori tersebut untuk pertama kalinya dikemukakan
Malinowski di dalam tulisannya yang berjudul "Argonauts of the
89
Western Pacific" (1922). Buku inilah merupakan karangan etnografi
Malinowski yang pertama dan merupakan hasil penelitian
lapangannya di kepulauan Trobiand. Karyanya ini telah banyak
menarik p2rhatian kalangan luas pad a ketika itu., tidak saja dari
kalangan para 3ntropologi, tetapi juga dari para sosiolog dan
kalangan awam.
Pokok pikiran Malinowski di dalam bukunya ini menurut
Koentjaraningrat ( 1987: 164) adalah merupakan usahanya untuk
menggambarkan tentang suatu sistem perdagangan antara
penduduk Kepulauan•Trobiand atau Boyowa, Kepulauan Amphlett,
Kepulauan D'Entrecasteaux atau Dobu, Pulau St. Aignau atau
Mis·1ma, Kepulauan Woodhark atau Murua, yang kesemuanya
terletak di sebelah timur pucuk ekor Papua Niugini Tenggara, yang
disebut "kula". Hal yang sangat unik dari etnografi Malinowski ini
adalah cara Malinowski menggambarkan hubungan yang berkait
antara sistem kula dengan lingkungan alam sekitar Kepulauan
Trobiand serta berbagai macam unsur kebudayaan dan
masyarakatnya. Menurut Malinowski ini terlihat dari ciri-ciri fisik
lingkungan alam disetiap pulau, keindahan laut karangnya, aneka
warna floranya, pola-pola pemukiman komunitasa-komunitas, serta
kebun-kebunnya arti lingkungan alam dari pulau-pulau tersebut
bagi bahan untuk membuat perahu, barang-barang yang
90
diperdagangkan dalam kula, sistem kekerabatan, serta kaitannya
dengan kerja sama dalam sistem kula tersebut
Dengan hanya perahu-perahu kecil dan dengan awak kapal
yang berjumlah sepuluh hingga lima befas orang penduduk
Trobiand dan kepulauan lain tersebut di atas, berani menyeberangi
faut terbuka untuk berlayar dari pulau ke pulau sampai sampai
beratus-ratus mil jauhnya. Benda-benda yang diperdagangkan
dengan jalan tukar menukar (barter) berupa berbagai macam
bahan makanan, barang kerajinan, dan alat-alat perikanan,
perkebunan, dan rumah tangga, tetapi ·di samping itu pada tiap
transaksi diadakan tukar menukar dua macam benda perhiasan
yang dianggap mempunyai nilai yang sangat tinggi, yaitu kalung-
kalung kerang ( "sulava") yang beredar di satu arah mengikuti arah
jarum jam, dan gelang-gelang kerang ("mwali") yang beredarke
arah yang berlawanan. Sistem perdagangan ini yang disebut "kula".
Berikutnya Malinowski menurut Koentjaraningrat (Ibid ,)
menerangkan pula tentang keterkaitan antara sistem kula dengan
sistem pimpinan desa, dan pimpinan kula, sistem pemilikan perahu-
perahu, cara-cara penyerahan tenaga dan awak kapal untuk kula,
teknik pembuatan perahu bercadik, ilmu gaib yang berkaitan
dengan pembuatan serta pelayaran kula, pesta-pesta dan upacara-
upacara agama sebelum dan sesudah perjalanan kufa, sikap '
9 1
penduduk terhadap benda-benda perhiasan yang tinggi nilainya,
yaitu sulava dan mwali, berbagai cara dan siasat untuk bersaing,
guna mendapatkan sulava dan mwali yang sangat beriwayat dan
karena itu paling tinggi nilainya, cara untuk rnemperebutkan
kedudukan sosial dan gengsi apabila berhasil memperolehnnya
dan sebagainya.
Gambaran semua ini merupakan aktivitas kehidupan
masyarakat di desa-desa Trobiand , yang mengungkapkan tentang
suatu sistem sosial yang berintegrasi secara fungsional.
Dalam hal ini Malinowski juga mengemukakan mengenai
pemikirannya tentang syarat-syarat metode etnografi berintegrasi
secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliah-kuliahnya
tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan
ketiga biku etnografinya mengenai kebuc:jayaan Trobiand
selanjutnya, menyebabkan bahwa konsepnya menengenai fungsi
sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial
menjadi semakin jelas.
Tidak heran jika kemudian banyak para ahli ketika itu
memberi tanggapannya, seperti Kaberry (1957:71-72) yang
menyebutkan bahwa Malinowski dalam mengemukakan pokok
pikirannya tentang fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan
pranata-pranata sosial melalui tiga tingkat abstraksi sangatlah tepat
92
adanya, ini dapat terlihat dari ketiga abstraksi tersebut yang
dikemukakannya sebagai berikut :
a. Bahwa fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur
unsur kebudayaan pada tingkat pertama, dapat diabstraksikan
melalui pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingKah laku
manusia dan pranata sosial yang ada di dalam masyarakat itu
sendiri;
b. Bahwa fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial, atau unsur
unsur kebudayaan pada tingkat kedua, dapat diabstraksikan
melalui pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat
atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang
dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan;
c. Bahwa fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada
tingkat abstraksi ketiga, dapat diabstraksikan melalui pengaruh
atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak, untuk berlangsungnya
secara terintegrasi dari suatu sistem sos1al yang ada di dalam
suatu masyarakat.
Pada masa perkembangan karier intelektualnya, ketiga
fungsi sosial dari adat-istiadat dan pranata-pranata sosial manusia
dalam masyarakat itu, ia kembangkan ke dalam tingkat abstraksi
berikutnya melalui teori famgsional tentang kebudayaan dan teori
93
tentang perubahan kebudayaan yang dikemukakannya di dalam
bukunya "A Scientific Theory of Culture and Other Essays" (1944).
Bila ditilik tulisannya yang pertama tentang etnologi di atas,
menurut Koentjaraningrat (Log.Cit 167-168) Malino·.rvski juga
membincangkan mengena1 persoalan dasardari aktivitas
pengendalian sosial atau hukum di dalam suatu masyarakat.
Menurut Malinowski dalam masyarakat modern, tata tertib
kemasyarakatan dijaga, antara lain oleh suatu sistem pengendalian
sosial yang bersifat memaksa, yaitu hukum. Untuk me!aksanakan
hukum itu, ia d'1sokong olel1 suatu sistem alat kekuasaan seperti
kepolisian, pengadilan dan sebagainya, yang kesemuanya ini
diorganisir oleh negara. Sedangkan pada masyarakat primitif, alat
kekuasaan serupa itu kadang-kadang tidak ada, yang menjadi
pertanyaan adalah, apakah dalam hal ini masyarakat primitif itu
tidak ada hukum? Seandaianya demikian, maka timbullah suatu
persoalan lain, yaitu bagaimana suatu masyarakat serupa itu dapat
menjaga tata tertib dan kelancaran dari segala kehidupan
sosialnya.
Tentang hal ini para sarjana telah menjawab masalah itu
dengan mengajukan berbagai teori yang berbeda-beda, seperti
teori yang paling lazim dikemukakan adalah, bahwa dalam
masyarakat primitif, terdapat adanya kecenderungan naluriah yaitu
94
antara individu untuk secara spontan taat kepada adat istiadat.
Pendirian seperti ini disebut sebagai "automatic spontaneous to
tradition", dan yang demikian ini ditentang oleh Malinowski.
Dengan mempergunakan bahan dari masyarakat Trobiand,
Malinowski (Ibid. ,) menerangkan bahwa berbagai macam sistem
tukar menukar yang ada di dalam masyarakat, merupakan suatu
daya pengikatdan daya gerak dari masyarakat itu sendiri. Melalui
sistem penyumbangan untuk menimbulkan kewajiban membalas di
dalam masyarakat, merupakan suatu dasar, atau suatu prinsip,
yang mengaktifkan kehidupan dari suatu masyarakat dan ini
disebut sebagai prinsip timbal balik atau "principle of reciprocity"
Menurut Koentjraningrat (Ibid. ,) penje!asan mengenai hal ini
diilustrasikan Malinowski melalui tulisan-tulisan dari masyarakat
Trobiand mengenai, penukaran tenaga dan benda, yang
mengaktifkan hubungan ekonomi, penukaran kewajiban terhadap
kaum kerabat yang mengaktifkan kehidupan kekerabatan, sistem
penukaran mas kawin, telah mengaktifkan hubungan antara
kelompok-kelompok kekerabatan, penukaran bingkisan antara
kelompok-kelompok pada upacara-upacara keagamaan dan
sebagainya. Ada yang berkata bahwa prinsip timbal balik yang
kemudian menjadi penting sekali dalam pemikiran Malinowski ini
merupakan suatu perluasan dari suatu pendirian yang sepintas lalu
95
pernah disebut oleh seorang sarjana lain, yaitu Richard Thurwald
Di dalam masa sebelum Malinowski telah me/akukan penelitian di
daerah sungai Sepik di lrian Timur. Karangan-karangan hasil
penelitian Tharwald di lapangan itu telah men?rik perhatian
Malinowski sewaktu ia mengolah bahan hasi/ penelitian lapangan
dari Kepulauan Trobiandl.
Suatu pendirian penting lagi dari pemikiran Malinowski
adalah tentang teorinya UJntuk menganalisa fungsi dari kebudayaan,
yang disebutnya sebagai teori fungsional tentang kebudayaan atau
"a functional theory of culture". Sebagaimana disebutkan di atas
bahwa teorinya ini sangat dipengaruhi oleh teori belajar, atau
"learning theory" dari J.Dollar ahli psikologi Universitas Yale ketika
ia mengunjungi Universitas Yale selama setahun pada tahun 1935.
Menurut J. Dollar (Ibid.,) dasar dari proses be/ajar itu ad a I ah
tidak lain dari pada u/angan dari reaksi-reaksi suatu organisme
terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian
rupa, sehingga salah satu kebutuhan naluri dari organisme tadi
dapat dipuaskan (Ibid., h1170)
Teori belajar ini sangat menarik perhatian Malinowski,
sehingga dipakainya untuk memberi dasar eksak bagi pemikirannya
terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur
kebudayaan. Pada waktu Malinowski mula-mula menulis
karangannya tentang berbagai aspek masyarakat orang Trobiand
sebagai kebulatan, 1a tidak sengaja mengintroduksikan
pandangannya yang baru dianggap dalam ilmu antropologi. Dan
hal ini telah menimbulkan real<'si dari kalangan ilmu antropologi
ketika itu, dan memberinya kemudian dorongan untuk
mengembangkan suatu teori tentang fungsi dari unsur-unsur
kebudayaan manusia. Dengan menggunakan teori belajar J. Dollar
di atas sebagai dasarnya, Malinowski mengembangkan "teori
fungsionalismenya", yangterbit setelah ia meninggal dunia yang
dirangkum dalam bukunya "A Scientific Theory of Culture and Other
Essays" ( 1944).
Dalam buku ini Malinowski mengembangkan teori teniang
fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks. Inti dari
teori ini menu rut Daud, ( 1992) dan Honigman ( 1976) adalah
mengenai pendirian Malinowski yang dikatakannya bahwa segala
aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu
rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang
berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Sebagai contoh
adalah kesenian, yang merupakan salah satu unsur kebudayaan ini
terjadi mula-mula karena manusia ingin memuaskan kebutuhan
nalurinya akan keindahan.
97
Begitu pula dengan ilmu pengetahuan yang timbul dari
adanya kebutuhan naluri manusia untuk tahu, namun banyak juga
aktivitas kebudayaan terjadi karena adanya kombinasi dari
berbagai macam "human needs" (Op.Cit.,). Dengan paham ini
menurut Malinowski, (1976:238) seorang peneliti dapat
menganalisa dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan
masyarakat dan kebudayaian manusia.
Menurut Honigman (Ibid.,) istilah "fungsionalisme" yang
digunakan oleh Malinowski dalam bukunya "Argonauts of the
Western Pacific" (1922) dan " Sexual Life of the Savage" (1919),
adalah merupakan usahanya untuk menggambarkan konsepsi
kebudayaan sebagai suatu yang terintegrasi, sebagai suatu sistem
yang unsur-unsurnya bersifat saling tergantung satu sama lainnya.
Kemudian istilah-istilah ini ia gunakan dalam pokok pikirannya
tentang kebudayaan sebagai suatu alat untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia, disamping respon kulturalnya.
Pemikiran Malinowski tentang teori fungsional kebudayaan di
alas kemudian ia kembangkan melalui istilah "needs". Menurut
Malinowski (1944:90, 116) orang akan dapat memahami kondisi dari
suatu sistem, baik dalam organisme manusia, maupun dalam
konteks kebudayaan, serta hubungannya baik dengan lingkungan
alam maupun dengan organismenya melalui pendekatan
98
kebutuhan_ Pendekatan yang demikian disebut pendekatan
fungsional karena berasal dari kebutuhan yang bersifat biologis,
kondisi lingkungan, serta respon kultural baik secara universal
maupun kategoriaL Dalam ha! ini sebagai contoh bahwa fungsi
kelompok usia merupakan koordinasi ciri-ciri anatomis dan fisiologis
sebagaimana berkembang menurut proses pertumbuhan seria
perubahan ke dalam kategori kulturaL
Dengan kata lain menurut Malinowski (Ibid.,) fungsionalisme
itu tergantung pada kebudayaan apa yang menjadi prinsip penentu
serta memenuhi standar kehidupan individual maupun kolektif. Hal
ini dapat dijelaskan misalnya adanya sebuah sendok dan garpu,
secara bersamaan seharusnya perlu diberikan informasi tambahan
mengenai cara menggunakannya, serta hubungannya dengan tata
cara makan, meja, piring, serbet, dan dengan jenis masakannya
rvlelalui contoh di atas, terlihat bahwa sebenarnya
Malinowski hendak menekankan bahwa di dalam mempelajari
kebudayaan serta masyarakat, perlu selalu bertumpu pada perilaku
seseorang atau sekelompok orang secara spesifik yang tidak
terlepas kaitannya satu dengan yang lainnya sebagai suatu sistem
sosial.
Karena itu kebutuhan dasar manusia menurut Malinowski
(Ibid.,) diartikan sebagai suatu kondisi keseluruhan yang penting
99
untuk mempertahankan individu dan kelompoknya. Dengan adanya
kebutuhan dasar manusia inilah, melahirkan adanya kebutuhan
budaya dalam bentuk respon kultural yang dapat digambarkan
sebagai berikut :
A 8
Kebutuhan Dasar Kebutuhan Budaya
a. Metabolisme a. Kelembagaan b. Reproduksi b. Kekerabatan c. Kenyamanan tubuh C. Tempat beristirahat d. Keamanan d. Perlindungan e. Perpindahan e. Aktivitas f. Pertumbuhan f. Pelatihan
g. Kesehatan g. Kebersihan
Menurut Malinowski (Ibid.,) kebutuhan dasar 1ni dapat juga
diterapkan pada hewan, namun bedanya bahwa manusia dengan
segala ciri-cirinya yang khas, mampu mengembangkan kebutuhan
dasar ini dalam bentuk kebudayaan.
Apabila ditilik pengertian struktural-fungsional dari pokok
pemikiran Malinowski tersebut menurut Daud (Op.Cit:.,) tidak lain
adalah satu pola perhubungan di dalam satu unit sosial yang stabil
dan memiliki identitas tersendiri. lni terlihat di dalam bukunya "A
Scientific Theory of Culture and Other Essays" (1944). Setiap pola
itu menurut Malinowski mempunyai fungsi-fungsi tertentu bagi
individu dalam masyarakat dan bagi kelanjutan masyarakat
tersebut. Karena itu tidak mengherankan, jika Malinowski membuat
JOO
penafsiran bahwa semua u::iri atau sifat dari kebudayaan itu adalah
merupakan bagian-bagian yang penting dalam masyarakat
Hal ini disebabka1t1 karena ia mempunyai fungsi-fungsi
tertentu. Para fungsionalis memandang setiap pola adat kebiasaan
menjadi sebagian dari pada fungsi dasar di dalam kebudayaan itu.
Di sini Malinowski percay'a bahwa fungsionalisasi itu mempunyai
nilai pratikal yang penting.
Dapat dimengerti di sin1 bahwa Malinowski banyak
menumpukan kajiannya terhadap kebudayaan dalam bukunya itu,
erat kaitannya derigan pemahaman para antropologis Amerika
Serikat yang menerima definisi dari Edward B Tylor (1832-1917)
tentang kebudayaan sebagai acuan dasar antropologi budaya
Amerika Serikat Dalam hal ini Tylor mendefinisikan kebudayaan
sebagai keseluruhan cara hidup, dengan demikian tidak
mengherankan pula jika Malinowski menumpukan kajiannya
terhadap masyarakat melalui kebudayaan mereka. Dalam bukunya
di atas Malinowski pun (Ibid.,) mengatakan bahwa masyarakat
dapat dilihat sebagai suattu gabungan sistem-sistem sosial, dan ia
menegaskan bahwa sistem-sistem ini melibatkan unsur-unsur yang
berhubungan bagi memenuhi kebutuhan atau keperluan manusia
yang mendasar.
101
Apabila disimak perndapatnya di atas, jelas bahwa pemikiran
Malinowski adalah berori>entasi kepada pendekatan fungsional ,
biologikal , dan psikologikal. Andaian yang dibuat Malinowski
adalah , bahwa manusia memerlukan keperluan atau kebutuhan
yang mendasar yaitu, keselamatan, kesehatan, makanan ,
kesenangan , fisik , pergeraikan, dan pertumbuhan.
Untuk memenuhi keperluan ini menurut Malinowski (Ibid.,)
manusia perlu bekerja sama dengan orang lain dan mereka
memerlukan perpaduan sesama mereka daiam masyarakat. Untuk
memenuhi kebutuhan sekunder ,manusia memerlukan suatu
peraturan, bahasa, dan lembaga yang akan mengawasi perilaku
sosial dan kelanjutan masyarakat mereka. Keperluan sekunder di
sini dimaksudkan ialah keiperluan akan kerjasama, keperluan untuk
mengatasi konflik, kepeorluan akan komunikasi dan interaksi
sesama mereka dalam masyarakatnya. Dengan adanya kebutuhan
tersebut, maka terbentuklah lembaga-lembaga yang dapat
menyelaraskan dan menigawasi serta menyatukan keseluruhan
anggota masyarakat.
Dari semua andaian yang telah diuraikan di atas, terlihat di
sini bahwa Malinowski telah membentuk satu kerangka konsep
masyarakat yang disebutniya sebagai satu sistem yang terintegrasi
dan yang akan diselaraskan. Karena itulah dalam mengkaji
102
manusia terlihat Malinowski di sini mengemukakan tiga persoalan
penting yang disebutnya yaitu adalah ia berfungsi, bagaimana ia
berfungsi, dan mengapa ia berfungsi.
Penguraian !Pntang: ketiga persoalan ini menurut Malinowski
(Ibid. ,) adalah dasar yang penting dalam pendekatan struktural
fungsionalisme. Pendekatan fungsionalisme ini adalah amat
penting karena itulah disarankan, jika ingin mengkaji suatu
masyarakat, seharusnya dilihat terlebih dahulu hukum-hukum yang
menentukan pengekalan lkebudayaannya. Hukum-hukum ini adalah
berkaitan dan berhubungan era! satu sama lainnya. Hukum-hukum
yang terdapat dalam masyarakat itu pada hakikatnya berkaitan
dengan lembaga dan hubungan antara lembaga dengan lembaga.
Jadi sebuah masyarakat dipahamkan sebagai suatu sistem yang
berhubungan dan mempunyai pola-pola kepentingan kepada
masyarakat itu sendiri. Karena itu cara hidup individu dalam
masyarakat satu sama lainnya saling berhubungan era!, dan
hubungan ini merupakan kebutuhan dasar manusia. Setiap
kebutuhan dasar individu ini akan membawa kepada kewujudan
suatu lembaga, yang kemudian lembaga ini mempunyai suatu
organisasi tertentu dan yang menjadi anggotanya adalah individu
individu tersebut.
103
Di sini jelas kelihatan adanya hubungan timbal balik antara
individu dengan lembaga s•eperti yang disebutkan di alas. Sehingga
tiap individu yang menjadi anggota dalam suatu lembaga itu perlu
berfungsi atau berperan seperti yang diharapkan bagi kelanjutan
lembaga tersebut.
Menu rut Daud (Ibid , ) sekiranya salah satu anggota itu tidak
berfungsi, maka lembaga tersebut menurut Malinowski terhenti
fungsinya. Oleh sebab itulah Malinowski telah membuat suatu
konsep masyarakat yang menyatakan bahwa masyarakat itu
merupakan suatu sistem yang terintegrasi dan dapat diselaraskan.
Ciri semua budaya dan masyarakat menurut Malinowski adalah
untuk memenuhi keperlua,n-keperluan tertentu, keadaan ini semua
dapat dilahirkan oleh anggota masyarakat. Oleh sebab itu ciri-ciri
masyarakat dapat diperhatikan melalui sesuatu yang memenuhi
kebutuhan dan pada masa yang sama ia mempunyai fungsi yang
tertentu. Secara umumny:a fungsi ini dapat dipenuhi oleh setiap
anggota masyarakat dalam organisasi sosial yang ada, dalam
tahap-tahap yang berbeda, sistem sosial yang demikian ini pada
dasarnya dapat dipertahankan dan dikekalkan. Dalam hal ini yang
penting menurut Malinowski, bahwa dalam suatu kebudayaan yang
diberi arti sebagai keseluruhan cara hidup terhadap berbagai
lembaga adalah merupakan satu cara untuk mencapai kehendak '
104
atau kebutuhan dan ini sudah tentu melibatkan individu. Melalui
lembaga-lembaga itu, individu melakukan perilaku-perilaku yang
tertentu. Misalnya, makanan adalah keperluan dasar bagi manusia,
maka lembaga keluarga dan lembaga ekonomi adalah lembaga
yang terjelma dari keperluan dasar individu tersebut.
Malinowski dalam bukunya "A Scientific Theory of Cultural
and Other Essays (1944) menekankan tentang soal-soal kebutuhan
manusia, bentuk-bentuk lembaga dan kebudayaannya. Menurut
Malinowski pengaruh lembaga dan kebudayaan ini lebih penting
terhadap manusia daripada pengaruh alam sekitarnya. Faktor yang
menimbulkan kebudayaan itu menurut Malinowski ialah karena
adanya dorongan kebutuhan yang ada dari kebutuhan dasar
manusia. Oleh karena itu kebudayaan mempunyai beberapa
bagian dan yang terpentiing dalam hal ini adalah lembaga seperti
lembaga agama, politik, sosial dan ekonomi. Sudah pasti lembaga
tersebut timbul dari keperluan dasar manusia tadi. Maka dari itu
fungsi semua lembaga tersebut sebenarnya adalah berkait erat
dengan apa yang dikatakannya sebagai kebutuhan dasar manusia
untuk hidup bermasyarakat. Jika kita mencoba melihat hubungan
antara lembaga dengan individu kita akan dapat memperhatikan
adanya hubungan fungsional antara perkara ini, misalnya lembaga
keluarga timbul dari adanya naluri seksual individu. lndividu
105
menyalurkan naluri seksu;al itu ke satu arah yang telah ditentukan
oleh hukum masyarakatnya, yaitu melalui perkawinan. Dari
perkawinan itu, ia akan melahirkan keturunan dan dengan itu pula
ia akan dapat me!anjutkan keberadaan masyarakatnya
Dalam lembaga keluarga itu, Malinowski berpendapat bahwa
sudah ada satu peraturan atau satu struktur yang telah ditentukan
oleh adat istiadat dan s•ebagainya dalam masyarakat. Peraturan
tersebut juga melibatkan hubungan hak dan tanggung jawab antara
individu dalam keluarga. Kekeluargaan ini menurut Malinowski,
akan melahirkan sentimen-sentimen yang akhirnya memberikan
dasar kepada hubungan kekeluargaan dan hubungan suku atau
klan. Hubungan-hubungan yang demikian itulah yang dilihat oleh
Malinowski sebagai sistem kekeluargaan
Ketika membincangkan kepentingan ekonomis, Malinowski
mengatakan bahwa lembaga ekonomi memenuhi keperluan
individu bagi mencapai kegiatan-kegiatan ekonomi lalu mem
pergunakannya, disampiing sumber-sumber alam sebagai dasar
bagi keperluan manusia itu. Dalam ha! ini masyarakat menyusun
satu sistem yang melibatkan pengeluaran, penggunaan dan
pendistribusiannya. Dan setiap sistem ini memiliki strukturnya
sendiri dan ia berfungsi untuk memenuhi keperluan manusia bagi
106
melicinkan perjalanan lembaga ekonomi tersebut, dan akhirnya
memberi faedah bagi manusia itu sendiri.
Keberadaan lembaga politik menurut Malinowski disamping
era! hubungannya dengan adanya kebutuhan untuk mewujudkar
suatu tata ketertiban di dalam masyarakat guna menjamin
keharmonisan hubungan masyarakat. Dalam memenuhi pembagian
kekuasaan, wujudnya adalah berbentuk struktur yang berakhir.
Apabila dilihat dari sisi kepentingan keberadaan lembaga politik ini
menurut Malinowski yang yang dipersoalkan adalah mengenai
apakah lemt;iaga politik tersebut memiliki fungsi, bagaimana ia
berfungsi dan mengapa ia berfungsi. Lembaga politik ini dapat
berfungsi karena ia dianggap penting bagi kehidupan suatu
masyarakat. lni terlihat dari peranan yang dapat dimainkannya
dalam mewujudkan suatU1 aktoriti yang dapat menjaga ketentraman
dalam sebuah masyarakat. Tata ketertiban yang telah ditentukan
oleh suatu masyarakat diurus oleh pemegang kekuasaan dalam
masyarakat itu yang berfungsi mencegah individu-individu dalam
masyarakat melanggar ketentuan tata ketertiban tersebut.
Berfungsinya lembaga politik ini karena ia merupakan satu sistem
yang melegalisasi pihak yang diberi kekuasaan melalui undang
undang atau yang diwariskan secara turun temurun dalam
mengambil tindakan atau menjalankan autoriti yang diperolehnya
107
Sedangkan autoriti pegang kekuasaan 1ni diberikan oleh
masyarakat kepada seseorang yang dianggap mereka mampu
untuk melaksanakan kekuasaan tersebut.
Pemahaman yang demikian ini menggambarkan bahwa
terdapat hubungan yang lberfungsi antara individu-individu dengan
lembaga dan individu dengan individu dalam suatu kehidupan
masyarakat. Dalam melahirkan konsep dan teorinya ketika
mengkaji tentang masyarakat, terlihat bahwa Malinowski di sini
tidak mengembangkan kajiannya tentang masyarakat dan
kebudayaannya melalui "pendekatan evolusi"' tetapi penekanan
kajiannya menggunakan pendekatan "struktural-fungsional".
Sedangkan pokok perbincangan dalam teori struktural-fungsional
itu, pada dasarnya lebih menekankan kepada bentuk-bentuk
struktur dan fungsi dalam sebuah masyarakat. Maka dari itu,
penekanan teori struktural-fungsional Malinowski ini berbeda
dengan pendekatan teori evolusi, yang memandang perkembangan
masyarakat melalui hukum-hukum universal.
Sebaliknya, Malinowski memandang bahwa setiap aspek
dalam kehidupan masyarakat itu, satu sama lainnya saling
berhubungan dan menjadi penggerak bagi perkembangan
masyarakat dan kebudayaannya, dalam rangka pemenuhan
berbagai kebutuhan kelompok dan individu yang terdapat di dalam '
108
masyarakat. Jalinan hubungan antara aspek-aspek ekonomi,
sosial, politik, agama, serta berbagai aspek lainnya yang terdapat di
dalam masyarakat ini merupakan bentuk "dinamika" dari
masyarakat itu sendiri.
Selain itu bila ditilik pendekatan struktural-fungsional dari
Malinowski ini, disamping berorientasi biologikal yang berintikan
kebutuhan, pendekatan ini juga menggunakan pendekatan
psikologikal, yang kemudian telah melahirkan satu konsep
"kebudayaan personality". Pendekatan psikologikal ini terlihat ketika
Malinowski membuat kajiannya tentang organisasi sosial
masyarakat di Trobiand. Sebab itu Malinowski memandang bahwa
keluarga merupakan satu lembaga yang membentuk personaliti,
dan tempat dimana ikatain emosi seseorang serta emosi sosial
yang penting terwujud. Dalam hal ini Malinowski mengkaitkan
sedemikian itu, karena ia beranggapan bahwa keluarga merupakan
lembaga yang membentuk dan mendidik, serta menjaga anak-anak
sejak dari lahir hinnga menjadi dewasa.
Oleh sebab itu, Mlalinowski mencoba mengutarakan satu
hubungan antara persorl!aliti dengan kebudayaan dalam suatu
pendekatan struktural-fur.gsional. la melihat emosi serta kesetiaan
dalam keluarga lahir dari sifat individu untuk kepentingan dirinya
sendiri dan keluarganya. Personaliti ini menurut Malinowski amat '
109
penting untuk melanjutkan sistem kekeluargaan. Sementara itu
keperluan emosi yang lebih luas dalam masyarakat sering
menimbulkan konflik atau lbertentangan sebagai akibat beragamnya
tuntutan yang terjadi di dallam masyarakat.
Demikianlah bahwa kajian tentang struktur sosial dan
masyarakat melalui pendekatan struktural-fungsional yang
dikemukakan oleh Malinowski ini telah memunculkan suatu bentuk
pemikiran kajian yang kemudian berkembang di Amerika Serikat,
sejak ia mengembangkannya pada tahun 1940-an, dan pendekatan
ini kemudian membawa pengaruh kepada terwujudnya pendekatan,
antropologi personaliti.
2.4. Teori Struktural-Fungsional A.R.Radcliffe-Brown
A. R. Radcliffe-BroWl!1 (1881-1955) lahir di lnggris, belajar
filsafat yang mengandung psikologi experimental, dan ekonomi di
perguruan tinggi Trinity College, Cambridge, dengan guru-guru
seperti W. H.R. Rivers, ahli psikologi dan etnologi yang terkenal,
dan A. Haddon yang juga ahli etnologi, yang bersama C. G.
Seligman memimpin Cambridge Expedition to the Torres Straits
dalam tahun 1898. GLJJru-gurunya inilah yang menyebabkan
Radcliffe-Brown kemudian tertarik pada studi antropologi dan
kemudian ia belajar antropologi di Universitas Cambridge.
llO
Antara tahun 1906-1908 Radcliffe-Brown melakukan
penelitian lapangan untuk disertasinya di antara penduduk Negrito
di Kepilauan Andaman yang terletak di sebelah utara pulau
Sumatera. Disertasinya ini merupakan tulisan kultur-historis yang
masih merupakan suatu cara antropologi yang lazim ketika itu.
Namun, ketika ia mulai banyak membaca buku-buku karya Emile
Durkheim (1858-1915), ia1 mulai mengembangkan gaya tulisannya
terutama terlihat pada tulisan ulang disertasinya mulai ia
memasukkan uraian des:kripsi mengenai masyarakat penduduk
Negrito di Kepulauan Aooaman tersebut di atas, yang sifatnya
merupakan bentuk yang nnengarah kepada tulisan struktural. Hasil
deskripsi ini kemudian terbit suatu karya yang berjudul, "The
Andaman Islanders" (1922). Di samping penelitian yang dilakukan
di atas Radcliffe-Brown juga melakukan penelitian lapangan pada
tahun ·1910 di Australia Bai.rat. Fokus perhatian dari penelitiannya ini
ditujukan kepada masalah-masalah "totemisme" yang hasil
penelitian ini kemudian ditulisnya menjadi sebuah karya yang
berjudul, "Three Tribes of Western Australia"(1913).
Selama terjadinya Perang Dunia I di Eropa, Radcliffe-Brown
bekerja sebagai pegawai di Tonga sebuah pulau di Polynesia,
dengan jabatan ketika itu sebagai "Director of Education". Tetapi
tak lama kemudian pada tahun 1921 sampai tahun 1926 Radcliffe-
111
Brown pindah bekerja selbagai dosen di Universitas Cape Town
dalam bidang antropologi dan yang kemudiannya ia diangkat
sebagai guru besar antrop<0logi di Kaapstad pada tahun 1926.
Namun, pada tahun 1926 Radcliffe-Br'Jwn kembali lagi ke
Australia dan bekerja sebagai dosen antropologi pada Universitas
Sydney hingga tahun 1931. Pada periode ini pula ia melakukan
penelitian lapangan gun:a menggarap masalah etnografi dari
Australia. Dari hasil penelitian ini kemudian ditulisnya menjadi
sebuah buku kembali yang berjudul, "The Social Organization of
Australian Tribes" (1930).
Setelah penerbitan bukunya ini,anlara tahun 1931-1937
Radcliffe-Brown kembali pindah bekerja, kali ini ia berangkat ke
Amerika Selatan dan diangkat menjadi guru besar di Universitas
Chicago. Pada masa inilah Radcliffe-Brown mempengaruhi para
antropolog Amerika Serikat yang ketika itu antropologi masih
sangat dipengaruhi oleh konsep-konsep pemikiran Franz Boas
(1858-1942) dengan gagasannya mengenai struktur sosial. Sarjana
Amerika yang terpengairuh oleh pemikiran Boas ini dapat
disebutkan seperti F. Enggan yang tampak pada karangannya 'The
Social Organization of the Western Pueblos" (1950).
Pada tahun 1937 Radcliffe-Brown kembali ke lnggris, ia
diangkat menjadi guru b>esar antropologi di Universitas Oxford.
112
Ketika Perang Dunia I I pecah pada tahun 1940, ia minta berhenti,
lalu Radcliffe-Brown pergi Sao Paolo di Brazil. Sebenarnya
sebelum ia kembali ke lnggris Radcliffe-Brown pernah pula sebagai
guru besar tamu di Yenching (Cina, tahun 1935-1936).
Ketika Perang Dunia II berakhir, pada tahun 1944 Radcliffe
Brown kembali ke lnggris dan oleh pemerintah lnggris ia diminta
bekerja di Departemen Pemerintah Jajahan untuk menyusun
rencana-rencana penelitian guna pembangunan di Afrika dan di
Asia. Demikian ia mulai kembali aktif di lapangan studi antropologi
terapar;i Setelah ia pensiuJn pada tahun 1946, ia diminta untuk
menjadi guru besar di beberapa negara di luar lnggris, seperti di
Universitas Raja Farouk di Cairo dan Universitas Rhodes di Afrika
Selatan pada tahu 1954. Pada masa pensiun ini ia menerbitkan
dua buah bukunya yaitu, "African System of Kinship and Marriages"
yang ditulisnya bersama Darryl Forde (1950) dan bunga rampai dari
beberapa karangan dan pidatonya mengenai teori antropologi yang
berjudul, "Structure and F1unction in Primitive Society" (1952). Dan
buku ini menjadi rujukan penulis dalam menulis tentang struktur
sosial dalam kajian struktural-fungsionalisme AR. Radcliffe-Brown.
la meninggal pada tahun 1955 karena penyakit paru-paru
yang sudah lama diidapnya. Ada lima puluh buku dan karangan
Radcliffe-Brown yang telah dibuatnya, termasuk sejurnlah tinjauan
,113
buku yang ditulisnya hingga tahun 1937 yang tercantu dalam buku
bunga rampai yang dipersembahkan oleh para mahasiswanya di
Universitas Chicago kepad!anya ketika ia meninggalkan Universitas
tersebut kembali ke lnggris, sewaktu ia diminta untuk kembali ke
lnggris memangku jabatanlflya sebagai guru besar pada Universitas
Oxford.
Prestasi yang dicapai Radcliffe-Brown di atas telah
mengantarkannya sebagai tokoh pemimpin antropologi lnggris
modern. Sumbangan pemikirannya ini turut serta mewarnai
pertumbuhan dan PE?!Tkembangan antropologi, khususnya
antropologi sosial baik di lnggris maupun di luar lnggris. Jasanya
dalamperkembangan ilmu antropologi adalah dari usahanya untuk
membuat ilmu itu menjadi suatu ilmu yang dapat mengembangkan
metodologi, seperti yang ada dalam ilmu-ilmu alam, khususnya ilmu
fisika dan biologi. lni adalah merupakan cita-cita larnanya yang
dikonsepnya ketika ia menjadi guru besar di Chicago, dimana ia
memberi kuliah yang bersifat teori, yaitu mengenai "llmu
Kebudayaan Komperatif' atau "Comperative Science of Culture". Di
samping ia memberi kuliah tentang etnografi mengenai penduduk
pribumi Afrika dan Australia. Catatan-catatan kuliahnya ini serta
diskusi-diskusinya dalam berbagai seminar bersama kolega dan
mahasiswanya, juga diterbitkan tetapi setelah ia meninggal dunia, •
114
dengan judul "A Natuiral Science of Society" (1957). lni
menunjukkan bahwa gagasan Radcliffe-Brown mengenai apa yang
dimaksud dengan metodologi ilmu fisika dan biologi dapat
dikembangkan dalam ilmu sosial.
Radcliffe-Brown (1957:43,58) mengakui bahwa suatu ilmu
seperti tersebutdi alas belum ada, kecuali dalam fase yang masih
sangat dini. Kalaupun ada,, maka analisa eksak seperti itu hanyalah
mungkin mewujud apabila memperbincangkan mengenai beberapa
gejala sosial tertentu, misalnya mengenai distribusi dan produksi
barang-barang langka yang menyebabk�n adanya ilmu ekonomi.
Walaupun demikian Radcliffe-Brown yakin bahwa perkembangan
suatu ilmu dasar seperti ituyang dapat menganalisa asas-asas dari
rnasyarakat manusia dan ini sangat mungkin dilakukan, asal
dipenuhi dua syarat Syarat rnutlak pertama ke arah suatu metode
seperti itu, adalah suatu metode komparatif yang seksama, yang
dapat membandingkan secara sistematis berbagai tipe sistem
sosial yang mungkin ada dalam masyarakat manusia di dunia ini
dan mengernbangkan suatu klasifikasi dari tipe-tipe sistem sosial
itu. Namun, suatu met0lde komparatif seperti ini sebaliknya
memerlukan syarat lain yaittusyarat kedua berupa suatu metodologo
yang lebih seksama untUJk mengobservasi dan mendeskripsikan
sistem-sistem sosial yang ada, sehingga fakta-fakta yang harus
115
digunakan dalam metod>e komparatif tersebut di atas benar
benarada. Dalam penerapan metode komparatif seperti ini perlu
dipergunakan suatu konsep dasar yang menjadi suatu kesatuan
dalam analisa komparatif yaitu konsep "strukt11r sosial".
Radcliffe-Brown (Ibid. , ) juga mengakui bahwa
perkembangan ke arah kematangan dari suatu ilmu sosial dengan
metodologi ilmu alam tidlak akan dapatterjadi dengan cepat, ini
disebabkan karena ada empat buah faktoryang menghambatnya,
yaitu : (a) sifat multipa! yaitu, adanya jumlah yang besardan
beraneka warna yang terdapatdari gejala-gejala sosial; (b,) cara
berpikir historis yang telah berakar dalam alam pikiran kebanyakan
sarjana ilmu sosial; (c) konsep-konsep psikologi yang sering kali
juga berakar dalam alam pikiran kebanyakan sarjana ilmu sosial,
padahal konsep-konsep psikologi hanya dapat menerangkan
sebab-sebab adanya tingkah laku seseorang, tetapi tidaklah
mungkin dapat menerangkan sebab-sebab dari suatu gejala sosial
itu; (d) penelitian ilmu-ilmu sosial terlampau banyak dipengaruhi
oleh pandangan umum yang menghendaki jawaban segera
terhadap suatu masalah sosial yang mendesak atau yang
menghendaki fakta untuk melaksanakan suatu tindakan atau untuk
menyusun suatu kebijaksanaan.
116
Dalam kariernya sebagai sarjana dan peneliti Radcliffe-
Brown memang berusahoa untuk berpikir, meneliti, menganalisa,
dan menulis mengenai adat istiadat dari berbagai suku bangsa di
Australia, di Afrika dan dii Amerika, dengan cara yang ketat sekali
menurut konsep-konsep tersebut di atas. Walaupun demikian, ia
tidak menolak untuk aktif juga dalam penelitian dan aktivitas
antropologi terapan yang bersifat praktis.
Pandangan dan pengertian tentang strukuryang
dikembangkan oleh Radcliffe-Brown di dalam tulisannya yang
berjudul "On Social Strruciure" (1940) telah mengantarnya ke
diskusi-diskusi yang berrkepanjangan di antara para antropolog
ketika itu, yang kebanyakan berasal dari lnggris, Perancis, atau
Amerika; seperti diskusi-<diskusi yang dilakukan oleh para pengikut
strukturalisme dari tokoh antropologi Perancis Levi-Strauss, yang
mencari pembenaran pemahaman antara pola pemikiran kedua ahli
ini tentang struktur.
Pada kenyataannya memang ditemukan perbedaan yang
besar antara Radcliffe-Brown dengan Levi-Strauss tentang
pemahaman struktur tersebut. Jika Radcliffe-Brown mencari
struktur itu dalam kenyataan yang dapat diamati, sedangkan bagi
Levi-Strauss struktur dicari dibalik kenyataan yang diamati itu, yakni
bahwa inti keteraturan hakiki yang memberikan bentuk kepada •
117
kenyataan yang terlihat dalam (susunan) konfigurasi gejala-
gejalatertentu sebagai keteraturan yang khas. Dalam hal ini Levi-
Strauss melihat struktur sebagai sesuatu yang menerangkan
mengapa konfigurasi itu demikian adanya Sedangkan bagi
Radcliffe-Brown struktur itu adalah apa yang terlihat dari luar yaitu
pada keterkaitan dalam konfigurasi itu. Dalam hal ini Radcliffe-
Brown tetap ingin pada kenyataan yang dapat diamati itu, dan ia
juga tidak berbicara tentang struktur pada umumnya, tetapi ia
berbicara mengenai apa yang dimaksud dengan struktur sosial
yang dilakukan secara sekonkrit mungkin. Begitu pula dalam
memberikan suatu pengertian tentang kebudayaan, di sini
Radcliffe-Brown memberikannya terlalu tersamar, apa yang
nampak dalam masyarakat menurutnya ialah suatu relasi sosial,
yang membentuk suattu keseluruhan dan keseluruhan itu
dimaksudkan adalah organisme sosial, ibarat sebagaimana telah
terlebih dahulu dipergunakan oleh Emile Durkheim.
Seperti halnya dengan organisme biologis, bahwa organisme
sosial itu terdiri dari kesatuan-kesatuan, unit entities (kesatuan yang
benar-benarada) yang di•satukan oleh seperangkat relasi (satu set
of relations) yang masing-masing dari unit entities ini membantu
agar keseluruhannya itu tetap terpelihara sebagaimana adanya,
sama seperti dengan alat-alat dari tubuh manusia yang berfungsi '
118
turut memelihara tubuh rrnanusia. Sementara itu, dalam organisme
yang hidup, sel-sel yang ada satu persatu bisa mati, akan tetapi
sel-sel ini kemudian digainti oleh sel-sel yang lainnya, sehingga alat
tubuh manusia itu dengan sendirinya dapat berfungsi kembali dan
seierusnya berlangsung demikian; demikian pula hal yang sama
pun terjadi pada masyara;kat.
Kenyataan seperti ini dikemukakan oleh Radcliffe-Brown
dalam tulisannya "On the Concept of Function in Social Science"
(1935), bahwa individu mungkin saja pada satu ketika akan
meninggalkan masyarakatnya, yang dapat terjadi karena kematian
atau karena sebab lainnya. Tetapi pada saat yang sama ia dapat
digantikan pula oleh individu lain yang memasuki masyarakat itu.
Dalam hal ini terlihat bahwa kelanjutan suatu struktur dipahamkan
dapat dikekalkan melalui suatu proses kehidupan yang dinamakan
proses kehidupan sosial, dan proses ini terdiri dari suatu aktivitas
adanya wujud suatu 1111teraksi antara individu dengan individu
lainnya dan antara kelonnpok-kelompok individu dengan kelompok
individu lainnya yang terjadi secara teratur. Oleh karena itu di sini
dipahamkan bahwa kehidupan sosial menurut Radcliffe-Brown
adalah merupakan suatu komunitas yang memberi fungsi kepada
strukturnya dan fungsi s:uatu proses kehidupan sosial ini adalah
untuk memelihara kehidupan sosial secara keseluruhannya.
119
Dalam memperjelas tentang pengertian struktur ini kemudian
Radcliffe-Brown menulis lkembali tentang struktur dalam tulisannya,
"On Social Structure" (I 940) yang menyatakan bahwa struktur
sosial itu hanya dapat dlilihat dalam kenyataan yang konkrit dan
dapat diamati secara langsung karena struktur itu terdiri dari : (a)
semua hubungan sosiaU yang terjadi antara individu dengan
individu lainnya; (b) adainya perbedaan antara individu yang satu
dengan individu yang lai111nya serta kelas sosial di antara mereka
sebab mengikuti perana11 sosial yang dimainkan oleh mereka.
Usaha lflin yang dilakukan Radcliffe-Brown dalam
memperjelas pengertian struktur ini dapat pula terlihat di dalam
tulisannya "On Social Structure" tersebut yang memasukkan
pengertian morfologi sosial dan pengertian struktursosial itu. Dalam
tulisan pendahuluan kumpulan karangannya yang berjudul,
"Structure and Function in Primitive Society" (1952) Radcliffe-Brown
kemudian menambahkan lagi bahwa, apabila kita menggunakan
istilah struktur, maka berarti kita merujuk kepada suatu jenis
susunan bagian-bagian atau komponen-komponen yang teratur
adanya. Komponen-komponen atau unit-unit dari struktur sosial itu
terdiri dari individu-individu dan individu ini dianggap sebagai
pemenuhan kedudukan dalam strukturnya.
120
Dengan demikian, apabila kita menghadapkan tentang
pemahaman Radcliffe-Brown mengenai struktur dalam pengertian
Levi-Strauss tentang struktuJr, maka terlihatlah dengan jelas bahwa
Radcliffe-Brown tidak sependapat dengan Levi-Strauss yang
mencari rasionalitas dan konfigurasi Akan tetapi yang menarik di
sini ialah bahwa Radcliffe-Brown telah memberikan sumbangan
kepada pengertian struktur Levi-Strauss. Hal ini terjadi terutama
sekali pada pada tulisan Radcliffe-Brown yang berjudul "The
Mother's Brother in South Africa" (1924). Tulisan ini oleh Radcliffe
Brown dimaksudkan untuk memb,antah adanya pemikiran bahwa
"avunkulat" (kedudukan yang istemewa dari saudara laki-laki pihak
ibu) adalah merupakan sisa dari zaman ketika maternal
(matrilineat) bersifat universal. Dalam hal ini Radcliffe-Brown
memberikan tiga contoh1 tentang peristiwa dimana dalam
persekutuan matrilineal yang ketal, saudara laki-laki pihak ibu
dinamakan sebagai ibu lelalki, sedangkan saudara perempuan ayah
diberi julukan sebagai ayah perempuan. Karena ramahnya,
saudara lelaki pihak ibu {mobr) mirip dengan ibu, sedangkan
saudara perempuan ayah (vaza) adalah keras dan otoriter seperti
ayah. Karena itu Radcliffe-IBrown memperbincangkan pula tentang
adanya perbedaan dalam persekutuan matrilineal di atas yang
disebabkan oleh karena ;adanya suatu situasi. Dalam hal ini
121
Radcliffe-Brown memberi contoh bahwa saudara laki-laki pihak ibu
(mobr) di atas bukan merupakan sebagai sahabat, tetapi ia lebih
tepat disebut sebagai seorang penguasa yang keras.
Apa yang dikemukakan oleh Radcliffe-Brown ini kemud'an
diperkuat pula oleh suatu pemahaman melalui visi dalam tahun
yang sama oleh keterangcan Bronislaw KMalinowski berdasarkan
hasil temuan penelitian lapangannya yang dilakukan di Trobiand,
dimana dalam masyarakatnya yang matrilineal, saudara laki-laki
pihak ibu (mobr) juga merupakan penguasa, sedangkan seorang
ayah adalah merupakan seorang sahabat yang ,akrab. Melalui
contoh-contoh ini disimpuilkan beberapa hal pokok yang pada 25
tahun kemudian memainkan peranan dalam karya Levi-Strauss
tentang struktuiralisme. Dari kenyataan ini menunjukkan bahwa
Radcliffe-Brown memiliki pandangan yang jelas tentang arti relasi
sosial dalam relasi antara saudara laki-laki dan saudara perempuan
dalam kehidupan suatu maisyarakat.
