repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · bab ii tinjauan pustaka 2.1 tween...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tween 80
Tween 80 adalah ester asam lemak polioksietilen sorbitan, dengan nama
kimia polioksietilen 20 sorbitan monooleat. Rumus molekulnya adalah C64H124O26
dan rumus strukturnya adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Rumus bangun Tween 80 (Rowe, 2009)
Pada suhu 25ºC, Tween 80 berwujud cair, berwarna kekuningan dan
berminyak, memiliki aroma yang khas, dan berasa pahit. Larut dalam air dan
etanol, tidak larut dalam minyak mineral. Kegunaan Tween 80 antara lain sebagai:
zat pembasah, emulgator, dan peningkat kelarutan (Rowe, 2009). Selain fungsi,
fungsi tersebut, Tween 80 juga berfungsi sebagai peningkat penetrasi (Akhtar, et
al., 2011).
2.2 Minyak Inti Sawit
Sawit (Elaeis guineensis) secara umum adalah tumbuhan yang berasal dari
hutan Afrika Timur, tetapi sekarang banyak dibudidayakan di Asia Tenggara.
Universitas Sumatera Utara
Sawit dapat menghasilkan minyak sawit dan minyak inti sawit. Komposisi asam
lemak utama dalam minyak inti sawit adalah asam laurat (sekitar 48%), asam
miristat (sekitar 16%), dan asam oleat (sekitar 15%). Tabel 2.1 menunjukkan
kandungan asam lemak dan persentasenya dalam minyak inti sawit (Pantzaris dan
Ahmad, 2002).
Tabel 2.1 Kandungan asam lemak dan persentasenya dalam minyak inti sawit
Asam lemak Persentase (%)
Kaproat (C6) 0,3
Kaprilat (C8) 4,2
Kaprat (C10) 3,7
Laurat (C 12) 48,7
Miristat (C 14) 15,6
Palmitat (C16) 7,5
Stearat (C 18) 1,8
Oleat (C18:1) 14,8
Linoleat (C18:2) 2,6
Lain-lain 0,1
Kandungan asam lemak ini memungkinkan penggunaan minyak inti sawit
sebagai peningkat penetrasi. Daya peningkat penetrasi asam lemak telah sering
disebutkan dalam literatur. Efek ini sangat dipengaruhi oleh struktur asam lemak
dan pembawa dalam formulasi (Trommer dan Neubert, 2006). Asam laurat
meningkatkan fluks ozagrel sebanyak 24 kali lipat (Ogiso, et al., 2000). Asam
oleat meningkatkan absorpsi tenoxicam. Laju absorpsi tenoxicam meningkat
Universitas Sumatera Utara
secara parallel dengan meningkatnya konsentrasi asam oleat yang disebabkan oleh
perubahan stratum korneum (Larrucea, et al., 2001).
2.3 Kulit
Kulit adalah organ tubuh yang paling luas dan mudah diakses. Kulit orang
dewasa memiliki luas permukaan sekitar 2 m2 ketebalan sekitar 3 mm, menerima
satu per tiga sirkulasi darah, dan berfungsi untuk melindungi dan menerima
rangsangan dari lingkungan (Washington, et al., 2003).
2.3.1 Anatomi dan fisiologi kulit
Kulit terdiri dari tiga lapisan, berturut-turut mulai dari yang paling luar
adalah sebagai berikut:
a. lapisan epidermis
b. lapisan dermis
c. jaringan subkutan
Gambar 2.2 menunjukkan struktur kulit (Washington, et al., 2003).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Struktur kulit
2.3.1.1 Epidermis
Epidermis adalah lapisan pelindung terluar yang tipis, kering, dan tangguh.
Epidermis membentuk penghalang untuk mencegah hilangnya air, elektrolit, dan
nutrisi dari dalam tubuh, serta membatasi masuknya zat-zat dari lingkungan ke
dalam tubuh. Kerusakan epidermis menyebabkan terjadinya difusi senyawa ke
dalam kulit sekitar 1000 kali lebih cepat (Washington, et al., 2003).
Lapisan epidermis tersusun dari lima lapisan yaitu:
a. Lapisan tanduk (Stratum korneum)
Lapisan stratum korneum dari kulit adalah lapisan pelindung utama dan
terdiri dari delapan sampai enam belas lapisan sel yang pipih, berlapis-lapis, dan
berkeratin. Setiap sel memiliki panjang sekitar 34-44 µm, lebar 25-36 µm, dan
tebal 0,15-0,2 µm. Lapisan sel ini secara berkesinambungan digantikan dari
lapisan basal. Stratum korneum sering digambarkan sebagai susunan batu bata, di
mana bagian keratinosit sebagai zat hidrofilik membentuk batu bata dan lipid
interselular adalah celah-celah susunan, sehingga terdapat jalur hidrofobik yang
kontinu di dalam stratum korneum. (Washington, et al., 2003).
Untuk senyawa hidrofilik, stratum corneum memberikan tahanan difusi
1000 kali untuk penetrasi ke dalam. Tetapi untuk senyawa yang terlalu lipofilik
dengan koefisien partisi lebih dari 400 maka lapisan dermis yang hidrofilik
merupakan barier yang nyata untuk absorpsi sistemik (Riviere dan Papich, 2001).
b. Lapisan Lusidum (stratum lusidum).