Contoh lain yang dikemukakan oleh Radcliffe-Brown adalah
tentang analisanya yang tajam mengenai "joking relationship" yang
di Afrika dianggap begitu penting adanya. Menurut Radcliffe-Brown
joking relationship ini di A1frika adalah hak yang dipunyai beberapa
orang untuk bersikap samgat bebas terhadap saudara tertentu
(suatu kali dapat juga terjadi terhadap kelompok orang asing
122
tertentu). Sering hal itu terjadi dalam bentuk gangguan-gangguan
kecil atau dengan menggunakan bahasa cabul. Yang sering
digunakan Radcliffe-Brovvrn tentang joking relationship ini ketika ia
mengamati sekelompok masyarakat di Afrika, dan diantara orang-
orang Indian Amerika Utara. Biasanya hal itu terjadi dalam relasi
antara saudara laki-laki piihak ibu dan laki-laki saudara perempuan,
serta antara ipar lelaki, dan juga antara kakek-nenek dan cucu-
cucunya. Biasanya relasi antara kakek-nenek dan cucunya tersebut
berlangsung sangat baik. Mengenai relasi antara saudara laki-laki
pihak ibu dan anak lelaki saudara perempuan bisa mengambil
bentuk yang lebih tajam, seperti meminjam atau mengambil seekor
binatang dari ternak saua::Jara laki-laki pihak ibu, yang kemudian
saudara laki-laki pihak ilbu ini paling banyak boleh mengambil
binatang yang kurang berrharga dari ternak kepunyaan anak lelaki
dari saudara perempuannwa.
Kalau diteliti mengenai relasi-relasi ini lebih teliti lagi menurut
Radcliffe-Brown, maka hal itu selalu terjadi dalam relasi antara
pribadi-pribadi yang karena perbedaan kelompok, posisi dan/atau
umur dapat terjadi suatU! ketegangan tertentu, sedangkan yang
diinginkan sebenarnya adalah agar hubungan itu tetap selalu baik.
Dalam hal seperti ini menurut Radcliffe-Brown dapat terjadi karena
ada ada dua kemungkina1nnya. Yang pertama ialah adanya usaha '
123
untuk menghindari "avoidance taboo" yang telah ditulis oleh Edward
B. Taylor ( 1832-1917). Dan kemungkinan yang lain ialah joking
dimana hak yang ditunjukkan seseorang untuk mengganggu dan
menggunakan bahasa yang kasar kepada orang lain, sedangkan
pihak yang lain dilarang untuk menjadi marah. Mengenai hal itu
terjadi karena adanya tradisi untuk menentukan bahwa ini adalah
merupakan cara pergaulan yang baik diantara mereka.
Jika terjadi ketegangan yang memuncak, seperti misalnya
pertikaian antara mertua perempuan dengan menantu laki-lakinya,
maka pilihan yang terbaik yang diambil ialah menghindar. Dalam
hal ini menurut Radcliffe-Brovvn jika terjadi penghindaran itu, bukan
berarti karena adanya pertikaian atau permusuhan Tetapi ini
dilakukan llntuk membeirikan rasa hormat kepada pihak yang
disengketa. Motif yang demikian ini menurut Radcliffe-Brovvn
mernpakan suatu gambairan tentang wujud adanya adat di dalam
masyarakat tersebut. Namun dalam beberapa hal jokoing itu dapat
merupakan jalan ke arah pemecahan untuk menjembatani jarak
sosial yang terjadi dalam masyarakat itu.
Bila ditilk tentang hal ini yang menarik dalam pernyataan di
alas sebagaimana dikemukakan oleh Radcliffe-Brown di dalam
tulisannya "On Social StrU1cture" (1940) adalah bahwa pangkal dari
hal yang bersangkutan mengenai posisi mereka di dalam sistem '
124
relasi kekerabatan yang jelas menggambarkan adanya ciri-ciri yang
sedikit banyaknya adalah bersifat universal dan khas bagi kalangan
masyarakat yang sederhana atau primitif. Sebagaimana terlihat di
dalam uraian di alas yang dapat dijadikan sebagai argumentasi
untuk memperkuat pemiikiran bahwa yang dikemukakan oleh
Radcliffe-Brown adalah nnempersoalkan mengenai struktur dalam
pemahaman relasi dengal!l inti adanya keteraturan yang hakiki.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perhatian
Radcliffe-Brown mengeniai hal di alas, sebagaimana juga
dtk�mukakannya dalam foJlisannya "Religion and Society" (i945)
menunjukkan adanya usaha Radcliffe-Brown untuk
menggabungkan diri kepada pemahaman Emile Durkheim yang
menyebutkan tentang fuingsi yang ada dalam religi Walaupun
dalam merumuskannya Radcliffe-Brown menggunakan cara yang
lain dari Emile Durkheim yaitu, bahwa religi itu menciptakan suatu
kesadaran akan adanya suatu ketergantungan (a sense of
dependence)) yang berse.gi dua. Di sini terlihat bahwa di satu pihak
Radcliffe-Brown membuat manusia untuk menanggung nasib
malangnya karena dengan kepercayaan itu manusia memandang
bahwa ia akan tergantung kepada kekuasaan dimana atau siapa ia
akan tergantung, dan di lain pihak ia dipaksa untuk menyerahkan
dirinya kepada kekuasaan yang menguasai dirinya.
125
Selanjutnya bagaimana pandangan Radcliffe-Brown
mengenai kajian struktura1l-fungsional terhadap struktur sosial, serta
perbedaan dan persamaan pandangan antara Radcliffe-Brown
dengan Malinowski tentang kajian struktur dan fungsi, ada baiknya
disimak uraian berikut.
Kajian struktural-fungsional Radcliffe-Brown terhadap
struktur sosial sebagaimana dimaksud di atas dasarnya berangkat
dari teori dan andaianniya tentang struktursosial yang memilki
fungsi. Teori dan andaiannya ini sejak awal sebenarnya ia telah
menerima dan menggun<'Jkan teori dasar Herbert Spencer
mengenai "konsep strukturdan fungsi" yang berkaitan dengan ide
kaji hayati (kajian biologi) sebagai bahan analisanya.
Dalam teori Herbe,rt Spencer itu menurut Daud (Log.Cit,25)
dikemukakan bahwa masyarakat adalah sebagai suatu organisme
biologi dan anggota masyarakat sebagai sel-sel dari organisme
yang berhubungan erat satu dengan yang lainnya yang membentuk
struktur masyarakat yang berfungsi memastikan penerusan
organismenya. Andaian ini kemudian diuraikan oleh Herbert
Spencer (Ibid. , ) sebagai berikut:
1. Masyarakat dan orga1nisme dapat dibedakan dari bahan tak organik, masing-masingnya dapat membesar dan berkembang;
2. Kedua-duanya memiliki perbedaan dalam struktur dan diikuti dengan perubahan pada fungsi;
3. Pertambahan dari segi ukuran kedua-duanya mempunyai arti pertambahan dalam k<0mpleksitas serta perbedaannya;
126
4. Tiap-tiap bagian dan komponen keseluruhannya memiliki saling ketergantungan dan perubahan pada satu bagian akan mempengaruhi pada bagian lainnya;
5. Pada masyarakat dan organisme, setiap komponennya itu sendiri merupakan satu masyarakat mikro atau organisme;
6. Kehidupan dari keseluruhan sistem dalam masyarakat dan organismenya akan terus kekal untuk semE;ntara waktu.
Dalam menjelaskan tentang perbandingan antara individu
dengan organisme sosial menurut Daud ( Ibid.,), Herbert Spencer
memperbandingkan melalui pembedaan tentang struktur dan
fungsi. Di sini struktur mempunyai fungsi dalam mengekalkan
keseluruhan sosial, apabila perubahan terjadi pada strukturmaka '
akan membawa akibat terhadap perubahan dalam fungsi secara
keselun.;han dari sistem.
Jonathan H. Turner ( 1979: 13) dalam bukunya yang berjudul
"Functionalism" membuat satu kesimpulan pemahaman tentang
unsur-unsur yang di lah irkan oleh Herbert Spencer dalam
fungsionalisme dan organismenya yaitu :
1. Masyarakat ialah satu sistem dan satu keseluruhannya yang bersatu dibentuk oleh bagian-bagiannya;
2. Sistem ini hanya dapat dipahami dari segi perjalanan struktur yang khusus dan mempunyai fungsi untuk mengekalkan keseluruhan sosial;
3. la mempunyai keperluan yang harus dipenuhi, jika ia ingin terus hid up. Fungsi suatu struktur adalah ditentukan dengan mengkaji keperluan yang dipenuhinya.
Demikianlah teori dasar Herbert Spencer yang dijadikan
"bahan" analisis oleh Radcliffe-Brown dalam mengembangkan
127
kajian struktural-fungshonalisnya sebagai usaha untuk mencoba
menerangkan tentang konsep struktursosial yang memiliki fungsi.
Pada dasarnya pokok kajian yang terdapat dalam struktural
fungsionalisme Radcliffe-Brown ini adalah mengKaji tentang struktur
sosial dengan menggunakan perbandingan analogi organik lni
ditemukan pada pemahaman Radcliffe-Brown tentang batasan
struktur sosial, penerusan sosial, hubungan tingkah laku individu
dengan norma dan peraturan, aspek-aspek struktur sosial,
penerusan struktursosial, konsep personaliti sosial, fungsi institusi
sosial, strukturdan fungsi dalam sistem sosial.
Dalam batasan tentang struktursosial, Radcliffe-Brown
(1952:222) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan struktur
sosial adalah satu jaringan hubungan sosial yang benar-benar ada.
Oleh karena itu, kajian ke atas struktur sosial berarti ialah kajian ke
alas kumpulan dan hubungan yang saling tergantung antara
fenomena-fenomena yang membentuk ciri-ciri sosial-budaya.
Tentang kedu<dukan sosial Radcliffe-Brown (Ibid. , )
menjelaskan bahwa semua kedudukan sosial yang berlainan yang
terdapat di dalam masyarakat pada hakikatnya membentuk bagian
bagian dalam struktur sosial. Begitu pula penyesuaian yang terjadi
antara anggota masyar.akat secara ekonomi dan ekologi berfungsi
mengekalkan struktur sosial.
i 128
Mengenai ekologi organik yang digunakan oleh Radcliffe-
Brown dala menjelaskan struktur sosial menurut Daud (Log .C it ,27)
dapat terlihat dalam uraiannya memperbandingkan antara
organisme biologi dengan organisme sosial di bawah ini.
Tabel 11-1 Perbandingan Antara Organisme Biologi dengan Organisme Sosial
[� �.It��"- 1=--�Ql-Q��rli�flie BJ01C>fil==�1===�oi:����-ille=s()i>i�f= ] I Unit / Se/ ! lndividu
I I i i
I Struktur i Hubungan antara sel-sel / Hubungan antara individu /
I I dengan sel-sel i dengan individu
i
I Aktivitas 'I Tingkah Jaku sel yang I Tingkah laku individu-dapat diperhatikan i individu dalam kumpulan
I i yang dapat diperhati!<an
! Fungsi Peranan aktivitas dalam I Peranan aktivitas dalam ) ! 1 memehhara I memelihara
struktur/kesepadanan struktur/kesepadanan ant.ara kesan aktivitas antara aktivitas dengan dengan keperluan pribadi keperluan struktur sosial
Perihal hubungan antara penerusan sosial dengan
penerusan struktur sosial, Radcliffe-Brown (Log .C it, 227)
menjelaskan bahwa penerusan sosial itu pada dasarnya ditentukan
oleh penerusan struktur sosial yang penerusan dalam penyusunan
orang dan hubungan mereka antara yang satu dengan yang
lainnya. Seperti tubuh badan manusia yang memiliki struktur, d i
mana komponennya terdiri dari molekul yang mengakibatkan
perubahan pada tubuh di samping mengekalkan penerusan
129
struktur. Begitu pula ientang rangkaian hubungan sosial yang
membentuk struktur sosial pada dasarnya ditentukan oleh proses
sosial.
Mengenai hubungan tingkah laku individu dengan norma
dan peraturan yang ter<dapat di dalam masyarakat Radcliffe-Brown
(Ibid.,) menjelaskan bahwa hubungan tingkah laku individu ketika
mereka saling berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya,
tidak dapat dipisahkan dengan norma dan peraturan-peraturan
yang ada di dalam masyarakat itu. Sebab norma dan peraturan ini
beriungsi mengontrol tingkah laku mereka yang dibentuk dalam
kehidupan sosial terte11Jtu dikenal dengan "institusi" yang diterima
oleh suatu kelompok atau kelas-kelas sosial yang ada dan dapat
diidentifikasi.
Dalam menjelaskan hubungan antara organisasi dengan
konsep struktur sosial , Radcliffe-Brown (Ibid. ,) menyebutkan
bahwa organisasi ini berhubungan era! dengan konsep struktur
sosial, walaupun antara keduanya tidaklah sama. Dan satu
membedakan antara organisasi dengan konsep struktur sosial ini
adalah dengan menafsirkan struktur sosial sebagai satu susunan
orang di dalam institusi (lembaga) yang terkontrol atau hubungan
yang terdapat di dal!am struktur sosial tersebut merupakan
hubungan antara orang-orang yang telah ditentukan, misalnya
130
mengenai struktur keluarga di mana terdapat adanya anggota
anggota keluarga seperti, ibu, bapak, anak-anak dan pembantu
rumah tangga. Sedangkan organisasi di sini ditafsirkan sebagai
sesuatu yang ada hubungannya dengan susunan aktivitas,
contohnya ialah dalam sebuah pabrik terdapat adanya susunan
kerja, seperti adanya direktur, pengurus, pekerja dan pengawas
pabrik, di mana dari setiap orang-orang ini mempunyai peranan
yang berbeda atau masing-masing. Oleh karena itu apabila kita
membincangkan tentang sistem sosial, berarti kita merujuk kepada
satu sistem kedudukan s9sial. Sementara itu dalam organisasi, 1a
hanya merangkumi sistem peranan yang ada.
Dalam hal ini menurut Daud (Log.Cit,28), Radcliffe-Brown
mencoba pula memlDangun beberapa hukum umum yang
membentuk "fenomena sosial" dengan menggunakan metode
ilmiah seperti yang terdapat dalam ilmu pengetahuan alam.
Radcliffe-Brown mengatakan bahwa antropologi sosial yang
didasarkan pada generalisasi induktif akan dapat menerangkan
bagaimana, dan mengapa sesuatu itu terjadi atau berlaku, dengan
dasar hukum-hukum tertentu. Generalisasi induktif ini pada
dasarnya merujuk kepada generalisasi yang disahkan melalui suatu
ujian yang sistematis, yaitu melalui pengamatan yang teliti dan
menyeluruh yang dinamakan "hukum-hukum" ilmiah. Menurut
131
Radcliffe-Brown ( ib id ,) , d i sini terlihat bahwa terdapat adanya
perbedaan antara antropologi dengan sejarah, karena antropologi
dalam menciptakan satu pendekatan ilmiah menggunakan satu
prosedur atau seperangkat konsep-konsep Oleh karena itu
antropologi sosial sebagai satu cabang dari i lmu pengetahuan alam
tentang masyarakat manusia, dalam mengkaji fenomena sosial ia
menggunakan metode yang sama seperti yang dilakukan dalam
i lmu pengetahuan biologi dan physical . Kemudian bidan ini disebut
sebagai "sosiologi perbandingan". Dan yang dipentingkan dalam
ha! ini adalah bentuk ikatan dalam hubungan. manusia, seperti
hubungan perikatan yang terdapat dalam satu kumpulan lebah
(lebah jantan, permaisuri dan pekerja).
Tentang aspek-aspek struktur sosial , Radcliffe-Brown
(Op .Cit . ,) menyebutkan ada dua aspek struktur sosial itu. Pertama,
ia beranggapan bahwa semua hubungan sosial yang terjadi d i
antara individu sebagai bagian dari struktur sosial , misalnya dalam
struktur keluarga terdapat hubungan antara anak dan ibu-bapak.
Dalam satu suku bangsa Australia seluruh struktur sosial
didasarkan pada jalinan hubungan antara individu melalui perikatan
perselisihan. Kedua , dalam strutur sosial itu terdapat perbedaan
antara individu dan kelas sosial karena mengikuti peranan sosial
yang dimainkan oleh masing-masing mereka. Contohnya seperti '
132
perbedaan dari segi peranan dan kedudukan sosial antara lelaki
dan perempuan, pemimpin dengan rakyatnya dan majikan dengan
para pekerjanya.
Penjelasan mengenai penerusan struktur sosial, Radcliffe
Brown (Ibid. , ) menerangkan bahwa penerusan struktur sosial itu
pada hakikatnya adalah mengikuti edaran masa dan penerusan itu
sifatnya dinamis, seperti penerusan yang terdapat di dalam struktur
organik suatu anggota tubuh manusia. Di sepanjang hayat
(hidupnya) struktur suatu organisma senantiasa mengalami suatu
perubahan, demikian pula halnya dengan kehidupan sosial ,
senantiasa memperbaiki struktur sosialnya Hubungan antara
anggota masyarakat mungkin berubah dari masa ke masa, yaiiu
perubahan pada strukturnya, namun bentuk dari strukturnya yang
umum mungkin secara relatifnya tinggal tetap dalam jangka waktu
yang lebih panjang. Bfrasanya bentuk struktur yang umum ini akan
dikekealkan kecuali apabila terjadi suatu revolusi atau pendudukan
tentara. Tetapi meskipun demikian penerusan struktur pada tingkat
tertentu tetap ada.
Mengenai konsep struktur sosial dihubungkan dengan
konsep personaliti sosial, Radcliffe-Brown (Ibid.,) menjelaskan
bahwa konsep struktur sosial ini berhubungan erat dengan konsep
personaliti sosial yaittu tentang kedudukan seseorang dalam
133
struktur sosial yang kompleks. Setiap rnanusia mempunyai dua ciri,
yaitu ciri individu dan ciri manusia. Sebagai individu, ia adalah
suatu organisme biologi, yaitu kumpulan dari sejumlah besar
molekul yang tersusun dan yang di da!amnya berlaku suatu proses
saling berinlemksi serta adanya perubahan yang bersifat fisiologikal
dan psikologikal . Manusia sebagai orang, merupakan suatu yang
kompleks dalam hubungan sosialnya dengan berbagai peranan
yang tidak sama. Di sini terlihat bahwa pernbagian kerja sosial
adalah satu ciri struktur sosial yang penting. Aktivitas ini dijalankan
karena ia mernberi satu "kepuasan" dan yang menjadi ciri dasar
kehidupan sosial itu ialah aktivitas seseorang dapat mernberi
kepuasan pada orang lain. Terdapat satu rnekanisme sosial yang
rnudah atau kadangkala kompleks yang membolehkan sistem itu
bergerak. Misalnya, sistem ekonomi dengan aktivitas penghasi lan,
pelayanan dan pertukaran barang menjadi rnekanisme di mana
hubungan antara individu serta kelompok dikekalkan.
Disini Radcliffe-Brown membuat suatu kesimpulan bahwa
dalam masyarakat manapun, peraturan, tata tertib, undang-undang,
agama adalah bagian mekanisme yang mengekalkan kewujudan
satu rangkaian hubungan sosial serta suatu struktur sosial tertentu.
Dalam memberikan penjelasan tentang konsep fungsi
Radcliffe-Brown mendasarkan analoginya antara kehidupan
134
dengan kehidupan organik. la menyebutkan bahwa organisme
adalah merupakan satu sistem molekul yang kompleks, di mana
strukturnya dibentuk oleh hubungan yang terjadi antara unit
unitnya. Dalam prosAs penerusan struktur, ia dikatakan berfungsi
b i la terdapat peranan dan sumbangannya terhadap kehidupan
organisme secara kes:eluruhannya. Misalnya mengenai fungsi
proses fisiologi yang berulang mempunyai hubungan dengan
keperluan organisme yaitu keperluan yang merujuk kepada
keadaan yang perlu urnutk hidup (survival). Dalam membincangkan
. tentang organisme ini , Radcliffe-Brown menguraikan tiga aspek dan
masalah yang ada. P<ertama adalah masalah morfologi, yaitu
mengenai jenis struktur organik yang ada, perbedaan dan
persamaannya, serta cara mengklasifikasikannya. Aspek kedua
ialah berkenaan dengalll masalah fisiologi, yaitu tentang bagaimana
struktur organik itu nnenjalankan fungsinya dan juga proses
kehidupannya. Ketiga ialah evolusi atau kemajuan yakni
bagaimana jenis organisme yang baru ini berwujud.
Dalam hal ini Radcl iffe-Brown kel ihatannya memberi
perhatian yang lebih kepada aspek fisiologi, terutamanya tentang
konsep fungsi dan struktur. l a mendefinisikan fungsi institusi sosiaf
sebagai penyesuaian dengan keadaan yang perlu bagi kewujudan
organisme sosial. l a sebenarnya merupakan sumbangan ynag
135
diberikan oleh aktivitas bagian kepada keseluruhan di mana
kegiatan bagian ini ialah salah satu dari keseluruhannya.
Tentang integrasi sosial Radcliffe-Brown ( Ibid. , )
mengandaikannya dergan fungsi kebudayaan secara
keseluruhannya yaitu menyatupadukan setiap manusia dalam satu
struktur sosial yang dapat dikatakan stabil. Dalam kehidupan sosial ,
menurut Radcliffe-Brown, tiap-tiap individu ialah unit yang penting,
karena dengan hubungan sosial ia rnembentuk kepaduan da:am
keseluruhan kehidupan sosial . Sedangkan penerusan struktur
sosial dalam hal ini dapat disamakan dengan organik yang tidak
terancam oleh adanya perubahan yang terjadi di dalam unitnya
Kejelasan mengenai "fungsi" oleh Radcliffe-Brown (Ibid.,)
diterangkan bahwa fungsi adalah sumbangan aktivitas bagian
terhadap keseluruhan s:istem, sedangkan fungsi perbuatan sosial
adalah memberikan sumbangan kepada keseluruhan kehidupan
sosial. Sistem sosiai ( keseluruhan struktur sosial masyarakat,
bersama-sama dengan keseluruhan amalan atau perbuatan sosial
di mana terdapat adanya struktur sosial) mempunyai satu jenis
kesatuan yang dinamakan kesatuan fungsional ( functinal-unity ) .
Kesatuan fungsional ino adalah keadaan di mana semua bagian
dalam sistem sosial itu bekerja dalam keadaan yang amat harmonis
dan tanpa adanya persengketaan yang tidak dapat diselesaikan.
136
Mengenai penjelasan mengenai anal isis fungsional ,
Radcl iffe-Brown mencoba membangun satu persetujuan antara
satu institusi sosial dengan keperluan organisme. Keperluan di s ini
d ipahamkan dengan makna keadaan yang per lu unutk hidup. l a
sebenarnya merujuk kepada satu integrasi sosia l , dengan dua
keadaan. Pertama, keperluan bagi pengekalan suatu struktur
sosial. Kedua, bagi penerusan sistem sosial tersebut.
Apabila d it i l ik anal isa struktura l-fungsional yang
d ikembangkan oleh Radcl iffe-Brown di lnggris, pada dasarnya lebih
menekankan studinya pada pendekatan sinkronis. Cara kerjanya
t idak ter la lu memperhatikan
segi proses sejarah yang terjadi, walaupun bukan berarti
mengabaikan perhatial'l terhadap gejala perubahan yang ada
dalam kehidupan setiap masyarakat. Ha l in i yang menyebabkan
t imbulnya kesan bahwa analisa struktural-fungsional di lnggris in i
cenderung relatif stat is.
Menurut Leach (Si l ls , 1968:848) analisa struktural-fungsional
yang dikembangkan oleh Radcliffe-Brown pada dasarnya berangkat
dari pra anggapan yang menyebutkan :
"... . .. . .. bahwa masyarakat mungkin dapat d ibandingkan dengan suatu kelhidupan organisme atau suatu mekanisme kerja. Bagi Radcliffe-Brown, setiap masyarakat mempunyai kehidupannya tersendiri : la bukanlah merupakan obyek sebagaimana m'8khluk lainnya, sehingga studi tentang struktur berarti studi yang memperbincangkan tentang sal ing
137
ketergantungannya antara bagian-bagian komponen dari sistem yang merupakan satu mata rantai yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain dengan studi dengan fungsi, atau bagaimana cara bagian-bagian komponen sistem " bekerja" didalam relasi yang lain dan satu kesatuan yang utuh".
Radcliffe-Brown menu rut Bohannan dan Glazer ( 1 973: 17)
dalam mengembangkan metode analisa struktural-fungsional in i
sebenarnya mendapat pengaruh kuat dari Emi le Durkheim dan
Marcel Mauss.
Konsep-konsep dasar Durkheim yang menarik Radcliffe-Brown
menurut Kupper ( 1 973: 1 3) adalah hal yang sejalan dengan
pemikiran Herbert Spencer, ahli filsafat bangsa lnggris yang
meletakkan dasar berfikir analogi organik yang telah d iuraikan pada
bab ini.
Analogi organik in i pada dasarnya menu rut Kupper ( 1 973: 1 3-
1 4) menemparkan masyarakat sebagai suatu organisme yang
hidup, dengan demikian seharusnya dipelajari dengan mengunakan
metode i lmu pengetahuan alam. Melalui pengalamannya sendiri
terutama saat ia mengajar dan melakukan berbagai penelirian
lapangan selama bertugas sebagai dosen antropologi di Afrika
Selatan dan Australia, Radcliffe-Brown mematangkan konsep dan
teori-teorinya secara khusus konsep-konsep Emi le Durkheim yang
mempengaruhi Radcliffe-Brown adalah tentang konsep fakta sosial
138
( dalam buku "Les Regles de la Methode Sociologique", 1984) dan
konsep tentang gagasan kolektif (dalam buku "Representations
l ndividuelles et Representations Col lectives" , 1898)
Pada dasarnya kedua konsep ini mengandung inti pemikiran
yang sama berdasarkan kerangka analogi organik yaitu bahwa
masyarakat sebagai kreasi yang hidup bagian-bagiannya selalu
dapat dipisahkan dan dibeda-bedakan. Menurut Emile Durkheim,
setiap individu anggota suatu masyarakat selalu berfikir dan
bertingkah laku dengan dikendalikan oleh sesuatu yang bersifat
supra individual yaitu fakta sosial dan gagasan kolektif. Baik fakta
sosial maupun gagasan kolektif tersebut mula-mula memang
berasal dari pemikiran dan tingkah laku individu juga. Setelah
pikiran dan tingkah llaku ind ividu-individu itu menyebar dan
mempola dalam kehidupan bersama kemudian menjadi memiliki
kekuatan memaksa dan mengendal ikan individu-individu
pendukungnya. Fakta sosial dan gagasan kolektif menjadi
cenderung bersifat relatif konstan dan tidak terpengaruh oleh
banyak gerak d inamika dan pergantian individu-individu anggota
masyarakat yang bersangkutan.
Pengaruh Emile Durkheim selanjutnya terutama terliha! dari
konsepnya tentang kualifikasi primitif yang dikemukakan bersama
Marcel Mauss ( 1963: 17) dalam bukunya " De quelques formes
139
primitives de clasification : contributia l'etude des representation
collectives'', 1903. Konsep in i terutama mempersoalkan cara-cara
serta prosedur manusia menggolong-golongkan segala hal dan
kejadian serta benda-benida dalam kategori-kategori tertentu dan
logika yang melatarbelakanginya.
Dalam studinya ini Emile Durkheim dan Marcel Mauss
mengembangkan suatU! model untuk menyusun ide-ide
klasifikasinya, yaitu bahwa klasifikasi disusun berdasarkan model
yang muncul dari dalam masyarakat itu sendiri. Adapun dasar
logika yang, melatarbelakangi klasifikasi tersebut adalah kondisi
atau kategori-kategori sosial, dalam konteks dinamika kehidupan
masyarakat sehubungam dengan adanya kecenderungan
pembawaan manusia uintuk selalu membedakan, memisahkan,
mengelompokkan dan kemudian menginterpretasikan. Sebagai
i lmuwan yang sejalan dengan pemikiran Spencer, selanjutnya
Emile Durkheim dan Marcel Mauss juga berpendapat bahwa sistem
klasifikasi suatu masyarakat mengalami suatu proses evolusi
sejalan dengan perkembangan progresif yang dialami oleh
masyarakat itu sendiri secara umum.
Konsep Marcel Mauss yang juga penting dalam membentuk
pola pemikiran Radcliffe-Brown menurut Daud (Log.Cit ,30-3 1)
adalah konsep tentang morfologi sosial dalam konteks proses
140
integrasi masyarakat. Konsep tersebut dikemukakan Marcel Mauss
bersama Beuchat dalam bukunya " Essai sur le variations
saisonnieres des societes Eskimo etude de morphologie
social'', 1 906. Mereka membangun konsepnya berdasarkan
deskripsi atas gejala-gejala pengelompokkan dan pola aktivitas
sosial yang menyertainya pada masyarakat eskiom dalam rangka
mengikuti siklus dan ritme alam.
Pembentukkan kelompok dan pola-pola aktivitas secara
kebudayaan (culture) dalam konteks tuntutan lingkungan alam
(nature) inilah yang merupakan m'orfologi sosial. Dalam proses
perkembangannya, Marcel Mauss dan Beuchat melihat bahwa
pasangan antara alam (nature) dan kebudayaan (culture) itu
ternyata tidak selamanya berada dalam satu ritme tang konsisten.
Tidak selamanya perubahan dalam unsur-unsur alam atau unsur
unsur yang berkaitan dengan alam itu mengakibatkan perubahan
yang sama pada bentuk-bentuk pengelompokkan (morfologi sosial)
serta pola-pola aktivitasnya sebagai murid dari Emile Durkheim
mereka kemudian mengkaitkannya dengan gagasan kolektif.
Marcel Mauss dan Beuchat mengambil kesimpulan (Ibid. , ) bahwa
morfologi sosial dalam konteks integrasi masyarakat timbul tidak
semata-mata karena pengaruh faktor ekologi, tetapi terwujud dan
terkendalikan oleh faktor gagasan kolektif yang telah berakar dan
141
selalu membayanginya. Jadi walaupun misalnya jumlah penduduk
telah berubah atau jenis mata pencaharian hidup telah mengalami
perubahan, bentuk pengelompokkan dan pola aktivitas masyarakat
bisa saja relatif tAtap karena gagasan kolektif di belakngnya yang
belum banyak berubah.
Berdasarkan beberapa konsep dasar yang dikemukakan
Emi le Durkheim dan Marcel Mauss tersebut, Radcliffe-Brown
kemudian mengembangkan konsep dan teori-teorinya tentang
struktur sosial dan analisa struktural yang diwarnai oleh prinsip
fungsional, jadilah ia menjadi analisa struktural fungsional. Inti dari
prinsip fungsional itu adalah menyebutkan bahwa tiap-tiap bagian
atau elemen kehidupan masyarakat ditempatkan berada dalam
suatu keseluruhan yang terintegrasi. Disini Radcliffe-Brown
menerapkan prinsip fungsional tersebut dalam melihat dan
mempelajari jal inan hubungan-hubungan sosial yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat berdasarkan analoginya dengan suatu
kehidupan organisme. Karena ketatnya penggunaan prinsip
integrasi fungsional dalam analisa strukturalnya, maka Radcliffe
Brown dan murid-muridnya bisa disebut sebagai penganut paham
struktural-fungsionalisme.
Jika berbicara tentang struktur menurut Daud (Ibid.,), maka
ingatan kita sebenarnya langsung mengarah kepada susunan dari
142
bagian-bagian atau komponen-komponen yang teratur. Setiap
benda baik yang berhubungan ataupun yang tidak ada
hubungannya dengan kehidupan manusia, selalu memiliki
strukturnya masing-masing. Manusia sendiri sebagai makhluk hidup
juga memiliki struktur tubuh yang terdin dari berbagai bagian atau
organ yang sal ing berkaitan dan harus saling bekerjasama secara
teratur sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi. Demikian juga
suatu masyarakat tidak lepas dari keberadaan strukturnya yang
merupakan jaringan h ubungan kerjasama antara pribadi
perorangan yang terorganisasikan secara teratur. Struktur
masyarakat atau jaringan h ubungan kerjasama antara person yang
terorganisasikan i n i yang menjamin kelangsungan hidup
masyarakat dan bahkan yang sekaligus memberikan batas dan
identitas dari berbagai satu kesatuan sosial tertentu.
Dalam ha! inilah kemudian Radcliffe-Brown (Log.Cit, 1 90)
menyebutkan bahwa struktur sosial pada dasarnya sama dengan
kenyataan dalam setiap struktur suatu organisme. Fenomena
fisiologi dan psikologi yang terdapat dalam kehidupan organisme
bukanlah semata-mata hasil dari molekul atau atom yang
menjadikan organisme itu tetapi adalah hasil dari struktur yang
tersusun.
143
Demikianlah dalam mempelajari sruktur suatu masyarakat,
maka kenyataan-kenyataan yang terlihat dan menjadi perhatian
utama kita adalah keseluruhan dari relasi-relasi sosial yang
memang benar terjadi dalam kaitan waktu tertentu dan yang
menggabungkan antara manusia. Relasi-relasi sosial tersebut yang
dapat kita amati secara langsung merupakan kenyataan yang
berhubungan dengan berbagai bidang kehidupan manusia sehari
hari. Tetapi kita tidak berhenti pada pencatatan atas kenyataan
tersebut dalam wujud atau bentuk bagian per bagian dan yang
bersifat un ik. Untuk kepentingan i lmu pengetahuan kita hanya
berhubungan dengan gejala yang bersifat umum, dengan bentuk
yang teratur melalui proses kejadian-kejadian yang selalu berulang
kembali.
Melalui fenomena-fenomena nyata yang nampak dalam
kehidupan sehari-hari tersebut , kita harus dapat menangkap dan
memformulasikan gejala umum yang menjaring keteraturan
hubungan atau relasi-relasi sosial antara anggota masyarakat yang
secara nyata memiliki peranan sentral dalam mengintegrasikan dan
bahwa mengendalikan setiap tingkah laku dan aktivitas yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Jadi jelas bahwa usaha perumusan
struktur sosial sebagai gejala umum itu merupakan sasaran studi
yang tidak dapat diabaikan. Atau dengan kata lain keterangan-
144
keterangan tentang bentuk struktur sosial jelas merupakan hal yang
sangat diperlukan dan penting dalam rangka studi tentang
masyarakat.
Sebagaimana halnya dengan struktur organisme yang
seic.n1a hidupnya selalu berubah, maka struktur sosial pada
dasarnya pun juga bersifat dinamis dan selalu mengalami
perubahan-perubahan mengikuti perkembangan waktu . Gerakan
atau aktivitas nyata berdasarkan hubungan atau realsi sosial antara
pribadi individu dan antar kelompok ataupun antara individu dengan
kelompok selalu tidak pe�nah sama dari tahun ke tahun atau
bahkan dari hari ke hari. Anggota baru dalam masyarakat selalu
muncul setiap saat, karena adanya kelahiran atau perpindahan,
atau sebaliknya bisa juga hi lang karena adanya kematian atau
perpindahan. Dalam kehidupan masyarakat sering terjadi
perkawinan dan perceraian persahabatan sewaktu-waktu dapat
saja berubah menjadi permusuhan atau sebaliknya.
Tetapi walaupun banyak aktivitas dan peristiwa-peristiwa
nyata yang selalu berubah, bentuk struktur yang bersifat umum,
biasanya relatif tetap dalam jangka waktu yang lama atau pendek.
Struktur sosial memang bersifat supra-individual artinya tidak terikat
sepenuhnya pada individu-individu pendukungnya, meskipun tidak
berarti bahwa sama sekali tidak akan terpengaruh. Berbagai
145
gerakan dan aktivitas nyata dapat saja telah berubah banyak dalam
kurun waktu yang berbeda, tetapi bentuk umum struktur sosial atau
pola jaringan hubungan antar anggota masyarakat yang
bersangkutan tidak otomatis ikut berubah dalam tingkat kuantitas
dan kualitas yang sama. VVaiaupun misalnya terjadi revolusi atau
penyerbuan musuh dari luar sehingga timbul perubahan sosial
besar-besaran secara tiba-tiba, beberapa bentu umum struktur
sosialnya biasanya tinggal tetap masih ada yang bertahan.
Dalam analisa struktural-fungsional yang dikembangkan oleh
Radcliffe-Brown ini terlihat juga khususnya tentang mekanisme
pembentukkan struktur sosial atau jaringan relasi-relasi sosial yang
teratur dan tentang bagaimana bekerjanya dalam keh idupan
masyarakat dengan berbagai contoh misalnya melalui studi tentang
bahasa, sistem pembagian kerja, sistem ekonomi, sistem
pertukaran, dan sistem kepercayaan.
Radcliffe-Brown terlihat bertahan pada dasar-dasar analogi
struktur sosial dengan struktur organisme yang dianggapnya masih
tetap dapat dipertanggungjawabkan dari sudut pemikiran ilmiah.
Dikatakannya bahwastruktur sosial itu ditimbulkan dan
dipertahankan kelangsungannya oleh suatu kompleks mekanisme
yang melibatkan unsur-unsur moral, hukum, etiket, kepercayaan ,
pemerintahan dan pendidikan sebagai bagian-bagian yang
146
terintegrasi. Keseluruhannya dil ihat tidak dalam posisi sendiri
sendiri tetapi dalam kesatuan hubungan yang saling berfungsi
langsung atau tidak langsung dalam kerangka struktur sosial yang
teratur. Dalam beberapa contoh terungkap bahwa dengan
mempelajari struktur sosial, maka secara langsung kita akan terlibat
juga pada stud i tentang ni la i budaya sebagai fak.tor yang turut
menentukan relasi-relasi sosial yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat.
Dalam kaitannya dengan penggunaan pnnsip fungsional,
Radcliffe-Brown sering d ihubungkan dengan Malinowski . Tetapi
sebenarnya kedua hal itu masing-msing berada dalam paham yang
berbeda . Radcl iffe-Brown ( Ib id . , ) sendiri menyatakan bahwa dirinya
bukanlah pengikut dari paham fungsionalisme, bahkan ia
mengkritiknya yang dikemukakan di dalam tu lisannya " On Social
Structure " ( 1 940), yang menyebutkan bahwa al iran fungsional ini
sebenarnya tidak ada; ia merupakan suatu khayalan saja yang
diciptakan oleh Profesor Mal inowski. Kenyataan yang menuduh
saya sebagai seorang beraliran fungsionalisme tidak mempunyai
bukti sama sekali yang tegas.
Sementara itu Bronislaw K. Mal inowski (Bohannan and
Glazer,Log. Cit,293) tentang Radcliffe-Brown, mengatakan bahwa
Profesor Radcliffe-Brown , sepanjang yang dapat saya ketahui ,
147
masih mengembangkan dan memperdalam pandangan atau
pemikiran kelompok sosiologikal Perancis. Di sini ia terlihat
demikian mengabaikan individu dan menyampingkan biologi.
Apabila kedua tokoh " idea struktur dan fungsi" in i dicarikan
persamaan dan perbedaan di antara mereka, maka ada beberapa
pemahaman yang dapat d ikemukakan dalam kesempatan in i .
Dalam membicarakan tentang "fungsi" pemikiran mereka
berdua terlihat diliputi oleh konsep-konsep yang mirip satu sama
lainnya. Misalnya mereka sepakat bahwa unsur-unsur kebudayaan
maupun masyarakat ilu selalu dalam keadaan terintegrasi dan
memiliki pola hubungan satu sama lainnya secara utuh . Sekal ipun
demikian d i antara mereka masih terdapat beberapa perbedaan
misalnya dalam menafsirkan tentang konsep fungsi itu sendiri .
Bagi Mal inowski (Log. C it ,293) , institusi sosial dan budaya itu
sangat tergantung pada kebutuhan manusia. Sedangkan bagi
Radcliffe-Brown (Op.Cit. , ) , hubungan sosial dan individual itu
dipengaruhi oleh suatu prinsip sosial yang disebut struktur sosial.
lni berarti bahwa struktur sosial itulah yang mengikat unsur-unsur
kebudayaan dalam masyarakat secara keseluruhan.
Di sisi persamaan di antara Radcliffe-Brown dan Malinowski
lainnya dapat dicatat bahwa mereka adalah sama-sama melahirkan
perspektif baru dalam kajian antropologis yang cenderung bersifat
148
radikal dalam hal penggunaan teknik-teknik observasi. Seperti
temuan-temuan Radcliffe-Brown yang banyak melahirkan konsep
baru yang penting artinya bagi penelitian lapangan yang kemudian
sangat mempengaruhi teori-teori sosiologi berikutnya.
Persamaan kedua tokoh in i dikemukakan oleh Adam Kupper
(Log.C it , 5 1 ) sebagai berikut •
" . . . . . .. .. . sebenarnya Radcliffe-Brown juga orang yan g agak ekstrim yang terobsesi oleh dorongan jiwanya. Seperti halnya Malinowski , Radcliffe-Brown adalah seorang ego maniak dan dogmatis. Keduanya memiliki kecenderungan Aristokratik, bahkan mereka mempunyai persamaan dalam hal kesehatannya yang lemah dan mereka menganggapnya sebag�i nabi ."
l stilah "fungsionalisme" yang digunakan dalam bukunya
"Argonouts of the Western Pacific" ( 1 922) dan " Sexual Lives of the
Savages" ( 1 9 1 9) menurut Honigman (Op. Cit. , ) adalah usahanya
untuk menggambarkan tentang konsep kebudayaan sebagai
sesuatu yang terintegrasi, sebagai suatu sistem yang unsur-
unsurnya bersifat saling tergantung satu sama lain. Kemudian ia
menggunakan istilah-istilah itu dalam pokok pikirannya tentang
kebudayaan sebagai sesuatu alat untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia. Dalam bukunya "A Scientific Theory of Culture and
other Essays" ( 1 944) , ia mengembangkan fungsionansmenya yang
didasarkan pada teori belajar. Inti teorinya ialah bahwa fungsi dari
149
unsur-unsur kebudayaan tiada lain untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia di samping sebagi respon kultural .
Melalui istilah "needs" menurut Malinowski (Op.Cit. , ) dapat
memahami kondisi suatu sistem baik dalam organ1sme manus1a
maupun dalam konteks kebudayaan serta hubungannya baik
dengan lingkungan alam maupun organisme Dengan demikian
pendekatan fungsionalisme ini menurut Malinowski berasal dari
kebutuhan yang bersifat biologis, kndisi lingkungan serta respon
kultural baik secara universal maupun kategorial. Dalam ha! in i
Malinowski memberi contoh bahwa fungsi kelompok us1a
merupakan koordinasi ciri-ciri anatomis dan fisiologis sebagai mana
berkembang menurut proses pertumbuhan, serta perubahan ke
dalam kategori kultural.
Dengan kata lain, fungsionalisme ini menurut Mal inowski
( ibid . , ) tergantung pad a kebudayaan apa yang menjadi prinsip
penentu serta memenuhi standar kehidupan individual maupun
kolektif. Hal ini dijelaskan oleh Malinowski yaitu pada waktu ia
melukiskan sebuah sendok dan garpu, kita perlu juga memberikan
i nformasi tambahan mengena1 cara penggunaan serta
hubungannya dengan tata cara makan, meja, piring, serbet, serta
jenis masakannya.
150
Melalui contoh di alas sebenarnya Malinowski hendak
menekankan bahwa di dalam mempelajari kebudayaan serta
masyarakat kita selalu bertumpu pada tindak perilaku seseorang
atau sekelompok orang secara spesifik yang tidak terlecias dari
kaitannya satu sama lain sebagai suatu sistem sosial.
Radcliffe-Brown dalam bukunya " Structure and Function in
Primitive Society" (Log.Cit,90, 1 1 6) dalam menjelaskan tentang
"fungsi" menekankan bahwa istilah fungsi sebenarnya merupakan
kontribusi dari suatu aktivitas parsial terhadap suatu aktivitas total,
keseluruhan. Dengan kata lain aktivitas yang bersifat khusus itu
memberikan fungsi terhadap aktivitas yang bersifat lebih umum.
Melalui argumen ini Radcliffe-Brown berusaha menganalisa
kebudayaan adn masyarakat sebagai unit-unit organik dengan
unsur-unsurnya yang terintegrasi. Jadi konsep fungsi yang
digunakan pada masyarakat itu didasarkan pada suatu analog
antara kehidupan sosial dan kehidupan organis. Lebih lanjut ia
menyatakan bahwa sistem hubungan-hubungan unsur-unsur itu
berkaitan dengan struktur organik. Namun istilah "organisme" itu
sendiri tidaklah sama dengan struktur, ia merupakan sekelompok
unit (sel dan molekul) yang tersusun sebagai suatu struktur dan
proses organisme selanjutnya adalah yang dinamakan kehidupan.
Jadi proses kehidupan merupakan aktivitas dan interaksi organisme
1 5 1
di mana terdapat sel-sel yang menyatu Jadi kehidupan itu
merupakan organisme yang dilihat sebagai fungsi struklurnya
Perbedaan lain antara Radcliffe-Brown dengan Malinowski
dalam menjelaskan " idea struktur dan fungsi" dapat terlihat c'ari
usaha mereka dalam mengartikan fungsi Malinowski
menjelaskannya dengan pendekatan kebudayaan oleh karena itu
Malinowski mengatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan itu
berfungsi dalam memenuhi kebutuhan manusia atau kebutuhan
dasar manusia, di samping sebagai respon kultural. Bagi
Malinowski institusi-institusi sosial dan budaya itu tergantung pada
kebutuhan manusia. Kebutuhan dasar manusia ini diartikan , suatu
kondisi keseluruhan yang penting untuk mem pertahankan individu
dan kelompok. Dengan adanya kebutuhan dasar manusia in i
kemudian melahirkan apa yang dinamakan dengan kebutuhan
"budaya" dalam bentuk respon kultural.
Menurut Malinowski kebutuhan dasar ini dapat juga
diterapkan pada hewan, sedangkan bagi manusia segala ciri-cirinya
yang khas mampu mengembangkan kebutuhan dasar ini dalam
bentuk kebudayaan.
Sebaliknya, Radcliffe-Brown (Ibid . . ) mengatakan bahwa
perhubungan individual dan sosial itu bersifat nyata, kongkrit dan
dapat diamati. lni berarti bahwa antropologi sosial menaruh
1 52
perhatian kepada observasi, deskripsi, komparasi dan klasifikasi
yan g menurut Radcliffe-Brown bukan hanya semata-mata sebagai
suat u entitas namun juga merupakan suatu rangkaian proses
da lam kehidupan sosial Pengamatan in i berlangsung dalam
keh idupan sosial tertentu serta dalam periode tertentu. Proses itu
sendiri terdiri dari berbagai tindakan dan interaksi manusia baik
yang bertindak sebagai individu maupun kelompok.
Seperti yang telah dibahas di dalam uraian sebelumnya,
perhubungan serta interaksi d i antara individu dan kelompok
manusia in i menurut Radcliffe-Brown ditentukan atau dipengaruhi
o leh suatu prinsip sosial yang dalam hal ini merupakan struktur
sosia l .
Konsep struktur sosial in i menunjukkan pada suatu
rangkaian bagian atau unsur-unsur yang berhubngan satu sama
la in rnenjadi satu kesatuan yang lebih besar. Kita dapat berbicara
mengenai struktur sebuah rumah yang terdiri dari beberapa bagian
atau u nsur, dinding , atap, kamar, tangga dan lain sebagainya dari
s isi rumah tersebut. Demikian pula struktur dari suatu moleku l
merupakan susunan unsur-unsur atom yang berhubungan satu
sama la in . Sedangkan struktur tubuh manusia merupakan susunan
berbagai organ dan jaringan. Selanjutnya Radcliffe-Brown
mengatakan bahwa sebagai suatu bagian dari struktur sosial,
1 5 3
struktur kekerabatan terdiri dari sejumluh hubungan antara ayah
dan anak atau paman dan keponakan ha/ in i menggambarkan
bahwa struktur sosial juga dapat berlangsung menurut hubungan
antsra seseorang dengan orang la in . Struktur sosial kaum Aborigin
di Australia, didasarkan pada jaringan h ubungan genea/ogis.
Perbedaan individu dalam kelas-kelas disebabkan o/eh peranan
sosialnya dan posisi sosialnya, misalnya a ntara /aki-laki dan
perempuan, antara pemimpin dan yang dipimpin , semuanya in i
merupakan suatu bagian dari struktur sosial.
Hal lain yang penting dalam struktur sosial ada/ah sistem
sosial. Sistem sosial in i merupakan interkoneksi antara struktur
sosial dan proses kehidupan sosial. Dalam ha/ konsep proses,
struktur dan fungsi Radcliffe-Brown menjelaskan bahwa ketiga
komponen in i merupakan komponen interpretasi sistem sosial
manusia dan oieh karena itu ketiganya secara /ogis saling
berh u bungan karena fungsi selalu digunakan da/am hubungannya
dengan proses dan strukur. Ringksanya, teori struktur sosial
menurut analisa Radcliffe-Brown adalah, bahwa struktur sosial
terorganisir karen adanya prinsip-prinsip struktur internal, prinsip
struktur ini seperti ha/nya faktor-faktor genetik.
Sehubungan dengan itu, menurut Radcliffe-Brown (Ibid . , )
ada tiga tipe perkembangan struktur sosial. Pertama, struktur sosial
1 54
merupakan suatu sistem dyadik (dua pihak) yaitu hubungan orang
perorang. Kedua, sistem hubungan sosial harus dianal isa sebagai
prinsip-prinsip struktural yang membentuknya. Ketiga, institusi
manusia dapat lebih dipahami berdasarkan peranan fungsionalnya
dalam h ubungannya dengan struktur sosial itu. Berikutnya bahwa,
anggota masyarakat yang baru lahir dan yang tua, mati seperti
halnya pada struktur sosial . Oleh karena stabilitas struktur sosial
tergantung kepada integritas berbagai komponennya serta
bagairnana kemampuan setiap bagian atau unsur itu melaksanakan
tugasnya atau fungsinya dalam konteks sistem yang bersangkutan.
Suatu ha! yang agak bertentangan dengan Malinowski ialah
bahwa struktur sosial dan fungsi dari setiap institusi yang
memelihara struktur sosial itu terlepas dari manusia sebagai
indiv1du.
Perbedaan utama antara Radcliffe-Brown dengan
Malinowski secara ringkas adalah menyangkut masalah
penempatan peranan individu dalam kehidupan bermasyarakat.
Bronislaw K. Malinowski dalam anal isanya tentang masyarakat
berangkat dari individu dan menempatkan individu sebagai titik
sentral. Berbeda dengan Radcliffe-Brown, yang menganggap
bahwa kebutuhan individu ("individual needs") sebagai pangkal
tolak saja. Sistem hubungan antar pribadi lah yang merupakan titik
155
sentral dalam pendekatan fungsional terhadapa kehidupan di
dalam masyarakat. Jaringan hubungan antar pribadi-individu yang
terwujud dalam suatu sistem yang mengikat itulah yang selanjutnya
selalu menjiwai dan mengendalikan seluruh tingkah laku dan
aktivitasnya dalam kehidupan nyata masyarakat, tanpa mengingkari
adanya tanggung jawab individu di dalamnya
Pandangan pemikiran Radcl iffe-Brown di atas menemptkan
dirinya sebagai peletak dasar analisa struktural-fungsionalisme d i
l nggris. Dia sendiri selama karir akademisnya berlangsung lebih 30
tahun banyak menumpahkan perhatian dan kegiatannya pada studi
tentang "struktur sosial" serta studi perbandingan dalam rangka
pengembangan konsep dan teori-teori secara umum_ Dalam
mempelajari mengenai struktur sosial perhatiannya terutama sekali
tertuju kepada aspek " sistem kekerabatan dan prinsip keturunan"
Hal ini disebabkan karena umumnya jaringan hubungan fungsional
antara berbagai bidang kehidupan memang dengan segera akan
terlihat pada saat kita i ngin mengungkapkan pola-pola h ubungan
yang terjadi di dalam sistem kekerabatan. Dengan mengikuti
dinamika pola hubungan dalam sistem kekerabatan, bukan saja
jaringan transaksi dalam kehidupan ekonomi yang tampak tetapi
sekaligus juga akan terungkapkan proses transformasi yang terjadi
dalam kehidupan ekonomi tersebut.
156
Sebagai penganut paham empiris Radcliffe-Brown
mengatakan bahwa, tugas pokok seorang ah l i antropologi di
lapangan adalah mencatat dan mengamati secara langsung
tingkah laku dan sal ing berhubungannya orang perorang dalam
aktivitasnya sehari-hari seluruh anggota masyarakat yang
dipelajarinya.
Sebenarnya uraian apa yang dimaksud dengan struktur
sosial itu oleh Radcl iffe-Brown telah sering ia berikan dalam
berbagai tulisannya. Tetapi, suatu uraian yang jealas dan ringkas
yang di dalamnya, termuat suatu kajian dan analiasa struktural
fungsional, baru diberikannya dalam pidato pengukuhannya
sebagai ketua lembaga " Royal Anthropological Institute of Great
Britain and Ireland" pada tah un 1 939. Dalam pidatonya yang
berjudul On Social Structure" menurut Koentjaraningrat
(Log Cit, 1 80- 1 82) ia menerangkan, bahwa :
1 . Masyarakat yang hidup di tengah-tengah alam semesta
sebenarnya terdiri dari serangkaian gejala-gejala yang dapat
kita sebut sebagai gejala sosial . Demikian juga banyak hal lain
dalam alam semesta in i , seperti planet-planet yang beredar,
organisme-organisme yang hidup, molekul-molekul yang
bergerak, sebenarnya terdiri dari berbagai rangkaian gejala
a l am.
1 57
2 . Masyarakat yang hidup sebenarnya juga merupakan suatu
kelas dari gejala-gejala di antara gejala-gejala alam yang lain,
dan dapat juga dipelajari dengan metodologi yang dipergunakan
untuk mempelajari gejala-gejala alam semesta 1'1in tadi.
3 . Suatu masyarakat yang hidup merupakan suatu sistem sosial,
dan suatu sistem sosial mempunyai struktur juga seperti halnya
bumi, organisme, makhluk atau molekul .
4 . Suatu i lmu mengenai masyarakat seperti i fmu sosia l , yang
mempelajari struktur dan sistem-sistem sosial adalah sama
halnya dengan i lmu geologi yang memp�lajari struktur kul it
bumi, atau i lmu biologi yang mempelajari organisma-organisma ,
dan i lmu kimia yang mempe\ajari struktur dari molekul-molekul.
5. Suatu struktur sosial merupakan total dari jaringan h ubungan
antara individu-individu, atau lebih baik person-person dan
kelompok-kelompok person. Dimensinya ada dua, yaitu
hubungan dyadik, artinya antara pihak (yaitu person atau
kelompok) kesatu dengan pihak kedua, tetapi juga diferensial ,
antara satu pihak dengan beberapa pihak yang berbeda-beda,
atau sebaliknya.
6. Bentuk struktur sosial adalah tetap, dan kalau toh berubah ,
proses itu biasanya berjalan lambat, sedangkan " realitas
struktur sosial" atau wujud dari struktur sosial, yaitu person-
1 58
person atau kelompok-kelompok yang ada d i dalamnya, selalu
berubah dan berganti. Tentu saja ada beberapa peristiwa yang
dapat juga membuat bentuk dari struktur sosial itu mendadak
berubah, yaitu misalnya peristiwa perang atau revolusi .
7. Dalam penelitian masyarakat d i lapangan, seorang peneliti
mengobservasi wujud dari struktur sosial, tetapi ana/isanya
harus sampai kepada pengertian tentang bentuknya yang
bersifat lebih abst:ak. Bentuk struktur sosial dapat dideskripsi
dalam dua keadaan. Hal itu sama dengan cara seorang ahl i
anatomi mendeskripsi suatu organisme dalam keadaan
berhenti, menjadi morfo/ogi dari organisme itu, tetapi juga dapat
dalam keadaan berproses (hidup), menjadi fisio/ogi dari
organisma itu. Sebagai analoginya, seorang i lmu sosial dapat
mendeskripsi bentuk dari suatu struktur sosial dalam keadaan
seolah-olah berhenti menjadi morfologi sosial, tetapi juga dalam
keadaan berproses menjadi fisiologi sosia l .
8 . Seorang i lmu sosial yang mendeskripsi suatu struktur sosial
pada dimensi dyadik maupun diferensialnya, serta morfologi
sosialnya, dapat mengerti latar belakang kehidupan
kekerabatan, ekonomi rel ig i , mitologi, dan sektor-sektor lain
dalam kehidupan masyarakat yang menjadi pokok perhatiannya .
.1 59
9. Struktur sosial dapat juga d ipakai dalam kriterium untuk
menentukan batas dari suatu sistem sosial atau suatu kesatuan
masyarakat sebagai organisme. Hal itu telah menjadi masalah
bagi para ahli i lmu sosial sejak lama. Apakah Kerajaan lnggris
itu suatu masyarakat ataukah suatu gabungan dari banyak
masyarakat? Apakah suatu desa di Cina itu suatu masyarakat,
atau hanya suatu bagian saja dari masyarakat yang lebih
besar? Menurut Radcl :ffe-Brown batas jaringan-jaringan struktur
sosial itulah yang merupaka.n batas suatu masyarakat.
1 0 . l lmu Antropologi Sosial adalah salah satu i lmu sosial yang
bertugas mempelajari struktur-struktur sosial dari sebanyak
mungkin masyarakat sebagai kesatuan-kesatuan , dan
membandingkannya dengan metode anal isa komparatif untuk
mencari azas-azasnya. Dengan demikian dapat d ikembangkan
suatu klasifikasi besar dari semua jenis struktur sosial yang ada
di dunia, ke dalam beberapa tipe dan sub tipe struktur sosial
yang terbatas.
1 1 . Klasifikasi dari aneka warna gejala alam itu telah terbukti m utlak
untuk kemajuan ilmu alam. l lmu biologi baru maju pesat ketika
klasifikasi dari beribu-ribu jenis bentuk makhluk hidup di dunia
in i menjadi beberapa suku, i nfra suku, keluarga, jenis, dan ras
yang terbatas. Demikian pula i lmu antropologi sosial akan maju
1 60
dan mampu mengembangkan hipotesa-hipotesa yang setelah
diuji dapat dikembangkan menjadi kaidah-kaidah sosial, atau
"social laws", atau suatu klasifikasi besar mengenai aneka
warna struktur sosial tersusun .
D alam ha! i ni menurut Koentjaran·1ngrat ( Ibid . , ) untuk uraian
sub 1 O dan 1 1 diatas digunakan istilah "antropologi sosial " .
Radcliffe-Brown in i selalu mempergunakan istilah sangat ketat, dan
menyusui agar klasifikasi, serta generalisasi di atas sebagai
"antropologi sosial". · maksudnya agar kita dapat membedakan
dengan jelas dengan i lmu antropologi yang berusaha menerangkan
tentang asal-usul dari gejala-gejala masyarakat dan kebudayaan
manusia yang beraneka warna di seluruh muka bumi ini , dengan
analisa difusionisme. untuk i lmu antropologi jenis terakhir in i ,
Radcliffe-Brown mengusulkan agar digunakan istilah yang lama
yaitu "etnologi".
1 6 1
BAB Ill
OBYEK DAN METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian yang Digunakan
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian kualitatif. Sebagai alasan erat kaitannya
dengan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk
memperoleh pemahaman dan makna yang mendalam tentang
pergeseran peran dan fungsi lembaga adat dalam masyarakat
Minangkabau.
Untuk memperoleh tujuan dimaksud, seyogyanyalah peneliti
mengusahakan mendapatkan keterangan atau data penelitian dari
tangan pihak pertama secara langsung. Melalui metode penelitian
ini diharapkan peneliti dapat mengembangkan komponen
komponen keterangan yang analisis, konseptual dan kategoris,
serta mampu menemukan definisi situasi mengenai persepsi dan
interpretasi para responden tentang pengaruh pergeseran peran
dan fungsi lembaga adat terhadap masyarakat Minangkabau.
Karena itulah teknik penelitian yang digunakan adalah penelitian
yang melibatkan diri, berintegrasi dengan subyek dan lingkungan
yang diteliti.
162
Bentuk penelitian yang demikian ini dapat digunakan
penelitian kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Fielstead,
Brannen, Chadwick et. Al., Schwartz dan Jacobs, dalam
penjelasan mereka sebagaimana terli.fiat di bawah ini.
Filstead (1970 : 6) mengatakan bahwa melalu1 metode
penelitian kualitatif memungkinkan seorang peneliti dapat
mendekati data untuk memperoleh keterangan dari tangan pihak
pertama mengenai masalah empiris yang ditelitinya. Sehingga
pener1ti mampu mengembangkan komponen keterangan yang
analisis, konseptual dan kategoris dari data yang diperoleh, bukan
dari teknik-teknik yang dikonsepsikan, tersusun secara kaku, dan
dikuantifikasikan secara penuh yang memasukkan saja dunia sosial
empiris ke dalam detinisi operasional yang telah di susun sejak
awalnya oleh seorang peneliti.
Karena itulah menu rut Brannen (1996 : 11) dalam penelitian
kualitatif cara memperlakukan data erat hubungannya dengan
paradigma penelitian kualitatif, yaitu tidak seperti yang dilakukan
dalam penelitian kuantitatif bahwa dari awal penelitian telah
ditentukan variabel-variabel dan kategorinya, dimana variabel ini
secara bersama-sama terkait dengan bingkai hipotesis yang sering
kali ada sebelum data dikumpulkan dan kemudian diujikan
terhadap data. Sebaliknya dalam penelitian kualitatif peneliti
163
I
I
memulai penelitian dengan mendefinisikan konsep-konsep yang
sangat umum yang karena kemajuan-kemajuan penelitian
mengubah definisi tersebut hingga terbentuk suatu konsep
penelitian yang sebenarnya. Bagi pem�liti yang menggunakan
rnetode penelitian kuantitatif variabel merupakan sarana atau alat
analisis, sementara bagi peneliti yang menggunakan metode
penelitian kualitatif variabel dapat merupakan produk atau hasil
penelitian.
Pendekatan kepada data dalam metode penelitian kualitatif
di atas menurut Chadwick et.al. (1984 : 6) menunjukkan adanya
keharusan berinteraksi antara peneliti dengan orang yang sedang
diselidikinya, sehingga dapat diperoeh pemahaman tentang budaya
mereka, termasuk nilai kepercayaan, pola-pola perilaku, bahasa
dan dapat pula dirasakan atau dialami motif dan emosi mereka
terhadap perihal yang sedang diteliti oleh peneliti.
Begitu pula menurut Schwartz dan Jacobs (1979 : 235)
bahwa para peneliti kualitatif dapat memahami perilaku sosial orang
yang sedang ditelitinya, karena peneliti menemukan definisi situasi
dari para pelakunya berupa persepsi dan intepretasi mereka
tentang realitas yang sedang diteliti dan bagaimana hal ini dapat
mempengaruhi perilakunya, Untuk para peneliti sampai pada
pemahaman yang demikian ini maka peneliti haruslah mampu
164
(meskipun tidak sepenuhnya) untuk memasuki jiwa dan pribadi
orang yang ditelitinya.
Di sinilah menu rut Chadwick et.al. ( 1984 235) untuk
memahami secara tepat perspektif orang lain dalam setiap
melakukan penelitian, peneliti harus dapat melibatkan sedikit
mungkin ide-ide atau teori-teori tentang pengukuran, sebab
pendekatan yang ideal dalam hal ini adalah sebaiknyua peneliti
melibatkan diri dalam bentuk berinteraksi dengan subyek dan
lingkungan yang diteliti serta membiarkan bahasa penggambaran
dan kesadaran akan i:;ola-pola tingkah laku muncul dengan
sendirinya dari keterlibatan peneliti dengan subyek yang diteliti.
Disinilah diproleh pemahaman dan makna yang mendalam dari
penelitian kualitatif, karena penelitian mengacu kepada cara
pengumpulan data melalui pengamatan terlibat (observasi
partisipan) dan wawancara mendalam yang mengutamakan
penekanan kepada pendekatan data, dan dengan konsep bahwa
pengalaman adalah merupakan cara yang terbaik untuk memahami
perilaku sosial yang sedang diteliti.
Apabila ditambahkan penjelasan di alas dengan pendapat
Nasution (1996 : 9-11) mengenai beberapa ciri-ciri metode
penelitian kualitatif terlihatlah adanya perbedaan antara metode
penelitian ini dengan metode penelitian lain. Ciri-ciri tersebut adalah
165
sebagai berikut: (a) Sumber data ialah situasi yang wajar di mana
peneliti mengumpulkan data berdasarkan pengamatan situasi yang
wajar sebagaimana adanya; (b) Peneliti sebagai instrumen
penelitian di mana peneliti yang mengadakan sendiri pengamatan
atau wawancara tidak berstruktur, tidak menggunakan alat-alat
seperti tes dan angket; (c) Data penelitian sangat deskriptif karena
itulah penelitian ini tidak mengutamakan angka-angka dan statistik
walaupun tidak menolak data kuantitatif; (d) Mementingkan proses
dan produk di mana yang diperhatikan adalah bagaimana
perkembangan terjadinya sesuatu yangf diteliti; (e) Mencari makna
dibelakang kelakuan dan perbuatan responden yang diteliti; (f)
Mengutamakan data langsung di mana peneliti sendiri terjun ke
lapangan untuk mengadakan pengamatan atau wawancara
mendalam; (g) Melakukan triangulasi data di mana daia dari satu
pihak di eek kebenarannya melalui pihak lain gunanya untuk
mencegah adanya bahaya subyektifitas; (h) Mengutamakan
perspetif emic di mana dalam penelitian ini lebih mementingkan
pendapat responden yang memandang dan menafsirkan hal yang
diteliti dari segi pendiriannya; (i) Samplingnya Purposif dimana tidak
digunakan sampling random atau acak dan tidak menggunakan
populasi yang banyak, sampelnya biasanya sedikit dan dipilih
menurut tujuan (purposif) penelitian; U) Tujuan penelitian bukanlah •
166
hendak menguji hipotesis yang di dasarkan atas teori tertentu,
melainkan untuk menemukan pola-pola yang mungkin dapat
dikembangkan menjadi teori. Teori in·1 lambat laun mendapat bentuk
tertentu berdasarkan analisis data yang kian bertambah sepanjang
berlangsungnya penelitian karena itu yang ingin dicapai dalam
penelitian kualitatif adalah teori yang "grounded" yakni teori yang
dilandaskan atau di dasarkan atas data.
Berdasarkan uraian di alas dapatlah dimengerti mengapa
metode penelitian kualitatif tersebut digunakan dalam penelitian ini
karena menilik bahwa metode penelitian kua!itatif dapat digunakan
secara efektif dalam penelitian ini. Bisa dimengerti sebab metode
kualitatif berprinsip lebih mengutamakan data langsung dan
alamiah sifatnya dan data penentian sangat deskriptif yang
kebenarannya diperoleh melalui triangulasi data, yang menonjolkan
rincian kontekstual dengan mengutamakan pendekatan perspektif
emic terhadap para responden yang penentuan samplingnya di
dasarkan pada tujuan penelitian. Kemudian dalam penelitian
kualitatif ini tidak menggunakan hipotesis yang di dasarkan atas
teori tertentu melainkan untuk menemukan pola-pola yang dapat
dikembangkan menjadi teori yang dilandaskan atas data.
Bagaimana kemudian mengoperasinalisasikan metode
penelitian kualitatif ini ke dalam penelitian yang sedang dilakukan,
167 I
langkah-langkah teknis penelitiannya dapat di simak dalam uraian
selanjutnya.
3.2. Pemilihan Daerah Pene!itlan
Daerah penelitian ditentukan di Kecamatan Lima Kaum
Kabupaten Daerah Tingkat II Tanah Datar Sumatera Barat yang
terletak 5 km dari pusat ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II
Tanah Datar yaitu kota Batu Sangkar yang terdiri dari 8 daerah
setingkat desa yaitu Desa Balai Batu, Desa Balai Labuh Atas, Desa
Tigo Tumpuk, Kelurahan Dusun Tuo, Kelurahan Koto Gadang,
Keiurahan Kubu Rajo, Kelurahan Piliang, dan Kelurahan Labuh
Timur.
Sebagai dasar pertimbangannya adalah berangkat dari hasil
penelitian pendahuluan dan studi kepustakaan yang mendalam
telah memberikan keterangan bahwa maasyarakat Minangkabau
berasal dari Luhak Nan Tigo yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak
Agam, Luhak Lima Puluh Koto yang masing-masing luhak ini
sekarang telah berubah masing-masing menjadi Kabupaten Daerah
Tingkat II di Sumatera Barat.
Dari ketiga luhak ini dipilih untuk dijadikan daerah penelitian
yaitu Luhak Tanah Datar yang sekarang menjadi Kabupaten
Tingkat II Tanah Datar. Kemudian dari Luhak Tanah Datar ini dipilih
168 f
Nagari Lima Kaum yang sekarang menjadi Kecamatan Lima Kaum
dijadikan sebagai daerah penelitian.
Pemilihan Kecamatan Lima Kaum ini di dasarkan kepada
pertimbangan bahwa menunit Tambo cerita turun temurun
masyarakat Minangkabau yang mengatakan bahwa masyarakat
Minangkabau ini berasal dari Nagari tertua dan pertama di
Pariaman Padang Panjang yang membentuk kerajaan di Lima
Kaum yang sampai saat sekarang masyarakatnya terkenal sangat
kuat mempertahankan adat istiadatnya.
Ada beberapa kelebihan lain dipilihnya Kecamatan Lima
Kaum ini sebagai daerah penelitian apabila dipandang dari
peninggalan-peninggalan tempo dulu dalam sejarah perjalanan
masyarakat Minangkabau hingga dewasa inl, yaitu di kecamatan ini
terdapat dusun Tuo, Balai Batu dan Kubu Rajo. Dusun Tuo dalam
tradisi dan Tambo masyarakat Minangkabau disebutkan
merupakan daerah tertua di Minangkabau. Di sini ditemui batu
batikam sebagai lambang perdamaian dua orang pembawa adat,
perumus adat, dan hukum adat masyarakat Minangkabau yang
berbeda pendapat yaitu Datuk Perpatih Nan Sabantang dan Datuk
Ketemanggungan yang menetapkan pembagian kekuasaan Laras
Nan Duo, yaitu Koto Piliang (Kata-kata pilihan) dan Bodi Caniago
(Budi yang berharga).
169
Sedangkan Balai Batu merupakan suatu desa yang
beralaskan batu berbentuk lapangan, disebut berlantai batu,
berdinding angin, beratap langit, mengingatkan kita kepada tempat
pemujaan pada Zaman Megalitikum �·ang pernah terjadi dalam
sejarah masyarakat Minangkabau.
Begitu pula dengan Kubu Rajo yang merupakan desa tempat
ditemukannya prasasti Adityawarman pada abad ke-14 yang
mengungkapkan bahwa Adityawarman adalah keluarga Indra,
ayahnya bernama Adwayarman yang menamakan dirinya sebagai
raja pulau emas (Kanaka Medinindra).
Kata Luhak di atas pada hakikatnya mengandung pengertian
geografis, politik-administratif, sosial-ekonomis dan kultural.
Sedangkan kata Laras mempunyai makna hukum yaitu tata cara
adat turun-temurun yang kejelasannya dapat terlihat dalam uraian
bab berikutnya.
Kecamatan Lima Kaum sebagai daerah penelitian
merupakan daerah areal seluas 2300 Ha, berbatas ke utara dengan
kecamatan Gurun dan Cubadak, bagian selatan dengan
Kecamatan Rambatan, ke timur dengan Kecamatan Bukit Gombak
(lihat peta 2)
Kecamatan Lima Kaum dibelah dua bagian oleh jalan raya
Pang Panjang menuju Batu Sangkar yaitu melalui Kubu Raja, Desa
170
Tigo Tumpuk, Balai Batu dan Kelurahan Dusun Tuo. Kecamatan
Lima Kaum ini termasuk daerah subur dan cocok untuk pertanian
dengan ketinggian 400 M di aytas permukaan air laut, dengan
jumlah penduduknya tahun 1998 sebanyak 7. 963 orang, terdiri dari
3.811 laki-laki dan 4.152 perempuan, dengan kepadatan penduduk
rata-rata 345 jiwa/Km2
Pendidikan di Kecamatan Lima Kaum menurut carnal
setempat dapat dikatakan cukup maju. Di sini terdapat sebuah
taman kanak-kanak, 8 buah Sekolah Dasa1·, sebuah Sekolah
Menengah Tingkat Pertama, sebuah Sekolah Menengah Tingkat
Atas dan sebuah perguruan tinggi
Sejarah penamaan Kecamatan Lima Kaum erat
hubungannya dengan Nagari Lima Kaum dimana di dalam Nagari
ini terdapat adanya 5 kaum yaitu Kaum Koto Gadis, Kaum Balai
Labuh, Kaum Kubu Rajo, Kaum Balai Batu dan Kaum Piliang.
Masing-masing dari kaum ini dipimpin oleh Datuk Basa untuk Kaum
Koto Gadis, Datuk Rajo Nan Khatib untuk Kaum Balai Labuh, Datuk
Rajo Malano untuk Kaum Kubu Rajo, Datuk Rajo Panghulu untuk
Kaum Balai Batu dan Datuk Tunaro untuk Kaum PHiang.
Kelima Datuk ini disebut Datuk Nan Balimo yaitu sebagai
Panghulu Pucuk membawahi panghulu-panghulu di dalam
kaumnya masing-masing. Kelima Datuk ini dipimpin oleh seorang
171
Datuk yang bernama Datuk Bandaro Kuning yang betperan
sebagai Kepa/a Nagari Lima Kaum. Peletak dasar Nagari Lima
Kaum ini didasarkan kepada penetapan suku nan ampek yaitu
Suku Tujuh Rumah, Suku Korong Gadang, Suku Sumangek Duo
dan Suku Caniago.
Secara tradisi Datuk Nan Balimo sekaligus menjadi Ninik
Mamak pada kamanakannya dan juga berperan sebagai Panghulu
Pucuk dari kaumnya Di dalam karapatan adat Nagari mereka ini
menjadi pemuka adat Nagari. Kekuasaan yang ada pada mereka
berbentuk, wewenang tradisional yang menjadi panutannya.
3.3. Data Penelitian yang Diperlukan
Data penelitian yang diperlukan adalah data yanmg
berhunbungan dengan pergeseran peran dan fungsi lembaga adat
dalam masyarakat Minangkabau yang dikelompokkan ke dalam
data primer dan data sekunder.
Sumber data primer yang dijadikan sebagai data pokok
penelitian diperoleh melalui penelitian lapangan. Sedangkan untuk
sumber data sekunder sebagai data penunjang data primer,
diperoleh melali penelitian Studi kepustakaan.
172
Apabila sumber keterangan data primer dan data sekunder
di atas disederhanakan pengelompokkannya, maka yang terlihat
adalah sebagai berikut:
Tabel 111-2 Pengelompokan Sumber Data Penelitian
Sumber Data Primer
• Kaum Panghulu o Kaun1 Ali1n U!ama " l<-aum Cerdik Pandai o Kaum Ninik Mamak • Anggota Masyarakat lainnya �
Kepala Desa, Kepala Kelurahan dan Ca mat
Surnber Data Sekunder
• Studi Kepustakaan
-----3.4. Teknik Pengumpulan Data Penelitian
Tekn1k pengumpulan data penelitiBn d1maksudkan di sini
adalah teknik penelitian yang digunakan dalam mengumpulkan
data primer dan data sekunder. Berdasarkan metode penelitian
yang dipilih yaitu metode penelitian kualitatif, maka teknik
pengumpulan data penelitian lapangan digunakan teknik
pengamatan terlibat dan wawancara mendalam yang dilakukan
terhadap para responden yang terpilih sebagai informan penelitian
Untuk teknik pengumpulan data pengamatan terlibat yang
dimaksudkan dalam penelitian 1111 adalah sebagaimana
dikemukakan oleh Rusidi (1993: 3-4), Nasution (1996: 60-61),
Brannen (1996: 11), dan Chadwick et.al. (1984: 244) yaitu
penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti terjun ke lapangan
dengan sengaja mempertajam dan memusatkan perhatiannya
173
kepada hal-hal yang diinginkan di lapangan sesuai dengan tujuan
penelitian. Bahkan ada kalanya peneliti memaksakan diri untuk
mengamati apa saja yang menarik perhatiannya yang dianggap
berhubungan dengan perihal yang diteliti.
Dengan beradanya pener1ti di lapangan melaiui pengamatan
terlibat, peneliti dengan sendirimya memiliki kesempatan untuk
mengumpulkan data langsung dari tangan pihak pertama lebih
banyak lagi, lebih terinci dan lebih cermat lagi, yang diharapkan
dapat memberi perolehan pemahaman dan makna yang mendalam
tentang pengaruh pergeseran peran dan fungsi lembaga adat
terhadap masyarakat Minangkabau.
Ada 6 manfaat jika digunakan pemangatan terlibat ke dalam
penelitian kualitatif ini sebagaimana dikemukakan oleh Patton
(1980: 126) yaitu :
a. Dengan berada di lapangan peneliti akan lebih mampu
memahami konteks data dalam keseluruhan situasi. Di sini
peneliti dapat memperoleh pandangan yang holistik atau
menyeluruh tentang obyek yang diteliti.
b. Pengalaman langsung dalam penelitian seperti ini
memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif untuk
menemukan sesuatu yang baru. Dengan demikian peneliti akan
174
terhindar dari pengaruh konsep-konsep yang ada atau
pandangan-pandangan peneliti sebelumnya.
c. Peneliti dengan sendirinya dapat melihat hal-hal yang mungkin
kurang atau yarig tidak teramati orang lain khususnya orang
yang berada dalam l ingkungan itu sebab telah dianggap biasa.
d. Peneliti juga dapat menemukan hal-hal yang sedianya tidak
akan terungkapkan oleh responden dalam wawancara biasa
atau mendalam karena dianggap bersifat sangat sensitif atau
ingin ditutup-tutupi karena dianggap merugikan pihak lain nama
sesuatu lembaga.
e. Peneliti diharapkan dapat menemukan hal-hal yang di luar
persepsi responden sehingga peneliti memperoleh gambaran
yang lebih komperehensif.
f. Dalam lapangan peneliti tidak hanya dapat mengadakan
pengamatan saja akan tetapi peneliti dapat juga memperoleh
kesan-kesan pribadi yang mendalam misalnya merasakan
suasana situasi sosial dan lain sebagainya
Sedangkan yang dimaksud dengan wawancara mendalam di
sini adalah sebagaimana dikemukakan oleh Nasution ( 1996: 72-
73), Fielstead (1970: 6), dan Chadwick et.al (1988: 234) yaitu
berupa wawancara yang pelaksanaannya dalam bentuk pertanyaan
terbuka, tidak berstruktur dan menyelidik yang tujuannya untuk
175
memperoleh keterangan terinci dan makna pemahaman yang
mendalam mengenai pandangan orang yang diteliti terhadap obyek
yang diteliti. Apabila keterangan yang diberikan responden masih
dianggap bersifat umum, :ielum selesai dengan tujuan penelitian,
maka dalam wawancara mendalam ini peneliti kembali menggali
keterangan yang diinginkan secara lebihterinci dan mendalam lagi.
Bahkan dalam banyak ha! jika terhadap banyak sekali jawaban
responden yang menyatakan tidak tahu , peneliti dapat menggaii
kembali pertanyaan yang tidak tahu tadi hingga diperoleh
penjelasan yang diharapk1n.
Ada 5 manfaat yang dapat dijadikan dasar pertimbangan
teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam ini dipi l ih
sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian yang
menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu sebagaimana
dikemukakan Chadwick et.al. (1988: 234-235) berikut ini :
a. Peneliti dapat memperoleh kebenaran atau kepastian data atau
informasi yang ada, bukannya melalui teknik interelasi personal,
yaitu melalui hubungan tatap muka.
b. Peneliti dengan sendirinya dapat memperoleh sumber bagi
penemuan hipotesis-hipotesis, menanggapi macam-macam
interaksi sosio-personal, motivasi-motivasi human dan data
yang memberikan "insight" terhadap kepribadian responden dan
176
kelompok masyarakatnya serta kebudayaan dan adat
istiadatnya.
c. Peneliti memperoleh suatu data yang sifatnya kualitatif yang
meliputi bidang yang lebih mendalam .
d. Peneliti dapat memperoleh data primer dan data sekunder
melalui pengecekan data di lapangan maupun verifikasi data
hasil penelitian lapangan.
e. Peneliti dapat menjelaskan tujuan deskripsi, prediksi, dan
sistematika suatu penelitian lapangan.
Karena itu pengumpulan data melalui wawancara mendalam
ini sangat memberikan manfaat bagi peneliti dalam memperkaya
data atau keterangan yang telah diperoleh melalui pengamatan
terlibat, dan menyilangkannya dengan teknik triangulasi data satu
sama lain sehingga diperoleh suatu data atau keterangan yang
bermanfaat dalam mengungkapkan tentang pengaruh pergeseran
peran dan fungsi lembaga adat terhadap masyarakat Minangkabau.
Mengenai teknik pengumpulan data sekunder sebagaimana
dikemukakan sebelumnya yaitu digunakan studi kepustakaan yang
pada hakekatnya berupa telaahan terhadap beberapa literatur
yang berhubungan dengan penelitian.
177
3.5. Teknik Analisis Data Penelitian
Teknik analisis data penelitian yang dilakukan dalam
penelitian ini mengacu kepada metode penelitian kualitatif yaitu
dengan langkah-iangkah teknik analisis data penelitian melalui 3
alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, sebagaimana
dikemukakan oleh Miles dan Hube1·man (1992: 16) yaitu berupa
reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan setelah
d:lakukan verifikasi atau pembuktian. Pada tahap reduksi data yang
merupakan alur penting pertama dari kegiatan analisis data in·1,
kegiatan yang dilakukan adalah berupa proses pemilihan,
pemusatan perhatian pada penyerdehanaan, pengabstrakan, dan
transformasi data kasar yang muncul dari catatan-cacatan tertulis di
lapangan, kemudian dikelompok-kelompokan menurut kategorinya,
dan data yang telah dikategorikan kemudia diklasifikasikan untyuk
diinterpretasikan, guna memberi makan kepada usaha
pengambilan kesimpulan penelitian berikutmya setelah melalui
verifikasi.
Pada reduksi data lebih lanjut menurut Miles dan Huberman
(1992: 17) berlangsung secara terus menerus dengan kata lain
reduksi data ini dianggap merupakan suatu proses transformasi
yang berlanjut hingga laporan akhir penelitian tersusun secara
lengkap. Karena itu reduksi data bukanlah suatu ha! yang terpisah
178
dari analisis data yang lainnya, melainkan merupakan bagian dari
analisis data secara keseluruhannya. Oleh sebab itu reduksi data
merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan
mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa hingga
kesimpulan finalnya dapat ditarik setelah melalui verifikasi.
Ketika proses reduksi data inilah, dilakukan triangulasi
sebagaimana diisyaratkan dalam metode penelitian kualitatif yaitu
berupa data yang diperoleh dari satu pihak dicek kebenarannya
melalui pihak lain atau sumber lain. Misalnya dari pihak kedua,
ketiga, dan seterusnya dengan menggunakan cara yang berbeda
beda. Tujuannya adalah untuk membandingkan data atau
keterangan yang ada dengan data yang diperoleh dari pihak lain
sehingga ada jaminan tingkat kepercayaan data guna mencegah
adanya bahaya subyektifitas.
Pada tahap penyajian data yang merupakan alur penting
kedua dari kegiatan analisis data kegiatan yang dilakukan menurut
Miles dan Huberman (1992: 18) adalah menyajikan hasil reduksi
data guna memahami hal yang diteliti. Dalam penelitian ini
dimaksudkan adalah pemahaman dan maknayang mendalam
tentang pengaruh pergeseran peran dan fungsi lembaga adat
terhadap masyarakat Minangkabau. Prinsip yang terkandung di
179
dalam penyajian data ini adalah menyajikan data sebaik mungkin,
guna menghasilkan analisis data kualitatif yang valid.
Ketika dilakukan penarikan kesimpulan setelah di verifikasi
yang merupakan alur penting ketiga dari kegiatan analisis data
menurut Miles dan Huberman (1992 19) kegiatan yang dilakukan
adalah berupa penarikan kesimpulan setelah di verifikasi dari hasil
reduksi data dan penyajian data di alas. Sebenarnya bagi peneliti
kualitatif sejak permulaan pengumpulan data telah dilakukan
pencarian arti dan makna yang mendalam tentang keteraturan,
pola-pola, penjelasan, konfigurasi-koni'igurasi yang mungkin, alur
sebab akibat dan proposisi dari data atau keterangan yang ada.
Menurut Glaser dan Strauss ('1967: 37-38) dalam penelitian
yang menggunakan metode penelitian kualitatif, peneliti akan
menangani kesimpulan-kesimpulan penelitian dengan longgar,
tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan yang disediakan mula
mula melum jelas, lama kelamaan dalam perkembangan penelitian
berikutnya akan meningkat menjadi lebih r'1nci dan mengakar
dengan kokoh
Kesimpulan-kesimpulan final dari hasil penarikan kesimpulan
setelah verifikasi menurut Miles dan Huberman (1992: 37-38)
mungkin tidak muncul sampai pengumpulan data terakhir, tetapi
tergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan catatan lapangan,
180
pengkajiannya, penyimpanan dan metode pencarian ulang yang
digunakan serta kecakapan sipeneliti. Penarikan kesimpulan yang
demikian hanyalah sebagian dari satu kegiatan konfigurasi yang
utuh setelah diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi di
sini mungkin sesingkat pemikiran kembali yang melintas dalam
pikiran penganalisis selama ia menulis, suatu tinjauan ulang pada
catatan-catatan lapangan, atau mungkin menjadi begitu seksama
dan memakan tenaga dengan adanya peninjauan kembali serta
tukar pikiran di antara teman sejawat untuk mengembangkan
kesepakatan "intersubyektif' atau juga upaya-upaya yang luas
untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data
yang lain. Singkatnya makna yang muncul dari data itu harus di uji
kebenarannya, dan kecocokannya, yakni yang merupakan
validitasnya. Jika tidak demikian yang menjadi kenyataan nantinya
adalah berupa cita-cita yang menarik mengenai sesuatu yang
terjadi tetapi tidak jelas kebenaran dan kegunaannya.
Bagaimana menyerdehanakan pemahaman bentuk proses
teknik analisis data penelitian yang dideskripsikkan di atas dapat
disimak bentuk atau penjelasannya dalam gambar di bawah ini.
181
Gambar 111-1 Komponen-komponen Analisis Data
Pcngu1npulan data
f{cduksi data
l'enyajian data
Kesimpulan-kesimpu 1 an: ) Penarikm1/\lerifikas�
---··---------------
Dalam pengertian ini analisis data kualitatif merupakan
upaya berlanjut,berulang dan terus menerus. Karena itu dalam
reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi
menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai
rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul, namun
dua hal lainnya itu senantiasa merupakan bagian dari lapangan.
Proses seperti ini sesungguhnya tidaklah lebih rumit jika
berbicara secara konseptual dari jenis-jenis analisis yang
digunakan oleh para peneliti kuantitatif. Merekapun sebenarnya
juga harus terpaku perhatiannya pada reduksi data (menghitung
182
mean, standar deviasi dan indeks), penyajian data (tabel korelasi,
catatan angka-angka regresi) dan penerikan kesimpulan/verifikasi
( derajat signifikansi, perbedaan eksperimental/kontrol). Soalnya
ialah bahwa kegiatan itu dilakukan melalui batasan-batasan yang
jelas, metode yang sudah dikenal, patokan-patokan yang memberi
pedoman dan kegiatannya lebih berupa peristiwa berurutan jika
dibandingkan dengan kegiatan yang berurutan atau siklus.
183
BABIV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Masyarakat. Minangkabau Tradisional
Masyarakat Minangkabau serumpun dengan bangsa Melayu
dalam wilayah Malayo-Polinesia yang merupakan salah satu dari
140 kumpulan etnik yang terbesar di alas 3000 pulau yang ada di
Indonesia.
Kata "Malayu" sendiri menurut Muhammad Hussein Nainar
berasal dari bahasa Tamil yaitu "Malai" yang artinya gunung,
kemudian kata " Malai" ini dalam bahasa Tamil digunakan pula
untuk menyebut suatu suku bangsa pegunungan dengan kata
"Malai-Ur" fonoti. Berdasarkan hukum bunyi suara, kata "Malai-ur"
ini berubah menjadi "Malayu". Kata " Malai" ini berkaitan erat
dengan bahasa "Malajalam" yaitu bahasa yang digunakan suku
bangsa Dravida yang mendiami daerah pegunungan di Malabar,
dan bahasa ini merupakan satu di antara bahasa-bahasa daerah
yang terdapat di India. Terdapat kesamaan antara masyarakat
Minangkabau dengan masyarakat Malabar di India dalam hal
pusaka turun kepada kamanakan. Pernyataan ini dikemukakan
oleh Prof. Dr. Muhammad Hussein Nainar Guru Besar dari
Universitas Madras yang pernah berkunjung ke Minangkabau. '
184
Nainar sendiri adalah berasal dari Malabar di kaki
pegunungan Dekkan (India). Sementara itu orang Minangkabau
menyebut pula bahwa penduduk Malabar sebagai "urang Malabari",
ini rr>enunjukkan bahwa terdapat hubungan antara masyarakat
Minangkabau dengan masyarakat Malabar di India pada masa lalu.
(Panghoeloe, 197142-43)
Terdapat beberapa pendapat tentang asal kata
Minangkabau, seperti yang dikemukakan Hanafiah (19?0: 18-19)
yang menyebutkan bahwa kata Minangkabau di dalam "Tambo"
berarti "menang adu kerbau". Kisahnya dikemukakan sebagai
berikut :
"Dahulu kala dalam zaman Majapahit, datang orang dari Jawa dengan beberapa buah kapal memudik sungai Batang Hari dan akhirnya sampai di Pagar-ruyung, ibu negeri kerajaan M1nangkabau. Mereka membawa seekor kerbau yang sangat besar, sedepa panjang tanduknya. Seampainya di sana diajaknya raja untuk mengadu kerbau tersebut Taruhannya dijanjikan, jika ia kalah akan diserahkannya kapal-kapalnya dengan segala is:nya. Jika orang Pagarruyung kalah, dimintanya negeri sebagai taruhannya. Adapun orang Pagarruyung tidak mempunyai kerbau sebesar itu. Para cerdik pandai lalu bermusyawarah, hasil putusan musyawarah adalah menerima tantangan dari orang Jawa tersebut Maka dimintanya janji tiga hari. Dengan cara apa akan di lawan kerbau besar dari Jawa tersebut sangat dirahasiakan. Janganlah lawan akan tahu, anak negeri sendiri tidak dapat menerka. Tiga hari telah berlalu balai urung telah penuh sesak oleh manusia yang akan menyaksikan pertandingan itu. Kerbau besar lawan telah ditengah medan, akan tetapi kerbau orang Pagarruyung belum tampak. Sedang orang menunggu-nunggu muncullah seekor anak kerbau. Ketika dilihatnya seekor kerbau besar ada di tengah med an, 'ia.
185
datang berlari ke sana dan terus menyeruduk-nyeruduk ke bawah perut kerbau orang Jawa tersebut. Tiba-tiba kerbau besar itu kelihatan makin lama makin payah dan akhirnya ia jatuh terguling, perutnya terburai keluar dan iapun matilah. Orang Minangkabau menang bertanding dan segala kapal lawan beserta segala isinya dapat olehnya. Adapun rahasia anak kerbau itu adalah karena orang Pagarruyung tidak mempunyai kerbau sebesar dari Jawa itu, dicari!ah seekor anak kerbau yang sedang "erat menyusu". Tiga hari lamanya anak kerbau itu tiada dibiarkan menyusu pada induknya. Kemudian pada hidungnya diikat sepotong besi yang tajam bercabang tiga, sebagai cula pada badak. Ketika ia dibawa ke tengah medan dan dilihatnya ada seekor kerbau besar di sana sangkanya induknya juga, dan karena perutnya sangat lapar. la terus menyeruduk perut kerbau besar itu. Oleh tusukan besi yang runcing itu perut musuhnya itupun tembus-tembus dan iapun mati."
Cerita dalam Tambo di atas mungkin menyenangkan apabila
d1dengar orang Minangkabau tetapi isinya tidaklah sesuai dengan
akal. Seperti dongeng-dongeng yang hidup dalam tradisi
rnasyarakat Minangkabau dimana dari dongeng itu yang diambil
adalah kias dari cerita tersebut. Dalam Tambo di alas maka kias
yang tersiral sebenarnya adalah menceritakan tentang perihal
kecerdikan orang Minangkabau.
Cerita yang sama sifatnya terdapat juga dalam tulisan
Sango (1954: 13-14) tentang "Tambo Alam Minangkabau" yang
mengatakan bahwa :
"Pada suatu waktu datanglah musuh dengan beberapa perahu hendak menaklukkan negeri. Nahkodanya memperlihatkan sepotong "kayu tataran naga" yang sama besar dan rupanya dari ujung ke ujung dan menyuruh terka pemimpin orang Minangkabau untuk mengatakan mana
186
yang pangkal dan mana yang pucuknya. Segala isi kapal dijadikan taruhan. Cati Bilang Pandai Reno menyediakan tali yang persis sama panjangnya dengan kayu nakhoda tersebut. Tali ini dilipat dua sama panjang supaya dengan mengukurkannya pada kayu itu dapat dipastikan letak gar"rs tengahnya. Di tempat itu kayu diikat dan digantung, bagian yang lebih berat menurun dan itulah pangkalnya. Dengan demikianlah terhindar negeri dari penjajahan dan sekaligus mendapatkan isi dari kapal-kapal musuh tersebut".
Sementara itu Van Der Tuuk (Sango, 1954 19-20) seorang
ilmuwan Belanda yang mempelajari sejarah Sumatera mengatakan
bahwa Minangkabau sebenarnya berasal dari kata "pinang-kabu"
yang berarti tanah asal.
Dalam buku Tuanku Rawo· (Sango, 1954:20), menyebutkan
pula bahwa asal nama daerah ini adalah sebagai berikut :
"Di dekat Batusangkar terletak satu kampung bernama Minangkabau. Dalam tahun 1191, jadi jauh sebelum ada kontak dengan raja Hindu-Jawa terjadi disitu pertempuran antara tentara kerajaan Darmasraja dengan tentara kerajaan Pasai. Tentara penyerbu dipukul mundur. Nama Minangkabau atau Minagkabuah inilah yang kemudian terdaftar· sebagai jajahan kerajaan Majapahit. Akhirnya seluruh daerah ini dinamakan Minangkabau".
Dalam buku "Kesusasteraan Lama Indonesia" tulisan Zuber
Usman (1961 :34) tentang nama Minangkabau menyebutkan
sebagai berikut :
"Pada hikayat raja-raja Pasai bagian akhir tersebut ratu Majapahit menyuruh Patih Gajah Mada pergi menaklukan Pulau Percak dengan membawa seekor kerbau hikmat yang akan diadu dengan kerbau Patih Sewatang, Perdana Menteri kerajaan Minangkabau. Armada Gajah Mada masuk dari Jambi dan sampai ke perbatasan Minangkabau, Patih
. Sewatang mendapat aka! yang dikemukakannya bukan
187
kerbau yang sebanding dengan kerbau Gajah Mada, melainkan seekor anak kerbau yang telah beberapa hari dibiarkan tidak menyusu pada pada induknya. Ketika anak kerbau itu dilepaskan segera ia mengejar kerbau Gajah Mada yang besar itu, yang telah dilepaskan terlebih dahulu segera menyeruduk ke bawah kerampang kerbau itu dan tak dilepaskannya lagi. Karena kesakitan kerbau Majapahit lari kian kemari akhirnya rebah lalu mati.
Panghoeloe (1971 :41) menjelaskan pula tentang asal kata
Minangkabau yang menyebutkan bahwa kata Minangkabau yang
menyebutkan bahwa kata Minangkabau erat hubungannya dengan
kata "berminang". Kata ini dihubungkan dengan kisah adu kerbau
sebagaimana dikemukakan dalam Tambo. Dimana anak kerbau
diberi berminang yaitu menyerupai tanduk yang tajam, ketika ia
dilepas di medan laga dalam kondisi kehausan setelah beberapa
hari tidak diberi susu induknya, ia lalu mengejar dan menyeruduk
perut kerbaubesar dari Jawa itu hingga keluar isi perutnya.
M. Joustra (Panghoeloe, 1971 :41-42) mengatakan bahwa
keterangan lain seolah-olah nama Minangkabau ada sangkut
pautnya dengan "Minang-Kabau" atau dengan "Mainang-Kabau".
Mainang-Kabau maksudnya memelihara kerbau. Mainang asal dari
"inang", kata ini dijumpai pada kata kembar misalnya "inang-
pengasuh", "Mak lnang Pulau Kampar" dan lain-lain.
Sementara itu, Sutan Muhammad Zain
(Panghoeloe, 1971 :42) berpendapat bahwa "Minangkabau" berasal
188
dari "Binanga Kanvar'', yang artinya muara kanvar. Keterangan ini
bertambah kuat oleh karena adanya musafir dari Cina yang
bernama Chan Ju Kua pada abad ke-13 pernah berkunjung ke
muara kanvar yang menerangkan bahwa di sana ditemuinya suatu
bandar yang satu-satunya paling ramai di pusat Sumatera.