Universitas Sumatera Utara
Lapisan ini tersusun dari beberapa lapisan sel transparan, terletak di atas
stratum granulosum. Biasanya terdapat pada tangan dan telapak kaki (Barry,
1983).
c. Lapisan granulosum (stratum granulosum)
Lapisan ini terdiri dari 2 sampai 3 lapisan sel dan terletak di atas lapisan
spinosum. Dinamakan lapisan granulosum karena sel-sel lapisan ini mengandung
granul keratohyalin yang menyebabkan sel berbentuk granul.
d. Lapisan spinosum (stratum spinosum)
Lapisan ini memiliki banyak koneksi intraseluler yang dinamakan
desmosom. Sebagai akibatnya, muncul proyeksi seperti duri di permukaan sel.
Sel-sel pada lapisan ini dipisahkan oleh celah yang sangat sempit. Celah ini
merupakan tempat mengalirnya pembuluh limfe yang kaya nutrisi. Lapisan
spinosum merupakan lapisan yang paling tebal dari epidermis.
e. Lapisan basal (stratum basale)
Lapisan ini terdiri dari satu lapis sel berbentuk kolumnar, berbatasan
dengan membran basal yang berkontak dengan dermis. Lapisan ini terus
membelah dan sel hasil pembelahan ini bergerak ke atas membentuk lapisan
spinosum (Mitsui, 1997).
Pada lapisan epidermis terdapat (Mitsui, 1997):
a. Keratinosit, yang berfungsi untuk membentuk lapisan yang tahan terhadap
zat kimia dan biologis.
b. Melanosit, yang berfungsi memproduksi melanin. Sel ini tersebar di antara
sel basal di lapisan basal.
Universitas Sumatera Utara
c. Sel Langerhans dengan sistem imun yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan terhadap zat asing.
2.3.1.2 Dermis
Dermis (corium) merupakan jaringan penyangga berserat dengan
ketebalan rata-rata 3-5 mm. Komponen lapisan dermis, yaitu (Barry, 1983):
a. Kolagen
Merupakan komponen serat utama dari kulit. Kolagen membentuk berbagai
jaringan pengikat yang hanya sedikit berbeda pada komposisi asam aminonya.
Kolagen hanya sedikit mengandung sistein, tapi sangat kaya akan glisin, prolin,
dan hidroksi-prolin.
b. Elastin
Komponen yang membentuk serat elastik, sehingga bagian dermis dapat
meregang dengan mudah ketika diberi tekanan dan dapat kembali ke bentuk
awal ketika tekanan dihilangkan.
c. Zat dasar (ground substance)
Merupakan zat berbentuk amorf sebagai tempat melekatnya sel dan serat,
mengandung berbagai jenis lipid, protein, dan karbohidrat. Zat yang paling
penting adalah mucopolisakarida, asam hyaluronik, dan dermatan sulfat
(chondroitin B).
d. Sel
Fibroblast merupakan sel yang paling banyak menghuni lapisan dermis. Selain
itu, juga terdapat sel mast dan histiosit.
e. Pembuluh darah
Universitas Sumatera Utara
Berfungsi untuk menjaga suhu tubuh, menghantarkan nutrisi ke kulit,
menghilangkan produk sisa, menggerakkan system pertahanan, dan
berkontribusi terhadap warna kulit.
f. Ujung saraf yang berfungsi untuk memberikan rasa sakit, sentuhan, gatal, dan
suhu.
g. Kelenjar keringat ekrin, berfungsi mengontrol suhu. Pada suhu yang tinggi dan
olahraga, akan terjadi sekresi kelenjar ini.
h. Kelenjar keringat apokrin, berfungsi sebagai organ seks skunder.
i. Kelenjar sebum, berfungsi mengatur kehilangan air, melindungi tubuh dari
infeksi bakteri dan jamur.
2.3.1.3 Jaringan Subkutan
Lemak subkutan (hypoderm, subkutis) tersebar di seluruh tubuh sebagai
lapisan serat lemak (fibrofatty), kecuali pada kelopak mata dan bagian genital pria.
Ketebalan jaringan ini bergantung pada umur, jenis kelamin, endokrin, dan gizi
dari individu yang bersangkutan. Sel-sel pada jaringan ini membuat dan
menyimpan lipid dalam jumlah besar, dan serat kolagen terdapat diantara sel-sel
lemak ini untuk menyediakan fleksibilitas antara struktur di bawahnya dengan
lapisan kulit di atasnya. Lapisan ini juga berfungsi untuk menjaga suhu tubuh dan
sebagi bantalan mekanis (Barry, 1983).