Keterangan lain yaitu dari Muhammad Hussein Nainar
mengatakan bahwa (Panghoeloe, 1971 :42-43) :
"Sebutan Minangkabau berasal dari "Menon Khabu" yang artinya tanah pangkal, tanah mulia, atau tanah permai. Tanah tempat berdiam dan berusaha yang lama kelamaan bertambah luas seperti tersebut dalam Tambo "alam bakale baran", anak buah baka kambangan sampai terbentuk daera.h yang disebut "saedaran gunuang marapi", salareh batang bangkaweh" disebut Minangkabau Luhak Nan Tigo sampai ke tanah yang membentang luas di Sumatera Tengah, di lingkungan gunung dan bukit, dihiasi danau dan sungai, yang pinggangnya dilintasi khatulistiwa, disebut Minangkabau jua".
Dengan demikian sampai sekarang pemahaman kata
Minangkabau itu sendiri tidak ada satu kepastian yang dapat
menetapkan pilihan yang jelas dan tepat tentang asal kata
Minangkabau tersebut.
Hal demikian bisa terjadi karena masyarakat Minangkabau
tidak memiliki tradisi untuk mencatatkan peristiwa-peristiwa sejarah
atau babad tentang masyarakat mereka. Di samping itu masyarakat
189
Minangkabau tidak memiliki satu sistem tulisan sendiri sebelum
kedatangan Islam ke lingkungan mereka.
Tulisan Arab dan sistem kalender baru diperkenalkan
setelah masuknya dan berkembangnya islam di Sumatera pada
akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17. Barulah melalui sistem
tulisan Arab digunakan oleh masyarakat Minangkabau untuk
mencatat sejarah pada masa abad ke-16 dan setelahnya.
Walaupun masyarakat Minangkabau tidak begitu cenderung
untuk mencatatkan sejarah, me�eka mempunyai niat yang kuat
untuk mengetahui asal usu! suku bangsa mereka dan bentuk ideal
masyarakat mereka. Mereka tidak memiliki sejarah mengenai
pemerintahan, atau babad-babad tentang masyarakat dan adat
suku bangsanya, kalaupum ada hanyalah berupa berbentuk yang
dinamakan Tambo yaitu cerita mengenai masa lampau atau
hisioriografi tradisional masyarakat Minangkabau. Tambo ini pada
mulanya diturunkan secara lisan dan dalam perkembangan
kemudian ditulis dalam tulisan Jawi yang memuat sekumpulan
cerita mengenai asal-usul dan hukum adat masyarakat
Minangkabau. Pada dasarnya Tambo ini bermula dengan
menceritakan pembentukan Alam Minangkabau.
Menurut Abdullah (1972:35) dalam Tambo yang
menceritakan tentang pembentukan Alam Minangkabau pada
190
mulanya yang ada hanyalah Nur Muhammad, dan melaluinya Allah
menciptakan alam, langit dan bumi. Dari Nur ini terbitnya malaikat
dan Nabi Adam A.S., dan putra-putrinya turun ke dunia yang pada
masa itu masih lagi melalui proses kesempurnaannya.
Nabi Adam dan Hawa mendapat 39 putra-putri. Putra
putrinya mengawini satu sama lain, kecuali putra yang bungsu.
Beliau dirancangkan supaya mengawini seorang bidadari dari
surga, karena Allah mengir:ginkan keturunannya menjadi raja di
dunia ini. la diberi nama lskandar Zulkarnaen yang memiliki
kerajaan di timur dan barat, di utara dan selatan (Sango,1954:14).
lskandar Zulkarnaen mendapat tiga putra, yang sulung
dinamakan Maharaja Alif, yang tengah Maharaja Depang dan yang
bungsu Maharaja diraja. Setelah ayahandanya mangkat ketiga
beradik itu berlayar ke timur ketika mereka sampai di Langka Puri
(Srilanka) terjadilah perselisihan paham diantara mereka mengenai
siapa yang sepatutnya mewarisi mahkota yang ditinggalkan
Baginda lskandar Zulkarnaen. Pada ketika terjadi perselisihan itu
mahkota kerajaan dari ayahandanya terlepas dari tangan ket'1ga
adik beradik tadi dan jatuh ke da\am laut.
Catik Bi\ang Pandai, seorang pengikut maharaja diraja
membuat satu mahkota tiruan, ia menasehatkan rajanya agar
191
menuntut kekuasaannya dengan mengatakan bahwa 1a telah
mendapatkan kembali mahkota yang jatuh ke laut tersebut.
Setelah soal kekuasaan dapat diselesaikan ketiga adik
beradik ini berpisah dan pergi ke tempat mereka yang baru rnasing
masing rnenjadi raja dan bersaing satu sama lainnya. Maharaja Alif
kembali ke Rum (negeri Turki sekarang), Maharaja Depang pergi
ke negeri Cina, dan maharaja diraja ke pulau Percak atau Andalas
(Sumatera).
Ketika setelal1 menjelajah beberapa negeri rombongan
maharaja diraja akhirnya sarnpai ke tempat yang paling tinggi di
pulau Percak yaitu puncak Gunung Merapi. Di sana kapal mereka
karam, rnahadiraja mengumurnkan barangsiapa yang dapat
memperbaiki kapalnya akan dikawinkan dengan putrinya. Kapa! itu
berhasil diperbaiki kernbali.
Sementara itu empat pengiring maharaja diraja yang
bergelar kucing siang, harimau campo, kambing hutan dan anjing
mualim harnil dan mereka semua melahirkan anak perernpuan.
Maharaja diraja mengambil anak-anak mereka sebagai anak
angkat. Setelah rnereka dewasa anak-anak gadis ini dikawinkan
dengan para tukang yang memperbaiki kapal yang karam itu sesuai
dengan janji rnaharaja diraja.
192
Setelah beberapa lama air lautpun surut, perlahan-lahan
tanah meluas, dan maharaja diraja serta pengikutnya turun dari
puncak Gunung Merapi. Di kaki gunung itu mereka membuka
negeri, lama kelamaan penduduk bertambah, dan akhirnya
membentuk nagari Pariangan Padang Panjang.
Kemudian hukum dan peraturan dibentuk serta ketua
ketuapun dipilih. Dalam hal ini Datuk Katemanggungan dan Datuk
Perpatih Nan Sabatang sebagai keturunan maharaja diraja
memberlakukan dua jenis tradisi politik dan perundang-undangan
yaitu tradisi Koto-Piliang (kata-kata pilihan) dan Bodi-Caniago (budi
yang berharga).
Koto-Piliang dipercaya lebih autokratik dalam melaksanakan
adat dibandingkan dengan Bodi-Caniago, karena memiiiki satu
hirarki kewibawaan, sebagai contoh bahwa ketua-ketua dari
kumpula zuriat (keturunan) garis ibu dalam tradisi Koto-Piliang
disusun secara hirarki menurut tingkatan masing-masing yang
dimulai dari ketua kumpulan zuriat yang tertinggi tarafnya untuk
membe.ntuk lembaga musyawarah terakhir di sebuah nagari
Hal ini berbeda dengan Bodi-Caniago yang lebih demokratik
di mana pada tradisi Bodi-Caniago tidak terdapat perbedaan antara
ketua-ketua kumpulan zuriat dan keputusan terakhir yang dibuat
oleh mereka ketika melakukan musyawarah pada lembaga
193
musyawarah dari semua ketua kumpulan zuriat. Dengan semakin
bertambahnya jumlah penduduk, maka nagari baru pun dibuka,
yang lama kelamaan alam itu dipenuhi oleh manusia dan
terciptalah Alam Minangkabau yang termasyhur itu
(Sango, 1954 21-22).
Alam Minangkabau ini terbagi kepada dua Luhak
sebagaimana telah diuraikan di Bab I yaitu Luhak Nan Tigo dan
Rantau. Luhak Nan Tigo terdiri dari Luhak Tanah Datar, Luhak
Agam dan Luhak Lima Puluah Koto. Rantau yang menjadi batas
dunia luar dan melaluinya ide-ide baru diperkenalkan kepada Alam
Minangkabau.
Tanah Datar diibaratkan sebagai abang sulung kepada tiga
tiga luhak Luhak tersebut, mengikut sejarahnya ialah merupakan
pusat terpenting dari Alam Minangkabau (Sango, 1954:22).
Pariangan Padang Panjang, merupakan nagari yang
pertama terletak di Tanah Datar, di kawasan ini terletak istana
diraja dan tempat tinggalnya bangsawan-bangsawan penting yang
ternama seperti Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Di Pagarruyung,
Raja Adat di Buo, Raja lbadat di Sumpur Kudus, dan Balai Basa
Nan Empat (de Jong, 1952: 100-104).
Keadaan·keadaan di sekitar pembentukan kerajaan
Pagarruyung tidaklah begitu jelas. Dipercayai Adityawarman
194
sebagai seorang raja yang beragama Hindu dalam abad ke-14,
besar kemungkinannya telah menjadi raja Minangkabau yang
pertama dan juga yang mula-mula sekali dihubungkan dengan
"
istana Pagarruyung. Adityawarman telah meninggalkan batu
bersurat yang diperkirakan antara 1347 dan 1375 yang
menjelaskan adanya pertalian darah antara Adityawarman dengan
raja-raja kerajaan Dharmasraya di Sumatera (Wolters, 1970:58).
Baginda dibesarkan di istana Majapahit di Jawa Timur, tetapi
pada pertengahan abad ke·-14 kembali ke Sumatera (de
Jong, 1952:95-96). Dalam tahun 1370-an, raja Minangkabau· ini,
yang pada masa itu masih di bawah kekuasaan Majapahit,
membebaskan diri dari kekuasaan raja Jawa (Wolters, 1970:62)
Jikalau benar Adityawarman itu sebagai raja yang pertama di
kerajaan Pagarruyung, maka kerajaan Minangkabau itu telah
berlangsung selama kira-kira 450 tahun, yang berakhir pada awal
abad ke-19 ketika gerakan pembaharuan oleh golongan Islam
fanatik, "Padri" yang memusnahkan keturunan terakhir raja
Minangkabau.
Walaupun sejarahnya yang panjang banyak yang
berpendapat bahwa raja-raja Minangkabau tidak mempunyai
kewibawaan yang teguh atau kuasa terhadap Alam Minangkabau,
terutamanya terhadap kawasan pedalaman (Loeb, 1972: 102). '
195
Raja-raja itu nampaknya dihormati dan disanjung, tetapi tidak lebih
dari itu (Kato, 1982:21 ) . G.D. Willinck mengatakan bahwa raja Minangkabau adalah
"raja termiskin di dunia", kabarnya baginda tidak memiiiki tanah
yang luas, tidak pernah atau tidak berupaya memungut cukai dari
kampung-kampung pedalaman, dan tidak mempunyai laskar atau
prajurit (Willicnk, 1909:22). Fungsi utama raja berkait dengan darek
ialah untuk bertindak sebagai pengadil dalam kasus-kasus dak
sebagai pengadil dalam kasus-kasus perselisihan dan peperangan
di antara negeri (de Jong, 1952: 107).
Ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa raja mungkin
banyak sedikitnya mempunyai kekuasaan politik dan pengawasan
keuangan terhadap rantau terutamanya atas pelabuhan-pelabuhan
yang menjadi pusat perdagangan (Wolters, 1970:90).
Beberapa Tambo menyebutkan bahwa tanggung jawab
pelabuhan-pelabuhan rantau terhadap Pagarruyung sebagian
besarnya dalam bentuk cukai barang-barang, cukai berlabuh dan
beberapa jenis cukai jualan dan cukai rumah (Sango, 1954:77). Di
samping itu raja di Pagarruyung ini menerima upeti dari Siak,
Batang Hari, Palembang, Jambi dan lndragiri semuanya adalah
merupakan pelabuhan di Sumatera bagian Timur (Kato, 1 982:22-25)
196
Raja Minangkabau mempunyai hubungan istimewa dengan
raja-raja bertaraf rendah yang berada di pelabuhan-pelabuhan
yang menjadi pintu masuk ke Alam Minangkabau. Raja-raja
bertaraf rendah ini biasanya adalah ahli keluarga di raja yang
diangkat oleh istana Pagarruyung, atau b·1sa juga petinggi kerajaan
yang diangkat oleh raja. Misalnya raja Pulau Punjung adalah
seorang petinggi kerajaan yang diangkat oleh istana, sementara itu
raja Sungai Pugu adalah raja yang memiliki pertalian keluarga
dengan raja di Pagarruyung (Sango, 1954:93).
J;<aja-raja taraf rendah yang agak terkemuka diantaranya
adalah Padang Nunang, Parit Batu (keduanya di utara), Air Bangis,
Tiku, Pariaman, Bandar Sepuluh, lndrapura (semuanya di Pantai
Baral), Sungai Pagu, Pulau Punjung, dan Siguntur (semuanya di
selatan). (Kato, i 982:22-23)
Walaupun kepentingan ekonomi dan politik raja
Minangkabau dipersoalkan, akan tetapi dalam penyatuan Alam
Minangkabau oleh Josselin de Jong dikatakan bahwa tugas-tugas
yang diemban oleh raja sebagian besarnya bersifat kudus. Baginda
memberikan kedaulatan kepada negeri itu dan kesatuan Alam
Minangkabau yang seluruhnya bergabung kepada kerajaan di
Pagarruyung. Peranan simbolik raja selalunya terjelma dalam
197
usaha untuk menentukan luasnya Alam Minangkabau. (de
Jong, 1952 108)
Mengikuti Tambo yang dikemukakan oleh Sango (1954:95)
yang mengatakan bahwa :
"Semenjak akhir abad ke-19 orang-orang Balak tel ah banyak ke selatan memasuki kawasan Minangkabau hingga ke Rao dan kadangkala sampai ke Lubuk Sekaping (lihat peta 2). Yang Dipertuan Raja Minangkabau memerintahkan penduduk Rao agar menghalau keluar orang Batak tetapi tidak berhasil, akhirnya wakil dari Rao tiba di Pagarruyung untuk menyatakan kesusahan mereka kepada raja. Tindakan raja berikutnya ialah mengantarkan seorang ahli keluarga diraja (yang kemudiannya menjadi Yang Dipertuan Padang Nunang) ke Rao, setelah melantiknya sebagai raja kawasan perbatasan utara kerajaan Minangkabau. Kawasan-kawasan perbatasan seperti Kepenuhan, Tambosai/Rambah, dan Rokan IV Koto di bagian timur, juga turut menerima keluarga bangsawan sebagai raja setelah mereka memohonnya dari istana Pagarruyung.
Pada tahun 1677 tiga wilayah Minangkabau di Barat
Semenanjung Tanah Melayu (Rembau, Sungai Ujong, dan Naning)
memohon ke Pagarruyung agar mengirim seorang raja untuk
menjadi ketua mereka di sana. Hasil permohonan ini maka
dikirimlah oleh raja Minangkabau sebagai raja di sana yaitu raja
Ibrahim. (Andaya, 1975: 109)
Kemungkinan besar pelabuhan-pelabuhan rantaulah yang
menjadi sumber utama pendapatan kerajaan pada masa itu.
Pelabuhan-pelabuhan ini juga penting kepada Alam Minangkabau
karena ia adalah garis batas yang memisahkan Alam Minangkabau
198
dengan dunia luar. Dengan mengirim atau menempatkan keluarga
diraja dan dilantik sebagai wakil kerajaan Minangkabau di daerah di
luar kerajaan merupakan strategi pemerintahan kerajaan
Minangkabau pada masa itu.
Menilik sejarah kerajaan Minangkabau ini menunjukkan
bahwa kerajaan ini telah berperan luar biasa dalam dunia Melayu
Berbeda dari raja-raja Melayu lainnya yang selalu meletakkan
kedudukan kerajaan di muara-muara sungai besar, sementara
kerajaan Minangkabau menempatkan pusat pemerintahannya di
daerah pedalaman. Dari beberapa segi raja Melayu itulah yang
menjadi tonggak penopang negeri kerajaan Minangkabau. Karena
itu terdapatlah satu ungkapan Melayu yang mengatakan :
Adat dipegang oleh raja, Dan rajalah yang beradat, Ada raja, adat berdiri, Hilang raja , adatpun mati.
Rumusan seperti di alas tidak terdapat dalam masyarakat
Minangkabau, karena Yang Dipertuan bukanlah Alam Minangkabau
tetapi hanya sebagian dari itu. Raja tidak menentukan kerajaan
tetapi ia menentukan Alam Minangkabau. Sejarah Minangkabau
bukanlah satu silsilah raja-raja, tetapi Tambo yang merangkum
cerita mengenai asal mulanya Alam Minangkabau dan
199
perkembangannya berikut hukum dan peraturan yang berkaitan
dengan tata susila dan batasan-batasan Alam Minangkabau ini.
Menilik dan melanjutkan uraian di atas maka dapatlah
dikatakan bahwa sejarah masyarakat Minangkabau dapat dibagi
dalam beberapa zaman yaitu sebelum kedatangan raja-raja Hindu
Jawa dalam abad ke-13, kemudian zaman raja-raja kurang lebih
antara tahun 1275 sampai abad ke-15 yang berpusat di
Pagarruyung, masuknya agarna Islam di Minangkabau, masa
penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, masa kemerdekaan
Negara Republik Indonesia.
Pada zaman sebelum kedatangan raja-raja Hindu dalam
abad ke-13 keadaan dalam periode ini tidak banyak diketahui,
masyarakat hidup menurut paham demokrasi, mungkin
peninggalan sejarah dalam bentuk area dan batu berlulis yang
belum semuanya dipelajari dan begitu pula dengan penemuan
archeologi baru yang kiranya dapat mengungkapkan apa yang
sekarang masih gelap dan samar-samar tentang perihal
masyarakat Minangkabau.
Zaman raja-raja yang berpusat di Pagarruyung
menggambarkan adanya raja maka pemerintahan bersifat
aristokrasi, bertentangan dengan cara hidup masyarakat
sebelumnya. Mungkin diwaktu itu mulai dan berkembang dualisme
200
yang terkenal sebagai adat Koto Piliang yang mengaku raja yang
berdaulat dan Bodi Caniago yang mewujudkan kedaulatan rakyat.
Mulai abad ke-16 sampai ke-19 raja tidak lagi berkuasa penuh, ia
hanya menjadi simbol negara. Mungkin sekali dalam periode ini
berlangsung proses perdamaian antara Bodi Caniago dan Kolo
Piliang.
Pada pertengahan abad ke-15 agama Islam (Syiah) mulai
masuk ke Minangkabau. Pada tahun ± 1581 Sultan Alif,
merupakan raJa Pagarruyung yang pertama menganut agama
Islam.
Pada zaman Paderi (1803-1821) penyebaran agama Islam
diintensifkan, pengaruh adat dan penghulu diperkecil dan
diusahakan supaya yang berlaku hanya hukum sjara". Sesudah
perang Paderi berakhir (1821-1837) maka mulailah ikhtiar
penyesuaian adat dengan ajaran agama Islam, sehingga muncullah
dalil yang berbunyi "adat bersandi sjara", sjara' bersandi
Kitabullah".
4.2. Lembaga Adat Minangkabau
Uraian dan penjelasan di bawah ini didasarkan alas hasil
penelitian lapangan yang dilakukan di Kecamatan Lima Kaum
Kabupaten Daerah Tingkat II Tanah Datar Sumatera Barat dengan
201
menggunakan teknik pengumpulan data melalui pengamatan
terlibat, wawancara mendalam dan teknik triangulasi data kepada
para responden yang ditentukan yaitu beberapa orang kaum
Panghulu, alim ulama, cerdik pandai, ninik-mamak, beberapa
anggota masyarakat lainnya, kepala desa, kepala kelurahan, dan
camat. Pendapat mereka ini dirangkum dalam uraian dan
penjelasan sebagaimana terlihat di bawah ini. Ketika penyajian
tulisan ini ditemukan uraian dan penjelasan tanpa adanya sumber,
maka sebenarnya tulisan tersebut merupakan hasil dari nara
sumber tersebut di atas, untuk itu baiklah dilihat' tulisan di bawah
ini.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan diperoleh
pemahaman bahwa yang dimaksudkan dengan lembaga adat
Minangkabau itu meliputi rumah gadang, mamak kaum atau
mamak suku, /embaga kerapatan adat Minangkabau dan nagari.
Lembaga adat Minangkabau ini merupakan /embaga yang
mengatur tata dan kelakuan serta hubungan sosial berikut aktivitas
aktivitas kehidupan dalam lingkungan masyarakat Minangkabau.
Pada lembaga adat Minangkabau ini terdapat norma-norma atau
peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan sosial dan budaya
masyarakat Minangkabau. lni terlihat seperti adanya kelarasan
"Bodi-Chaniago" dan "Koto-Piliang", yang diciptakan oleh pendiri
202
adat dan budaya masyarakat Minangkabau yaitu Datuk Perpatih
Nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan
Laras yang dimaksudkan di alas mempunyai makna hukum
yaitu tata cara adat turun temurun tentang hukum atau adat Datuk
Perpatih Nan Sebatang yang merumuskan tata cara hidup dalam
keluarga dan masyarakat bagi "induk-suku" Bodi-Chaniago.
Sedangkan hukum atau adat Datuk Ketemanggungan merumuskan
tata cara hidup bagi induk suku Koto-Piliang.
Menurut nara sumber di alas memberi penjelasan bahwa
dalam lembaga adat Minangkabau ini diatur pula jaringan proses
hubungan antar anggota masyarakat Minangkabau, yang fungsinya
adalah untuk memelihara hubungan-hubungan serta pola-polanya
dalam kehidupan masyarakat dan budaya masyarakat
Minangkabau. Karena itu di dalam lembaga adat Minangkabau
ditemukan antara lain mengenai hubungan antara seorang anak
dengan orangtuanya, dengan mamaknya (pamannya), dengan
neneknya serta status orang tuanya yang di dalam masyarakat dan
adat Minangkabau disebut sebagai "urang sumando" di rumah
gadang. Begitu pula ditemukan hukum waris, hukum tanah, hukum
acara adat, serta adanya peran dan fungsi seorang mamak di
rumah gadang, peran dan fungsi mamak kaum atau mamak suku,
203
peran dan fungsi lembaga kerapatan adat Minangkabau dan nagari
yang harus ditaati oleh masyarakat adat Minangkabau.
Adanya aturan yang demikian pada lembaga adat ini
menurut nara sumber di :oitas adalah untuk memberikan pedoman
kepada setiap anggota masyarakat adat Minangkabau, bagaimana
mereka berbuat, bertingkah laku (bersikap) dalam menghadapi
permasalahan kemasyarakatan termasuk pula menyangkut
kebutuhan hidup mereka. Disamping itu lembaga adat ini berfungsi
juga untuk menjaga keutuhan anggota masyarakat, memberikan
pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian sosial.
Kegunaan lembaga adat 1ni di samping sebagai ala!
pengamatan atau kontrol sosial, ia juga memiliki guna untuk
menjaga pertalian darah antara anggota suatu kaum atau suku
dengan anggota kaum atau suku lainnya dengan pusakonya.
Mengenai peraturan atau norma adat dalam masyarakat
Minangkabau ini dalam kata adat ini disebutkan memiliki kegunaan
agar "nagari nak nyo aman, nagari nak santoso, sangketo nak nyo
jaueh, damai nak nyo hampie. Nan tuo jan mangusui, nan gadang
janmalendo, nan cadie' jan maaniayo, nan leba jan manyaok, nan
ketek jan talendo, nan bingueng jan tajua. Artinya nagari supaya
aman, anak nagari supaya sentosa, sengketa supaya jauh, damai
204
supaya mendekat. Yang tua jangan mangusui, yang besar dengan
malendo, yang cerdik jangan menganiaya, yang lebar jangan
menutupi, yang kecil jangan talendo, yang bingung jangan terjual.
Dengan mengetahui lembaga adat ini yang memiliki peran dan
fungsinya agar setiap anggota masyarakat dapat mengatur
perilakunya dalam kehidupan bermasyarakat yang ditetapkan
dalam struktur lembaga adat Minangkabau.
Peran dan fungsi lembaga adat Minangkabau di atas pada
dasarnya diatur oleh norma-norma adat yang terstruktur mulai dari
lembaga rumah gadang, sampai ke lembaga mamak kaum atau
mamak suku, lembaga kerabatan adat Minangkabau sampai ke
nagari. Bagaimana gambaran tentang peran dan fungsi lembaga
adat Minangkabau ini baiklah dilihat uraian berikut ini.
4.3. Pe ran dan Fungsi Lembaga Ad at dalam Masyarakat Minangkabau
1. Peran dan Fungsi Rumah Gadang
Peran dan fungsi rum ah gadang dalam masyarakat
Minangkabau memberikan dasar kehidupan kekeluargaan pada
masyarakat Minangkabau, yang kemudian menjadi peletak dasar
selanjutnya bagi kehidupan sosial dan budaya masyarakat
Minangkabau. Seperti adanya faktor ginealogi yang dipakai dalam
205
kehidupan masyarakat Minangkabau, adalah berasal dari lembaga
rumah gadang. Dimana faktor ginealogi ini memperlihatkan adanya
gambaran bahwa seorang anggota masyarakat Minangkabau garis
keturunannya ditarik dari keturunan ibunya, yang biasanya disebut
dengan istilah matrilineal.
Di dalam rumah gadang ini pula berawal adanya peranan
dan fungsi seorang nenek yang diberi nama "Limpapeh Rumah Nan
Gadang" sebagai lambang keturunannya yang dalam bahasa adat
disebut "Anak Bersuku Kesuku lbu" artinya garis keturunan suku
dalam masyarakat Minangkabau ditarik dari seorang nenek yang
merupakan seorang ibu dari anaknya dan nenek dari cucunya
Sebab itu suku dalam masyarakat Minangkabau adalah tali darah
dari orang yang seasal atau seketurunan yang disebut dalam adat
Minangkabau " barasa dari sabuah parui".
Parui ini kemudian dipahamkan sebagai himpunan satu
keluarga besar dalam rumah gadang, yang menarik garis keturunan
dari pihak ibunya yang bermula dari seorang nenek dengan suku
yang sama yang kemudian menurun ke anak-anaknya. Pada
Jembaga rumah gadang ini pula ditemukan adanya peran dan
fungsi seorang mamak dalam parui, yaitu mengurus anggota
keluarga dan mengurus ekonomi anggota keluarga serumah
206
gadang yang apabila dibuatkan gambarannya dapat terlihat
sebagai berikut.
Gambar IV.1.
Saudara -saudara Perempuan lbu
L-----�
Melahirkan Suku Turunan
Mengurus /\nggota Keluarga &
kamanakan
,..----�-�--------, Mengurus Ekonomi I Anggota Keluarga &
harta pusako 1
Seorang nenek yang melahirkan suku turunan pada anak-
anaknya memiliki peran dan fungsi sebagai "amban purue"', yang
menguasai harta pusako di rumah gadang. Amban Purue artinya
bermakna sebagai bendahara keluarga di rumah gadang, karena
itu ia menguasai harta benda dari keluarganya serumah gadang
dan mengatur penghidupan dari hasil sawah ladang dan ternak dari
musim ke musim.
Seorang mamak ialah saudara pna ibu dalam garis ibu
serumah gadang yang terpilih untuk menjadi wakil pembina, dan
pembimbing anggota-anggota keluarga garis ibu yang terdekat
dalam rumah gadang. Peranan dan fungsinya adalah
207
"mengampungkan" artinya memelihara, membina, memimpin
kehidupan dan kebahagiaan jasmani maupun rohani kamanakan
kamanakannya, yaitu anak-anak dan anggota-anggota dari seluruh
keluarganya karena itu ia menguasai penggunaan hasil sawah
ladang keluarganya, yang dikerjakan dan dimiliki bersama olel1
anggota-anggota keluarganya. la pulalah yang dalam instansi
pertama menyelesaikan segala macam dan jenis persengketaan
yang timbul di antara sesama anggota keluarganya. Mamak rumah
ini disebut sebagai "tungganai" dipanggilkan "datuk" dan memakai
gelar pusaka kaumnya.
Perhubungan berkaum-keluarga antara adik dengan kakak,
mamak dengan kamanakannya dalam lembaga adat Minangkabau
yang "sabuah parui" adalah sebagai orang yang "samalu-sasopan",
"sahino-samulie", diikat dengan peribahasa adat "suku nan indak
bulieh diasak", malu nan indak bulieh diagieh". Artinya suku tidak
boleh digeser, malu tidak boleh diberi.
Jalan menghubungkan kasih sayang antara sesama mereka
ialah dengan mengadakan harta sarikat dalam tiap-tiap kaum,
seperti hutan-tanah, sawah-ladang, yang telah diperbuat alas
"cancang-lateh", "cencang-rembah" bersama dalam kaum yang
seturunan. Harta ini tidak boleh dibagi-bagi jadi harta sendiri
sendiri. Harta kaum ini dijaga oleh tungganai sebagai lelaki yang
208
tertua dalam kaumnya. Harta kaum bekas "cancang-lateh urang
tuo" dahulu dinamai "harato-pusako", yakni "harato tuo" oleh orang
yang kemudian.
Dengan perantaraan seperti ini "harto pusako tinggi" tetap
dalam tiap-tiap kaum menurut aliran ibu. Biarpun seorang anggota
lelaki pergi beristri ke suku lain atau seorang perempuan bersuami,
harta pusako tetap tinggal dalam lingkungan turunan darah ibu tadi.
Dengan sama-sama bertanggung jawab atas harta bersama dan
sama-sama menjaga "harato tuo", mereka merasa terikat dalam
kaumnya secara bertali darah dari aliran 'ibu, kasih sayang timbul
antara sesama mereka sampai kepada cucu-piut yang "sajari,
satampo-sajangka", sehingga sampai kepada yang sebuah suku
dan sekalian ini diatur menurut adat
lkatan berkaum ini tidak berarti mengendurkan tali beranak-
berbapak, malah teguh-meneguhkan balik-bertimbal. Bahwa bapak
cinta dan bertanggung jawab terhadap anaknya, bahwa harta
pencaharian bapak pulang kepada anak, telah menjadi undang
dengan sendirinya.
lnilah ikatan dua sepilin yang tidak memberi tempat untuk
hidup bernafsi-nafsi, malah ikatan ini sampai melingkungi kampung
dan nagari, sebagaimana kata adat :
"Kalue paku kajang balimbieng, udang di Manggueng dilenggangkan,
209
bao manurun ka Saruaso, tanam sirieh jo ureknyo.
Anak dipangku kamanakan dibimbieng, urang kampueng dipatenggangkan, tenggang nagari jan binaso, tenggang sarato jo Adatnyo. "
Anak dan kamanakan adalah lambang kepentingan diri.
Dalam mengusahakan kepentingan ini korong-kampung sebagai
simbol orang banyak, diluar kepentingan diri, harus ditolong,
dimana bantuan menghendaki. Menjadi kewajiban juga bagi kita
menjaga, agar nagari ikatan bersama jangan rusak.
Menilik hal di atas Prof.Mr. M. Nasroen dalam pidatonya
tentang asal mula negara yang diucapkan pada dies natalis
pertama Universitas Andalas tanggal 1 September 1957 di Bukit
Tinggi mengatakan antara lain bahwa adat Minangkabau tidaklah
berdasarkan sintesa dari hasil tesa dan antitesa. Ada! Minangkabau
hidup atas dasar imbangan dari keadaan yang penuh dengan
pertentangan dan perbedaan, dasar ini adalah kebenaran (M. Rasjid
Manggis & Datuk Radjo Panghoeloe, 1971: 52)
Yang dimaksud dengan imbangan dalam pendapat Nasroen
di atas, pada pepatah adat Minangkabau disebutkan sebagai
berikut :
"Kamanakan manyambah lahie, Mamak mayambah batin."
"Mamak badagieng taba,
210
Kamanakan bapisau tajam. " "Tagang bajelo-jelo,
Kandue badantieng-dantieng." "Dilaui' ikan kanai pukek,
Dirimbo punai manangguengkan."
Suku yang dimaksudkan di alas dalam adat masyarakat
Minangkabau dipahamkan sebagi suatu kesatuan masyarakat,
dimana para anggota-anggotanya satu sama lain merasa memiliki
hubungan dalam pertalian darah yang berasal dari perempuan
yang menurunkan mereka. Dan mereka ini satu sama lainnya
merasakan dirinya "berdunsanak" (bersaudara) yang di dalam
pepatah Minangkabau disebutkan :
" Malu nan indak dapek diagih, Suku nan indak dapek dianjak".
Pepatah 1n1 menunjukkan bahwa terdapat keeratan
hubungan di antara mereka yang memiliki satu suku yang senama,
karena itu malu yang diderita suatu suku dirasakan pula oleh suku
lain yang senama, sebab mereka merasa seketurunan, hanya saja
mereka bertempat tinggal di dalam nagari yang berlainan.
Apabila seseorang rneninggalkan nagarinya, misalnya pergi
merantau, maka terlebih dahulu yang dicarinya di tempatnya yang
baru adalah orang yang sesuku sebagai tempatnya dan biasanya ia
diterima dan masuk ke dalam suku yang sama dengannya.
Walaupun terdapat eratnya hubungan antara orang-orang
yang sepersukuan ini dalam tradisi masyarakat Minangkabau,
2 1 1
namun mereka tidak mempunyai suatu organisasi tertentu, dan
batas tertentu di mana suku itu berada atau terdapat. Suku ini
hanyalah mempunyai batasan yang personal, tidak terbatas pada
suatu daerah yang tertentu saja. Di mana saja anggota suku iiu
berada, ia tetap merupakan anggota dari sukunya dan tetap berada
di bawah kekuasaan mamaknya. Oleh karena suku itu tidak
mempunyai organisasi yang tertentu, maka suku dalam masyarakt
Minangkabau bukanlah merupakan suatu persekutuan hukum.
Bagi suatu suku dengan masuk dan bertambahnya anggota
suku sejalan derigan bertambahnya anak-anak yang dilahirkan oleh
seorang ibu yang anaknya langsung masuk mengikuti suku ibunya,
membawa akibat pula terhadap penambahan anggota kelompok di
dalam rumah gadang.
Pada hal-hal yang istimewa anggota suku bisa jadi dapat
juga bertarnbah, apabila seorang telah meninggalkan suku dalam
nagarinya, dan putus hubungan dengan nagar·1nya, misalnya
karena pergi merantau, dan di nagari rantau ini ia pergi kepada
seorang panghulu dan memohon agar ia dapat diterima sebagai
kamanakan, sebagai anggota dari suku panghulu yang terdapat di
nagari rantau itu. Biasanya seorang ini diterima di dalam suku yang
didatanginya itu, walaupun ia harus memenuhi telebih dahulu
syarat untuk menjadi kamanakan dalam suatu upacara adat.
212
Semula suku ini dalam bahasa Minangkabau diartikan
sebagai kaki. lni terlihat dari kata sesuku, mengandung makna
sekaki, seperempat bagian dari seekor ternak seperti kambing,
sapi, kerbau, dan sebagainya. Kemudian suku berarti seperempat
bagian. ltulah asal mula pengertian kata suku dalam masyarakat
Minangkabau sekarang.
Menurut tradisi adat masyarakat Minangkabau terdapat dua
suku induk yang kemudian terbagi ke dalam empat bagian
kelompok besar suku induk ini yang memiliki hubungan dengan dua
pendiri dan pembentuk adat Minangkabsu yaitu Datuk
Ketemanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang.
Dua suku induk dimaksud adalah suku Koto-Piliang yang
terbagi menjadi suku Koto dan suku Piliang, yang memiliki
hubunga.n dengan Datuk Ketemanggungan. Kemudian suku Bodi
Chaniago yang terbagi menjadi suku Bodi dan suku Chaniago yang
memiliki hubungan dengan Datuk Perpatih nan Sabatang tersebut.
Masing-masing suku asal ini dalam perkembangannya
hingga dewasa ini membagi pula ke dalam jurai-jurai suku, hingga
masing-masing induk suku, anak suku, dan jurai dewasa ini
berjumlah 32 buah, sebagai contoh dapat terlihat dalam tabel di
bawah ini.
2 13
Nama Suku
Chaniago Melayu Piliang Tanjung Ko to Jambak Sikumbang Mandahiling Petapang Guci Kutianyit Panai Payobada Kampai Panyalai Bendang Daiimo Bodi Pi sang Sipanjang Simabur
Tabel IV-1 Nama Suku dan Kumpulan Suku
I Kumpul�n S�ku . . -�··=-=--Bodi-Chaniago Melayu-Mandailing Koto-Piliang Koto-Piliang Koto-Piliang Koto-Piliang Koto-Piliang Melayu-Mandailing Koto-Piliang Koto-Piliang Koto-Piliang Melayu-Mandailing Koto-Piliang Koto-Piliang Bodi-Chaniago Me/ayu-Mandailing Melayu-Mandailing Bodi-Chaniago Koto-Piliang Bodi-Chaniago Koto-Piliang
Sumber : Hasil Penelitian Lapangan Tahun 2000
Suku di atas memiliki peran dan fungsi ketika membicarakan
tentang nagari, karena barulah suatu nagari disebut nagari jika di
dalamnya telah terdapat empat buah suku, yang merupakan
persyaratan berdirinya suatu nagari. Bahwa adanya keharusan
empat buah suku di dalam nagari telah merupakan peraturan di
214
dalam tata susunan di dalam nagari itu sendiri, sebagaimana
diungkapkan di dalam kata adat :
" Nagari barampek suku, Ampek suku sekoto".
Peran dan fungsi suku ini di samping prasyarat pendirian
suatu nagari juga memiliki arti penting di dalam hukum perkawinan
dan hukum waris masyarakat Minangkabau. Dalam masyarakat
Minangkabau dengan tegas dinyatakan bahwa kawin dengan satu
suku sendiri tidaklah diperkenankan, sebab antara satu suku di
dalam masyarakat Minangkabau merupakan satu kesatuan yang
eksogami. Dengan perkawinan yang eksogami itulah keutuhan
suku dapat dipelihara.
Di dalam riwayat adat masyarakat Minangkabau melalui
Tambo dikisahkan tentang kedua pendiri dan pembentuk adat
Minangkabau yang melahirkan suku tersebut di alas sebagai
demikian. Suatu masa dahulu kala Minangkabau diperintah oleh
seorang raja yang bernama Sri Maharajo yang kawin dengan lndo
Calito dan di dalam perkawinan ini lahirlah seorang anak laki-laki
yang bernam Perpatih. Kemudian lndo Calito itu berpisah dengan
Sri Maharajo yang kemudian ia kawin lagi dengan Catri Bilang
Pandai. Dari perkawinannya yang kedua ini melahirkan dua orang
anak yang diberi nama masing-masing Putri Zamilau dan
Ketamanggungan.
215
I Pada satu ketika Perpatih sebagai seorang pemuda pergi
berjalan jauh. Setelah kembali dari perjalanannya itu ia kawin
dengan Putri Zamilau. Tidaklah diketahuinya bahwa antara ia
dengan Putri Zamilau ada hubungan darah (satu ibu) yang ban.:
diketahuinya setelah perkawinan itu teriaksana. Gemparlah
masyarakat ketika itu, sehingga Perpatih dan Ketemanggungan
membagi Minangkabau ke dalam dua bagian yaitu Koto-Piliang dan
Bodi-Chaniago serta memerintahkan bahwa tak seorang pun boleh
kawin di dalam golongan sedarahnya sendiri (sukunya).
Demikianlah isi Tambo. yang sampai sekarang setiap orang
Minangkabau apabila akan mencarikan jodoh untuk anak
kamanakannya, maka dicarikannyalah di luar sukunya yaitu suku
lain yang tidak seasal dengan sukunya.
Apabila ditilik kembali tentang suku induk pada uraian di alas
yaitu suku Koto-Piiiang dan suku Bodi-Chaniago yang masing
masing dibubungkan dengan Datuk Ketemanggungan dan Datuk
Perpatih nan Sabatang, maka yang terlihat adalah terdapat
perbedaan di antara kedua suku induk ini. Perbedaannya adalah
dalam cara pengambilan keputusan dan pemilihan kepala adat
yang disebut panghulu.
Jika pada suku Koto-Piliang mengambil keputusan dalam
musyawarah ditetapkan secara bertingkat yang disebut bajanjang
216
naik, batangga turun (berjenjang naik dan bertangga turun).
Tingkatan dimaksud adalah tingkatan pengambilan keputusan yang
ditentukan oleh tingkatan panghulunya. Karena itu dalam suku
Koto-Piliang terdapat tingkatan kedudukan seorang panghulu
dalam adatnya.
Berbeda dengan sistem pengambilan keputusan pada suku
Bodi-Chaniago yang menempatkan seorang sama kedudukannya,
dengan orang lain ketika dilakukan pengambilan keputusan, yang
dikatakan dalam kata adat duduak samo randah, tagak samo tinggi
(duduk sama rendah, berdiri sama tinggi). Namun pada suku Bodi
Chaniago ini terdapat seorang panghulu yang dituakan
berdasarkan wibawa yang dimilikinya dan disebut sebagai
pamuncak adat.
Perbedaan dari kedua sistem pengambilan keputusan
tersebut di atas, dan mengenai kedudukan panghulu dalam kedua
induk suku ini telah melahirkan suatu kelarasan, yaitu kelarasan
Bodi-Chaniago dan kelarasan Koto-Piliang. Kata laras inilah
kemudian mempunyai makna hukum yaitu tentang tata cara adat
turun temurun bagi masyarakat Minangkabau hingga dewasa ini.
Walaupun lembaga adat Minangkabau yang terbentuk
mulai dari rumah gadang sampai dengan nagari yang berdasarkan
garis ibu namun yang berkuasa dalam kesatuan lembaga adat
217
adalah laki-laki dari garis ibu, akan tetapi dengan kekuasaan itu
tidak berarti ia berlaku semena-mena, sebab kekuasaan yang
diperolehnya atau dilaksanakannya selalu didasarkan atas mufakat
sebagaimana dinyatakan di dalam pepatah Minangkabau :
"Kamanakan barajo kamamak, Mamak barajo kamupakat".
Demikianlah dalam lembaga adat Minangkabau yang
berkuasa tetaplah seorang laki-laki saudara laki-laki yang tertua
dari ibu yang disebut mamak itu. Semua anak laki-laki dan
perempuan dari seorang ibu serta saudara perempuan lain dari ibu
dinyatakan sebagai kamanakan dari mamak tersebut.
Peranan dan fungsl suku di atas memberi pengertian yang
berbeda dengan makna marga di tanah Batak atau di Sumatera
Selatan. Memetik pendapat Mansoer et. al. ( 1970 : 5-6)
mengatakan bahwa marga di tanah Batak ialah pengelompokan
masyarakat berdasarkan kampung atau daerah asal, karena itu ia
mengandung pengertian wilayah. Sedangkan suku
pengelompokannya berdasarkan pengelompokan ikatan darah dari
pihak atau garis ibu, yang mengandung pengertian genealogis.
Karena istilah keluarga di Minangkabau menurut Mansoer et.
al. (ibid) mempunyai pengertian berbeda daripada di tanah Batak
dan daerah-daerah lain. Menurut pengertian Minangkabau keluarga
adalah anggota sedarah karena berasal dari satu ibu (saudara
218
seperut atau kandung), dari satu ninik (keluarga sekaum) dan
karenanya mempunyai suku yang sama (saudara sepesukuan).
Untuk menggambarkan jauh dekatnya, rapat renggangnya
hubungan atau ikatan darah dari satu suku, orang Minangkabau
mempunyai istilah keluarga sejengkal, sehasta, sedepa, dan
sebagainya, di samping kata-kata 'saudara kandung, sekaum, dan
sepesukuan.
lkatan kekeluargaan berdasarkan hubungan darah dalam
berbagai gradasi (kandung, seperut, sekaum, sepesukuan,
belahan), memiliki segi-segi positif di samping segi-segi negatif.
Orang Minangkabau tidak akan pernah hidup sebatang kara dan
terlantar di mana pun ia berada ia akan selalu menjumpai keluarga
sekaum, sepesukuan, atau belahan yang secara moril mereka
berkewajiban menampung anggota sekaum, sepesukuan, dan
belahan itu.
Pada jaman ketika jumlah manusia Minangkabau belum
berkembang seperti sekarang ini tuntutan hidup masih belum
'
l banyak dan tanah merupakan sumber penghasilan dan
penghidupan utama, tanggung jawab moril untuk menampung
keluarga seperut, sekaum, dan sebagainya tidaklah terlampu berat.
Berbeda pada jaman sekarang di mana jumlah orang Minangkabau
turut berkembang menurut irama dan tempo penduduk daerah-
219
daerah Indonesia lainnya, maka sumber penghasilan tidak lagi
semata-mata dari hasil tanah saja, sementara itu tuntutan hidup
kian bertambah, kewajiban moril itu mempunyai konsekuensi
ekonomis dan merupakan beban hidup yang b'3rat bagi mereka
yang menjalankan tradisi adat Minangkabau di atas.
Sistem komunalisme berdasarkan ikatan darah ini dapat
melemahkan dan menghambat perkembangan inisiatif individu
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sistem kekerabatan
komunalisme tidak mengakui peranan dan hak individu karena
sebagai perorangan ia baru ada arti dan fungsinya dalam ikatan
kekeluargaan.
Berbeda dengan pandangan hidup Yunani kuno menurut
Mansoer et. al. (ibid) yang diwarisi oleh negara-negara Baral yang
mengakui individu sebagai kesatuan hukum terkecil, di
Minangkabau kesatuan hukum terkecil ialah keluarga. Tuntutan
masyarakat dewasa ini yang lebih mengutamakan dan menonjolkan
peranan hak-hak serta inisiatif individu di bidang ekonomi, politik
dan sebagainya, mendahulukan hak-hak dan kewajiban terhadap
keluarga dalam pengertian Minangkabau lebih banyak merupakan
hambatan daripada memberikan dorongan untuk memajukan
individu. Oleh sebab itu pemahaman terhadap kata keluarga dalam
masyarakat Minangkabau dewasa ini telah mengalami pergeseran
220 I
makna yang cenderung ke arah sistem
komunalisme.
individu daripada
Dalam mengkaji tentang lembaga adat dalam masyarakat
Minangkabau tidaklah dapat dilepaskan dari keharusan juga untuk
memahami mengenai harta pusako dalam masyarakat
Minangkabau, yang nantinya memiliki hubungan yang erat dengan
sistem pewarisan yang ditetapkan oleh aturan adat. Menurut adat
Minangkabau harta pusako diturunkan kepada kamanakan.
Sebagai akibatnya harta pusako itu tetap tinggal dalam keluarga
dan suku sendiri. Harta pusako ini dapat berupa harta yang tidak
bergerak seperti rumah dan sawah ladang serta gelar pusaka.
Harta pusako ini dalam adat Minangkabau merupakan harta
milik bersama dari mereka yang seibu. Kaum lelaki berkewajiban
memelihara, mengawasi, dan berusaha menambah harta itu.
Dalam pepatah adat disebutkan "Kalau Ketek dipagadang, kalau
kurang elok dipaelok". Artinya jika kecil diperbesar, kalau kurang
baik diperbaiki.
Dalam adat Minangkabau mamak berindak sebagai wakil
keluarga, karena itu ia juga terlibat untuk memelihara, mengawasi
dan berusaha menambah harta kaumnya. Menurut adat
Minangkabau harta itu tidak boleh dipindahkan ke tangan orang
lain. Hanya dalam keadaan sangat mendesak dapat dijual atau
221 I
lebih lazim lagi digadaikan, supaya pada waktunya dapat ditebus
kembali. Akan tetapi proses dijual atau digadaikan itu haruslah
sudah mencapai kata mufakat dari seluruh kaumnya atau keluarga
serumah gadang.
Harta pusako ini dijual atau digadai bisa timbul jika, "rumah
gadang ketirisan (rumah gadang memerlukan perbaikan), mayat
terbujur ditengah rumah, gadis gadang tidak berlaki (gadis berumur
belum bersuami), membangkitkan batang tarandam" (mengangkat
seorang anggota keluarga sebagai penghulu yang telah terlalu
lama kosong karena belum dapat membiayai ongkos peralatannya).
Sebelum harta pusako dijual atau digadai harus terlebih
dahulu diusahakan dengan cara lain, menuru pituah :
"Tak kayu janjang diurak, Tak air talang dipancung, Tak emas bungkal diasah, Manah nan jangan usah luak, Pusako nan jangan ratak sumbing, Nak jan hilang namo jo bangso".
Karena itu sebelum muncul masalah dijual atau digadai
seiiap kaum berusaha memperbesar, sekurang-kurangnya
mempertahankan harta pusako yang ada. Aturan adat yang
menetapkan tentang harta pusako ini menyebabkan masyarakat
Minangkabau memiliki sifat kekeluargaan dan sosial yang
mendalam. Maka dari itu dalam nagari di Minangkabau tidak ada
orang terlantar, bagaimana miskinnya karena ia merupakan bagian
222
dari kaumnya serumah gadang walaupun kehidupan di sana sangat
sederhana, seseorang itu tidak akan terlantar sebsb adanya sistem
harta pusako yang dianut masyarakat Minangkabau.
Dalam kata adat digambarkan sebagai demikan yaitu hidup
dalam pusaka yaitu "berumah bertanggo, bekorong bekampung,
besuku benagari, rumah bertungganai, kampung bertuo, suku
berpanghulu, suku tak dapek dialiah, nagari tak dapek dianjak".
Kata adat di atas menggambarkan sistem komunalisme yang
dianut masyarakat adat Minangkabau. lni dinyatakan kembali
dalam kata adat "sakaum bagotong-royong, sahina samalu,
tarandam samo basah, tarampai samo kariang, tuah samo
mandape, cilako samo ditangguang, jiko senteng bilai membilai, jiko
kurang tukuk menukuk".
Dalam adat pusaka Minangkabau disebutkan bahwa harta
lelaki adalah termasuk gelar yang dapat diwariskan kepada
saudaranya lelaki dan perempuan dan kepada kamanakannya.
Untuk harta perempuan diwariskan kepada anak-anaknya, atau
saudaranya yang perempuan dan lelaki serta anak dari saudaranya
itu.
Jika seorang lelaki hendak mewariskan sebagian atau
seluruh harta miliknya untuk diberikan kepada anaknya maka ia
harus menghibahkannya kepada anak-anaknya semasa ia hidup.
223
Jika tidak nantinya dapat menimbulkan masalah bagi anak
anaknya di kemudian hari. Berbeda dengan hukum Islam yang
menetapkan harta diwariskan seharusnya kepada anak, istri dan
bagian tertentu kepada ibu- bapak dan keluarga yang lain.
Dalam masyarakat Minangkabau ini dikenal adanya harta
pusako tinggi dan harta pusako rendah. Yang dimaksud dengan
harta pusako tingi ialah berupa rumah adat, sawah ladang dan
harta lain yang tidak dapat dipisahkan dari rumah gadang termasuk
di dalamnya gelar pusaka, dan panghulu. Sedangkan yang
dimaksud den(:;an harta pusako rendah adalah berupa harta
pencaharian.
Harta pencaharian dalam adat Masyarakat Minangkabau
merupakan harta milik pribadi dapat berupa tanah, karena itu tanah
milik pribadi dapat menjadi tanah pusaka rendah apabila telah
diwariskan. Pewarisan ini jika telah berlangsung dalam beberapa
generasi, yang umumnya tiga generasi maka harta pusako rendah
ini dapat berubah menjadi harta pusako tinggi.
Begitu kuatnya kedudukan pusaka tinggi dalam masyarakat
adat Minangkabau, sehingga harta pencaharian seorang "urang
sumando" (menantu di rumah gadang) misalnya sebuah rumah
yang dibuatnya untuk anak istrinya, tetapi terletak di tanah pusaka
istrinya, maka ia tidaklah berhak menjualnya meskipun untuk
224
membangun rumah tersebut merupakan hasil mata pencahariannya
sendiri.
la akan tercela keras oleh adat kalau berbuat demikian,
sebab itu kalau seorang laki-laki menceraikan istrinya, maka rumah
itu tinggallah menjadi hak milik istrinya. Dan kalau ia bersuami baru,
suami yang baru itupun tidak berhak atas rumah itu, demikian pula
jika ia bercerai. Kalau istrinya itu meninggal yang memiliki harta itu
adalah anak-anaknya terutama anaknya yang perempuan.
Pernah terjadi di desa Balai Batu, Kecamatan Lima Kaum di
mana seorang yang bernama Panduko dari suku Chaniago
membangun sebuah rumah di tanah pusaka istrinya dari suku
Sikumbang, pada satu ketika ia meninggal dunia, maka di sini
seluruh kaum atau suku Chaniago tidak dapat menuntut rumah itu
bagian dari kaumnya. Dengan demikian maka harta pencaharian
seorang suku lain bisa saja menjadi harta pusako rendah yang
berlangsungnya waktu dan generasi harta pusako ini dapat menjadi
pusaka tinggi bagi istri dan anak-anaknya.
lnilah pula yang menyebabkan dari zi:iman lampau satu adat
"urang sumando dijapui". Artinya urang sumando ini dimohonkan
sudilah kiranya kawin dengan kamanakan yang meminangnya.
Dalam hal ini laki-laki dilamar oleh keluarga atau kaum, suku
wanita. Di samping itu perkawinan yang ideal dalam adat
225
rnasyarakat Minangkabau dari rnasa larnpau ialah kawin dengan
anak marnaknya yang disebut pulang "kabako" Karena di dalarn
rnernilih rnenantu diperhatikan juga tentang kedudukan harta
pusako atau "harto tuo". Bahasa ad at rnengatakan "jan arato lapeh
ka urang lain, kuah tatunggang kanasi, nasi kadirnakan juo".
Berdasarkan sistern harta pusako di atas dikenallah tipe-tipe
pernilikan dan penguasaan tanah rnenurut hukurn adat
Minangkabau yaitu sebagai berikut :
1. Tanah ulayat nagari yaitu tanah yang secara turun ternurun
dipergunakan untuk kepentingan nagari secara urnum seperti,
tanah untuk tempat beribadah, balai adat dan lain-lain.
2. Tanah ulayat suku yaitu tanah yang dikelola secara turun
temurun oleh satu suku dan hanya suku tersebutlah yang dapat
rnernperoleh dan rnernpergunakan tanah itu.
3. Tanah pusaka tinggi yaitu tanah yang dirniliki oleh suatu kaurn,
yang rnerupakan rnilik bersama (komunal) dari seluruh anggota
kaurn yang diperoleh secara turun temurun, dan
pengawasannya berada ditangan rnamak kepala waris.
4. Tanah pusaka rendah yaitu tanah yang diperoleh oleh
seseorang atau suatu parui berdasarkan pemberian atau hibah
rnaupun yang dipunyai oleh suatu keluarga berdasarkan
226
pencahariannya, pembelian dan lain sebagainya yang telah
diwariskan.
5. tanah harta pencaharian yaitu tanah yang diperoleh dengan
pembelian atau berdasarkan kepada hasil usahanya sendiri
dalam arti didapatkan bukan karena pewarisan atau belum
pernah diwariskan.
Uraian di atas menggambarkan bahwa harta pusako dalam
adat Minangkabau memiliki arti yang penting dalam
rnempertahankan kelangsungan kaurn atau suku atau rurnah
gadang dan nagari
2. Peran dan Fungsi Mamak Kaum atau Mamak Suku
Peran dan fungsi rnamak kaum atau suku dalam lembaga
adat Minangkabau sebenarnya berasal dari adanya rumah gadang
yang melahirkan peran dan fungsi seorang mamak dalam
lingkungan keluarganya di rumah gadang. Ketika mamak ini
mengambil peran dan fungsi di rumah gadang, maka ia bertindak
sebagai mamak rumah yang penjelasannya telah diuraikan di alas.
Akan tetapi ketika ia mewakili kaumnya dari rumah gadang
pada lingkungan suku lainnya yang sama di dalam satu nagari,
maka ia memiliki peran dan fungsi tidak lagi sebagai mamak rumah
akan tetapi beralih menjadi mamak kaum atau mamak suku. Hal ini
227
bisa terjadi pada saat tungganai-tungganai sesuatu kaum dalam
suku yang sama memilih seorang di antara mereka sebagai wakil
pembimbing dan pembina kaumnya, maka di sinilah ia berperan
dan berfungsi sebagai mamak kaum dan ia disebut sebagai
panghulu, dipanggil sebagai datuk dengan memakai gelar pusaka
kaumnya.
Peran dan fungsi seorang panghulu, tidak dapat dipusakai
oleh anak maupun kamanakannya, sebab peranan dan fungsi itu
diperolehnya berdasarkan pilihan seluruh anggota keluarga (parui,
kilum, dan suku). Seorang panghulu memiliki hak-hak istimewa
yang melekat pada gelar pusaka yang dipakainya sebagai
panghulu. Sebagai panghulu yang dipanggilkan dalam sehari
harinya dengan kata datuk, memiliki peran dan fungsi sebagai
orang yang dituakan dalam kaum atau sukunya dalam membina
atau memelihara harta pusako keluarga sekaum atau sesuku dalam
bentuk tanah dan rumah pusaka. Hak-hak keluarga yang
dipimpinnya ini terus dibelanya sampai ketika ia menjadi anggota
kerapatan adat atau ketika ia menjadi pemimpin nagari (wali
nagari).
Menurut Mansoer et.al. (ibid) panghulu ini untuk daerah
pesisir dan rantau seringkali disebut dengan kata tuanku dan sering
bergelar raja. Di jaman pemerintah Belanda istilah tuanku
228
digunakan sebagai sebutan kepala daerah seperti kepala nagari,
asisten demang (kecamatan), onderafdeling atau kawedanaan
(demang). Di daerah rantau kedudukan panghulu yang disebut raja
dapat diturunkan kepada anaknya secara turun-temurun. Umpanya
di daerah pesisir dan di daerah lnderapura. Di Padang dikenal pula
kata Sutan atau Marah yang dilekatkan di depan namanya, begitu
pula dengan sidi dan bagindo yang dikenal di daerah Pariaman.
Kata sutan, marah, sidi, dan bagindo sebenarnya adalah
pengaruh Aceh ketika mereka berkuasa di Minangkabau. Seperti di
Tiku Pariaman dan Padan'g ada dikenal raja yang dirajakan dari
Aceh yang bergelar sultan, sehingga ada yang dinamakan ra1a
Pariaman. Oleh sebab itu di Pariaman ada tradisi menerima gelar
keturunan dari ayahnya bukan dari mamaknya. Tiga gelar yang
terkenal sampai sekarang akibat pengaruh penguasaan Aceh
terhadap Minangkabau yaitu, sidi, bagindo dan sutan sebagaimana
disebutkan di atas.
Sidi adalah gelar keturunan Rasullulah sebagai Sayid dan
Syarif. Sampai sekarangpun menurut Nairn dalam bukunya
" Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau"
(1968:35) mengatakan bahwa di Marokko keturunan-keturunan
Sayid itu masih disebutkan sidi.
229
Begitu pula dengan kata bagindo ("baginda") berasal dari
panggilan gelar untuk keturunan raja-raja, dan sutan keturunan
bangsawan pada masa kekuasaan Aceh di Minangkabau. Sidi,
bagindo, dar. sutan semua1ya menurut Nairn ( Ibid ,) dipanggilkan
dengan kata "ajo" yang merupakan asal kata " raja".
Namun adanya pengaruh Aceh dengan tradisi lslamnya tidak
menghilangkan makna harta pusako, suku dan gelar pusaka yang
diterima oleh seseorang dari kaum atau sukunya dalam masyarakat
Minangkabau.
Kata sidi, bagindo, sutan atau marah tidaklarl sama dengan
kata panghulu karena tidak dapat diturunkan kepada anak
anaknya, hanya dapat diturunkan kepada kamanakannya. Tidak
demikian halnya dengan kata sidi, bagindo, sutan atau marah yang
dapat diturunkan kepada anaknya.
Setelah perang Padri selesai, gelar tuanku di alas digunakan
pula sebagai panggilan untuk seorang ulama yang berpengaruh
dan berwibawa besar di daerahnya, umpamanya tuanku imam atau
tuanku syech. Dengan demikian makna tuanku sebagai sebutan
dari panghulu telah digunakan di luar lembaga adat Minangkabau
yang menurut narasumber dalam penelitian ini dikatakan sebagai
revolusi kaum agama terhadap adat masyarakat Minangkabau.
Gerakan padri di atas merupakan usaha para ulama Islam abad
230
XVI I I dan permulaan abad XIX untuk menggeser peran dan fungsi
lembaga adat dalam masyarakat Minangkabau, menjadi
menempatkan peran dan fungsi agama dalam masyarakat
Minangkabau. Karena itu peran'.J padri adalah perang antara kaum
ulama Islam dengan kaum adat yang dimenangkan oleh kaum
ulama, sejak itulah unsur-unsur Islam mulai masuk dalam
kelembagaan adat Minangkabau. Ketika kaum adat meminta
bantuan Belanda untuk memerangi kaum padri dan kekalahan ada
di pihak padri terjadilah kemudian perombakan struktur
kelembagaan adat Minangkabau yaitu diikutsertakannya kaum
ulama (golongan agama) menjadi anggota lembaga kerapatan adat
Minangkabau yang tidak pernah terjadi sebelum perang padri.
ltulah sebabnya gelar tuanku untuk panghulu digunakan pula bagi
pemimpin agama yang disegani seperti Tuanku Imam Bonjol.
3. Peran dan F ungsi Lembaga Kerapatan Adat Minangkabau
Peran dan fungsi lembaga kerapatan adat Minangkabau
dalam kelembagaan adat adalah sebagai dewan pemerintahan
dalam nagari yang tertinggi. Lembaga kerapatan adat Minangkabau
ini pula yang menentukan peran dan fungsi dari nagari. Oleh sebab
itu dalam adat Minangkabau disebutkan bahwa pemerintahan
nagari pada dasarnya dilakukan oleh dewan kerapatan adat
23 1
Minangkabau yang anggota-anggotanya terdiri dari panghulu
panghulu andiko sebagai wakil keluarga atau kaum maupun suku
dan seorang di antara mereka dapat dipilih atau terpilih menjadi
wali nagari. Karena itu peran dan fungsi lembaga kerapatan adat
Minangkabau ini sangat dominan dalam pemerintahan nagari,
mereka yang menentukan jalannya pemerintahan nagari dan
menentukan seorang wali nagari
Tidak heran menurut adat Minangkabau dikatakan bahwa
pemegang kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif)
sepenuhnya berada pada panghulu-panghulu andiko dalam
lembaga kerapatan adat Minangkabau tersebut.
Setiap masalah yang terdapat di dalam nagari diselesaikan
dalam lembaga kerapatan adat nagari melalui musyawarah
musyawarah yang dalam adat dikatakan "barajo kepado patui dan
bana" (belajar kepada patut dan benar) . Sebab "bulek ai dalam
pambuluh, bulek kato dalam rapek" (bulat air dalam pembuluh,
bulat kata dalam rapat) .
Kata sepakat yang tercapai dalam musyawarah di atas
menurut adat dikatakan "bulek dapek digolongkan" dan "pipih
dapek dilayangkan". "Kato bulek sedencing ba' besi, seciok ba'
ayam dan saikek ba' sirih".
232
Musyawarah karena itu berarti mempertemukan pendapat
yang saling bertentangan menuju ke arah kata sepakat yang hanya
tercapai selama musyawarah itu berlangsung. Sebab itu
musyawarah merupakan satu kompromi. Demikianlah satu bentuk
demokrasi sebagai salah satu unsur yang terdapat dalam lembaga
kerapatan adat Minangkabau ketika hendak mengambil keputusan
demi terlaksananya kepentingan nagari
4. Peran dan Fungsi Nagari
Peran dan fungsi nagari dalam masyarakat Minangkabau '
adalah sebagai suatu persekutuan hukum yang berdiri atas dasar
faktor teritorial dan faktor genealogi. Di dalam satu nagari, menurut
adat Minangkabau telah ditentukan batas-batasnya, serta
persyaratan yang harus dipenuhi yaitu sekurang-kurangnya
terdapat empat buah suku di dalam nagari. Ketentuan ini kemudian
menjadi aturan lembaga adat Minangkabau, seperti yang
dinyatakan di dalam kata adat sebagai berikut :
"Nagari bakaampek suku Nan bahindu babuah parui Kampuang batuo Rumah batungganai".
Pada awal masa pemerintahan Datuk Katemanggungan dan
Datuk Perpatih nan Sabatang sebagai ahli pengatur tata adat alam
Minangkabau, telah dibuat aturan-aturan bagi masyarakat adat
233
Minangkabau, yaitu tentang aturan-aturan mengenai adat yang
diadatkan. Salah satu bagian dari aturan-aturan tersebut ialah
mengenai " Nagari nan ampek", atau " Kato nan ampek" yang
diperpendek menjadi "Koto ampek". Yang dimaksudkan di sini ialah
teratak , dusun, koto dan nagari.
Teratak dimaksudkan adalah tempat kediaman yang
letaknya jauh terpencil dari kampuang atau nagari, yang terjadi
karena orang pergi dari keluarga saparui untuk membuka ladang
jauh di bukit-bukit, dimana mereka kemudian mendirikan sebuah
rumah baru. Namun mereka masih meletakkan dasar hubungan
kekeluargaannya dengan menggunakan mamak dan panghulu dari
asal rumah gadangnya. Pertalian mereka dengan rumpun keluarga
saparui masih tetap utuh.
Apabila teratak ini berkembang, bertambah dengan rumah
rumah baru yang lainnya, maka teratak ini dapat berubah beniuk
menjadi sebuah dusun. Berdirinya sebuah dusun tetap dikenakan
syarat sebagaimana yang ditetapkan dalam lembaga adat
Minangkabau yaitu harus sekurang-kurangnya memiliki tiga buah
suku. Sebab itu dalam aturan adat Minangkabau dinyatakan bahwa
apabila ingin membentuk sebuah dusun sekurang-kurangnya harus
memiliki empat suku, jika masih terdiri dari tiga suku maka ia
disebut sebagai teratak.
234
Mengenai pemahaman tentang Kato di dalam adat
Minangkabau disebutkan adalah sebagai daerah pusat yang dapat
berkembang menjadi nagari. Kato adalah merupakan daerah pusat
antara teratak dengan dusun. Apabila koto itu telah memiliki
penduduk yang padat, maka lahan koto bertambah besar sebab itu
dicarilah tanah-tanah baru yang nantinya berkembang menjadi
kampuang-kampuang baru dan bersama-sama kampuang itulah
kemudian terbentuk sebuah nagari.
Sedangkan teratak, dusun kemudian koto ini merupakan
bagian dari lembaga adat Minangkabau sebagai cikal bakal adanya
nagari. Karena itu teratak, dusun, dan koto tidak dapat dipisahkan
dari sistem kelembagaan adat Minangkabau.
Pada masa dahulu, koto itu biasanya dikelilingi bambu yang
berduri dan di koto ini dijumpai pula pintu dan jembatan kecil
sebagai jalan ke arah koto yang tekesan seakan-akan koto ini
tertutup untuk pihak lain. Tetapi sebenarnya tidaklah demikian,
adapun adanya bambu yang berduri dengan jembatan kecil dan
sebagainya adalah merupakan satu bentuk sistem keamanan koto.
Dewasa ini koto itu tidak lagi tertutup, akan tetapi berubah bentuk
yang kini dikelilingi oleh sawah atau ladang.
Mengenai teratak, dusun dan koto yang diuraikan di atas
dapat dikatakan sebagai gambaran bagaimana membentuk sebuah
235
nagari baru atau lahirnya satu nagari yang disyaratkan setidak
tidaknya terdiri dari empat suku, walaupun dalam
perkembangannya di dalam nagari itu bisa saja terdiri lebih dari
ernpat suku, seperti yang terdapat di nagari Lima Kaum (yang kini
menjadi kecarnatan Lima Kaum) dijumpai sepuluh suku d 1
dalarnnya.
Peran dan fungsi nagari di Minangkabau yang merupakan
persekutuan hukum itu, dapat diumpamakan sebagai suatu
kesatuan kenegaraan dalam bentuk sebuah negara kecil.
Sebagai suatu kesatuan kenegaraan, nagari ini rnerniliki
seperangkat alat-alat perlengkapannya, yaitu adanya lembaga
kerapatan adat Minangkabau yang disebut juga sebagai dewan
kerapatan adat yang anggota-angotanya terdiri dari panghulu
panghulu andiko sebagai wakil keluarga atau kaum maupun
sukunya.
Panghulu-panghulu andiko ini disebut juga sebagai panghulu
pucuk atau panghulu payung. Asal panghulu andiko ini adalah dari
mamak di rumah gadang yang disebut "tungganai" dipanggil
sebagai "datuk" dan memakai gelar pusaka kaurnnya dari suku
yang sama. Dan ia mewakili kaumnya dengan sebutan mamak
kaurn atau mamak suku yang berperan dan berfungsi menjadi
anggota lembaga kerapatan adat Minangkabau.
236
Para panghulu di atas dalam menjalankan tugasnya selalu
didampingi oleh para pembantu-pembantunya. Pembantu ini
biasanya diambil dari lingkungan yang terdekat yaitu para anggota
keluarganya. Para pembantu ini diambil dari mamak dari keluarga
kaumnya atau sukunya yang biasanya mereka bergiliran menjadi
pembantu-pembantu panghulu.
Bersama-sama dengan para panghulu ini pembantu
pembantu tersebut dalam kata adat disebutkan sebagai "urang
ampek jinih". Yang dimaksud dengan urang ampek jinih ini,
pertama-tama adalah panghulu itu sendiri, kemudian diikuti oleh
pembantu-pembantunya yang berjumlah tiga orang masing-masing
disebut "manti" yang merupakan tangan kanan dari panghulu,
"dubalang", dan "malim".
Manti dan dubalang memiliki peran dan fungsi mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan panghulu dalam kata adat disebutkan
"panghulu nyawa nagari, manti tulang nagari". Menurut Hanafiah
(op.cit.) mengatakan bahwa seorang manti yang berperan dan
berkedudukan sebagai tangan kanan panghulu, maka ia memiliki
tanggung jawab untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan panghulu
seperti menyiapkan pekerjaan pendahuluan yang merupakan
pers·1apan yang akan diputuskan oleh panghulu dalam suatu rapat
yang diadakan di lembaga kerapatan adat nagari.
237
Di samping ketiga pembantu di alas para panghulu ini
memiliki juga beberapa orang pegawai yang turut serta
menyelesaikan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
pekerjaan panghulu dalam nagarL Ketika mereka ini ingin
menghadap panghulu, maka mereka terlebih dahulu menghadap
seorang manti, di mana manti ini memeriksa atau menilik
persoalan-persoalan yang mungkin ada yang diajukan mereka ini.
Misalnya apabila masalah tersebut te!ah diselesaikan dalam
musyawarah-mufakat lembaga kerapatan adat nagari maka di
sinilah para pegawai tadi menyampaikan keputusan rapat yang
diambil para panghulu supaya segera dilaksanakan. Dalam kata
adat disebutkan "panghulu di pintu kato, pegawai di pintu suruah".
Dapatlah dikatakan di samping panghulu, kemudian ketiga
pembantu panghulu di atas, maka para pegawai ini memiliki peran
yang besar dalam menjalankan peran dan fungsi nagari. Misalnya
bahwa segala aturan-aturan dalam nagari tidak akan berjalan
lancar tanpa keterlibatan para pegawai ini.
Mengenai dubalang dapat digambarkan adalah sebagai
orang kuat nagari karena dalam mereka inilah disebut sebagai
panglima yang memegang peran dan fungsi keamanan nagari.
Menurut Hanafiah (ibid.) peran dan fungsi dubalang ini dapatlah
dikatakan seolah-olah disamakan pula dengan peran dan fungsi
238
polisi di masa sekarang. la yang bertugas memelihara ketentraman
dan menjaga agar setiap perintah para panghulu atau keputusan
yang diambil oleh lembaga kerapatan adat nagari agar ditaati oleh
anggota m0syarakat adat dalam nagari.
Peran dan fungsi manti dan dubalang ini dalam kata adat
disebutkan "kata manti kata berulang, kata dubalang mandareh"
artinya kata manti hanya mengulang perintah-perintah panghulu,
sedangkan dubalang bila perlu dengan kata-kaia keras menjaga
agar perintah itu ditaati.
Menurut Nairn (op.cit. ) mengatakan di daiam rapat lembaga
kerapatan adat nagari biasanya para dubalang merupakan juru
tunggu dan selanjutnya dalam tugas sehari-harinya dubalang ini
merupakan opas dari panghulu. Karena itu apabila mamak kaum
atau mamak suku akan mengumumkan suatu perintah bagi
kepentingan kaum atau sukunya atau masyarakat adat dalam
nagari maka dubalang pergi mengitari nagari menyampaikan
pengumuman atau pemberitahuan bahwa akan ada pengumuman
perintah dari mamak kaum atau mamak suku dengan cara
memukul "canang". Pada masa dahulu dubalang ini memakai baju
merah, sedangkan para panghulu memakai baju hitam.
Mengenai malim sebagai pembantu ketiga dari panghulu
sebenarnya sebagai akibat masuknya agama Islam ke
239
Minangkabau, yang sebelumnya belumlah ada istilah malim.
Seperti juga dengan kata-kata "rajo nan tigo selo" ketika di
Pagaruyung dijumpai adanya pemerintahan kerajaan Minangkabau,
maka salah !:"atu istilah sebagai akibat masuknya Islam ke
Minangkabau dikenal adanya "raja ibadat" yang menunjukkan ia
berperan dan betiungsi sebagai salah satu raja di masyarakat adat
Minangkabau yang masuk melaraskan diri dengan adat
Minangkabau pada masa itu.
Karena itu pengaruh Islam melalui peran dan fungsi Malim ini
terasa pula di lingkungan parui' atau rumah gadang sebab malim di
sini berperan pu!a sebagai pemuka agama yang mengurus perihal
keagamaan di kalangan keluarga separui'. Di sinilah kemudian
seorang malim memperoleh pula gelar tertentu di dalam
kelembagaan adat Minangkabau misalnya panghulu dari kaumnya
bergelar Datuk Maruhum Batuah maka malim memperoleh gelar
menjadi "Imam Maruhum" atau disebut juga sebagai "Khatib
Batuah" gelar ini selalu disertai ketika ia menjadi seorang imam
atau khatib dari sebuah mesjid di lingkungan tempat ia berada.
Malim ini berperan dan betiungsi pula dalam kesehariannya
sebagai guru agama yang mengajarkan tulis menulis, tata bahasa,
dalam huruf Arab dan mengajarkan pula cara membaca kitab suci
Al Quran yang dinamakan "mangaji".
240
Di dalam suatu perkawinan misalnya malim juga sering
dijadikan wali atau saksi, demikian pula ketika terjadi perceraian.
Pada saat terjadinya suatu kematian di lingkungan keluarganya
atau di ka!angan anggota masyarakat adat malim berperan dan
berfungsi sebagai pembaca doa atau memimpin doa bersama para
anggota keluarga atau masyarakat setempat. Tidak heran pula
kemudian bahwa malim ini pula yang mengamati agar semua
anggota keluarganya atau masyarakat adat mentaati kewajiban
beragama seperti beribadat, sembahyang, atau memberi zakat dan
fitrah. Di luar lingkungan parui'nya sendiri malim ini dianggap
sebagai pemuka agama atau pemuka mesjid yang juga
menentukan pengangkatan imam-imam, khatib-khatib, bilal ketika
sembahyang Jumat atau hari-hari raya Islam lainnya. Dengan
demikian malim ini tugasnya adalah dalam hal keagamaan saja,
dan ia tidak turut campur tangan dalam pengurusan nagari, tetapi
sebagai pembantu panghulu ia sering dimintakan pendapatnya
terutama soal-soal adat dengan syarat yang berlaku di kalangan
masyarakat adat Minangkabau.
Kalau ditilik pemahaman tentang panghulu dalam uraian di
alas dikaitkan dengan nagari, maka di dalam kata adat disebutkan
"elok nagari dek panghulu, kato panghulu manjalasaikan" karena itu
panghulu dalam adat Minangkabau diibaratkan sebagai laksana
24 1
"kayu rindang di tangah koto, ureknyo tampe' baselo, batangnyo
tampe' basanda, dahannyo tampe' bagantuang, daunnyo perak
asuaso, bungonyo ambie' kasuntieng, buahnyo bulieh dimakan,
tampe' batadueh katiko hujan, tampe' baiindueng katiko paneh"
Menurut Panghoeloe & Manggis (op. cit. ) panghulu adalah
berperan dan berfungsi sebagai "pai tampe' batanyo, pulang tampe'
babarito, manyalasaikan nan kusui', manjaniehkan nan karueh".
Panghulu ini ada juga adalah sebagai "muaro sagalo sungai, laui'
nan tiado panueh", "makan indak maabihkan, manabang indak
marabahkan, mancancang indak mamutuihkan, nangkodoh basa,
basiru angin diudaro, basabueng ombak di lautan, padoman nan
pantang dilapehkan".
Melihat peran dan fungs·r di alas, maka menurut Panghoeloe
& Manggis (ibid. ) seorang panghulu ketika hendak diangkat menjadi
panghulu ia harus memenuhi kriteria persyaratan sebagai berikut :
1. panghulu harus laki-laki 2. keturunannya dari orang baik-baik, artinya bapaknya
hendaklah orang baik-baik. Di dalam kata pepatah adat disebutkan "kalau kurie' bapaknyo, sakurangkurangnyo rintie' anaknyo". Jni gunanya untuk menjamin akhlak dan budi pekerti seorang panghulu
3. kaya, gunanya supaya jangan sampai menyusahkan anak-kamanakan tentang keperluan sehari-hari
4. balig-berakal, dewasa, berakal dan berpendirian teguh serta tegas dalam tiap-tiap tindakan
5. berilmu, cerdas dalam pengetahuan adat, undangundang adat, hukum adat dan ilmu pengetahuan umum menurut aliran zaman yang ditempati
242
6. adil, pandai yang mampu menyamakan kamanakan kandung dengan yang tidak kandung, karena kedua kamanakan itu berhak atas perlindungan harta dan jiwa serta kesejahteraan dari panghulunya. Bagi panghulu kamanakan tidak berubah
7. arif-bijaksana, mempunyai perasaan halus, paham akan yang tersirat, pikiran tajam dan ce:1dekia, menurut petitih adat "tahu dibayang kato sampai, tahu diranggeh kamalatieng, tahu ditunggue kamanarueng, takilek ikan dalam aie, lah tantu jantan batinonyo, kilek baliueng !ah kakaki, kilik caminlah kamuko"
8. memiliki kemampuan untuk bertablig, yaitu untuk menyampaikan sesuatu yang baik kepada umum
9. pemurah, bersedia memberi nasihat kepada barang siapa yang mernerlukannya
1 0 . tulus, lurus, benar, dan li'llah 1 1. sabar, beralam luas berpadang lapang.
Sedangkan pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh
seorang panghulu menurut Panghoeloe & Manggis (ibid.) adalah
sebagai berikut :
1 . pantang bagi seorang panghulu untuk marah. Dalam pergaulan sehari-hari, lebih-lebih dalam kerapatan tidak boleh memerahkan muka atau menuturkan katakata yang menyinggung perasaan yang mendengar
2 panghulu tidak boleh menghardik, melainkan harus bersifat lembut dan tenang, seraya rnanis akan tegur sapa. Kamanakan menyembah lahir, panghulu menyembah batin
3. panghulu tidak boleh menyingsingkan lengan baju karena tidak sopan. Panghulu harus senantiasa tertib dalam tiap-tiap gerak atau gerik, karena panghulu selain dari pada menjadi teladan yang baik, harus dihormati anak-kamanakan dan disegani orang ban yak
4. panghulu tidak boleh berlari, menjunjung, memanjat, gunanya untuk penjaga marwah dan kehormatan dirinya.
243
Menilik uraian di atas menunjukkan bahwa syarat untuk
menjadi panghulu itu tidak mudah. Sebab ia terlibat dan
menentukan dalam pelaksanaan pemerintahan nagari, yang
didasarkan pada sistem musyawarah yang dinamakan rape!'.
(rapat). Figur seorang panghulu dengan latar belakang persyaratan
di alas sangat menentukan sikapnya ketika ia mengambil
keputusan dalam suatu rapat yang memperbincangkan segala hal
mengenai roda pemerintahan yang akan atau sedang dijalankan.
Karena itulah kewibawaan pemerintahan nagari sangat ditentukan
oleh wibawa yang tinggi dari seorang panghulu yang harus ditaati
oleh seluruh penduduk nagari.
Nagari yang mempunyai wilayah sendiri dengan batas-batas
alamnya yang jelas dapat dikatakan merupakan sebuah republik
otonom yang bersama dengan nagari-nagari lain membentuk
federas·1 longgar menjadi federasi republik nagari yang dinamakan
"luhak". Luhak ini dalam adat Minangkabau dikenal dengan "luhak
nan tigo" yang penjelasannya dapat dilihat dalam uraian di bawah
ini
Apabila kita membicarakan pemerintahan nagari di
Minangkabau, tidak terlepas dari adanya perbedaan antara dua
bentuk susunan pemerintahan nagari satu dengan yang lainnya
244
memiliki perbedaan, yaitu dalam hal mengena1 susunan
pemerintahan.
Di dalam lingkungan adat Bodi-Chaniago, pemerintahan
nagari dilakukan bersama-sama yang penyelenggaraannya
diselenggarakan oleh penghulu-panghulu andiko di dalam suatu
permusyawaratan yang dinamakn kerapatan nagari . Di dalam
lembaga kerapatan ini masing masing panghulu andiko mempunyai
derajat yang sama, serta bersama-sama mereka memegang
tampuk kekuasaan dari nagari. Conteh sistem pemerintahan
menurut adat Bodi-Chaniago ini kita jumpai di daerah Batu
Sangkar.
Sedangkan dalam lingkungan adat Kato Piliang kita
menjumpai susunan yang lain, dimana di dalarn satu nagari
terdapat beberapa panghulu yaitu seorang panghulu andiko dengan
panghulu-panghulu andiko yang lain dalam memerintah suku
mereka melalui musyawarah (kerapatan suku), dan selanjutnya
panghulu suku ini dengan panghulu suku yang lain bersama-sama
memerintah nagari masing-masing sebagai datuak nan kaampek
suku. Di dalam memerintah suku, panghulu suku dibantu oleh tiga
orang pembantu-pembantunya yaitu seorang manti untuk
administrasi pemerintahan, seorang dubalang sebagai polisi serta
seorang seorang malin untuk keperluan urusan agama Islam; •
245
bersama-sama dengan panghulu suku, keempat orang ini disebut
urang ampek jinih. Dari keempat panghulu tadi, dipilihlah seorang
sebagai panghulu pucuk yang memimpin pemerintahan nagari.
Akan tetapi mengenai segala sesuatu yang akan dilakukan
sehubungan dengan pemerintahan nagari harus dilaksanakan
secara musyawarah antara keempat datuk nan kaampek suku tadi.
Sedangkan panghulu pucuk sebagaimana diuraikan di atas
bertindak sebagai pimpinan para panghulu tersebut.
Contoh daerah yang memakai adat pengaruh dari Koto
Piliang di daiam pemerintahan nagarinya ketika sebelum
dibubarkannya nagari oleh pemerintah pada tahun 1979 adalah
nagari Lima Kaum yang kini berubah menjadi Kecamatan Lima
Kaum Kabupaten Daerah Tingkat I I Batusangkar.
Mengenai kedua pemerintahan nagari di atas, walaupun
berbeda di dalam susunan alat-alat perlengkapan
pemerintahannya, akan tetapi kedua sistem itu mempunyai dasar
yang sama yaitu dasar musyawarah. Memang, seperti yang
dikatakan di atas sistem musyawarah adalah merupakan dasar dari
tata alam Minangkabau, seperti disebut oleh pituo :
"Tuah dinan samupakat Cilako dinan basilang".
(merupakan tuah apabila kita semufakat, sebaliknya celakalah kita
apabila telah berselisih pendapat).
246
Perbedaan lain yang dapat dikemukakan dari kedua bentuk
pemerintahan di atas adalah mengenai bentuk balai tempat nagari
bermusyawarah. Pada balai adat Bodi-Chaniago bentuknya
tidaklah bertingkat, melainkan bentuknya datar dan ierbuka lebar.
Di situlah musyawarah dilakukan, dalam posisi "duduak samo
randah, tagak samo tinggi".
Sedangkan pada balai Kato Piliang, bentuk bangunannya
terlihat bertingkat, sebab kedudukan panghulu bertingkat pula,
dimana seorang panghulu pucuk menempati kedudukan yang lebih
tingg'i dari panghulu-panghulu suku lainnya
Uraian di atas menggambarkan bahwa pemerintahan di
daiam nagari Minangkabau adalah pemerintahan yang
diselenggarakan dengan permusyawarahan, yaitu suatu
pemerintahan yang didasarkan pada sistem demokratis.
Sebagai contoh di nagari Lima Kaum yang termasuk di
dalam lingkungan adat Bodi-Chaniago masih kita temui pengaruh
adat Kato Piliang. Menurut pemerintahan adat Bodi-Chaniago,
tampuk pemerintahan di dalam nagari dipegang oleh kerapatan
nagari, oleh musyawarah panghulu-panghulu andiko. Musyawarah
panghulu-panghulu andiko itu kita jumpai di sana. Tapi hal ini tidak
berhenti di sini saja. Karena di nagari Lima Kaum kita dapati
sepuluh buah suku maka di sana kita jumpai yang dinamakan :
247
urang nan sapuluah. Yang dimaksudkan tentunya ; datuak nan
sapuluah, yaitu sepuluh orang panghulu yang dipilih satu orang dari
tiap-tiap suku. Kedudukan datuak nan sapuluah tentunya dapat
dibandingkan dengan panghulu suku di dalam lingkungan adat Kolo
Piliang. Dan urang nan sapuluah inilah rupanya yang merupakan
alat perlengkapan kenegaraan di dalam instansi yang tertinggi
Jelaslah bagi kita sekarang bahwa adat kelarasan Bodi
Chaniago dan kelarasan Koto Piliang itu sudah campur baur
dipakai di dalam suatu nagari, yang semula kedua sistem adat
tersebut dapat kita bedakan secara murni. Di dalam menguraikan
nagari se!anjutnya, baiklah kita tinjau menurut susunan lingkungan
adat Koto Piliang oleh karena banyak nagari-nagari Bodi-Chaniago
dipengaruhinya.
Jika diamati apa yang telah diterangkan di alas, maka bahwa
yang menjadi alat-alat perlengkapan di dalam nagari adalah
lembaga kerapatan adat Minangkabau yang disebut sebagai dewan
kerapatan adat yang anggota-angotanya terdiri dari para panghulu
panghulu andiko yang merupakan wakil dari para keluarga atau
kaum atau suku.
Sedangkan para panghulu itu, merupakan kepala-kepala
keluarga yang bersama-sama dengan kepala-kepala keluarga
lainnya duduk sebagai anggota dewan kerapatan adat nagari
248
tersebut Masing-masing dari kepala keluarga itu pada hakikatnya
memiliki peran dan fungsi, sebagai kepala keluarga, yang
memimpin dan menyelenggarakan kemakmuran para anggota
keluarganya, atau kaum atau sukunya. Di samping itu pula ia
berperan dan berfungsi sebagai alat perlengkapan nagari.
Kalau ditilik uraian di atas memperlihatkan bahwa sebuah
parui (rumah gadang) merupakan instansi yang pertama dari nagari
yang diwakili oleh panghulu kaumnya, yang turut menentukan
keseluruhan kebijaksanaan di dalam nagari sebab mereka turut
mengambil bagian dalam musyawarah mufskat di lembaga
kerapatan adat Minangkabau.
Dalam setiap nagari selalu terdapat sekurang-kurangnya
empat buah suku. Oleh karena itu d'rsetiap nagari dijumpai kepala
kepala suku yang disebut "datuak nan barampek" (datuk yang
berempat, yang merupakan wakil dari tiap-tiap suku terhadap
nagarinya). Dan di dalam nagari ini setiap segala perbuatan
perbuatan hukum dan segala peristiwa-peristiwa yang terjadi di
dalam lingkungan keluarga suatu kaum atau suku, semuanya
diketahui oleh panghulu. Begitu pula dengan segala perjanjian,
seperti gadai-menggadai, jual beli dari segala sesuatu yang
mengenai lingkungan keluarga yang dilakukan anak buahnya,
selalu disertai panghulu sebagai saksi.
249
Begitu pula tentang adanya kematian, perkawinan dan
kelahiran selalu dan harus diketahui oleh panghulu. Karena itu
seorang panghulu akan mengetahui sampai sekecil-kecilnya
sesuatu tentang di dalam paruinya (rumah gadang) , dia juga
mengetahui hubungan-hubungan legendaris antara paruinya
dengan parui asal di nagari itu, bahkan juga hubungan-hubungan
dengan belahan di nagari lain.
Seorang panghulu juga harus menurunkan pengetahuannya
kepada para kamanakannya tentang pengetahuan mengenai seluk
beluk adat, dan siapa yang harus menggantikannya ketika ia
meninggal dunia. teristimewa bagi angkatan yang akan
menggantikannya.
Lazimlah jika seorang panghulu sebuah parui (rumah
gadang) bersama-sama dengan panghulu-panghulu lainnya atau
panghulu suku, bersama-sama untuk memecahkan persoalan
persoalan mengenai kepentingan keluarganya dan bisa jadi jika
dianggap perlu persoalan ini dapat diperbincangkan di dalam
lingkungan yang lebih besar lagi yaitu di dalam lembaga kerapatan
nagari.
Dengan kata lain bahwa panghulu sebuah parui bersama
panghulu-panghulu lainnya turut memecahkan persoalan-persoalan
suku, bahkan terhadap keseluruhannya mengenai nagari. Jadi
250
i
panghulu-panghulu itu bersama-sama dengan panghulu-panghulu
lain di dalam serta di luar sukunya, semuanya turut secara
bersama-sama menghadapi persoalan nagari. Karena itu di dalam
lingkungan. panghululah dilaksanakan kekuasaan nagari. Di luar
paruinya pula mengenai persoalan suku atau nagari diselesaikan
yang semuanya dirundingkan dan diputuskan pada rapat suku atau
rapat nagari di lembaga kerapatan adat nagari secara musyawarah
untuk mengambil suatu keputusan mengenai suatu persoalan; di
mana masing-masing penghuiu mengeluarkan pendapat serta buah
pikirannya mengenai persoalan itu, sehingga berakhir pada suatu
keputusan dan keputusan ini baru boleh dijalankan apabila telah
diperoleh kata : "saiyo, sapakat " (seia semufakat).
Apabila dicermati uraian di atas, maka dapat dikatakan
bahwa seorang panghulu berperan dan berfungsi sebagai wakil
kekuasan kenagarian di dalam paruinya dan dialah yang
menurunkan perintah kepada anak buahnya, untuk menjalankan
putusan dari rapat nagari, yang oleh kepala suku disampaikan
kepadanya.
Dia jugalah yang menjaga agar segala aturan-aturan atau
putusan-putusan itu ditaati, begitu pula ia harus menjaga agar
kaumnya mematuhi adat dan sarak, dan kalau kaumnya
251
menyimpang dapat juga seorang panghulu menjatuhkan pidana
secara adat.
Oleh sebab itu Mr. van Vollenhoven (1920:35) mengatakan
bahwa pembagian kekuasaan di nagari menempatkan seorang
penghulu bertindak sebagai alat perlengkapan kenagarian yang
memegang kekuasaan kepolisian. Seperti bagaimana ia bertindak
mengawasi pekerjaan yang dilaksanakan nagari buat kepentingan
umum, contohnya dalam hal memperbaiki jalan yang rusak.
mendirikan dan atau mernperbaiki balai dan mesjid serta
memperbaiki hulu bandar buat pengairan sawah. Kadang-kadang ia
harus juga memungut iuran, baik berupa beras, padi, atau uang
untuk kepentingan umum atau kegembiraan-kegembiraan
penduduk dalam pengangkatan panghulu dan penutupan hari raya.
Terhadap wanita-wanita di lingkungannya, panghulu juga
mengawasi dan bertanggungjawab agar nilai martabat mereka
tetap suci (lihat lampiran I).
Sebagai alat perlengkapan nagari seorang panghulu
bertanggungjawab terhadap kekuasaan kenagarian yang menjaga
nagari menurut ketentuan adat yang berlaku. Dialah yang
bertanggungjawab tentang keselamatan dan ketentraman di dalam
paruinya, dan sebagai pelindung kepentingan keluarga, diap ula
yang memberi kata putus yang adil terhadap perselisihan-,
252
perselisihan di antara anak buahnya yang ingkar, yang melanggar
adat (hukuman menurut adat). Apabila terjadi pelanggaran yang
bertentangan dengan adat yaitu merusak adat senagari, maka
untuk memberi rasa peradilan, bermusyawarahlah panghulu parui
ini bersama panghulu-panghulu andiko yang lain atau bersama
panghulu-panghulu suku yang lain untuk memutuskan perkara itu
dengan azas keadilan.
Apabila uraian di atas diteliti, maka panghulu sebagai alat
perlengkapan nagari, ia memegang peran dan fungsi kekuasaan
eksekutif (menjalankan pemerir:tahan), kepolisian (menjaga agar
aturan-aturan ditaati anak buahnya), yudikatif (memberi putusan
adil dalam perselisihan-perselihan menurut adat di dalam
lingkungannya tetapi apabila perlu ia dapat meminta rapat nagari
melalui Jembaga kerapatan adat nagari). Hal ini menggambarkan
bahwa pemerintahan nagari itu diselenggarakan panghulu
panghulu bersama-sama di dalam musyawarahnya. Jika
penjelasan di atas digambarkan secara skematis dapat terlihat
dalam uraian di bawah ini.
253 r
Nenek
Melahirkan Suku Turunan
Saudara �
saudara Perempuan
\bu
lbu, Anak, Bapak
Mengurus Anggota
Keluarga & Kamanakan
Gambar IV.2
IM";;mak ·-l>-1 Kaum/Suku
Sebagai Ninik
M::Jmrik
Oise but Panghulu
Memakar Gelar Kaumnya
- -J Menjadi
Anggota LKAM
Mengurus Ekonomi Anggota
Keluarga & Harta
pusako
254
Lembaga Kerapatan Adat Minanakabau
Sebagai
"J Dewan
Pemerintahan Nagari
�--..--
[And1ko/ Panghulu
Pucuk Pandai
Sal ah Seorang
Dlantaranya Diangkat
Menjadi Wali Nagari
Sebagai Lembaga
Pemerintahan Adat&
Masyarakat Minangkabau
Bagaimana lembaga adat Minangkabau di atas dapat
menjalankan peran dan fungsinya, maka secara melembaga oleh
pendiri adat Minangkabau yaitu Datuk Perpatih Nan Sebatang dan
Datuk Katemanggungan ditE'lapkanlah beberapa norma adat
sebagai norma sosial yang harus ditaati oleh masyarakat adat
Minangkabau yaitu beberapa pembagian tentang pemahaman adat
dan undang-undang tentang masyarakat dan adat Minangkabau
yang dapat terlihat dalam uraian berikut ini.
5. Adat Minangkabau
Adat Minangkabau ini memiliki ernpat macam dengan
maknanya rnasing-masing yang telah lama digunakan secara turun
temurun yang hingga dewasa ini masih d itemukan dalarn
masyarakat dan adat Minangkabau :
1. Adat nan sabana adat
2. Adat nan diadatkan
3. Adat nan teradat
4. Adat istiadat
ad.1. Adat Nan Sabana Adat
Yang dimaksud dengan adat nan sabana adat ialah segala
sesuatu yang telah terjadi menurut kehendak Allah, yang
255
merupakan sebagai undang-undang alam yang abadi dan tidak
berubah-ubah, seperti dalam kata adat yaitu murai bakicau, jawi
malanguah, kabau mangowek (murai berkicau, sapi melenguh,
kerbau menguek). Hal ini meru;:iakan hukum kodrat (lex naturalis)
yang memang demikin dijelmakan alam.
Adat nan sabana adat ini menurut tradisi adat Minangkabau
dikatakan tetap kekal, tidak terpengaruh oleh tempat, waktu atau
keadaan, sebab itu di dalam kata adat dinyatakan "indak lakang
dek paneh, indak lapu'e dek hujan".
Ada! nan sabana adat yang demikian ini berpangkal pada
hukum alam sebagaimana dikatakan dalam kata adat, adat air cair,
membasahi, adat api panas, membakar. Dengan memperlihatkan
dan belajar dari apa yang dilihat dan dirasakan dari alam sekitar
kehidupan manusia, maka dijadikanlah hukum alam sebagai guru
untuk pedoman hidup sehari-hari seperti misalnya, ilmu padi akan
dipakai, makin berisi makin tunduk.
Di dalam "nan sabana adat" ini setelah masuknya Islam ke
Minangkabau ditambahkan pemahamannya dengan yaitu aturan
aturan yang tertera di dalam Al-Qur'an, seperti muncul kemudian
kata-kata nan sepanjang syarak tentang syah atau batalnya serta
halal dan haramnya sesuatu. Karena itu adat yang demikian
disebut sebagai adat yang datang dari Allah Taala. Sebagai usaha
256
untuk menyesuaikan adat dengan agama Islam ini, timbullah kata
kata "Adat bersandi syara', syara bersandi Kitabullah."
Ad.2. Adat Nan Di Adatkan
Adat nan diadatkan dimaksudkan adalah adat yang dibuat
oleh orang ahli pengatur tata-alam Minangkabau yaitu Datuk
Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, ditambah
dan diperbaiki sesudah dimufakati oleh para paghulu andiko dan
ninik mamak. Adat nan diadatkan ini antara lain meliputi ketentuan
mengenai kedudukan dan cara pengangkatan panghulu,
kedudukan mamak, anak dan kamanakan, keturunan ditarik
menurut garis ibu, menentukan adat perkawinan, rnendirikan rumah
gadang, mengerjakan sawah dan cara berrnusyawarah untuk
mendapatkan kata sepakat. Dalam musyawarah ini yang dijadikan
pedoman adalah "bulek ai dek pambuluh, bulek kato dek mupakek,
ai batitisan batung, bana batitisan urang".
ad.3. Adat Nan Teradat
Adat nan teradat dimaksudkan adalah adat yang digunakan
dan berbeda di dalam satu nagari dengan nagari lainnya seperti,
saluhak-saluhak, salaras-salaras yang menggambarkan adanya
aturan yang disesuaikan menurut keadaan dan tempat. Di sini
257
menunjukkan bahwa aturan-aturan itu selalu menyesuaikan diri
dengan kehendak zaman.
Sebagai contoh tata cara hidup di tiap nagari atau luhak bisa
jadi tidak sama, begitu pula dengan logat dan pakaian satu nagari
dengan nagari lain atau luhak tidak sama. Tengkuluk wanita
kecamatan Lima Kaum Kabupaten Daerah Tingkat II Batu Sangkar
tidak sama bentuknya dengan wanita Kecamatan Tilatang Kamang
Kabupaten Daerah Tingkat II Agam. Meskipun dalam pandangan
sepintas ada perbedaan di alas atau perbedaan kebiasaan dalam
daerah yang satu dengan daerah yang lain, pada dasarnya isinya
adalah sama yang semuanya bersumber dari adat Minangkabau.
Seperti peribahasa adat mengatakan "adek sapanjang jalan, cupak
sapanjang batung". Artinya masing-masing nagari berdiri atas
adatnya masing-masing. Sedangkan mengenai setiap ruas batung
(bambu) dapat dijadikan cupak, hanya saja panjang pendeknya
yang berlainan tetapi isinya sama saja.
ad.4. Adat lsitiadat
Yang dimaksudkan dengan adat-istiadat di s1ni ialah
berkaitan dengan seperti yang diungkapkan kata adat :
" Di mano batang taguliang, Di sinan tindawan tumbuh, Di mano tanah dipijak, Di sinan langit dijunjung':.
258
Kata-kata di alas mengumpamakan ibarat, bagaimana
seseorang itu harus dapat menyesuaikan dirinya dengan adat
setempat, yang mungkin berbeda-beda atau biasa juga dikiaskan
dengan kata sebagai berikut .
"Di ma no air urang disauak Di sinan adat urang diturut".
Mengenai adat nan diadatkan yang disebutkan di alas yang
merupakan aturan-aturan yang banyak bersangkutan dengan
susunan masyarakat dan adat Minangkabau untuk penjelasannya
dapat dicermati uraian berikut inL
Adat nan diadatkan seperti disebutkan di alas adalah
merupakan aturan-aturan yang dibuat oleh kedua ahli pengatur tata
alam Minangkabau, yang terdiri dari :
a. Cupak nan duo : 1) Cupak usali
2) Cupak buatan
b. Kato nan ampek : 1) Kato pusako
2) Kato mufakat
3) Kato dahulu ditepati
4) Kato kemudian kato dicari
c. Undang-undang nan ampek : 1) Undang-undang luhak/rantau
2) Undang-undang nagari
3) Undang-undang di dalam nagari
259
4) Undang-undang nan duo puluah
d. Nagari nan ampek : 1) Teratak
2) Dusun
3) Koto
4) Nagari
Undang-undang nan ampek :
1. Undang-undang Juhak/rantau lni adalah aturan mengenai
bagaimana susunan di Juhak dan di rantau, seperti kata adat :
iu/Jak bapanghulu, rantau barajo. Hal ini telah kita uraikan pada
waktu menerangkan luhak dan rantau.
2. Undang-undang nagari : ini mengenai aturan-aturan yang
mengatur syarat-syarat apa yang harus dipunyai oleh tiap-tiap
nagari ; harus balabuah, batapian, bagalanggang, babalai,
bamusajid.
3. Undang-undang da/am nagari : atau biasanya disebut undang
undang orang di dalam nagari, yang dimaksudkan ialah
peraturan perdata, yaitu aturan yang mengatur hubungan
seseorang dengan orang lain (dalam kedudukan yang setaraf
sebagai anak nagari) di dalam nagari.
260
4. Undang-undang nan duo puluah : undang-undang ini merupakan
aturan-aturan hukum pidana yang mencakup macam-macam
kejahatan. Undang-undang ini terbagi alas :
1. l lndang-undang nan salapan (8)
2. Undang-undang nan duo baleh (12)
Jadi undang-undang nan duo puluah ini mengatur hubungan
anak nagari (penduduk nagari) dengan nagari sebagai suatu
kesatuan kanagarian terhadap inilah berlaku kata adat :
"Cupak bartanda satu".
Nagari Nan Ampek
Nagari nan ampek ini biasa juga disebut; koto nan ampek
a tau disingkat menjadi koto ampek yaitu teratak, dusun, koto,
nagari (lihat uraian tenta nagari di atas).
Cupak Nan Duo Dan Kato Nan Ampek
Cupak nan duo dan koto nan ampek ini adalah merupakan
sendi dari undang-undang adat. Cupak dimaksudkan adalah ukuran
isi yang terbuat dari batung atau bambu yang digunakan sebagai
penentu takaran isi misalnya beras, gula, tepung jagung, tepung
tapioka. Da/am pepatah adat disebutkan "cupak sapanjang batung"
yang bermakna cupak sebagai ukuran antara dua ruas batung atau
261
bambu dan cupak ini bila dikaitkan dengan kata "cupak usali"
bermakna di dalam pengertian yang simbolis yaitu segala sesuatu
yang dijelmakan alam (natuur/alam=Tuhan).
Cup8k nan duo ini terdiri dari cupak usali dan cupak buatan.
Yang Jimaksud dengan cupak usali ialah cupak yang dijadikan
ukuran untuk dipedomani yang ukurannya telah ditetapkan, yang
tidak boleh dibanding lagi dan berlaku selama-lamanya. Dalam kata
adat disebutkan bahwa cupak usali ini tidak boleh "dililih urang
manggaleh" artinya tidak boleh dikerat (dipotong) o!eh saudagar
menu:·ut kehendaknya untuk keuntungan dirinya sendiri sebab,
cupak usali adalah untuk kepentingan bersama dengan tidak kena-
mengena.
Berpedoman pada cupak usali 1ni timbullah ukuran lain
menurut adat :
"Gantang nan papek, Bungka nan piawai, Nan batiru-batuladan, Nan balukih-balimbago".
Sedangkan yang dimaksud dengan cupak buatan adalah
cupak yang dibuat untuk melengkapi cupak usali di atas. Cupak
buatan ini dibuat oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk
Ketemanggungan. Menurut Hanafiah (1 970:33) cupak buatan ini
dibuat adalah untuk mengatur masyarakat adat Minangkabau
melalui aturan-aturan adat yang berlaku juga pada lembaga adat
262
Minangkabau, karena itu cupak buatan bermakna "aturan hukum",
yang aturan hukum ini tidak saja dibuat oleh kedua pendiri adat
Minangkabau di atas dalam perkembangannya juga dibuat oleh
para panghulu andiko, para cerdik pandai se1ia alim ulama.
Dalam kata adat dinyatakan bahwa cupak buatan itu ialah
pencarian atau temuan "para panghulu", "urang tuo-tuo dan cadie
pandai dalam nagari dipatri dengan tandue ditanam, darah dikacau,
dagiang dilapah, dilicak pinang, ditapuang batu".
Cupak buatan di alas dibuat adalah untuk menumbuhkan
rasa keadilan di dalam masyarakat seperti bagaimana sebuah
cupak memiliki nilai keadilan antara cupak pembeli dan penjual
yang pada dasarnya haruslah sama dan ini dirasakan di dalam
pergaulan hidup masyarakat. Sebab itulah kemudian dikenal
tentang kata-kata bahwa nan secupak beras beratnya = 12 tahii,
dan empat cupak adalah 48 tahil yang disebut juga dengan ukuran
segantang kurang dua dari 50. Kemudian di dalam masyarakat adat
dikenal kata-kata berikut :
Seta hi/
Sepaha
Saemas
Sakupang
Sabuncis
= berat empat paha
= 4 mas
= 4 kupang
= 6 buncis
= 1 kundi.
263
Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa dalam cupak
usali dan cupak buatan inilah terkandung tradisi peraturan tentang
kemasyarakatan, dan adat Minangkabau.
Kato Nan Ampek
Kato nan ampek dalam adat Minangkabau disebut juga kato
adat yang didefinisikan "parmulaan kato kasudahan hukum,
parmulaan hukum kasudahan hukum. Kato Nan Ampek ini terdiri
dari "kato pusako, kato mupake, kato dahulu ditepati, kato
kamudian, kato bacari, bagaimana penjelasannya tentang hal ini
dapat dilihat uraian di bawah ini.
Kato Pusako
Sebagaimana hal di atas Kato pusako ini merupakan kata
yang berasal dari ninik Datuk Ketumanggungan serta Datuk
Perpatih Nan Sabatang. Kato pusako ini kemudian menjadi kata
pedoman serta ukuran di dalam menyusun hidup bersama bagi
masyarakat adat Minangkabau. Yang dikatakan kato pusako adalah
" Kato rajo malimpahkan, Kato panghulu manyalasai, Kato malim kato hakekat, Kato manti kato manghubuang,
. Kato parampuan, kato marandah,
264
Kato rang banyak, kato babalue' Maumban manuju tampue, Tantang bana buah karareh, Manabang manuju pangka, Tantang bana ruek karabah, Manggajueng sagajueng putuih, Maumban saumban rareh, Mangaui sakaui kameh Bakato Sapatah sadang".
Menurut Hanafiah (Ibid.,) hakikat dari kato pusako ini adalah
pada "bakato sapatah sadang". Dalam kata adat kato pusako ini
disebutkan sebagai "yang sapatah, yang gantiang putuih, yang
biang tambuih". Artinya pada kato pusako tidak ada kompromi atau
toleransi yaitu tidak ada sanggah-manyanggah atau sanggah-
banding dan tidak ada tarik-ulur, tidak ada tolak-angsur.
Di dalam menjatuhkan hukum misalnya dalam
pelaksanaannya sangat radikal karena membawa akibat
"Tibo didaun daun rurui, Tibo didahan dahan rantieh, Tibo dibatang batang rabah, Tibo diurek urek mati Tibo dibatu batu pacah, Tibo ditanah tanah lambang, Tibo didagieng dagieng hancue, Tibo ditulang tulang caie, Tibo didarah darah karieng".
Kemudian sifat kato pusako ini ialah :
"Panto nan alah tapantokan, bapantang balimo purui. Kato nan alah takatokan, bapantang dienjo surui. Langkah nan lah talangkahkan, Satapak bapantang surui.
265
Tabujue lalu tabalintang patah, Sabalun sampai bapantang balie.
Tanggung jawab kato pusako adalah "Aso hifang duo
tabilang".
Contoh dari kato pusako ini adalah seperti adat bermamak-
berkamanakan :
"Birik-birik tabang kasamak, Dari samak mangkonya makan, Dari ninik turun ke mamak, Dari mamak ka-kamanakan".
Turunnya pusaka dari mamak ke kamanakan ini artinya agar
supaya diturutinya segala suruhan mamak dan menghentikannya
segala larangan mamak oleh kamanakan, karena mamak adalah
merupakan kepala keluarga.
Contoh lain, dapat disebutkan sebagai berikut :
"Orang Makkah membawa taraju, Orang Bagdad membawa talur, Talur dimakan bulan puasa, Rumah gadang bersendi batu, Adat bersendi alur, Alur itulah kaganti raja, Bajulah sudah dari balai, Basamo kito manyaruangkan, Halur jo patut nan kadipakai, Basamo kito malangsuangkan".
Begitu pula di sini dengan bahasa "undang-undang nan
ampek" dapat juga dikatakan merupakan kato pusako.
266
Menurut Panghoeloe dan Manggis (Op.cit.,) kato pusako ini
tidaklah tertulis, karena itu jarang sekali kato pusako ini yang
diketahui orang, biasanya hanya berpindah dari mulut ke mulut dan
dari generasi ke generasi, sehingga dikatakan di dalam tambo
alam bahwa jaranglah orang yang tahu di mana kato pusako, dalam
seribu tiada seorang, dalam senagari tiada bersua, dalam seluhak
entah seorang.
Kato Mupake
Yang dimaksudkan dengan kato mupake (kata rnufakat) d1
sini adalah aturan-aturan hidup bersama, yang dibuat dalam suatu
permufakatan. Permufakatan ini dapat terjadi antara satu luhak
dengan luhak yang lain, atau satu laras dengan laras yang lain atau
satu nagari dengan nagari yang lain.
Maksud dari aturan yang merupakan "kata mufakat" itu ialah
untuk mendekatkan diri kepada kebajikan, untuk menjauhi segala
kejahatan, untuk menimbulkan usul, penghilangan gaduh agar
terjelma kebajikan hidup bersama yang berfaedah bagi orang
banyak.
Aturan yang merupakan kata mufakat ini ialah aturan yang
dibuat untuk melaraskan diri dengan perkembangan dinamika hidup
bersama; perlu ada aturan-aturan baru pengatur hal-hal yang baru
267
timbul kemudian, karena hal-hal itu belum timbul di waktu ninik nan
baduo menciptakan "kata pusaka".
Aturan dalam kata mufakat tadi dibuat oleh panghulu
panghulu, orang cerdik pandai serta orang-orang untuk melaraskan
diri dengan kebutuhan-kebutuhan baru dari anak buah, agar
kebajikan dan kemajuan bertambah.
Contoh yang jelas dapat kita lihat di dalam hubungan "induak
bako dengan anak pisang"
Di desa-desa nagari ada diwajibkan kepada induak bako,
apablla anak telah lahir, membawa sebuah kelapa tua (atau yang
telah jadi anak kelapa) ke rumah si anak yang ierus ditanam di
pekarangan rumah si anak tadi. Maksudnya nanti umur si anak
dapat dibandingkan dengan umur kelapa yang dilihat pada ruas
ruas batangnya.
Apabila kelapa nanti telah berbuah dapat dijual buahnya,
dibelikan keapada ayam betina yang telah berkembang biak,
dibelikan kambing betina, kalau ini telah beranak pula, dijual,
dibelikan jawi, kerbau, kuda dan sebagainya. Dengan demikian,
kalau si anak telah tua dapatlah ia mengenang hubungan induak
bako dengan anak pisang, dapat dilihatnya betapa besar kebajikan
induak bakonya dari sebuah kealap sekarang menjadi sapi, kerbau
dan sebagainya.
268
Kewajiban induak bako tersebut adalah merupakan kato
mufakat di dalam nagari tersebut.
Ada pula kata mufakat di suatu nagari, apabila anak pisang
buat pertama kali pergi ke rumah induak bako, pulangnya diberi
hadiah seekor ayam betina atau sebuah kelapa kalau induak
bakonya kaya kadang-kadang sampai diberi seekor kambing
betina, sapi betina, kerbau dan sebagainya
Kato Dahulu Ditepati
lstilah "kato" disini mengandung makna kebiasaan
kebiasaan yang telah dipakai, yang telah ada sebelum ninik Datuak
nan berdua. Jadi maksud "kata dahulu kata ditepati" yaitu
kebiasaan-kebiasaan yang telah ada sejak dulu diteruskan saja
pemakaiannya oleh generasi berikutnya. Kebanyakan kebiasaan
kebiasaan itu hanya merupakan "adat nan teradat" saja, seperti di
dalam pesta-pesta tentang hidangan-hidangannya dan sebagainya
yang kerap juga dibuat orang untuk melebihkan gengsi di mata
orang banyak, yang ditiru orang-orang lain dan begitu seterusnya
hingga menjadi adat-teradat.
Walaupun kebiasaan-kebiasaan ini frdak semuanya baik,
oleh karena tidak dibuat oleh Datuk Ketumanggungan serta Datuk
Perpatih Nan Sabatang, jadi hanya merupakan "adat yang teradat"
269
saja, maka dari itu kebiasaan-kebiasaan yang baik masih dipakai
terus, sedangkan yang tidak baik banyak yang telah diubah;
misalnya di dalam pesta kawin tak usahlah orang menggadai dan
sebagainya karena ini menimbulkan kemiskinan anak nagari.
Biasanya kata dahulu kata ditepati, dibuat tak dipakai lagi apabila
bertentangan dengan kato pusako.
Kato Kemudian Kato Bacari
Oleh karena kato dahulu "ada yang kurang baik", dan kurang
patut dipakai, maka dicarilah kato yang bail\, kato yang memberi
kebajikan pada isi nagari. lnilah yang dimaksudkan dengan kato
kemudian kato bacari.
Akan tetapi kato dahulu kato ditepati itu banyak yang suka1·
diubah, seperti batanak diperiuk, menumbuk di lasuang dan
sebagainya. Hal ini telah ada sebelum ninik Datuk
Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, masih
dilanjutkan sampai sekarang. Juga seperti merokok dengan daun
nipah, daun enau, makan dengan tangan.
Akan tetapi sekarang kita lihat orang menumbuk sudah pakai
mesin tumbuk, merokok sigaret, makan dengan sendok (sebetulnya
makan dengan sendok dewasa ijni belum umum bagi orang
270
Minangkabau, betapapun modernnya), ini semuanya disebut kato
bercari.
Undang-undang Nagari
Seperti pada dasar kekeluargaan nagari baru yang
dinyatakan bahwa nagari baru sah apabila memenuhi syarat yang
empat. Dalam undang-undang nagari syarat-syarat itu dihimpunkan
ke dalam tujuh rukun :
"Labueh-tapian, Balai-musajik, Dusun-taratak Sawah-ladang. Banda-buatan. Kabau-jawi, tabek taman-taman, Galanggang-pamedanan".
Adapun iabueh adalah urusan perhubungan lalu-lintas
sebagai urat nadi perekonomian menurut Adat
Tapian adalah lambang kesehatan. Balai adalah lambang hukum dan mupakat (demokrasi). Musajik adalah lambang Agama. Dusun-taratak adalah lambang pemerintahan. Sawah-ladang adalah lambang pertanian. Banda buatan "adalah lambang pengairan (ingasi). Kabau-jawi adalah lambang peternakan. Tabek taman-taman adalah lambang perikanan. Galanggang adalah lambang keolahragaan. Pamedanan adalah lambang permainan, tempat berhimpun.
271
Undang-undang Dalam Nagari
Yang dimaksud dengan undang-undang dalam nagari adalah
undang-undang yang mengatur tentang hubungan antara nagari
dengan isinya dan antara isi nagari dengan sesamanya Oieh
karena itu undang-undang dalam nagari pada dasarnya menjamin
keamanan dalam nagari yang terbagi atas :
a. Menyuruh berbuat sesuatu, jika tidak dikerjakan diancam dengan
hukuman.
b. Melarang berbuat sesuatu, jika tidak ditaati diancam puia dengan
hukuman.
Di dalam undang-undang dalam nagari hukuman badan tidak
lazim dinyatakan di Minangkabau, yang dikenal adalah hanya
hukuman budi. Hal in i disebabkan sebagimana telah diterangkan
bahwa orang Minangkabau hidup dalam pertalian kekeluargaan
karena itu hukuman badan tidak ada, dan adalah suatu kehinaan
bagi seseorang manakala 1a dikeluarkan dari hubungan
kekeluargaan itu. Hina adalah suatu hukuman yang tidak tertahan
oleh jiwa orang Minang, seperti kata pepatah adat : 'nan sakik kato,
nan malu tampak". Orang Minang tak tahan kena "kato"; malah
tasinggueng labieh bak kanai". Orang Minang malu apabila
kelihatan :
"Alu tatumbue' ditabieng, Jiko tatumbue' dipandan,
272
Bulieh ditanam tabu. Malu talumbue' dikanieng, Jiko tatumbue' dibadan, Bulieh disaok jo baju."
Dalam kala adat ha! di alas dinyalakan bahwa tiap-tiap
keluarga menaruh "ameh" dalam rumah, untuk penjaga supaya
jangan seorang anggota keluargapun sampai beroleh malu. Dalam
kala adat dinyatakan "kain pandindieng miang, ameh pandindieng
malu".
Dasar undang-undang dalam nagari di alas di antaranya
dalam adar dinyalakan "salah tarie' mangumbalikan, salah cotok
malaniengkan, Salah lulue mamunlahkan, salah cancang mambari
pampeh,salah bunueh mambari dial; manjalang maantakan, utang
dibaie piulang ditarimo, jaueh bahambatan, ampie' batarie' an,
baabu bajanlie', kuma basasah, sasek surui' talanglah kumbali,
gawa maubah, cabueh dibuang, adie dipakai, babatulan
babanjaran, balabieh katangah, basalahan bapatui', burue'
dipabaie'I, lapue' dikajangi, usang dipabaru, racik-racik diapik,
rusueh babujue, tangih baantokan, jatueh basambui, tagamang
bajawek, ilang bacari, luluih basalami, salah kapado Tuhan tobat,
salah kapado manus1e minla maoh,sirieh dipulangkan
kagagangnyo, pinang disurui' kan katampue'nyo, suarang baragieh,
sakutu bapapah (babalah)".
273
Undang-undang Luhak dan Rantau
Mengenai undang-undang Luhak dan Rantau yang mengatur
tentang tugas Panghulu dan Rajo ditempatnya masing-masing
dalam kata adat dinyatakan "mancampak tibo kahulu, kanailah
panak dalak karco, dicacok batang badak, dirandang daun
ampaleh, talang dalam dipatah-patah, saikue dalam parahu, luhak
dibari bapanghulu, rantau dibari barajo, tagak indak tasundak,
malenggang indak tapampeh, tabalintang patah, tabujue lalu."
Undang-Undang Nan Duo Pulueh
Yang dimaksud dengan undang-undang nan duo pulueh
adalah undang-undang tentang hukum dan undang-undang tentang
penyelesaian hukum. Oleh sebab itu mengenai keamanan dalam
nagari adalah syarat terpenting dalam nagari. Apabila keamanan
nagari tidak terjamin, maka niscaya pembangunan tidak akan
terlaksana. Di sinilah terlihat bahwa tiap-tiap anggota masyarakat
adat harus senantiasa membantu memelihara keamanan itu.
Jikalau dalam nagari terganggu keamanannya maka setiap
orang atau anggota masyarakat adat yang mengganggu dengan
sengaja atau tidak sengaja wajiblah kemudiannya ia diperiksa. Oleh
karena itu setiap gangguan dalam bentuk apapun harus segera
dihadapi, sehingga keamanan itu dapat pulih kembali.
274
Undang-undang nan duo pulueh ini pada dasarnya disusun
oleh kedua ahli hukum adat Minangkabau yaitu Datuk
Katemenggungan dan Datuh Perpatih Nan Sebatang yang pada
masa dahulu dijadikan sebagai alat pemeriksa dan penghukum
tiap-tiap bentuk kejahatan, besar atau kecil, yang dilakukan oleh
satu orang atau lebih dari seorang.
Mengingat jenis kejahatan pada umumnya, maka undang
undang nan duo pulueh ini dibagi atas undang-undang nan salapan
dan undang-undang nan duo baleh. Undang-undang nan salapan
berlaku untuk fi'il, sedang enam diantara undang-undang nan duo
baleh jatuh kepada cemo dan yang enam kepada tudueh.
Makanya disebut undang-undang nan duo pulueh karena ia
pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan; yang delapan menyatakan
nama kesalahan, sedangkan yang dua belas umumnya
menunjukkan jalan untuk pembuktian kesalahan.
Seperti telah disebutkan di atas tentang hukuman menurut
adat Minangkabau yang pada dasarnya adalah bukan hukuman
badan, melainkan hukuman jiwa atau hukuman budi.
Mengenai kerapatan adat Minangkabau yang merupakan
kerapatan para panghulu yang dapat bertindak sebagai pengadilan
adat, maka jika dipandang perlu, para panghulu yang melakukan
rapat tersebut dapat berwenang membuat anak-kamanakan yang
275
dinyatakan bersalah menurut hukum adat harus dijatuhi hukuman
bentuknya dapat berupa hukum buang atau "mambuang". Hukum
buang artinya menyingkirkan seseorang itu misalnya anak
kamanakan dari masyarakat adat, ketika ia dibuang ia tidak
dibenarkan membawa sesuatu dari rumah keluarganya. Dalam kata
ad at disebutkan sehilir-mudik; "jenjangnya dinaikkan", artinya "tibo
dikarajo baie' indak bahimbauan, tibo dikarajo burue' indak
bahamburan'', buruk baik yang terjadi, baik dalam nagari maupun
dalam kampung atau suku, kepada anak-kamanakan tersebut tidak
lagi diberitahukan.
Tentang hukuman yang dijatuhkan di atas dalam kata adat
yang lain disebut "Baabu bajantie', kuma basasah", kesalahan yang
kecil boleh dimaafkan, yang masih boleh dihukum dijatuhkan
hukuman. Tetapi dimana noda tidak dapat dibersihkan lagi,
sehingga oleh karenanya tercemar kampung atau suku, rusak
cupak atau kato, maka anak-kamanakan demikian disisih.
Kepadanya dijatuhkan "Hukuman-Budi". Penjaranya adalah
masyarakat sendiri.
Apabila terjadi suatu sengketa dalam masyarakat maka
sengketa itu haruslah diselesaikan dengan terlebih dahulu masing
masing pihak diperiksa dan kemungkinan dijatuhkan hukuman
apabila kesalahan itu dapat dibuktikan. Setelah jatuh, putusan
276
yang telah diambil dalam pengadilan adat, para pihak yang merasa
dirugikan dalam hal tersebut, maka para pihak itu boleh naik
banding menurut saluran adat dengan ditentukan pula batas
waktunya, misalnya 1 X 7 hari, ada yang 2 X 7 hari lamanya,
sehingga orang yang berperkara akan merasa mendapatkan
keadilan dan mereka merasa puas atas keputusan yang telah jatuh
kepadanya untuk diterima. Dalam adat namanya "bana disaluseuh".
Undang-Undang Nan Salapan
Undang-undang nan salapan ini terdiri ·dari :
Tikam-Bunueh, U peh-racun, Samun-saka, Sia-baka, Malieng-curi, Umbue'-umbi Sumbang-salah, Dago-dagi.
U ndang-undang nan salapan ini menyatakan bahwa
kejahatan atau kesalahan besar harus :
1. Tikam-bunueh.
Tikam dibuktikan dengan darah meleleh, bekas ditusuk
barang yang tajam.
Bunuh dibuktikan dengan mayat terbujur
277
2. Upeh-racun
Upeh upas, yaitu ramuan yang dijadikan racun.
Racun yaitu tuba. Orang segera mati kena racun.
Pemeriksaannya iaiah seperti yang disebut "siso dimakan",
artinya diberikan sisa dimakan hewan atau cara sekarang
doperiksa tabibdi rumah sakit
3 . Samun-saka
Samun, mengambil barang orang dengan paksa ditempat
yang lengang biasanya dibateh yaitu batas luhak dengan
rantau, tempat yang dianggap penyamun menyulitkan hukum.
Saka, artinya samun dengan membunuh orang yang
empunya barang sekali. Hukum bagi penyamun ialah "andam",
internir sekian lama, kemudian dibebaskan kembali. Hukum
bagi penjaka yaitu internir selama hidup, yang disebut "andam
karam".
4. Maling-curi
Maling, dilakukan malam hari dibuktikan dengan "upang
upang takanak", jenjang tersandar tempat memanjat dan
dinding teretas, dilobangi supaya dapat masuk kedalam rumah
mengambil barang orang
278
Curi, dilakukan siang hari.
5. Sia-baka
Sia, artinya menyunu dibuktikan dengan puntung suluh
Baka, dibuktikan dengan membakar sampai hangus.
6. Umbue'-umbi
Umbue, umbuk, menipu benda atau merusak budi seseorang,
yang dilakukan dengan tenggulidimulut atau bertanam tebu
dibibir, yaitu dengan bermulut manis.
Umbi, menipu dengan mengancam
7. Sumbang-salah
Sumbang perbuatan atau pergaulan yang salah dipandang
mata. Salah, perbuatan yang melanggar susila, misalnya
"manggunggueng mambao tabang" artinya melarikan isteri
orang; mengawini seseorang yang melanggar adat.
8. Dago-dagi
Dago, salah kamanakan kepada mamak
Dagi, Salah mamak yang bersalah "dihukum mulam", artinya
disuruh berhenti jadi mamak dengan diam-diam, tak perlu
diketahui khalayak rama1, supaya jangan beroleh malu.
Malu mamak berarti malu kamanakan, sebab mamak itu
"tingginyo dianjueng gadangnyo diamba" oleh kamanakan •
279
sendiri. Mamak menjalankan pemerintahan dari yang
diperintah. Jadi cukuplah jika mamak sendiri pada lahirnya
mengundurkan diri dengan mengatakan "bukiklah tinggi lurah
lah dalam", uzur-moral, budi pekerti mamak adalah teramat
penting menurut adat. Kamanakan tidak mengadakan
demonstrasi terhadap kezaliman mamak, tetapi menyanggah.
Pepatah adat mengatakan : "rajo bana disambah, rajo nana
disanggah".
Undang-Undang Nan Duo Baleh
Undang-undang nan duo baleh ini meliputi :
"Undang-undang nan duo baleh, Ganti tuladan dek panghulu, ltulah suri nan tarantang, Cupak kok dipapek urang manggaleh, Jaan kok diasak urang lalu, Tikamkan karih nan dipinggang".
Undang-undang nan duo baleh ini terbagi atas "undang-
undang nan anam dahulu" dan "undang-undang nan anam kudian".
Udang-undang Nan Anam dahulu
U ndang-undang "nan anam dahulu" dikatakan juga sebagai
"tudueh", sangka yang berkeadaan, atau suatu kesalahan yang
telah dilakukan. Apabila seseorang telah menjadi tertuduh maka
280
dalam undang-undang ini dikatakan sebagai terdakwa. Dalam
undang-undang ini disebut juga sebagai "tudueh nan anam" yaitu :
Tatando-tabeti, Taikek-takungkueng, T alalah-takaja, Tacancang-tarageh, Tatambang-ciak, Tatangkok dengan salahnyo.
Undang-undang nan Anam Kudian
Undang-undang "nan anam kudian" dikatakan juga sebagai
"cemo" ("cemo nan anam") artinya dugaan yang belum jelas alas
seseorang, benarkah kesalahan sedangkan dugaan itu hanya
berdasarkan perasaan saja.
"Cerna nan anam" itu adalah :
Bajajak bak bakie' basurieh bak sipasin. Tabajang-tatabue, Kacondongan mato nan banyak, Anggang alu atah diatueh, Tasindorong jajak manurun,Tatukie jajak mandaki Bajajak barunui.
Dengan demikian uraian di atas menggambarkan pola atau
bentuk hukum adat yang berlaku pada masyarakat dan adat
Minangkabau yang dilaksanakan oleh lembaga adat Minangkabau.
Dalam kata adat hal ini disebutkan sebagai "parmulaan hukum
kasudahan kato, parmulaan kato kasudahan hukum".
281
Karena itu hukum dalam adat Minangkabau dikatakan
sebagai suatu rangkaian kaidah yang mengatur hubungan antar
anggota masyarakat adat Minangkabau. Hukum adat dengan
kebulatannya mencakup semua hal-ihwal yang bersangjut-paut
dengan masyarakat hukum.
Masyarakat hukum adat Minangkabau dengan demikian
menggambarkan adanya kelompok masyarakat adat yang tunduk
dalam kesatuan hukum yang berlaku di lingkungan masyarakat
adat Minangkabau. Karena itu masyarakat hukum ini menundukkan
.diri ke dalam kesatuan hukum.
Dalam hukum adat Minangkabau dengan sendirinya
kesatuan suku dalam nagari yang meliputi pula suatu kelompok
manusia merupakan juga sebagai kesatuan hukum. Karena itu
hukum adat di Minangkabau mengandung kekuatan sendiri, karena
terdapat sanksi di dalamnya.
Apabila ditilik uraian di alas menggambarkan bahwa tiap-tiap
anggota masyarakat adat haruslah mengindahkan setiap aturan
aturan yang berlaku di dalam masyarakat adat, guna terwujudnya
suatu bentuk ketentraman, keadilan, dan keamanan dalam
masyarakat. Oleh sebab itu di dalam hukum adat Minangkabau
tersebut di atas dinyatakan bahwa setiap orang yang tidak
mematuhi aturan yang disebut sebagai yang tidak tahu adat dan ia
282
seharusnya dijatuhkan hukuman yang setimpal dengan
pelanggaran adat yang ·1a lakukan.
Hukum adat Minangkabau di atas menggambarkan adanya
ciri bentuk hukL1m yang tidak tertulis, tetapi berakar ke dalam hati
masyarakat adat Minangkabau. lni d ibuktikan adanya sanksi-sanksi
seperti adanya aib apabila seseorang dikatakan tidak beradat, tidak
ada malu yang dalam kata adat disebutkan sebagai "malu
seseorang adalah malu bersama", "suku indak bulieh dianjak, malu
indak bulieh diagieh''.
Kesan yang demikian ditanggapi oleh Prof. Mr. Dr. Hazairin
dalam prasarannya yang diucapkan dalam konggres adat Sumatera
pada pertengahan bulan Maret 1957 di Bukit Tinggi menegaskan ,
bahwa sekiranya negara runtuh masyarakat hukum adat tidak akan
runtuh, melainkan mempunyai peran dan fungsi dalam masyarakat.
Masyarakat hukum adat di Minangkabau menurut Hanafiah
(op.cit.) tidaklah mengenal sistem penguasaan sewenang-wenang,
seperti disebut dalam peribahasa adat "babana kabana sorang, bak
sitageh tagak dibanda''. Karena itu berlakulah baginya petuah "rajo
bana disambah, rajo nana disanggah".
Dengan hukum adat inilah para pemangku adat di
Minangkabau menunaikan tugasnya sebagai pagar dari kaum dan
nagarinya. Karena itu pemahaman demokrasi menurut adat
283
Minangkabau pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari hukum
adatnya.
Pembahasan
Apabila ditili'� peran dan fungsi lembaga adat da!am
masyarakat Minangkabau di atas, maka yang terlihat adalah
adanya satu sistem sosial yang berintegrasi secara fungsional yaitu
antara lembaga adat yang meliputi rumah gadang, mamak kaum
atau mamak suku, lembaga kerapatan adat Minangkabau dan
nagari.
Pemahaman ini bila .dihubungkan dengan pemikiran
Malinowski (Kabarry, 1957 : 71-72) tentang tiga tingkatan abstraksi
fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan pranata-pranata
sosial dalam menelaah peran dan fungsi lembaga adat masyarakat
Minangkabau, maka gambaran yang dapat diperoleh adalah :
1. Bahwa peran dan fungsi sosial dari lembaga adat Minangkabau
pada tingkat pertama, dapat diabstraksikan melalui pengaruh
atau efeknya terhadap adat, tingkah laku anggota masyarakat
adat dan lembaga adat yang ada dalam masyarakat
Minangkabau.
2. Bahwa peran dan fungsi sosial dari lembaga adat Minangkabau
pada tingkat kedua, dapat diabstraksikan melalui pengaruh atau
284
efeknya terhadap kebutuhan lembaga adat dalam masyarakat
Minangkabau.
3. Bahwa peran dan fungsi sosial dari lembaga adat pada tingkat
abstraksi ketiga, dapat diabstraksikan melalui pengaruh atau
efeknya terhadap kebutuhan mutlak lembaga adat
Minangkabau, bagi berlangsungnya secara integrasi dari sistem
sosial yang ada di dalam masyarakat Minangkabau.
Gambaran di atas memberikan kejelasan tentang adanya
peran dan fungsi lembaga adat Minangkabau terhadap aktivitas
kehidupan rnasyarakat Minangkabau. Misalnyci lembaga adat
Minangkabau memiliki peran dan fungsi sebagai pengendali
aktivitas sosial atau hukum di dalam masyarakat Minangkabau.
Sebab itu lembaga adat Minangkabau pada masa lalu memiliki
kekuatan sebagai sistem pengendalian sosial yang bersifat
memaksa yang digambarkan dalam adat seperti pentingnya peran
dan fungsi seorang mamak dalam kaum atau sukunya atau di
dalam parui' atau rumah gadang yang harus diterima oleh setiap
anggota keluarga atau kaumnya.
Untuk melaksanakan sistem pengendalian sosial di atas
memetik pendapat Malinowski (Koentjaraningrat, op.cit. 167) yang
mengatakan bahwa dalam masyarakat modern, tata tertib
kemasyarakatan dijaga, antara lain oleh sistem pengendalian sosial •
285
yang bersifat memaksa, yaitu hukum. Untuk melaksanakan hukum
itu ia disokong oleh suatu sistem alat kekuasaan seperti kepolisian,
pengadilan, dan sebagainya yang kesemuanya ini diorganisir oleh
negara. Sedangkan pada masyarakat primitif, alat kekuasaan
serupa itu kadang-kadang tidak ada, yang menjadi pertanyaan
adalah apakah hal ini tidak ada hukum, seandainya demikian maka
timbullah satu persoalan lain bagaimana suatu masyarakat serupa
itu dapat menjaga tata tertib dan kelancaran dari segala kehidupan
sosialnya ? Jawabnya adalah ada. Berdasarkan hasil penelitian
pada masyarakat Trobiand bentuknya adalah prinsip timbal balik ,
atau "principle of reciprocity", yaitu bahwa berbagai macam sistem
tukar menukar yang ada di dalam masyarakat merupakan suatu
daya pengikat dan daya gerak dari masyarakat itu sendiri. Melalui
sistem penyumbangan untuk menimbulkan kewajiban membalas di
dalam masyarkat, merupakan suatu dasar atau suatu prinsip yang
mengaktifkan kehidupan dari suatu masyarakat dan ini disebut
prinsip timbal balik. Misalnya penukaran tenaga dan benda
mengaktifkan hubungan ekonomi, penukaran kewajiban terhadap
kaum kerabat mengaktifkan kehidupan kekerabatan, sistem
penukaran mas kawin, telah mengaktifkan hubungan antara
kelompok-kelompok kekerabatan, dan sebagainya.
286
Untuk masyarakat Minangkabau ciri masyarakat modern
yang disebutkan Malinowski ada da!am bentuk aturan adat yang
meliputi "cupak nan duo, kato nan ampek, undang-undang nan
ampek, dan nagari nan ampek" (uraiannya lihat halaman 255·256
penelitian ini).
Begitu pula dengan teori Malinowski tentang "principle of
reciprocity" dalam masyarakat Minangkabau juga ada, bentuknya
sama dengan pemikiran Malinowski, bahkan diatur secara
melembaga sebagai mana terlihat dalam aturan-aturan adat di atas.
Suatu pendirian penting dari pemikiran Malinowski tentang
teorinya untuk menganalisa fungsi dari kebudayaan yang
disebutnya sebagai teori fungsional tentang kebudayaan yang
memandang bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya
bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan
naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh
kehidupannya.
Analisa fungsi dari kebudayaan Malinowski ini pada masa
lalu ketika lembaga adat Minangkabau masih dilaksanakan, maka
teori fungsional tentang kebudayaan ini berlaku juga bagi
masyarakat Minangkabau sebab lembaga adat Minangkabau
merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Minangkabau ketika itu.. Kemudian menjadi lain ketika lembaga
287
adat Minangkabau ini tidak memiliki peran dan fungsinya seperti
pada saat sekarang, maka fungsi aktivitas kebudayaan itu menjadi
tidak ada, sehingga teori fungsional tersebut tidak menampakkan
peran dan fungsinya.
lstilah "fungsionalisme" yang digunakan Malinowski dalam
bukunya "Argonauts of the Western Pacific" ( 1922) dan "Sexual Life
of the Savage" (1919) adalah merupakan usahanya untuk
menggambarkan konsepsi kebudayaan sebagai suatu yang
terintegrasi, sebagai suatu sistem yang unsur-unsurnya bersifat
saling tergantung satu sama lainnya. Oleh karena itu kebudayaan
merupakan sebagai suatu alat untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia di samping respon kulturalnya.
lstilah fungsionalisme yang digambarkan di atas bagi
masyarakat Minangkabau ditemukan dalam bentuk terintegrasinya
lembaga adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, yang
meliputi rumah gadang, mamak kaum atau suku, lembaga
kerapatan adat Minangkabau dan nagari.
Terintegrasinya lembaga adat Minangkabau 1ni terlihat
apabila peran mamak di rumah gadang hilang, maka jelaslah
bahwa peran dan fungsi mamak kaum atau suku atau para
panghulu andiko di lembaga kerapatan adat Minangkabau dan
nagari menjadi tidak ada. Atau sebaliknya jika peran dan fungsi
288
mamak kaum atau suku tidak ada lagi jelas bahwa peran dan fungsi
mamak di rumah gadang menjadi tidak jelas dan begitu seterusnya
persoalan lain bisa muncul apabila lembaga kerapatan adat
Minangkabau dan nagari tidak ada peran dan fungsinya lagi
misalnya dihapuskan dalam kehidupan masyarakat dan adat
Minangkabau maka peran mamak di rumah gadang pun menjadi
tidak jelas ujung pangkalnya ketika terjadi persoalan masyarakat
dan adat di rumah gadang. Karena itu lembaga adat Minangkabau
terintegrasi sebagai suatu sistem yang satu sama lain saling
tergantung, yang, pada akhirnya dalam perspektif budaya dapat
disebutkan bahwa lembaga adat Minangkabau ini merupakan suatu
sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar dan respon kultural dari
masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu "teori fungsional"
kebudayaan dari Malinowski ini dapat diterima dalam kehidupan
masyarakat dan adat Minangkabau.
Adanya pemahaman fungsionalisme yang ditekankan
Malinowski (1944 : 90, 116) dalam mempelajari kebudayaan serta
masyarakat yang dinyatakannya selalu bertumpu pada perilaku
seseorang atau sekelompok orang secara spesifik tidak terlepas
kaitannya satu dengan yang lainnya sebagai satu sistem sosial,
maka apabila dihubungkan dengan sistem sosial dan sistem
budaya masyarakat Minangkabau pemahaman Malinowski ini dapat
289
diterima. Dengan kata lain pemahaman fungsionalisme Malinowski
ini dapat digunakan sebagai perspektif dalam memahami
masyarakat dan adat Minangkabau yang terintegrasi secara
struktural ke dalam lembaga adat Minangkabau
Hasil peneliiian ini sejalan dengan pemahaman Malinowski
berikutnya dalam bukunya "A Scientific Theory of Culture and Other
Essays" (1944) yang menyatakan bahwa pola perhubungan di
dalam suatu unit sosial yang stabil memiliki identitas tersendiri.
Karena setiap pola itu memiliki fungsi-fungsi tertentu bagi individu
dalam masyarakat dan bagi kelan,iutan masyarakat tersebut.
Karena pola hubungan dalam suatu unit sosial misalnya rumah
gadang, mamak kaum atau suku, atau lembaga kerapatan adat dan
nagari tidak stabil lagi bahkan hilang maka pola hubungan itu jelas
jelas tidak memiliki identitasnya. Artinya pola hubungan dalam
lembaga adat Minangkabau sudah tidak memiliki identitasnya,
karena itu dapat menjadi kenyataan bahwa kelanjutan masyarakat
dan adat Minangkabau akan terhenti.
Dengan kata lain apabila terjadi pola perubahan hubungan di
dalam unit sosial yang tidak stabil lagi dan tidak memiliki
identitasnya maka perubahan ini dapat membahayakan identitas
masyarakat dan adat Minangkabau. Karena itu tidak mengherankan
jika Malinowski (Daud, 1992 : 13) membuat suatu penafsiran bahwa
290
semua ciri atau sifat kebudayaan itu adalah merupakan bagian
bagian yang penting dalam masyarakat, disebabkan ia memiliki
fungsi-fungsi tertentu, seperti pola adat kebiasaan menjadi
sebagian dari fungsi dasar kebudayaan.
Dalam perspektif pendekatan fungsional ini menggambarkan
bahwa pada dasarnya bahwa setiap manusia memerlukan
kebutuhan yang mendasar tentang keselamatan, kesehatan,
makanan, kesenangan, fisik, pergerakan, dan pertumbuhan.
Karena itu menurut Malinowski (ibid.) manusia perlu bekerja sama
dengan orang lain dan mereka memerlukan perpaduan sesama
mereka dalam masyarakat. Untuk rnernenuhi kebutuhan
sekundernya ia memerlukan suatu peraturan, bahasa, dan lernbaga
yang akan rnengawasi perilaku sosial dan kelanjutan masyarakat
mereka. Keperluan sekunder di sini dirnaksudkan adalah keperluan
akan kerja sarna, keperluan untuk mengatasi konflik, keperluan
al<an komunikasi, dan interaksi sesarna rnereka dalarn
rnasyarakatnya. Dengan adanya kebutuhan tersebut terbentuklah
lernbaga-lernbaga yang dapat rnenyelaraskan dan rnengawasi serta
rnenyatukan keseluruhan anggota rnasyarakat.
Keperluan yang dimaksudkan Malinowski di atas pada
prinsipnya rnerupakan hal yang diperlukan dalarn masyarakat
Minangkabau. Terbentuknya lernbaga-lernbaga yang dapat
291
menyelaraskan dan mengawasi serta menyatukan keseluruhan
anggota masyarakat dalam masyarakat Minangkabau wujud
lembaga tersebut adalah lembaga adat Minangkabau. Lembaga ini
yang mengat•Jr tentang kebutuhan sekunder anggota masyarakat
seperti yang disebutkan Malinowski di alas berupa peraturan,
bahasa, dan lembaga yang akan mengawasi perilaku sosial dan
kelanjutan masyarakat Minangkabau.
lsu ini menjadi jelas muncul ketika Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Tingkat I Sumatera Bara! memutuskan untuk mengesahkan
peraturan daerah tentang ketentuan pokok tentang perubahan
pemerintahan desa di Sumatera Baral menjadi pemerintahan
nagari. Sebagaimana nagari ini sejak Indonesia merdeka tidak
memiliki peran dan fungsinya dalam masyarakat dan adat
Minangkabau setelah adanya usaha pemerintah untuk
menghapuskannya. Dengan demikian menunjukkan bahwa teori
fungsional kebudayaan Malinowski di atas muncul ketika
masyarakat Minangkabau beranggpan bahwa peraturan, bahasa,
dan lembaga yang dibentuk pemerintah ternyata tidak fungsional
dalam masyarakat dan adat Minangkabau, karena itu mereka
beranggapan mengembalikan pemerintah nagari merupakan suatu
alternatif yang tepat untuk dipilih.
292
Jelaslah bahwa kerangka konsep masyarakat yang
digambarkan dalam teori Malinowski di atas menunjukkan bahwa
masyarakat itu merupakan satu sitem yang terintegrasi dan yang
akan diselaraskan, termasuk di dalamnya masyarakat
Minangkabau. Karena itulah sesuai penjelasan di atas dengan
pandangan Malinowski (ibid.) berikutnya yang mengatakan bahwa
dalam mengkaji manusia yang dipersoalkan adalah apakah ia
berfungsi, bagaimana ia berfungsi, dan mengapa ia berfungsi.
Penguraian tentang ketiga persoalan ini merupakan dasar yang
terpenting dalam pendekatan struktural-fungsionalisme Malinowski.
Fungsi-fungsi yang dimaksudkan di atas dalam masyarakat
Minangkabau tergambarkan pada peran dan fungsi lembaga adat
Minangkabau sebagai sistem sosial dan sistem budaya yang
terintegrasi dan yang terselaraskan.
Pendekatan fungsionalisme Malinowski (ibid.) di atas
sebenarnya adalah berkaitan dengan saran yang diajukannya yang
mengatakan bahwa jika ing1n mengkaji suatu masyarakat
seharusnya dilihat terlebih dahulu hukum-hukum yang menentukan
pengekalan kebudayaannya. Hukum-hukum ini adalah berkaitan
dan berhubungan erat satu sama lainnya. Hukum-hukum yang
terdapat dalam masyarakat itu pada hakikatnya berkaitan dengan
lembaga dan hubungan antara lembaga dengan lembaga.
293
Sebab itulah dalam penelitian ini persoalan yang
dikemukakan Malinowski ditemukan pada masyarakat dan adai
Minangkabau, karenanya untuk mengkaji masyarakat Minangkabau
relevan kiranya untuk terlebih dahulu dilihai hukum-hukum yang
menentukan pengekalan kebudayaannya. Jadi masyarakat
Minangkabau dapat dimengerti melalui pemahaman suatu sistem
yang berhubungan dan mempunyai pola-pola kepentingan dalam
masyarakat Minangkabau. Misalnya bagaimana melihat keterkaitan
antara cara hidup masyarakat Minangkabau dalam perspektif
hubungan dari masing-masing anggota masyarakatnya dan dapat
diajukan pertanyaan apakah cara yang demikian merupakan
kebutuhan dasar anggota masyarakat Minangkabau. Pada
pertanyaan berikut yang perlu diajukan adalah apakah kebutuhan
dasar individu ini membawa kepada perwujudan suatu lembaga di
mana lembaga ini mempunyai suatu struktur organisasi tertentu
yang menjadi anggotanya adalah tidak lain dari anggota
masyarakat itu sendiri. Ketika pertanyaan ini dicoba dijawab melalui
penelitian yang dilakukan maka pemahaman di atas memiliki
keterkaitan dengan apa yang dikemukakan Malinowski di alas.
Dalam temuan penelitian terlihat bahwa adanya hubungan
timbal balik antara anggota masyarakat dengan lembaga
masyarakat adat Minangkabau, karena itu setiap anggota
294
masyarakat dalam lembaga ini memiliki peran dan fungsi sesuai
dengan ketentuan adat yang mengatur hubungan sosial, sistem
sosial dan sistem budaya dalam masyarakat Minangkabau.
Sekiranya salah satu anggota masyarakat yang memi!iki peran dan
fungsi sebagai mana ditetapkan dalam lembaga adat Minangkabau
tidak memiliki peran dan fungsinya lagi, maka lembaga adat ini
akan terhenti peran dan fungsinya. Sehubungan dengan hal inilah
Malinowski (Daud, op.cit.) telah membuat suatu konsep masyarakat
yang menyatakan bahwa masyarakat itu merupakan suatu sistem
yang terintegrasi dan dapat diselaraskan.
Pada hal lain, Malinowski dalam bukunya "A Scientific
Theory of Cultural and Other Essays" (1944) mengatakan tentang
soal-soal kebutuhan manusia, bentuk-bentuk lembaga dan
kebudayaannya, yang menyebutkan tentang adanya pengaruh
lembaga dan kebudayaan yang dianggap lebih penting terhadap
manusia daripada pengaruh alam sekitarnya. Faktor yang demikian
menimbulkan kebudayaan karena adanya dorongan kebutuhan
yang ada dari kebutuhan dasar manusia.
Apabila ditilik pernyataan Malinowski ini dalam falsafah adat
Minangkabau dikatakan "di mano ai urang disauak, di sinan adat
urang diturui'", artinya mengumpamakan ibarat seseorang itu harus
menyesuaikan dirinya dengan adat. Yang merupakan aturan yang
295
menyangkut tentang dirinya, anggota kaumnya dimana adat
tersebut merupakan satu kebutuhan dasar kehidupannya dalam
berpribadi dan bermasyarakat.
Apabila melihat l1ubungan antara individu dengan lembaga
adat di kalangan masyarakat Minangkabau, maka hubungan ini
dipahamkan oleh Malinowski sebagai hubungan fungsional yaitu
adanya lembaga mamak dalam parui' atau rumah gadang sebab
adanya tungganai yang memiliki peran dan fungsi untuk mengurus
anggota keluarga dan kamanakannya termasuk mengurus ekonomi
anggota keluarga dan harta pusako kaumnya
Dalam lembaga keluarga suatu kaum atau suku di kalangan
masyarakat Minangkabau memiliki aturan dan struktur yang telah
ditentukan oleh adat istiadat dan dilembagakan ke dalam lembaga
adat Minangkabau. Menurut Malinowski (ibid) dari sistem keluarga
yang demikian inilah melahirkan sentimen-sentimen yang akhirnya
memberikan dasar pada hubungan kekeluargaan dan hubungan
suku atau klan. Hubungan-hubungan yang demikian itulah dilihat
oleh Malinowski sebagai "sistem kekeluargaan".
Penjelasan mengenai peran dan fungsi lembaga kerapatan
adat Minangkabau dan nagari dalam uraian sebelumnya
menunjukkan adanya lembaga politik yang memiliki hubungan
untuk memenuhi kebutuhan suatu tata ketertiban di dalam
296
masyarakat Minangkabau yang lebih lanjut guna menjamin
keharmonisan hubungan masyarakat dalam satu nagari.
Pemenuhan pembagian kekuasaan wujudnya adalah
berbent11k struktur menu rut Malinowski (ibid) yang dipersoalkan
adalari apakah lembaga politik ini memiliki fungsi, bagaimana ia
berfungsi dan mengapa ia berfungsi. Lembaga politik ini dapat
berfungsi karena ia dianggap penting bagi kehidupan suatu
masyarakat. lni terlihat dari peranan yang dapat dimainkannya
dalam mewujudkan suatu autoriti yang menjaga ketentraman dalam
sebuah masyarakat. Tata ketertiban yang telah ditentukan oleh
suatu masyarakat diurus oleh suatu pemegang kekuasaan dalam
masyarakat itu yang berfungsi mencegah individu-individu dalam
masyarakat melanggar ketentuan tata ketertiban tersebut.
Keberadaan lembaga politik yang dimaksud Malinowski di
atas dalam masyarakat dan adat Minangkabau adalah lembaga
kerapatan adat nagari sebagai dewan pemerintahan nagari serta
nagari sebagai lembaga pemerintahan adat dan masyarakat
Minangkabau. Bagaimana ia memiliki fungsi, bagaimana ia
berfungsi dan mengapa ia berfungsi telah dijelaskan dalam uraian
sebelumnya yang pada dasarnya adalah untuk mewujudkan autoriti
yang dapat menjaga ketentraman dalam masyarakat di lingkungan
297
nagari yang dalam kata adat disebutkan "parmulaan hukum,
kasudahan kato, parmulaan kato, kasudahan hukum".
Oleh sebab itu, menurut Malinowski (ibid) terdapat hubungan
antara persona1iti dengan kebudayaannya dalam suatu pendekatan
struktural fungsional. la melihat seperti emosi serta kesetiaan
dalam keluarga lahir dari sifat individu untuk kepentingan dirinya
sendiri dan keluarganya. Personaliti ini menurut Malinowski sangat
penting untuk melanjutkan sistem kekeluargaan.
Kenyataan ini terlihat juga dalam lembaga adat Minangkabau
yang menggambarkan bagaimana anggota masyarakat memiliki
hubungan yang erat dengan kebudayaannya secara struktural
fungsional. Sebab itu pergeseran peran dan fungsi lembaga adat
Minangkabau dewasa ini mendapatkan perhatian yang besar di
kalangan masyarakat Minangkabau mengingat beberapa peran dan
fungsinya telah dihapuskan oleh pemerintah yang memberi dampak
yang luas terhadap sistem kekerabatan, kekeluargaan, sosial
dalam masyarakat dan adat Minangkabau.
Sehubungan dengan pemikiran Malinowski di atas, berikut
ini digunakan pula perspektif strutural-fungsional dari Radcliffe
Brown guna memahami peran dan fungsi lembaga adat dalam
masyarakat Minangkabau.
298
Menurut Radcliffe-Brown ( 1 952:37), kehidupan sosial itu
adalah merupakan suatu komunitas yang memberi fungsi kepada
strukturnya dan fungsi ini merupakan suatu proses kehidupan
sosial guna memelihara kehidupan sosial secara keseluruhannya.
Karena itu struktur sosial hanya dapat dilihat dalam kenyataan yang
konkret dan diamati secara langsung. lni yang menyebabkan
bahwa struktur itu dipahamkan terdiri dari :
1. Semua hubungan sosial yang terjadi antara individu dengan
individu lainnya.
2. Adanya perbedaan af)tara individu yang satu dengan individu
yang lainnya serta kelas sosial di antara mereka sebab
mengikuti peranan sosial yang dimainkan oleh mereka.
Pemahaman di atas apabila dikaitkan dengan lembaga adat
Minangkabau, maka kehidupan sosial dimaksud adalah kehidupan
masyarakat adat Minangkabau yang dipandang dari mulai rumah
gadang sampai dengan nagari, yang berfungsi kepada struktur
proses kehidupan masyarakat Minangkabau dalam usahanya
memelihara kehidupan bersama. Karena itu pemahaman struktur
sosial yang dinyatakan oleh Radcliffe-Brown ditemukan pula dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau. Sedangkan mengenai
adanya peran sosial yang dimiliki oleh anggota masyarakat
dipahamkan adalah peran yang dilakukan oleh mamak dalam parui'
299
atau rumah gadang, peran mamak kaum atau suku di lingkungan
kaumnya atau sukunya, serta peranannya di lembaga kerapatan
adat nagari yang dapat juga berlanjut ia sebagai wali nagari_ Fungsi
yang demikian ini menggambarkan adanya fungsi struk!ur sosial
yang fungsional dalam masyarakat dan aaat Minangkabau_
Pemahaman Radcliffe-Brown (ibid) tentang peristiwa di
mana dalam persekutuan matrilineal yang ketat, saudara laki-laki
pihak ibu ainamakan sebagai ibu lelaki sedangkan saudara
perempuan ayah diberi julukan sebagai ayah perempuan_ Karena
ramahnya saudara lelaki pihak ibu mirip dengan ibunya sedangkan
saudara perempuan ayahnya keras dan otoriter seperti ayah
memberikan gambaran adanya perbedaan dalam persekutuan
matrilineal di atas disebabkan oleh karena adanya suatu situasi_
Apabila diperhatikan uraian sebelumnya, maka jelas
pemahaman situasi ini juga menyentuh masyarakat dan adat
Minangkabau yang dahulu terdapat peran dan fungsi lembaga adat
yang begitu besar dalam masyarakat Minangkabau, akan tetapi
sejak Indonesia merdeka peran dan fungsi tersebut dihapuskan,
tinggallah sifat dan ciri masyarakat Minangkabau dalam kenangan_
Pemikiran di atas menunjukkan bahwa Radcliffe-Brown
memiliki pandangan yang jelas tentang arti relasi sosial dalam
relasi antara saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam
300
kehidupan suatu masyarakat, bisa jadi dimaksudkan adalah
masyarakat Minangkabau.
Tentang kedudukan sosial yang dikaji oleh Radcliffe-Brown
(ibid) menjelaskan bahwa semua kedudukan sosial yang berlainan
yang terdapat di dala;r1 masyarakat pada hakikatnya membentuk
bagian-bagian dalam struktur sosial. Begitu pula penyesuaian yang
terjadi antara naggota masyarakat secara ekonomi dan ekologi
berfungsi mengekalkan struktur sosial.
Agaknya pemahaman Radcliffe-Brown ini bisa dideskripsikan
ke dalam upaya untuk menernukan bagaimana mengekalkan
strukrur sosial masyarakat Minangkabau. Karena itu kedudukan
seorang rnamak dalarn sebuah parui' atau rL1mah gadang, mamak
kaurn atau mamak suku, lembaga kerapatan adat Minangkabau
dan nagari yang membentuk bagian-bagian struktur sosial pada
masyarakat ini sangat menentukan pengekalan struktur sosial
masyarakat dan adat Minangkabau.
Sebab menurut Radcliffe-Brown (ibid : 227) penerusan sosial
itu pada dasarnya ditentukan oleh penerusan struktur sosial yaitu
penerusan dalam penyusunan orang dan hubungan mereka antara
yang satu dengan yang lainnya. Pemahaman ini jelas berkaitan
erat pula dengan penerusan masyarakat dan adat Minangkabau.
Karena itu apabila penerusan sosial masyarakat dan adat
3 0 1
Minangkabau ingin dipertahankan, maka seharusnya penerusan
struktur sosial itu harus berlanjut.
Pemikiran ini berlanjut dengan pemahaman Radcliffe-Brown
(ibid) yang menyebutkan bahwa crganisasi masyarakat
berhubungan era! dengan konsep struktur sosial walaupun antara
keduanya tidaklah sama. Yang membedakannya adalah bahwa
menafsirka struktur sosial sebagai satu susunan orang di dalam
lembaga yang terkontrol atau hubungan yang terdapat di dalam
struktur sosial tersebut adalah merupakan hubungan orang-orang
yang telah ditentukan. Misalnya struktur keluarga, sedangkan
organisasi ditafsirkan sebagai sesuatu yang ada hubungannya
dengan susunan aktivitas. Oleh karena itu apabila kita hendak
memperbincangkan tentang sistem sosial kita harus merujuk
kepada satu sistem kedudukan sosial. Sementara itu dalarn
organisasi ia hanya merangkum sistem peranan yang ada.
Kajian Radcliffe-Brown ini sangat relevan dengan kajian
terhadap masyarakat dan adat Minangkabau yang menunujukkan
bahwa lembaga adat Minangkabau sangat berhubungan erat
dengan struktur sosial masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu
apabila ingin membincangkan tentang sistem sosial masyarakat
Minangkabau, maka haruslah merujuk kepada satu sistem
302
kedudukan sosial yang terdapat di dalam lembaga adat
Minangkabau .
Tentang aspek-aspek struktur sosial dalam masyarakat
Minangkabm; dapat dirujuk pendapat Radcliffe-Brown (ibid) yang
menyatakan bahwa ada dua aspek struktur sosial, pertama ia
beranggapan bahwa semua hubungan sosial yang terjadi di antara
inidvidu merupakan sebagai bagian dari struktur sosial. Kedua,
dalam struktur sosial terdapat perbedaan antara individu dan kelas
sosial karena mengikuti peranan sosial yang dimainkan oleh
masing-masing mereka. Contohnya seperti perbedaan dari segi
peran dan fungsi sosial antara laki-laki dan perempuan, pemimpin
dengan rakyatnya.
Pemahaman ini bila ditilik uraian sebelumnya maka jelas
bahwa pendekatan terhadap struktur sosial masyarakat
Minangkabau dapat dilakukan menurut pemahaman Radcliffe
Brown di atas. Sedangkan mengenai peran dan fungsi sosial antara
lakHaki dan perempuan, pemimpin dan rakyatnya terlihat dari
adanya fungsi seorang nenek dan mamak di rumah gadang dan
peran dan fungsi para panghulu sebuah kaum atau suku atau di
lembaga kerapatan adat nagari.
Sehubungan dengan kajian Radcliffe-Brown (ibid) tentang
peraturan, tata tertib, undang-undang dan agama yang
303
mengatakan bahwa mekanisme yang mengekalkan kewujudan satu
rangkaian hubungan sosial serta struktur sosial sangat tergantung
dari ha! ini. Begitu pula gambarannya tentang masyarakat dan adat
Minangkabau bahwa yang mengekalkan rangkaian hubungan
sosial se1ta struktur sosial masyarakat Minangkabau adalah
peraturan, tata tertib, undang-undang dan agama yang ada di
lingkungan masyarakat dan adat Minangkabau_
Tentang integrasi sosial Radcliffe-Brown (ibid)
mengandaikannya dengan fungsi kebudayaan secara
keseluruhannya yaitu menyatupadukan setiap manusia dalam satu
struktur sosial yang dapat dikatakan stabiL Pemahaman ini dapat
diaplikasikan kepada masyarakat dan adat Minangkabau, yang
penjelasannya dapat terlihat dalam uraian sebelumnya.
Pemahaman tentang fungsi Radcliffe-Brown (ibid)
menjelaskan bahwa fungsi adalah sumbangan aktivitas bagian
terhadap keseluruhan sistem. Sedangkan fungsi perbuatan sosial
adalah memberikan sumbangan kepada keseluruhan kehidupan
sosial. Gambaran ini dapat juga dideskripsikan kepada sumbangan
aktivitas bagian dari lembaga adat Minangkabau (rumah gadang,
mamak kaum atau mamak suku, lembaga kerapatan adat
Minangkabau dan Nagari).
304
Sedangkan fungsi perbuatan sosial menurut Radcliffe-Brown
lebih lanjut dijelaskan adalah untuk memberikan sumbangan
kepada keseluruhan kehidupan sosial. Karena itu sistem sosial
yang merupakan keseluruhan struktur sosial masyarakat, bersama
sama dengan keseluruhan amalan atau perbuatan sosial di mana
terdapat adanya struktur sosial memiliki satu jenis kesatuan yang
dinamakan kesatuan fungsional. Kesatuan fungsional ini adalah
keadaan di mana semua bagian dalam sistem sosial itu bekerja
dalam keadaan yang amat harmonis dan tanpa adanya
persengketaan yang tidak dapat diselesaikan.
Untuk memahami fungsi perbuatan sosial, sistem sosial dan
kesatuan fungsional dalam lembaga adat Minangkabau dapat
digunakan pemikiran teoritis dari Radcliffe-Brown di atas. Dengan
demikian jika ingin mempelajari struktur suatu masyarakat,
katakanlah masyarakat Minangkabau maka kenyataan-kenyataan
yang harus diperhatikan adalah tentang keseluruhan relasi-relasi
sosial yang terjadi dalam kaitan waktu tertentu. Di mana relasi
relasi sosial ini dapat diamati secara langsung yang merupakan
kenyataan dari kehidupan manusia.
Sebab itulah analisa struktural-fungsional yang
dikembangkan oleh Radcliffe-Brown juga melihat tentang
mekanisme pembentukan struktur sosial atau jaringan relasi-relasi
305
4A.
sosial yang teratur dan bagaimana bekerjanya dalam kehidupan
suatu masyarakat misalnya masyarakat Minangkabau.
Pergeseran PP.ran dan Mempengaruhi Serta Minangkabau.
Fungsi Lembaga Adat, Faktor yang Dampaknya Dalam Masyarakat
Berdasarkan temuan penelitian memberikan petunjuk bahwa
pergeseran peran dan fungsi lembaga adat dalam masyarakat
Mlnangkabau menyentuh peran dan fungsi lembaga rumah gadang,
lembaga mamak kaum atau mamak suku, lembaga kerapatan adat
Minangkabau dan Nagari sebagai akibat adanya akulturasi dalam
kebudayaan masyarakat Minangkabau melalui pendidikan,
pekerjaan atau mata pencaharian, tingkat pendapatan yang
berkembang dan adanya tradisi pola merantau dalam masyarakat
Minangkabau. Untuk mengetahui tentang ha! ini baiklah disimak
uraian di bawah ini.
Pembahasan
Pergeser�n peran dan fungsi lembaga adat Minangkabau
disebabkan adanya pengaruh akulturasi terhadap masyarakat dan
adat Minangkabau apabila dibahas, maka awal bahasannya
bermula dari rumah gadang sampai ke nagari. Tentang ha! ini
306
terlihat dari adanya pergeseran peran dan fungsi mamak yang
mengurus anggota keluarganya termasuk kamanakan dan juga
dalam hal pengurusan ekonominya dimana di dalamnya termasuk
harta pusako di rumah gadang. Peran dan fungsi ini sekarang telah
beralih atau bergeser ke "urang sumando" yaitu ayah dari
kamanakannya yang mengurus seluruh kepentingan
kamanakannya, yang memberi dampak terhadap terjadinya
perubahan dalam struktur sosial dan lembaga adat Minangkabau
Sebagai akibatnya adalah urang sumando menemukan
peran dan fuRgsi kekuasaan terhadap anak dan isterinya. Akibat
konsekuensi logisnya timbullah hubungan yang lebih akrab atau
semakin intim antara urang sumando dengan anak dan isterinya,
yang menghapus kesan kata-kata adat yang menyebutkan urang
sumando itu "bak abu di ateh tunggua tabang ditiuk angin", yang
artinya menempatkan urang sumando tidak kuat dalam kelompok
kerabat istrinya, sebab itu anaknya tidak berada dalam
kekuasaannya, melainkan berada dalam kekuasaan seorang
mamak. Bahkan ia dianggap hanyalah sebagai orang datang atau
orang asing yang datang kedalam kerabat istrinya. Hal yang
demikian ini telah bergeser ke arah peran dan fungsi seorang
sumando sebagai pemenuh tuntutan hidup anak dan istrinya yang
menempatkan dirinya semakin bertanggung jawab terhadap anak
307
dan isterinya, yang dalam pepatah adat disebutkan "mancaliak
caliak di siang hari, dan mandanga-danga di malam hari samakin
seketek"_
Padahal menurut aturan lembaga adat Minangkabau secara
fisik seorang mamak memiliki keharusan, paling tidak setiap tiga
hari atau 15 hari sekali ia berkunjung ke keluarga atau kaumnya
termasuk melihat kamanakannya. Kedatangan ini dalam adat
disebutkan "batanggung jawab ka rumah gadang", sedangkan
terhadap kamanakannya disebutkan "anak dipangku kamanakan
dijinjiang, urang dalam kampuang dipatenggangkein".
lronisnya tidak jarang para mamak d i daerah penelitian ini
hampir-harnpir tinggal simbol-simbol adat saja, baru memiliki peran
dan fungsi ketika kamanakannya hendak berumah tangga, d imana
ia bertindak sebagai juru runding dalam acara perkawinan
kamanakannya itu.
Sebagai akibat lain eratnya hubungan antara bapak dengan
anaknya adalah hubungan antara anak dengan "bako" nya semakin
erat, selain itu memberi pengaruh pula eratnya hubungan sumando
dengan bakonya. lni bisa dilihat di daerah penelitian kunjungan
urang sumando terus terjadi pada saat diadakan acara-acara adat,
agama, kematian dan lain-lainnya. Begitu pula pihak bako kerap
kali mengunjungi rumah "anak pisang" nya ketika berlangsungnya
308
acara adat, khitanan dan hari-hari besar Islam lainnya. Walaupun
hubungan lahir dan batin antara bako dan anak pisangnya semakin
hc:rmonis, tetapi sistem kelembagaan adat Minangkabau tetap tidak
mengalami perubahan yaitu seperti sistem kewarisan harta dan
gelar pusaka, sistem perkawinan masih mengacu kepada sistem
matrilineal.
Pergeseran lain terhadap peran dan fungsi mamak dalam
kelembagaan adat Minangkabau terlihat pula dari pemanfaatan
pengelolaan harta pusako tinggi yang dijalankan oleh seorang
mamak kini, tidak lagi semata-mata untuk kepentingan kebutuhan
anggota keluarga dan kamanakannya akan tetapi telah bergeser ke
arah usaha dari seorang mamak untuk memenuhi kebutuhan anak
dan istrinya. Kalaupun para kamanakan atau keluarganya meminta
bagian dari hasil harta pusako tinggi tersebut, tidak jarang seorang
mamak mencoba menghindar dengan mengatakan alasan hasil
panen tidak memuaskan atau tanaman tidak tumbuh dengan baik.
Jika ia memberipun hanyalah menurut kehendaknya saja. Hal ini
sering menimbulkan pertikaian antara seorang mamak dengan
keluarganya atau para kamanakannya.
Ada juga pihak kamanakan atau keluarganya mengindahkan
tentang harta pusako yang demikian, sebab para kamanakannya
memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari mamaknya.
309
Begitu pula ada kalanya seorang sumando memiliki status sosial
ekonomi yang lebih baik dari seorang mamak ini.
ltulah sebabnya peran dan fungsi seorang mamak telah
mengalami pergeseran dari ketentuan yang ditetapkan oleh adat
Minangkabau. Sementara itu urang sumando kewibawaannya
semakin kokoh dimata anak dan istrinya, sedangkan wibawa
seorang mamak mengalami kemunduran, yang tinggal dan masih
terus berlanjut adalah di samping pengelolaan harta pusako, ia juga
sebagai pemangku gelar pusaka kaumnya.
Begitu pula apabila terjadi persengketaan antara sesama
keluarga serumah gadang atau sekaum peran dan fungsi mamak
masih terlihat sebagai juru penengah, dan penyelesai sengketa itu
dengan menggunakan tradisi adat Minangkabau yang dalam kata
adat disebut "ibare' manari rambui dalam tapuang, rambui jan
putuih tapuang tidak taserak". Nilai yang demikian ini harus
dipedomani oleh setiap mamak atau para penghulu ketika hendak
menyelesaikan sengketa yang terjadi dikalangan kaumnya, yang
apabila sengketa itu tidak dapat diselesaikan oleh mamak rumah di
rumah gadang.
Timbulnya pergeseran peran dan fungsi seorang mamak di
rumah gadang ini telah terjadi sejak masuknya pengaruh Islam di
Minangkabau yang menempatkan kedudukan seorang suami
3 1 0
semakin tinggi kedudukkannya, dimana seorang suami diwajibkan
memiliki tanggung jawab yang besar terhadap istri dan anak
naknya sebagaimana yang diajarkan di dalam ajaran agama Islam.
Sehingga timbulah kecenderungan dari seorang suami bersama
isterinya untuk membentuk keluarga batih yang dengan sendirinya
mencoba meninggalkan pengaruh keluarganya yang lain. Pengaruh
Islam dikalangan masyarakat Minangkabau terlihat dari sistem
pendidikan Islam yang berkembang di kalangan masyarakat
Minangkabau yang dijadikan sebagai peletak dasar pendidikan
masyarakat yang hingga kini masih dirasakan pengaruhnya.
Pengaruh adanya tradisi merantau dalam masyarakat
Minangkabau juga salah satu sebab lain yang menggeser peran
dan fungsi rumah gadang ini. Melalui tradisi merantaulah yang
menyebabkan antara lain mudahnya terjadi pembauran antara
masyarakat dan adat Minangkabau dengan masyarakat dan adat
lainnya melalui proses akulturasi.
Akibat tradisi merantau ini tidak jarang anggota masyarakat
Minangkabau kawin dengan suku bangsa lain yang sudah tentu
turut pula memberi pengaruh pergeseran peran dan fungsi rumah
gadang di kalangan masyarakat Minangkabau. Bahkan turunan dari
perkawinan dengan suku bangsa lain bisa jadi tidak memiliki suku
turunan yang diterima dari keluarga di rumah gadang. Misalnya
3 1 1
seorang laki-laki sebagai kamanakan dari mamaknya kawin dengan
seorang wanita suku bangsa Jawa atau Sunda, maka sudah jelas
anaknya tidak memiliki suku, bahkan tidak dapat memperoleh gelar
suku atau kaumnya Mungkin saja malahan seorang anak dari
perkawinan yang demikian lebih deKat kepada adat istiadat atau
budaya ibunya, Jawa atau Sunda.
Pergeseran peran dan fungsi seorang mamak dan urang
sumando menunjukkan bahwa beberapa aturan adat Minangkabau
telah mengalami pergeseran. Peran dan fungsi urang Sumando
yang telah menjalankan peran dan fungsi sebagai seorang ayah
dalam masyarakat dewasa ini tidak lagi dapat dihindari.
Kenyataan di atas ditambah lagi bahwa beberapa rumah
gadang dalam bentuknya seperti masa lalu sudah mulai punah
satu persatu, ada kecenderungan anggota rumah gadang
membangun rumahnya masing-masing bentuknya tidak lagi berpola
pada rumah gadang, melainkan dalam bentuk rumah di kota-kota
yang dihuni oleh keluarga kecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu
dan anak-anaknya, dan sedikit sekali dipengaruhi oleh pihak
mamak di atas kecuali yang berkaitan dengan urusan adat istiadat
seperti perkawinan dan pengangkatan penghulu.
Perubahan dalam mencari nafkah pun merupakan faktor lain
yang menggeser peran dan fungsi mamak kaum atau urang
312
sumando. Karena biaya rumah tangga masing-masing dari anggota
rumah gadang sangat besar termasuk pendidikan anak-anaknya
membuat masing-masing diantara mereka semakin mengambil
peran dan fungsi yang bergeser dari ketentua1 yang ada dalam
lembga adat Minangkabau.
Kenyataan ini tidak saja ada pada urang sumando, tetapi
juga terjadi pada keluarga seorang mamak d1mana ia di rumah
istrinya atau di rumah yang dibangunnya sendiri sudah semakin
kuat. Akibatnya seorang mamakpun cenderung memperhatikan
anak dan isterinya yang memberi dampak terhadap hubuingan
mamak dengan kamanakannya semakin renggang atau agak
renggang. Kewajiban yang dibebankan kepadanya terhadap
kamanakannya telah bergeser beralih kepada urang sumando yang
menanggung biaya kehidupan rumah tangga, biaya pendidikan dan
tempat tinggal baru.
Peran dan fungsi ayah telah bergeser sebagai pembentuk
pilar utama membangun ekonomi dan pendidikan keluarganya
(anak dan istrinya) sebagaimana tercermin dalam keluarga yang
menganut sistem kekerabatan lain dari masyarakat dan adat
Minangkabau.
313
Namun hubungan seorang mamak dengan kamanakan dan
urang sumando masih tetap erat dilakukan berdasarkan kewajiban
secara adat dalam hal perkawinan pengurusan harta pusako,
melakukan perbaikan rumah adat dan pengangkata:l panghulu.
Kewajiban adat inilah yang mungkin tatap muka antara marnal\
dengan kamanakan serta urang sumando dapat terjadi. Kalau tidak
hal yang mungkin terjadi di antara mereka jarang bertemu melihat
kesibukan mereka masing-masing.
Yang menjadi persoalan terhadap terjadinya pergeseran
peran dan fungsi rumah gadang berikutnya adalah tentang status
tanah pusaka tinggi yang sejak berlakunya Undang-Undang Pokok
Agraria No. 5 tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah No.1 O tahun
1961 tentang pendaftaran tanah dan Peraturan Menteri Pertanian
dan Agraria No.2 tahun 1962 tentang penegasan konversi dan
pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah, diharuskan untuk
didaftarkan untuk dibuat sertifikatnya oleh pemerintah.
Untuk terlaksananya pelaksanaan pensertifikatan tanah oleh
pemerintah melalui Surat keputusan Menteri Dalam Negeri No.189
Tahun 1981 dicetuskanlah ide dalam rangka mempercepat
pendaftaran tanah yang dikenal dengan istilah PRONA (Proyek
314
Operasi Nasional Agraria) yang di Sumatera Barat dilaksanakan
pada tahun 1981 .
Tujuan yang hendak dicapai oleh PRONA ini di dalam Surat
Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut adalah :
1 . Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyrakat
sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara antara lain dengan pensertifikatan tanah secara massal.
2. Menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat di bidang agraris agar lebih sadar akan hak dan
kewajiban atas tanah.
3. Usaha untuk menyelesaikan dan mengurangi sengketa
sengketa tanah.
Akan tetapi bagi masyarakat dan adat Minangkabau
dikaitkan dengan hukum pewarisan maka adanya perubahan status
tanah dengan adanya sertifikat ini menimbulkan ketegangan
ketegangan di dalam /ingkung"an keluarga atau kaum, seperti
terlihat adanya persengketaan yang berkepanjangan antara mamak
dengan kamanakan atau dengan anggota kaum lainnya yang
merasa menjadi pewaris dalam sertifikat tersebut.
315
Persertifikatan tanah pusaka tinggi sering kali di atas
namakan seorang mamak sebagai pengelola tanah pusaka tinggi
ini. Hal ini tidak akan pernah terjadi jika tanah yang disertifikatkan
lidak alas nama seorang mamak alau anggota keluarga atau
kaumnya yang lain. Tetapi kelentuan undang-undang pokok agraria
di alas menghendaki agar tanah tersebut didaftarkan atau
disertifikatkan guna penertiban lanah di Indonesia.
Walaupun dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di
Sumatera barat ditegaskan bahwa tanah pusaka tinggi dengan hak
ulayat berada pada suku, kaum, dan nagari d8n pemilikannya
adalah sistem pemilikan bersama. Akan tetapi dalam
perkembangannya yang terjadi adalah sebagaimana disebutkan di
atas.
Kesulilan sejak awal dalam pensertifikalan tanah pusaka
tinggi ini adalah bagaimana membuklikan bahwa pihak pemohon
adalah merupakan subyek hukum yang berhak dari tanah
tersebut. Menurut Thalib (1985:8) persoalan seperti ini di daerah
lain yang hukum adatnya masih dominan, permasalahan tanda
bukti pemilikan secara tertulis merupakan hambatan dalam usaha
pendaftaran lanah adat tersebut. Seperti di Sumatera Barat bukti
pemilikan dan penguasaan tanah harus dibuktikan dengan adanya
316
surat pernyataan tentang pemilikan dan penguasaan tanah yang
diperkuat oleh carnal setempat.
Di daerah penelitian masalah di atas sulit diselesaikan
sebagaimana yang dinyatakan Nairn (op.cit.) bahwa persoalan
tanah dan waris di Minangkabau dewasa ini demikian akuutnya
sehingga telah memenuhi ruangan pengadilan dan telah
memusingkan kepala para hakim dan para yuris umumnya di
Sumatera Baral. Lebih dari 80 % perkara-perkara perdata yang
diajukan kemuka pengadilan tidak lain daripada sengketa mengenai
tanah harta pusako dan sengketa warisnya.
Hal ini bisa terjadi hasil penelitian mengungkapkan bahwa
surat permohonan untuk penegasan hak atas tanah adat tersebut
dilakukan oleh perorangan (laki-laki atau perempuan), dan untuk
atas nama kaum yang dilakukan oleh seorang mamak atau disebut
sebagai mamak kepala waris yaitu seorang yang ditunjuk oleh
kaumnya. Sudah jelas dalam sertifikat hak atas tanah tersebut
dicantumkan nama sesuai yang tercantum dalam surat
permohonan yang diajukan dalam hal ini sering alas nama mamak.
Sehingga terjadi tumpang tindih antara pemahaman tanah yang
bercorak pusaka rendah dan pusaka tinggi. Biasanya tanah-tanah
pusaka tinggi itu pendaftarannya dimintakan atas nama kaum dan
surat pernyataan pengakuan haknya dinyatakan atas nama kaum,
317
akan tetapi sertifikat tanah tidak jarang atas nama mamak tersebut
di atas.
Akhirnya persengketaan berkepanjangan antara seorang
mamak dengan kamanakan atau anggota keluarganya yang . lain
serumah gadang tidak dapat dihindari. Bahkan persoalan ini
menjadi persoalan besar di kalangan masyarakat dan adat
Minangkabau ketika tanah tersebut ternyata di jual oleh seorang
mamak dengan berbagai alasan.
Sementara itu pihak pemerintah pusat atau daerah tidak
mau ambil peduli terhadap persoalan yang timbul sebagai akibat
adanya Undang-Undang Pokok Agraria tersebut di kalangan
masyarakat dan adat Minangkabau sebagai akibat adanya Undang
undang Pokok Agraria tersebut.
Undang-Undang Pokok Agraria 1n1 sebenarnya sebagai
upaya pemerintah ingin mewujudkan unifikasi dalam hukum
pertanahan di Indonesia yang di dalam pasal 19-nya disebutkan
"mengharuskan adanya pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia dalam rangka menjamin hukum atas tanah.
Begitu pula di dalam pasal 17 undang-undang ini dinyatakan masih
dibenarkan adanya sistem pemilikan bersama atas tanah tersebut.
Bahkan pada pasal 5-nya disebutkan bahwa hukum agraria yang
berlaku adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan
318
kepentingan nasional dan negara dan seterusnya. Akan tetapi yang
terjadi adalah bahwa undang-undang ini !idak memperhitungkan
dampak yang ditimbulkannya yaitu justru menghilangkan atau
menghapuskan lembaga adat atau hukum adat yang berlaku sejak
ratusan tahun yang lalu, misalnya masyarakat dan adat
Minangkabau.
Begitu pula akibat lainnya sebagaimana terlihat di atas yaitu
terjadinya pola perubahan sosial yang ditimbulkan sehubungan
dengan penguasaan dan penggunaan serta pemil1kan tanah karena
adanya Undang-un,dang Pokok Agraria yang dipaksakan pada
masyarakat adat Minangkabau. Pola perubahan hubungan sosial
tersebut apabila digambarkan dapat terlihat sebagai berikut
319
PERUBAHAN PENGGUNAAN
Gambar IV.3
MASYARAKAT ADAT (KAUM)
UUPA
PERORANGAN
PERUBAHAN SOSIAL
PERUBAHAN PENGUASAAN
Pola perubahan hubungan sosial yang terjadi akibat adanya
perubahan status tanah ulayat dalam masyarakat hukum adat
Minangkabau di atas, memperlihatkan bahwa jika semula tanah
320
ulayat penggunaan dan penguasaannya berada di tangan
masyarakat adat atau suatu kaum, sejak adanya Undang-Undang
Pokok Agraria bergeser penggunaan dan penguasaannya ke arah
perorangan sebagaimana terlihat dalam uraian di atas.
Terjadinya po/a perubahan sosia/ tersebut terlihat antara
mamak dengan kamanakan dan anggota keluarga lainnya di rumah
gadang yang mengarah kepada perpecahan semakin renggangnya
hubungan diantara mereka. Perpecahan yang demikian menjadi
model untuk anggota atau kaum rumah adat lainnya. Tidak dapat
dihindari bisa jadi masing-masing di antara keluarga di rimah
gadang semakin menjauh dari po/a hubungan sosial da/am konsep
kekerabatan lembaga masyarakat dan adat Minangkabau.
Di dalam masyarakat Minangkabau terdapat keunikan
keunikan dalam hubungan anggota masyarakat adat dengan tanah
terlihat dari adanya perbedaan peran dan fungsi wanita dengan
laki-/aki. Wanita yang dilambangkan sebagai "bundo kanduang"
memiliki peran dan fungsi sebagai pemilik "tanah pusako",
sedangkan /aki-/aki yang disebut sebagai mamak atau ninik mamak
adalah yang memi/iki peran dan fungsi sebagai penguasa tanah
pusako tersebut dan masing-masing diantara keduanya saling
tergantung dan saling membutuhkan dalam menjaga keutuhan
tanah pusako tersebut. Karena itu tanah dalam hukum adat
321
Minangkabau memiliki fungsi sosial yaitu bagi kepentingan kaum
atau sukunya yang tidak dapat dimiliki secara perorangan. Yang
terjadi setelah adanya Undang-Undang pokok Agraria adalah tanah
yang disertifikatkan itu dapat berubah fungsinya menjadi milik
perorangan melalui penamaan perorangan atas tanah ulayat
terse but.
Sedangkan pemindahan hak alas tanah hanya dapat
dilakukan untuk sementara dengan memperhatikan hal-hal yang
sangat mendesak dan dikhawatirkan akan menurunkan wibawa
kaum. Sejak adanya Undang-Undang Pokok Agraria tersebut
ketentuan adat ini mulai ditinggalkan secara perlahan-lahan
semakin banyak tanah ulayat diperjualbelikan atau transaksi tanah
dalam bentuk jual lepas untuk kepentingan yang jauh menyimpang
dari yang diperbolehkan oleh adat sebagaimana telah diuraikan di
atas yang dalam kata adat disebutkan "gadih gadang indak balaki
atau rando dape malu, rumah gadang katirisan, mambangki' batang
tarandam, maik tabujua di tangah rumah".
Pada awalnya mungkin pemerintah tidak menduga bahwa
pensertifikatan tanah ulayat di atas tidak akan merusak keutuhan
tanah ulayat atau tanah kaum sepanjang pemegang haknya masih
ditangan kaumnya, bukan milik pribadi yang dalam kenyataannya
sering diatas namakan sendiri seperti atas nama seorang mamak
322
yang menimbulkan persengketaan tanah dalam kaum setelah tanah
disertifikatkan.
lnilah yang disebut di atas bahwa, adanya penegasan hak
milik berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria itu
telah menimbulkan perubahan sosial dalam bentuk renggangnya
hubungan sosial baik dalam kaum, maupun antar kaum sebagai
akibat terjadinya perubahan dalam proses pemindahan hak alas
tanah ulayat tersebut di atas.
Menurut nara sumber penelitian ini menyebutkan bahwa
perubahan status tanah u:ayat dengan adanya pensertifikatan atas
nama seseorang misalnya seorang mamak dapat mengakibatkan
punahnya suatu kaum. Suatu kaum akan dinyatakan punah
dalam masyarakat hukum adat Minangkabau, apabila dalam kaum
tersebut tidak mempunyai keturunan yang wanita. Sedangkan ciri
utama dalam masyarakat dan adat Minangkabau yang matrilineal
adalah bahwa seorang wanita memilki peran dan fungsi sebagai
penerus suku kaumnya dan memberikan peran dan fungsi seorang
mamak di rumah gadang sebagai yang mengurus anggota
keluarganya dan kamanakan serta mengurus ekonomi anggota
keluarga dan harta pusako di rumah gadang. Akan tetapi terjadi
pergeseran peran dan fungsi seorang mamak misalnya dari
323
penguasa tanah ulayat menjadi pemilik sekaligus penguasa dari
harta kaumnya.
Karena itu ditinjau dari hukum pewarisan dalam masyarakat
adat Minangkabau dengan adanya kaum yang punah tersobut
dapat menimbulkan kecenderungan terjadinya pewarisan yang
menyimpang yaitu pewarisan yang seharusnya turun kepada
kamanakan kini pindah kepada seorang anak. Sudah tentu
pewarisan yang menyimpang ini tidak sesuai dengan ketentuan
adat yang menyatakan "pusako salingka suku". Dengan demikian
tanah ulayat ini telah beralih dari suku atau kaumnya yang
mengakibatkan hilangnya hak dari kaum untuk menguasai maupun
memiliki tanah ulayatnya.
Pensertifikatan tanah alas nama seorang anggota kaumnya
di samping dapat menimbulkan perubahan terhadap status tanah
dari pusaka tinggi menjadi pusaka rendah bagi pewaris selanjutnya,
juga memberi pengaruh kepada peran dan fungsi mamak dalam
melindungi dan mengawasi harta pusakonya. Di samping itu akibat
lebih lanjut dari pensertifikatan tanah atas nama seorang kaum
sebagaimana telah diuraikan di atas yaitu menimbulkan
perpecahan dalam kaum itu sendiri, dengan kata lain dapat
mengakibatkan keutuhan suatu kaum akan sulit dipertahankan.
324
Di daearah penelitian sebagai contoh kasus ditemukan
sebagai berikut :
1. Seorang mamak yang bernama Baharrudin Datuk Rajo Basa dari kaumnya mempunyai harta pusako berupa sawah yang telah disertifikatkan alas namanya yang terletak di Kelurahan Kubu Rajo Kecamatan Lima Kaum Kabupaten daerah Tingkat II Batusangkar. Tanah tersebut oleh Baharrudin Datuk Rajo Basa dijual olehnya dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), lalu PPAT membuatkan akta jual beli sebagaimana yang diatur oleh pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Sedangkan anggota kaum dari Sutan Kari Mudo tidak dicantumkan namanya dalam sertifikat tanah tersebut. Kemudian para anggota kaumnya memprotes tentang terjadinya jual beli yang dilakukan tersebut, lalu perkara atau sengketa ini diajukan ke Pengadilan Negeri untuk penyelesaian selanjutnya.
2. Di Kelurahan Labuh Timur Kecamatan Lima Kaum Kabupaten Daerah Tingkat I I Batu Sangkar, sebidang tanah telah didaftarkan dan disertifikatkan atas nama Bastari. Tanah tersebut kemudian dijual oleh Bastari dihadapan PPAT. Tanah yang terjual ini lalu dipagari oleh Gayatri salah seorang anggota kaum dari Bastari yang merasa berhak atas tanah tersebut, karena tanah itu adalah tanah pusako dan tidak setuju terhadap jual beli yang dilaksanakan. Gayatri kemudian diadukan kepada yang berwajib, dengan alasan bersalah menduduki tanah milik orang lain tanpa seizin pemiliknya atau kuasa yang sah.
Menilik uraian di atas terlihat bahwa tanah ulayat atau tanEJh
pusako yang merupakan tanah kaum atau suku dalam masyarakat
hukum adat Minangkabau sangat menentukan dan berpengaruh
dalam masyarakat dan adat Minangkabau. Kedudukan tanah yang
demikian ini menurut Wignyodipoero (1987:197) menjadi penting
dalam masyarakat dan adat Minangkabau disebabkan oleh
beberapa hal :
325
1. Sifatnya. Tanah merupakan harta kekayaan yang bersifat tetap dan keadaannya, bahkan kadang-kadang akan lebih menguntungkan.
2. Fakta yang menyatakan bahwa tanah : a. Tempat tinggal persekutuan (kaum). b. Memberikan penghidupan kepada persekutuan. c. Merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang
meninggal dunia harus dikuburkan. d. Merupakan tempat tinggal dayang-dayang pelindung
persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.
Berdasarkan uraian dan pendapat di atas memberi
gambaran bahwa sifat dari hak uiayat dalam masyarakat hukum
adat Minangkabau adalah berada pada kaum atau sukunya tidak
, pada anggota kaum atau suku tertentu, tidak dapat dipindah
tangankan kepada orang lain untuk selama-lamanya, dan hanya
dapat dilepas untuk sementara waktu jika ada aiasan-alasan yang
diakui oleh adat atau lembaga adat Minangkabau.
Untuk selanjutnya mengenai pergeseran peran dan fungsi
mamak kaum atau mamak suku, lernbaga kerapatan adat
Minangkabau dan nagari serta faktor yang mempengaruhinya dan
dampak yang ditimbulkannya baik dilihat pula uraian di bawah ini.
Mengenai pergeseran peran dan fungsi mamak kaum atau
mamak suku pada hakekatnya tidaklah dapat dipisahkan sebagai
akibat adanya pergeseran peran dan fungsi mamak dan urang
sumando di rumah gadang sebagaimana diuraikan di atas. Peran
dan fungsi mamak kaum atau suku ini tidak jarang di daerah
326
penelitian hampir-hampir tinggal simbol-simbol adat saja. Sebab
tidak saja dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor tersebut di atas
JUga tidak kalah pentingnya ketika lembaga kerapatan adat
Minangkabau dan nagari sudah kehilangan peran dan fungsinya
sejak dibubarkannya nagari oleh pemerintah berdasarkan Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang
pelaksanaannya di Sumatera Barat ditetapkan dalam Peraturan
Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 1981.
Dimana diantaranya dikatakan bahwa jorong adalah
merupakan bagian dari sebuah nagari diubah bentuknya menjadi
desa. Sementara itu jorong dalam pemerintahan nagari merupakan
perangkat dari wilayah administratif dari nagari
Sehingga mamak kaum atau mamak suku kehilangan peran
dan fungsi sebagai mewakili kaum atau sukunya duduk sebagai
anggota Dewan Pemerintahan Nagan yang diantara mereka akan
dipilih sebagai wali nagari.
Padahal masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda nagari
sebagai kesatuan hukum adat masih terus dipertahankan ataui·
keberadaannya masih dilanjutkan. Pemerintah Hindia Belanda
dalam mengatur pemerintahan nagari-nagari di Minangkabau atau
Sumatera Barat ini terlihat dari sejak dikeluarkannya peraturan
yang disebut ordonansi tanggal 27 September 1918 yang termuat
327
dalam staatsblad nomor 677 yang mengatur ketentuan cara
pengaturan urusan rumah tangga nagari .
Kemudian ordonansi ini diperbaharui kembali dengan
dikeluarkannya lnlandse Gemeente Ordonantee Buitengewesten
(!GOB) Staatsblaad 1938 no. 490. Di dalam IGOB ini diatur kembali
susunan serta cara pemerintahan nagari di Minangkabau. Menurut
!GOB nagari berkedudukan sebagai badan hukum bumiputera yang
diberi hak mengatur rumah tangganya sendiri. Dengan demikian
kepada nagari diberi hak otonom.
Pada umumnya susunan serta hak kekuasaan nagari serta
alat-alat perlengkapan nagari berikut dengan adat Minangkabau
serta undang-undang yang berlaku di dalam nagari (lihat dalam
uraian sebelumnya) masih diberlakukan. Dapat dikatakan nagari
dengan pemerintahannya tidak mengalami perubahan, bahkan
nagari diberi hak untuk memungut pajak serta segala uang milik
nagari yang harus disetorkan kepada kas nagari.
Seakan-akan pemerintah Hindia Belanda dengan peraturan
peraturannya tidak ingin merusak susunan lembaga adat
Minangkabau. Kalaupun ada beberapa perubahan terjadi pada
pengangkatan kepala nagari atau wali nagari ditentukan oleh
pemerintah Hindia Belanda dalam rangka melaksanakan fungsi
pemerintah jajahannya. la juga mengangkat panghulu suku rodi
328
yang diciptakannya untuk memasukkan konsep pemerintahan
jajahan ke dalam nagari tanpa merusak nagari, lembaga kerapatan
adat Minangkabau, mamak kaum atau mamak suku serta sistem
kekerabatan di rumah gadang.
Akan tetapi pada masa pemerintahan Republik Indonesia
nagari ini dicoba untuk dirubah yang dimulai oleh dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Tengah
tertanggal 8 April 1948 Nomor 17/GP/48 yang menciptakan wilayah
otonom ini berpedoman kepada Undang-Undang Pokok tentang
Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948 yang pada dasarnya
mencoba menghapuskan nagari diganti dengan wilayah otonom
yang pada saat itu menimbulkan gejolak di lingkungan masyarakat
dan adat Minangkabau.
Nagari-nagari yang sudah ada sejak beratus-ratus tahun
yang lalu dihapus digabungkan menjadi kesatuan baru yang
bernama wilayah dengan alasan karena beberapa nagari telah
berhubungan erat di dalam kesatuan kehidupan sosial dan
perekonomian. Karena itu wali-wali nagari, serta segala kekayaan
nagari digabung langsung menjadi milik wilayah.
Jika nagari berdiri di atas dasar faktor teritorial dan faktor
genealogi, maka wilayah adalah daerah yang hanya didasarkan
pada faktor teritorial yang mengabaikan faktor genealogi dalam
329
nagari. Kemudian pemerintahan wilayah yang dimaksudkan di atas
dikepalai oleh seorang kepala wilayah dengan pangkat asisten
wedana (camat). Walaupun dalam undang-undang tersebut di atas
dikatakan bahwa jika ingin mengangkat asisten wedana tersebut
harus berpedoman kepada hukum adat, namun yang menjadi
kenyataan adalah pengangkatannya haruslah terlebih dahulu
mendapat persetujuan dari residen.
Dengan demikian terdapat perbedaan antara pemerintah
Hindia Belanda dengan Pemeritah Republik Indonesia dalam
melihat kepentjngannya masing-masing terhadap nagari. Jika
pemerintah Hindia Belanda tetap mempertahankan nagari dengan
ciri sistem pemerintahannya yaitu dijumpai adanya hukum adat dan
pengaruh faktor genealogi tidak boleh diabaikan dalam
mempertahankan peran dan fungsi nagari dalam masyarakat dan
adat Minangkabau. Pemerintah Hindia Belanda hanya merubah
sedikit yaitu tentang pengangkatan wali nagari mereka yang
tentukan.
Berbeda dengan Pemerintah Republik IFidonesia justru
sebaliknya yaitu menghapuskan segala bentuk dan ciri khas dari
nagari dirubah bentuknya menjadi pola pemerintahan daerah di
pulau Jawa, tanpa memperhitungkan sisi masyarakat dan adat
330
Minangkabau yang justru dialam kemerdekaan ini dirusak
bukannya dipertahankan.
Terlebih lagi pada tahun 1950 pemerintah daerah Propinsi
Sumatera Tengah dengan peraturannya tertanggal 14 Juni Nomor
50/GP/50 memperkenalkan kembali susunan baru tentang
pemerintahan wilayah sebagai tindak lanjut dari Undang-undang
Tahun 1948 Nomor 22 yaitu disebutkan bahwa pemerintahan
wilayah sebagai pengganti penghapusan pemerintahan nagari
dilakukan bersama-sama oleh kepala wilayah dengan Dewn
Pemerintahan Wilayah serta di sampingnya berdiri pula Dewan
Perwakilan Rakyat Wilayah yang lebih menghilangkan lagi identitas
masyarakat dan adat Minangkabau yang hidup di dalam dan
diorganisir oleh tertib susunan hukum ibu yang telah melembaga
sebagai lembaga adat minangkabau yang telah berjalan selama
ratusan tahun.
Masyarakat Minangkabau hidup di dalam persekutuan
persekutuan nagari sebagai persekutuan hukum dalam instansi
instansi yang tertinggi dimana masyarakat dan adat nagari telah
ada turun temurun yang sama-sama merasakan solidaritas hidup
bernagari.
Yang menjadi persoalan dalam lembaga dan hukum adat
Minangkabau adalah bahwa penghapusan nagari-nagari yang
331
diganti dengan pemerintahan wilayah sebagaimana terlihat di atas
hanyalah didasarkan atas faktor kehidupan sosial dan ekonomi
tanpa mempertimbangkan lagi faktor-faktor genealogi yang
merupakan dasar lembaga adat Minangkabau yang dalam wujud
tertinggi yang disebut nagari itu. Sudah tentu bentuk pemerintahan
wilayah yang demikian sangat berbeda dengan struktur sosial
masyarakat Minangkabau yang menempatkan peran dan fungsi
lembaga adat sebagai dasar kehidupan orang perorang di dalam
kaum atau sukunya dan nagari-nagarinya.
Persoalan ini berlanjut kemudian dengan dibentuknya dan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa yang pelaksanaannya di Surnatera Barat
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi
Sumatera Baral Nomor 7 Tahun 1981.
Persoalan lain sehubungan dengan penghapusan nagari
kemudian kas-kas nagari menjadi kas wilayah dengan sendirinya
penghasilan nagari-nagari pada masa lalu tidak dimanfaatkan untuk
nagari-nagari itu, akan tetapi diperuntukkan buat wilayah-wilayah
baru yang dibentuk di atas yang belum tentu pembangunan yang
dilaksanakan pemerintah baru tersebut seimbang dengan uang
yang disetorkan nagari-nagari pada masa lalu. Dengan kata lain
kas dari nagari beserta penghasilannya yang masing-masing nagari
332
pada masa lalu tidak sama, maka setelah terbentuk pemerintahan
wilayah yang baru kas dan hasil nagari masa lalu telah beralih
pengaturannya sesuai dengan kehendak pemerintah wilayah yang
bisa jadi asas keadilan pembangunan tidak diperoleh oleh
masyarakat nagari masa lalu. Bisa saja kas nagari dan
penghasilannya yang tinggi tidak ada artinya bagi masyarakat
sebab dialihkan ke wilayah-wilayah lain yang dianggap memerlukan
pembangunan tanpa melihat ada atau tidaknya kas dan
pendapatan wilayah dimana pada masa lalu berdiri nagari.
Sebagai akibatnya timbulah kegelisahan-kegelisahan
dikalangan masyarakat termasuk para panghulu, ninik mamak, alim
ulama, atau cerdik pandai yang melihat telah terjad1 pemasungan
lembaga adai Minangkabau.
Menurut Anwar (1997:14) pernah terjadi para ninik mamak,
ulama, dan para pemuda dari nagari Sundatar dalam wilayah
Lubuak Sikaping Kabupaten Pasaman tanggal 23 Agustus 1953
datang menghadap Gubernur Kepala Daerah Sumatera Tengah
menuntut agar dikembalikan lagi hak otonom pemerintahan nagari
Sundatar menurut IGOB 1938.
Menurut nara sumber di daerah penelitian menjelaskan
bahwa sistem wilayah yang dibentuk pemerintah Republik
Indonesia sangat tidak memuaskan masyarakat Minangkabau.
333
Mereka melihat sistem pemerintahan wilayah ini telah menimbulkan
persoalan-persoalan baru yang tidak sedikit yang memberi dampak
terlambatnya kemajuan di daerah Sumatera Barat.
Sebenarnya ada secerah harapan yang muncul pada
kalangan masyarakat Minangkabau pada tahun 1 953 tepatnya
tanggal 1 6 Desember sampai dengan 19 Desember di Bukit Tinggi
diadakan konfrensi besar panghulu-panghulu kaum adat se
Sumatera Tengah yang memutuskan agar pemerintah kembali
memperkuat pemerintahan nagari dengan hak-hak otonomi yang
luas dan demokratis , yang memungkinkan nagari dapat
membangun, serta memperlengkapi otonomi nagari dengan
aparaturnya yang demokratis yang memungkinkan pemerintahan
nagari berjalan lancar dan terciptanya keamanan lahir dan batin.
Akan tetapi yang menjadi kenyataan hasil konfrensi ini tidak pernah
terwujudkan.
Menurut Anwar (Ibid. , ) sebenarnya kemungkinan untuk
membentuk desa otonom menurut Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1948 di Minangkabau atau Sumatera Tengah masih dapat
diadakan dengan jalan lain yaitu dengan kemungkinan tidak usah
menggabungkan nagari cukup dengan mendinamisir nagari-nagari
yang ada yang mempunyai daerah yang lebih luas desa-desa di
Jawa di dalam lingkungan genealogi masyarakat dan adat
334
Minangkabau. Karena adanya penggabungan nagari menjadi
wi/ayah dengan bentuk desa otonom, pemerintahan nagari menurut
tertib susunan hukum ibu tidak mempunyai arti lagi karena di dalam
susunan pemerintahan wilayah yang baru hak-hak nagari yang
lama dihapuskan. Yang terjadi kemudian adalah membawa akibat
ke dalam lapangan keluarga, kaum atau suku masyarakat dan adat
Minangkabau yaitu kelanjutan peran dan fungsi mamak kedalam
lingkungan saparui' atau serumah gadang menjadi semakin
berkurang, sebab peran mamak dalam kaumnya sangat besar
ketika Pem,erintah Nagari masih ada. Seperti diketaliui nagari di
Minangkabau adalah persekutuan hukum tertinggi yang dibentu
oleh persekutuan-persekutuan hukum yang lebih bawah yang
disebut saparui' atau serumah gadang yang dalam kata adat
disebutkan "nagari baka ampek suku, nan bahindu, babuah parui'.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa nagari
dihapuskan oleh pemerintah, sementara itu lingkungan nan saparui'
atau rumah gadang dibiarkan. Kemudian suku masih ada yang
semuanya ini belum diatur dalam susunan pemerintahan wilayah
yang baru itu. Sebagai akibatnya jelaslah bahwa masyarakat dan
adat Minangkabau kehilangan lembaganya sebagai persekutuan
hukum yang tertinggi dalam tatanan kehidupannya.
335
Bolehlah dikatakan bahwa pemerintah telah menghapuskan
satu bagian dari kehidupan masyarakat dan adat Minangkabau
tanpa memikirkan dampak lainnya terhadap lembaga adat dan
masyarakat Minangkabau, sebagaimana diuraikan di atas bahwa
nagari sebagai persekutuan hukum itu diikat oleh tali rantai yanng
erat dengan suku serta parui' atau rumah gadang. Sehingga jika
yang satu diubah, jelaslah akan memberi dampak terhadap yang
lainnya.
336
5.1 Kesimpulan
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan
penelitian sebagai berikut •
1 . Yang dimaksud dengan lembaga adat dalam masyarakat
Minangkabau adalah lembaga adat yang meliputi rumah
gadang, mamak kaum atau mamak suku, lembaga kerapatan
adat Minangkabau dan nagari. Lembaga adat Minangkabau ini
pada dasarnya memiliki fungsi sosial yang memberi pengaruh,
dan merupakan suatu kebutuhan serta mutlak adanya untuk
berlangsung secara terintegrasi terhadap adat, struktur sosial
dan pranata sosial yang ada dalam lingkungan masyarakat
Minangkabau. Oleh karena itu lembaga adat Minangkabau ini
memiliki peran dan fungsinya menjaga tata tertib
kemasyarakatan melalui sistem pengendalian sosial yang
bersifat memaksa yaitu hukum adat dalam bentuk "cupak nan
duo, kato nan ampek, undang-undang nan ampek, dan nagari
nan ampek". Untuk melaksanakan peran dan fungsinya di atas
lembaga adat Minangkabau disokong oleh suatu sistem alat
kekuasaan seperti adanya "manti, dubalang, dan malim" yang
337
diorganisir oleh lembaga kerapatan adat Minangkabau dalam
nagari. Dalam lembaga adat Minangkabau ini terdapat adanya
kewajiban anggota kaum kerabat dalam kaum atau sukunya
untuk mentaati sistem kekerabatan yang diatur secara struktural
ke dalam lembaga adat Minangkabau yang menyebabkan
adanya daya pengikat dan daya gerak dari masyarakat
Minangkabau itu.
2. Lembaga adat Minangkabau ini menggambarkan kebudayaan
masyarakat Minangkabau di mana masing-masing unsur dari
lembaga adat Minangkabau terintegrasi secara struktural
melembaga mulai rumah gadang, mamak kaum atau suku,
lembaga kerapatan adat Minangkabau, sampai nagari. Apabila
satu di antara unsur-unsurnya tidak memiliki peran dan
fungsinya, maka ia akan memberi pengaruh terhadap peran dan
fungsi unsur-unsur lainnya dari lembaga adat Minangkabau itu.
Karena itu lembaga adat Minangkabau ini merupakan satu
sistem sosial dan budaya yang terintegrasi dan terselaraskan
dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Sebab itulah
lembaga adat Minangkabau ini masih memiliki peran dan
fungsinya hingga dewasa ini, walaupun ada beberapa aturan
adatnya yang telah bergeser secara struktural kelembagaan dari
lembaga adat Minangkabau.
338
3. Lembaga adat Minangkabau memiliki peran dan fungsi yang lain
yaitu untuk mempertahankan masyarakat dan adat
Minangkabau, karena itu ia masih merupakan kebutuhan
budaya bagi masyarakat Minangkabau dalam bentuk respon
kulturalnya. Hal ini terlihat dari adanya usaha Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Tingkat I Sumatera Baral pada tanggal 7
Desember tahun 2000 yang lalu, sepakat untuk mengesahkan
kembali adanya pemerintahan nagari melalui Peraturan Daerah
Ten tang Ketentuan Pokok Perubahan Pemerintah Desa di
Sumatera Barat menjadi Pemerintah Nagari yang telah 52 tahun
dihapuskan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui
Peraturan Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Tengah
Nomor 17/GP/48 tertanggal 8 April 1948 dan Nomor 50/GP/50
tertanggal 14 Juni 1950, serta Undang-Undang Pokok tentang
Pemerintahan Daerah Nomor 22 tahun 1948, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang
pelaksanaannya di Sumatera Baral ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Barat Nomor 7
Tahun 1981.
4. Lembaga adat Minangkabau ini juga berperan dan berfungsi
sebagai peletak dasar pola hubungan sosial dengan identitas
tersendiri bagi anggota masyarakat dan kelanjutan masyarakat
339
adat Minangkabau. Karena itu ciri atau sifat dari lembaga adat
Minangkabau merupakan bagian yang penting bagi masyarakat
Minangkabau sebab ia memiliki fungsi sosial dan budaya dalam
masyarakat Minangkabau.
5. Di dalam lembaga adat Minangkabau ini terlihat adanya
hubungan timbal balik antara individu sebagai anggota
masyarakat dengan lembaga adat Minangkabau. lni terlihat
secara struktural ditemukan adanya peran dan fungsi seorang
mamak dalam sebuah parui' atau rumah gadang, peran dan
fungsi mamak kaum atau suku, peran dan fu,ngsi panghulu
andiko dalam lembaga kerapatan adat Minangkabau, serta
peran dan fungsi wali nagari terhadap masyarakat dan adat
Minangkabau. Peran dan fungsi ini memperlihatkan adanya
hubungan fungsional antara individu atau anggota masyarakat
Minangkabau dengan lembaga adatnya, di samping adanya
fungsi lembaga adat Minangkabau terhadap masyarakat
Minangkabau.
6. Hubungan fungsional ini terlihat pula .pada peran dan fungsi
rumah gadang dalam masyarakat Minangkabau yang
merupakan peletak dasar kelembagaan adat dan masyarakat
Minangkabau atau sistem sosial dan sistem budaya masyarakat
Minangkabau. Di samping temuan di atas terlihat lagi bahwa
340
dalam rumah gadang ini adanya suku dalam sistem
kekerabatan masyarakat Minangkabau yang diturunkan dari
seorang nenek kepada turunannya, yang menempatkannya
sebagai "amban purue" yang menguasai harta pusako di rumah
gadang, dan "limpapeh rumah nan gadang" yang merupakan
lambang keturunannya, yang diungkapkan dalam bahasa adat
"anak basuku kasuku ibu" artinya garis keturunan suku dalam
masyarakat Minangkabau ditarik dari seorang nenek yang juga
seorang ibu dari anaknya dan nenek dari cucunya yang
menyebabkan masyarakat Minangkabau dikenal sebagai
penganut tradisi matrilineal.
7. Suku ini dalam masyarakat Minangkabau dipahamkan sebagai
hubungan tali darah dari orang seasal atau seketurunan, dalam
kata adat Minangkabau disebut "barasal dari sebuah parui"'.
Parui' pada hakikatnya dipahamkan sebagai himpunan satu
keluarga besar dalam satu rumah gadang yang menarik garis
keturunan dari pihak nenek atau ibunya. Dalam kata adat
disebutkan "malu nan indak dapek diagieh, suku nan indak ·
dapek dianjak". Menurut tradisi adat masyarakat Minangkabau
terdapat dua suku induk yang kemudian terbagi dalam empat
bagian kelompok besar suku induk yang memiliki hubungan
dengan dua pendiri dan pembentuk adat Minangkabau yaitu
341
Datuk Ketemanggungan untuk suku Koto-Piliang, dan Datuk
Perpatih Nan Sabatang untuk suku Bodi-Chaniago.
8. Kedua suku induk ini memiliki perbedaan dalam cara
pengambilan keputusan dan pemilihan kepala adat yang disebut
panghulu. Jika pada suku Koto-Piliang mengambil keputusan
dalam musyawarah ditetapkan secara bertingkat yang disebut
"bajanjang naik, batangga turun". Tingkatan dimaksud adalah
tingkatan pengambilan keputusan yang ditentukan oleh
tingkatan panghulunya, karena itu di dalam suku Koto-Piliang
terdapat tingkatan kedudukan seorang panghulu dalam
adatnya. Berbeda dengan sistem pengambilan keputusan pada
suku Bodi-Chaniago yang menempatkan seseorang sama
kedudukannya dengan orang lain ketika dilakukan pengambilan
keputusan, yang di dalam kata adat disebut "dudua samo
randah, tagak samo tinggi". Namun pada suku Bodi-Chaniago
ini terdapat seorang panghulu yang dituakan berdasarkan
wibawa yang dimilikinya dan disebut sebagai pamuncak adat.
9. Perbedaan dari kedua sistem pengambilan keputusan tersebut
di atas dan mengenai kedudukan panghulu dalam kedua induk
suku ini telah melahirkan suatu kelarasan yaitu kelarasan Bodi
Chaniago dan kelarasan Koto-Piliang. Kata laras inilah
kemudian mempunyai makna hukum yaitu tentang tata cara
342
adat turun temurun bagi masyarakat Minangkabau hingga
dewasa ini. Perbedaan ini di dalam adat istiadat Minangkabau
di dalam kata adat disebutkan "di mano batang taguling, di sinan
tindawan tumbuah, di mano tanah dipijak, di sinan langik
dijunjuang". Suku ini memiliki peran dan fungsi yang menonjol
ketika disebutkan sebagai syarat berdirinya suatu nagari yang
disebutkan di dalam pendirian nagari paling tidak harus terdapat
empat buah suku. Di dalam kata adat disebutkan "nagari
barampek suku, ampek suku sakoto".
10. Mengenai peran dan fungsi lembaga adat Minangkabau ini
menempati puncaknya ketika nagari masih berdiri sebagai
lembaga pemerintahan adat dan masyarakat Minangkabau,
serta lembaga kerapatan adat Minangkabau masih berperan
dan berfungsi sebagai dewan pemerintahan nagari yang
mengurus keseluruhan kepentingan masyarakat dan adat
Minangkabau.
1 1. Dalam perkembangannya lembaga adat Minangkabau ini
mengalami pergeseran peran dan fungsinya dalam kehidupan
masyarakat dan adat Minangkabau. lni terlihat dari adanya
pergeseran peran dan fungsi mamak dalam kaum atau sukunya
pada parui' atau rumah gadang yang beralih ke "urang
sumando". Sebagai akibatnya adalah menempatkan urang
343
sumando pada peran dan fungsi memiliki kekuasaan terhadap
anak dan istrinya. Akibat logisnya ialah timbullah hubungan
yang lebih akrab atau semakin intim antara urang sumando
dengan an;:1k dan istrinya yang telah menghapuskan kesan adat
yang menyebutkan urang sumando itu "bak abu di ateh tunggua
tabang ditiuk angin" yang artinya menempatkan urang sumando
tidak kuat dalam kelompok kerabat istrinya. Sebab itu anak,
tidak berada dalam kekuasaannya, akan tetapi berada dalam
kekuasaan seorang mamak, yang terkesan ia dianggap
hanyalah sebagai orang datang atau orang asing ke· dalam
kerabat istrinya. Sejak itu kesan seorang urang sumando
"mancaliak-caliak di siang hari, dan mandanga-danga di malam
hari samakin saketek" menjadi hilang. Di sini terlihat bahwa
peran dan fungsi mamak dalam kata adat disebutkan "anak
dipangku kamanakan dijinjiang, urang dalam kampuang
dipatenggangkan" hampir-hampir tinggal simbol adat saja.
Barulah ia berperan dan berfungsi kembali sebagai mamak
ketika kamanakannya hendak berumah tangga; di mana ia
bertindak sebagai juru runding dalam perkawinan
kamanakannya itu.
1 2. Adanya pergeseran peran dan fungsi mamak dalam kaum atau
sukunya pada parui' atau rumah gadang mengakibatkan
344
semakin eratnya hubungan antara bapak dan anaknya, maka
terjadilah perubahan sosial dalam sistem kekerabatan
masyarakat dan adat Minangkabau di mana terdapat hubungan
yang erat antara C'eorang anak dengan "bako"nya. Begitu pula
semakin eratnya hubungan antara urang sumando dengan
bakonya. Temuan penelitian memperlihatkan bahwa kunjungan
urang sumando ke bakonya semakin sering, begitu pula
sebaliknya dipihak bako kerap sekali mengunjungi rumah "anak
pisang"nya terutama sekali pada saat adanya acara-acara adat,
khitanan, dan pada han-hari besar Islam lainnya.
13. Namun temuan penelitan memperlihatkan bahwa sistem
kewarisan harta dan gelar pusaka serta sistem perkawinan
masih tetap mengacu pada sistem matrilineal. Sehingga
pemanfaatan pengelolaan harta pusako tinggi yang dijalankan
oleh seorang mamak kini tidak lagi semata-mata untuk
kepentingan kebutuhan anggota keluarga dan kamanakannya
saparui' atau serumah gadang, akan tetapi telah bergeser ke
arah usaha dari seorang mamak untuk memenuhi kebutuhan
anak dan isterinya. lni bisa terjadi karena para kamanakan atau
urang sumandonya telah memiliki status sosial ekonomi lebih
tinggi dari mamaknya, seperti dari tingkat pendidikan,
pendapatan, dan pekerjaaan.
345
14. Terjadinya pergeseran peran dan fungsi seorang mamak ini di
rumah gadang telah terjadi sejak masuknya pengaruh Islam
lewat Aceh di Minangkabau, yang menempatkan seorang suami
semakin tinggi kedudukannya di dalam kehidupan rumah
tangganya. Karena itu ia diwajibkan haruslah memiliki tanggung
jawab yang besar terhadap isteri dan anaknya, sebagaimana
yang terdapat di dalam ajaran agama Islam. Sehingga timbullah
adanya kecenderungan dari seorang suami bersama isterinya
untuk membentuk keluarga batih dan mencoba untuk
meninggalkan atau mengurangi pengaruh keluarganya sekaum
atau sesuku di dalam parui' atau rumah gadang. Faktor
pendukung masuknya pengaruh Islam ke dalam sistem
kemasyarakatan dan adat Minangkabau adalah karena
pesatnya perkembangan sistem pendidikan Islam di kalangan
rnasyarakat Minangkabau yang hingga kini masih dirasakan
pengaruhnya.
15. Pengaruh adanya tradisi merantau dalam masyarakat
Minangkabau juga merupakan salah satu sebab lain yang
menggeser peran dan fungsi rumah gadang dalam
kelembagaan adat Minangkabau melalui tradisi merantau ini
yang memudahkan terjadinya pembauran antara masyarakat
dan adat suku bangsa lainnya melalui proses akulturasi.
346
Sebagai akibat adanya tradisi merantau ini tidak jarang anggota
masyarakat adat kawin dengan suku bangsa lain yang memberi
dampak terhadap bergesernya peran dan fungsi lembaga adat
Minangkabau.
1 6. Pergeseran peran dan fungsi lembaga adat ini dapat juga terjadi
disebabkan karena semakin berkurangnya tradisi untuk
membangun keluarga sekaum atau sesuku dalam satu rumah
gadang. Ada kecenderungan dari anggota rumah gadang untuk
membangun rumahnya sendiri-sendiri dalam bentuk sebuah
rumah keluarga batih seperti di kota-kota besar yang di
dalamnya hanya terdiri seorang ayah, ibu, dan anak-anaknya.
17.Adanya Undang-Undang Pokok .L'\graria Nomor 5 Tahun 1960
dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 O Tahun 1 96 1 tentang
Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Pertanian Dan
Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan
Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia atas Tanah yang harus
dibuatkan sertifikatnya oleh pemerintah menyebabkan pula
terjadinya pergeseran peran dan fungsi lembaga adat dalam
masyarakat Minangkabau. Adanya perubahan status tanah
dengan keharusan untuk dibuatkan sertifikatnya oleh
pemerintah menimbulkan persoalan-persoalan yang
berkepanjangan yang dirasakan hingga sekarang ini terhadap
347
lingkungan keluarga sekaum atau sesuku pada parui' atau
rumah gadang. Misalnya telah terjadi persengketaan antara
mamak dengan kamanakan atau dengan anggota kaum lainnya
yang turut menjadi pewaris. Sebab dalam ketentuan pemerintah
tersebut di atas merupakan suatu kewajiban bagi setiap tanah
untuk didaftarkan atas nama seseorang dan banyak yang
terjadi di Minangkbau tanah-tanah tersebut atas nama seorang
mamak. Oleh karena itu peraturan pemerintah ini turut pula
memberi pengaruh terhadap hukum perwarisan dalam
masyarakat adat Minangkabau. Sementara itu pemerintah
kurang memikirkan dampak dari adanya Undang-Undang Pokok
Agraria.
1 8.Akibat lain dari adanya Undang-Undang Pokok A.graria tersebut
di atas adalah terjadinya pola perubahan sosial yang
ditimbulkan sehubungan dengan penguasaan dan penggunaan
serta kepemilikan tanah dalam masyarakat Minangkabau. Jika
semula tanah wilayah penggunaan dan penguasaan berada di
tangan masyarakat adat atau suatu kaum sejak ini bergeser
penggunaan dan penguasaannya ke arah perorangan. Sebagai
akibatnya timbullah perubahan sosial dalam bentuk
renggangnya hubungan sosial baik dalam kaum, maupun antar
kaum. Begitu pula apabila tanah ulayat tersebut dinamakan
348
atas nama seseorang dari anggota kaum atau suku atau mamak
dapat mengakibatkan punahnya suatu kaum. Suatu kaum
dinyatakan punah dalam masyarakat hukum adat Minangkabau
apabila dalam kaum tersebut tidak mempunyai keturunan yang
wanita. Sedangkan ciri utama dalam masyarakat dan adat
Minangkabau yang matrilineal adalah bahwa seorang wanita
memiliki peran dan fungsi sebagai penerus suku kaumnya dan
memberikan peran dan fungsi seorang mamak di rumah gadang
yang mengurus anggota keluarganya dan kamanakannya serta
mengaurus ekonomi anggota keluarga dan harta pusaka di
rumah gadang, akan tetapi terjadi pergeseran peran dan fungsi
seorang mamak misalnya dari penguasa tanah ulayat menjadi
pemilik sekaligus penguasa dari harta kaumnya. Karena itu
ditinjau dari hukum pewarisan dalam masyarakat adat
Minangkabau dengan adanya kaum yang punah tersebut dapat
menimbulkan kecenderungan terjadinya pewarisan yang
menyimpang. Pewarisan yang seharusnya turun . kepada
kamanakan kini pindah kepada seorang anak yang tentu tidak
sesuai dengan ketentuan adat yang menyatakan "pusako saling
ka suku" dengan demikian tanah ulayat ini telah beralih dari
suku atau kaumnya yang mengakibatkan hilangnya hak dari
kaum untuk menguasai atau memiliki tanah dari kaumnya.
349
19. Sebagai akibat adanya pergeseran peran dan fungsi lembaga
adat dalam masyarakat Minangkabau sebagai akibat adanya
alkulturasi di atas memberi pengaruh terhadap pengasingan,
yang menyangl<ut pergeseran cara-cara tradisional oleh
masyarakat Minangkabau menuju ke arah reorientasi, yaitu
perubahan penerimaan struktur normatif kebudayaan lain tanpa
mengindahkan kemungkinan penguatan kembali
(reaffirmation), untuk memperkokoh kebudayaan tmdisional
masyarakat Minangkabau_
5.2 Saran
Berdasarkan uraian di atas dapat diajukan beberapa saran
sebagai berikut :
1. Apabila ditilik peran dan fungsi sosial lembaga adat
Minangkabau yang memiliki daya pengikat dan daya gerak
masyarakat yang dapat dijadikan potensi penunjang
pelaksanaan pembangunan di Propinsi Daerah Tingkat I
Sumatera Baral, maka disarankan agar pemerintah dan
masyarakat adat Minangkabau mau memahami kembali peran
dan fungsi sosial tersebut.
2. Apabila ditilik peran dan fungsi lembaga adat Minangkabau ini
secara keseluruhan yang menggambarkan adanya identitas
350
sistem sosial dan budaya masyarakat Minangkabau, maka
disarankan agar pemerintah dan masyarakat Minangkabau
tetap mempertahankan sistem kelembagaan adat yang
terintegrasi itu. Sebab .jika tidak demikian, maka dikuatirkan
suatu ketika masyarakat Minangkabau kehilangan jati dirinya
sebagai masyarakat Minangkabau.
3. Adanya usaha Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I
Sumatera Baral yang pada tanggal 7 Desember 2000 untuk
mengesahkan Peraturan Daerah tentang Ketentuan Pokok
Perubahan Pemerintahan Desa di Sumatera Baral kembali
Menjadi Pemerintahan Nagari, maka disarankan kepada
Pemerintah Pusat dan masyarakat Minangkabau untuk
mendukung rancangan tersebut, guna dapat terlaksana
secepatnya yang tidak dapat dipisahkan dari usaha pemerintah
pada dewasa ini untuk melaksanakan otonomi daerah yang
seluas-luasnya di Sumatera Baral.
4. Apabila ditilik adanya hubungan fungsional antara masing
masing unsur yang terdapat di dalam lembaga adat
Minangkabau dalam rangka pelaksanaan pemerintahan nagari
di alas, maka disarankan kepada Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Baral dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera
351
Barat dan masyarakat agar hubungan fungsional tersebut
jangan dihilangkan akan tetapi dipertegas fungsi masing-masing
dari unsur lembaga adat Minangkabau yang merupakan satu
kesatuan dalam sistem sosial dan budaya masyarakat
Minangkabau.
5. Menilik masih berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri
Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun1962 tentang Penegasan
Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas
Tanah yang memberi akibat luas dalam penguasaan,
penggunaan, dan kepemilikan tanah dalam masyarakat
Minangkabau yaitu timbulnya perubahan sosial dalam bentuk
renggangnya hubungan sosial baik dalam kaum maupun antar
kaum dan dapat punahnya suatu kaum serta hukum perwarisan
adat masyarakat Minangkabau, disarankan agar ketentuan
peraturan perundang-undangan di atas agar ditinjau kembali,
jika tidak ingin permasalahan itu berlanjut dan berkembang
menjadi isu negatif dalam pelaksanaan pembangunan di
Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat.
352
DAFT AR PUST AKA
Abdullah, Taufiq, 1972. " Modernization in the Minangkabau Word : West Sumatra in the Early Decades of the Twentienh Century" , dalam : "Culture and Politics in Indonesia". Suntingan Claire Holt, dengan babtuan Benedith R. O'G. Anderson dan James Sagel, Cornell University Press, Ithaca New York.
Alam, Syamsul, 1988. Pola penguasaan Tanah dan Mobilitas Sosial di daerah Pedesaan Suatu Studi Mobilitas Spasial Masyarakat di Daerah Minangkabau, Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Alvian, 1986. Transformasi Sosial Budaya Dalam Pembangunan Nasional, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Andaya, Leonard yuzon, 1975. The King of Johor, 1641-1728, Oxford University Press, Kuala Lumpur.
Anwar, Chairul, 1979. Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minagkab au, Rineka Cipta, Jakarta
Aveling, Harry, (ed) , 1979. The Development of Indonesian Society, University of Queensland Press, St. Lucia, Queensland .
Bachtiar, Harsya, et.al, 1985.Budaya dan manusia Indonesia, Hanindita, Yogyakarta.
Bakker, Anton dan Ahcmad Charris Zubair, 1994. Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.
Baldridge, J. Victor, 1975. Sociology A Critical Approach to Power, Conflict and Change, Jonh Wiley & Sons, Inc. Canada.
Ball, J_ Van , 1970. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970), Gramedia , Jakarta.
Bank, 0. 1986. The Sociology of Education. London : Bats Ford.
353
Becker, Howard S. and Blanche Geer, 1957. "Participantobservation and Interviewing : A Comparism". Prentice-Hall Inc, Englewood Cliffs, New Jersey.
Bell,c. and Newby, H. (ed) 1977. Doing Sociological research. London : George Allen and Unwim.
Berg, C.C.1972. llmu-ilmu Kebudayaan di Indonesia : Suatu Metamorfose Selama Setengah Abat Terakhir, Bhratara, Jakarta.
Bertrand, Alvin L . 1980. Sosiologi, Bina llmu Surabaya.
Black James A. dan Dean J. Champion, 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial, Eresco , Bandung.
Bohannan, P. and M. Glazer (ed) 1973 Alfre,d A Konopf, New York .
High Points in Antropology,
Brannen , Julia, 1996. Memandu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, terjemahan oleh H. Nuktah Arfawie Kurde, et.al. Fakultas Tarbiah IAIN Antasari , Samarinda.
Burns, Tom R , et .al ,1987. Manusia, Keputusan, Masyarakat: Teori Dinamika Antara Aktor dan Sistem Untuk l/muwan Sosial, Pradnya Paramita, Jakarta.
Cartwright, Dorwin,and Alvin and Theory. New Publishers.
Zaneder.1968 . Group Dynamics,Research York-Evanston-london: harper & Row
Chaaadwick, Bruce A. Howard M. Bahar, Stan L. Albrecht.1984. Social Science Research Methods. New Jersey: Prentice- Hall lntrenational Inc. London.
Chubin, Daryl, E. and Alan L. Porter, Frederick A. Rossini, Terry Connoly( ed) 1986. lnterdiciplinary Analysis and Research, Theory and Practice of Problem Focused, Research and Developmant. Maryland : Lemond Publishing.
354
Craib, Ian 1994. Teori-teori Sosial Moderen Dari Respons Sampai Hubermas, Terjemahan Rajawali Pers, Jakarta.
Datuk Rojo Penghulu , ldrus Hakim 1978. Pokok-pokok Pengetahuan Alam Minangkabau, Rosda, Bandung.
-------------1978, Buku Pegangan Penghulu di Minagkabau, Rosda, Bandung
-------------1984, 1000 Pepatah,Petitih, Mamang, Bidal, Pantun, Gurindam Bidang Sosial Budaya, Ekonomi,Politik, Hukum, Hankam, Agama di Minangkabau, Remadja Karya, Bandung.
Daud, Fatimah, 1992. Pengenalan Teori-teori Sosiologi, Fajar Bakti SON. BHD, Kuala Lumpur
De Jong, P.E. de Josselin, 1952. Minangkabau and Negeri Sem bilan: Socio-Political Structure in Indonesia, Martinus Nijhoff - S Gravenhage.
Deutscher, Irvin 1973. What We Say /What We Do, Scott Foresman, Glenview.
Durkheim, Emile , 1977. The Rules of Sociological Method, A Free PressPaparback, McMillan Publishing Company, Inc, New York -London
----------------------and Marcel Mauss, 1963, Primitive Classificaation, Cohen & West, London
Esten,Mursal, 1993. I Minangkabau Tradisi dan Perubahan, Angkasa Raya , Padang.
Evers, Hans-Dieter, 1975. Chang ing Patterns of Minagkabau Urban Landownership, Bijdragen tot de Taal Landen Volkenkunde.
Fielstead, William J. Markam,Chicago.
(ed), 1970. Q ualitative Methodology,
Foster-Carter, Aidan, 1985. The Sociology of Development, Causeway Press Ltd. England
355
.,_, .
Furnival, J_ S_ 1967 _ Netherlan ds ln die :A Study of Plural Economic, Cambridge University Press, London.
Gama, Judistira Kartiwan_ 1992_ Teori-teori Perubahan Sosial, Program Pascasarjana UNPAD, Bandung.
Garner, Roberta Adh. 1984. Social Change. Chicago: Roud Mcmally Choledge Publishing Company_
Gillin and Gillin_ 1954. Cultural Sociology.A Revision of An Introduction to Sociology. New York: The Mcmillan Company_
Geestz, Hildren, 1967. Indonesian Cultures an d Communities in In don esia, Rev.ed. Edited by Ruth T. Mc Vey, Human Relations Area Files, New Haren.
Gitter , Joseph B. 1952. Social Dynamic, Prin ciple s an d Cases in Introductory Sociology, McGraw Hill, New York-TorontoLondon.
Glaser, B. and A. L. Strauss, 1967. The Discovery of Groun ded Theory: Strategis for Qualitative Research, Aldin ,Chicago.
Good, William J.and John Philips. 1954. Cultural Sociology, The Mcmillan Company , New York_
------------------1952, Methods in Social Research, McGraw-Hill Book Company-Kogakusha, Ltd. New York- Tokyo- London_
Graves, Elizabeth E., 1971. The Ever Victorius Buffalo: How The Min an gkabau of ln donesiaa Solved Their Colonial Question , T esis Ph.D., University of Wisconsin.
Hamka, 1963. Adat Min angkabau Menghadapi Revolusi, Fa. Tekat , Padang.
Honigman, J., 1 976. The Development of Anthropological Ideas, The Dorsey Press, Illinois.
Horton, Paul, B. 1984. Sociology , McGraw-Hill Inc, New York
356
Ibrahim, Abd. Syukur dan Machrus Syamsuddin, 1 985. Penemuan Teori Grounded Beberapa Strategi Penelitian Kualitatif, Usaha Nasional , Surabaya.
lnkeles, Alex, 1 965. What is Sociology, an Introduction to the Discipline and Prossetion, Prentice Hall Od India Ltd.
Jamaries, 1996. Hakikat Pembelajaran Basandi Dalam Keluarga Matrilineal Minangkabau, Disertaasi, Program Pascasarjana, IKIP , Bandung.
Jonhson, Doyle Paul, 1 988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Graamedia, Jakarta.
Junus, Umar, 1 988. Kebudayaan Minangkabau, dalam Koentjaraningrat, 1 988. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Kaberry, P. 1957. "Malinowski's Contrigution to Fieldwork Methods and the Writing of Ethnography", in: R. Firth (ed) 1 957. Man and Culture, Routledge & Kegan Paul, London.
Karim, Nik Safiah, 1 985. Stukturalisme Satu Tinjauan Multidisiplin, University Malaya, Kuala Lumpur.
Kartono, Kartini. ·1 983. Pengantar Metodologi Research Sosial. Alumni , Bandung.
Karzwil, Edith, 1 980. The Age of Structuralism, Columbia University Press, New York
Kato, Tsuyoshi, 1 989. Matriliny and Migration Evolving Minangkabau Tradisitions in Indonesia, Cornell University Press, Ltd., New York
Kerlinger, Fred N., 1 992. Asas-asas Penelitian Behavioral , Gadjah Mada University Press, Yogyakarta .
Keesing, Roger M. , 1 989. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer, Erlangga,Jakarta.
357
Koentjaaraningrat, 1964. Pengantar A ntropologi, Cetakan ke I I Universitas Indonesia Press, Jakarta.
-------------, 1987. Sejarah Teori Antropologi, Jilid I dan II, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
------------, 1988, Manusia dan Kebudayaan Indo nesia, Djambatan, Jakarta.
------------, dan Ronald K. Emmerson (ed), 1985. Aspek Manusia Dalam Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta.
Koenoe, Moh., 1969. Introduction Into Indonesian Adat L aw, lnstitut Voor Culturele en Sociale Anthropologie, Nijmegen, Nederland.
Kupper, Adam, 1973. Anthropology and Anthropologists, Routledge & Kegan Paul, London.
------------, 1977. The Social A nthropology Radcliffe-Brown, Routledge & Kegan Paul, London.
L.A. Coser, and B. Rosenberg, 1957. Sociological Theory: A Book of Readings, McMillan, New York.
Laeyendecker, L., 1991. Tata, Perubahan dan Ketimpangan Suatu Pen gantar Sejarah Sosiologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Laswell, Harold and Abraham Kaplan, 1969. Power and Society, Yale University Perss, New Haven-London.
Leach, Edmund, 1969. Social Structure The History o f the Consept, in : David L. Sills (ed), 1968. International Encyclopedia of the Social Science, The McMillan Company & The Free Press, New York-London.
Leach, Edmund, 1964. Political System of Highland Burma: A Study o f Kachin Social Structure, The Athlone Perss, London.
358
Linton, Ralph, 1936. The Study of Man, D. Appleton Century-Company, Inc., New York.
Loeb, Edwin M. 1972. Sumatera: Its History and People, Oxford University Press, Kuala Lumpur.
Mansoer, M. D., et. al. , 1970. Sejarah Min angkabau, I Bhatara, Jakarta.
Manggis M. Rasjid dan Datuk Radjo Penghoeloe, 1971. Minangkabau: Sejarah Ringkas dan Adatn ya, Sri Darma, Padang.
Malinowski, Bronislaw K., 1944. A Scientific Theory of Culture and Other Essays, Oxford University Press, New York.
Martodirdjo, Haryo Suhardi, 1991. Orang Tugitil di Halmahera, Struktur dan Dinamika Sosial Masyarakat Penghuni Hutan, Disertasi -UNPAD, Bandung.
Mayor Polak, J. B. A F. , 1966. Sosio/ogi Suatu , Pengantar Ringkas, lchtiar Baru, Jakarta.
Miles, Mathhew, B. and A Michael Huberman. 1992. Qualitatif Data Analysis, Sage Publications, Inc., Beverly Hi l ls.
Mohd. Zen, Lokhman, 1990. Perubahan Sosial dan Nilai Ukur Tradisional Minangkabau di Sumatera Barat, Tesis Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Moleong, Lexy, J. 1989. Metodologi Pene/itian Kualitatif, Remaja Karya, Bandung.
Muhadjir, Noeng, 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta.
Murdock, GeorgePeter, 1949. Social Structure, The McMillan Company , New York
Nairn, Muchtar, 1984, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Gajah Mada University Perss, Yogyakarta.
359
Nairn, Asma M., dan Mochtar Nairn, 1975. Bibliografi Minangkabau, Singapore University Press Pte. Ltd., Singapore.
Nain, Sjafnir Abu, dan lshaq Thaher, 1988. Kedudukan dan Peranan Wanita Suku Minangkabau, Deparatemen Pendidikan dan Kebudayaan , Jakarta.
Nasikun, 1992. Sistim Sosia/ Indonesia, Rajawaliperss, Jakarta.
Nasir, Moh, 1988. Metoda Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Nasroen, M., 1957. Oasar Falsafah Adat Minangkabau, Pasaman, Jakarta.
Nasution, S. , 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kulitatif, Tarsito, Bandung.
Nawawi, Hadari, 1983. Metode Penelitian Bidang Sosia/, Gajah Mada University Preess, Yogyakarta.
Noer, Deliar, 1973. The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942,0xford University Press, London and New York.
Parsons, Talcott, 1961. Theories of Society, The Free Press of Clence,lnc.
------------, 1970. Social Structure and Personality, Free Press, New York
------------, 1951. The Social System, Free Press, New York
Adji, (ed)., 1985. Esai-esai Sosiologi Ta/cot Parsons, Aksara Persada Press, Jakarta.
Patton, Michael Quinn, 1980. Qualitative Evaluation Methods, Sage Publication, Baverly Hills.
Pieget, Jean, 1971. Structuralisme, Routledge & Kegan Paul, London.
Polo ma, Margaret M., 1992. Sosio/ogi Kon ten porer, Rajawali Press, Jakarta.
360
Pristianty, J.G. , 1960. Durkheim's Letters to Raadcfiffe Brown, Emile Durkheim, 1858-1917, K.H. Wolff (ed), The Ohio State University Press, Columbus.
Pritchard, Evans, 1951. Kinship and Marriage Among the Nuer, Clarendom Press, Oxford.
Radcliffe- Brown, A.R. , 1957. A Natural Science of Society, The Free Press, New York
---------------, et. al. , 1961. Structur and Fungtion in Primitive Society, Cohen & Vilest Ltd, London.
Raharjo, Sutjipto, 1980. Hukum Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung.
Ritzer, George, 1980. Sociology: A Multiple Paradigma Science, Allyn and Bacon, Inc, Boston.
Rusidi, 1993. Dasar-dasar Penefitian Dalam Rangka Pengembangan ffmu, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.
-------------, 1993. Pedoman Penelitian dan Penufisan Karya ffmiah, !KOPIN, Jatinangor
Sairin, Sjafri, 1992. Javanese Trah, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Sango, Datuk Batuah, 1954. Tambo Alam Minangkabau, Limbago, Payakumbuh.
Schwartz, Howard and Jerry Jacobs, 1979. Quafitativa Sociology, The Free Press, New York
S.M , M.A. Hanafiah, 1970. Tinjauan Adat Minangkabau, Sri Darma, Padang.
Sevilla, Consuelo g., et. al., 1993. Pengantar Metode Penefitian , Universitas Indonesia Press, Jakarta.
361
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1989. Metode Penelitian Survai, LP3ES, Jakarta.
Soemardjan, Sela dan Soelaeman Soemardi, 1964. Setangkai Bunga Sosiologi, Lembaga Fakultas Ekonomi UI, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1984. Tenri Tentang Perubahan Sosial , Ghalia Indonesia, Jakarta.
------------- 1984. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, Rajawali Press, Jakarta.
-------------, 1989. Robert K. Merton: Analisa Fungsional, Rajawali Press, Jakarta.
-------------, 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat, Rajawali Press, Jakarta.
--------------, 1982. Sosiologi Suatu Pengantar� Rajawali Press, Jakarta.
--------------, 1986. Fungsionalisme Imperative, Rajawali Press, Jakarta.
Soetiknjo, Iman, 1990. Politik Agraria Nasional, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Sorokin, Pitirim A. , 1959. Social and Cultural Mobility, The Free Pressod Glence, Collier- McMillan Ltd. , London.
Subagyo, Joko p., 1991. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta.
Sudiyat, Iman, 1982.
Berbagai Yogyakarta.
Beberapa Masalah Penguasaan Tanah dan Di Masyarakat Sedang Berkembang, Liberty
Sudjana, Nana, 1988. Tuntunan Penyusunan Karya llmiah MakalahSkipsi- Tesis-Disertasi, Sinar Baru, Bandung.
Sunny, Amril Ghaffar, 1995. Sosiologi Konsep dan Teori, Ghalia Indonesia, Jakarta.
362
-------------, 1995 Teori Sosiologi, Ghalia Indonesia, Jakarta.
-------------, 1993. Dasar-dasar Sosiologi, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Syamsuddin, Teuku, 1971. Kebudayaan Aceh, dalam: Koentjaraningrat, 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Taneko, Soleman B., 1993. Struktur danProses Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Thalib, Sajuti, 1985. Hubungan Tanah Adat Dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Bina Aksara, Jakarta.
Tunner, Jonathan H., and Alexander Maryanski, 1979. Functionalism, The Benjamin/ Cummings Co , Menco Park, CaliforniaReading, Massaachusetts-London-Amsterdam-Don Mills-OntarioSydney.
Usman, Zuber, 1961. Kesusasteraan Lama Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Van Vollenhoven, Cornelis, 1928. De Ontdekking Van het Adatrecht, E.J. Brill, Leiden.
Veeger, K.J., 1993. Realitas Sosial Refleksi: Filsafat Sosial Atas Hubungan lndividu- Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Vermeulen, 1987. Patrick E. de Josse/in de Jong and The Leiden Tradition, a Short History, in : A de Ridder & A J.A Karremans (ed), The Leiden Tradition in Stuctural Anthropology, E.J. Brill, Leiden.
White, William Foote, 1955. Street Corner Society: The Social Stucture of an Italian Slum, University of Chicago Press, Chicago.
Whitney, F. L. 1960. The Elements of Research. Osaka: Asian Eds., Overseas Book Company.
363
Willinck, G.D., 1909. Het Rechtsleven Bij de Minangkabausche Maleires, E.J. Brill, Leiden.
Wolters,O.W. , 1970. The Fall of Sriwijaya in Malay History, Oxford University Press, Kuala Lumpur and Singapure
0
Wulansari,CatharinaDewi, 1999. Perkembangan Beberapa Ciri Masyarakat Minangkabau,UNPAR, Bandung.
------------, 1998. Asas-asas Studi Hukum Adat Indonesia, Chandra Pratama, Jakarta.
-------------, 1993. Dasar-dasar Sosiologi, Chandra Pratama, Jakarta.
Yasunaka,Akio, 1970. "Basic Data on Indonesia Political Leaders", Translated by Kenichi Goto, Indonesia Nomor 10, Oktober.
364