2.4 Sistem Penyampaian Obat Melalui Kulit
Penyampaian obat melalui kulit menjadi alternatif yang lebih diinginkan
daripada penyampaian obat secara oral. Pasien sering lupa meminum obat atau
menjadi bosan harus mengkonsumsi beberapa jenis obat dengan frekuensi yang
beberapa kali sehari. Selain itu, penyampaian obat oral sering menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
gangguan lambung dan inaktivasi sebagian obat karena first pass metabolism di
hati. Selain itu, absorpsi keadaan tunak suatu obat (steady absorption) melalui
kulit selama beberapa jam ataupun hari menghasilkan level dalam darah yang
lebih disukai daripada yang dihasilkan dari obat oral (Kumar, et al., 2010).
2.4.1 Keuntungan sistem penyampaian obat melalui kulit
Menurut Kumar, et al., (2010), sistem penyampaian obat melalui kulit
memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
a. Durasi kerja yang panjang sehingga menurunkan frekuensi pemberian obat.
b. Kenyamanan pemberian obat
c. Meningkatkan bioavailabilitas
d. Menghasilkan level plasma yang lebih seragam
e. Mengurangi efek samping obat dan meningkatkan terapi karena
mempertahankan level plasma sampai akhir interval terapi.
f. Kemudahan penghentian pemakaian obat.
g. Meningkatkan kepatuhan pasien.
2.4.2 Kerugian sistem penyampaian obat melalui kulit
Menurut Kumar, et al., (2010), sistem penyampaian obat melalui kulit
memiliki beberapa kerugian, antara lain:
a. Kemungkinan terjadinya iritasi lokal.
b. Kemungkinan terjadinya eritema, gatal, dan edema lokal yang disebabkan
obat ataupun bahan tambahan dalam formulasi sediaan.
2.4.3 Rute penetrasi zat aktif melalui kulit
Ada dua jalur utama obat berpenetrasi menembus stratum korneum, yaitu:
jalur transepidermal dan jalur pori. Gambar 2.3 menunjukkan jalur penetrasi obat.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Jalur penetrasi obat melalui stratum korneum (Trommer dan
Neubert, 2006)
Jalur transepidermal dibagi lagi menjadi jalur transselular dan jalur
interselular. Pada jalur transelular, obat melewati kulit dengan menembus secara
langsung lapisan lipid stratum korneum dan sitoplasma dari keratinosit yang mati.
Jalur ini merupakan jalur terpendek, tetapi obat mengalami resistansi yang
signifikan karena harus menembus struktur lipofilik dan hidrofilik. Jalur yang
lebih umum bagi obat untuk berpermeasi melalui kulit adalah jalur interselular.
Pada jalur ini, obat berpenetrasi melalui ruang antar korneosit (Trommer dan
Neubert, 2006).
Jalur melalui pori dapat dibagi menjadi jalur transfolikular dan
transglandular. Karena kelenjar dan folikel rambut hanya menempati sekitar 0,1%
dari total luas tubuh manusia, kontribusi rute ini terhadap penetrasi dianggap kecil
(Moser, et al., 2001). Tetapi, jalur transfolikular dapat menjadi jalur yang penting
bagi penetrasi obat yang diberikan secara topikal (Lademann, et al., 2004).
Rute transekrine (transglandular) melibatkan difusi melalui saluran
keringat. Rute transekrine merupakan rute yang tidak secara nyata memberikan
konstribusi terhadap total obat yang diabsorpsi. Hal ini dikarenakan obat sulit
Universitas Sumatera Utara
berdifusi menuju ke arah dalam, berlawanan dengan arah sekresi kelenjar. Rute
transfollicular melibatkan difusi melalui sebum (lemak) yang ada dalam kelenjar
sebum, kemudian masuk ke pembuluh darah. Rute ini lebih banyak dilalui
daripada rute transekrine (Flynn dan Stewart, 1988).
2.5 Prinsip Dasar Difusi Melalui Membran
Difusi adalah proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa
oleh gerakan molecular secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan
konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, misalnya membran.
2.5.1 Hukum Fick pertama
Sejumlah M benda yang mengalir melalui satu satuan penampang
melintang, S, dari suatu pembatas dalam satu saruan waktu t dikenal sebagai
aliran dengan simbol, J (Martin et al., 1993).
J = dM
Sdt. (1)
Di mana: M = massa (gram)
S = luas permukaan batas (cm2 )
Sebaliknya aliran berbanding lurus dengan perbedaan konsentrasi dC/Dx:
J = - D dC
dX (2)
di mana: D = koefisien difusi (cm2/detik)
C = konsentrasi (gram/cm3)
X = jarak (cm)
Persamaan ini memberikan aliran (laju difusi melalui satuan luas) dalam aliran
pada keadaan tunak. Dalam percobaan difusi, larutan dalam kompartemen
Universitas Sumatera Utara
reseptor yang diambil diganti secara terus menerus dengan pelarut baru untuk
menjaga agar selalu dalam keadaan sink.
Parameter penetrasi perkutan secara in vitro dihitung dari data penetrasi
dengan menggunakan persamaan berikut:
D = τ
δ
6
2
( 3 )
Js = δ
smCDK = Kp Cs ( 4 )
Di mana:
D = koefisien difusi (cm2/jam)
δ = ketebalan membran (cm)
τ = lag time (jam)
Kp = koefisien permeabilitas melali membrane (jam -1
. cm -2
)
Cs = konsentrasi zat aktif dalam salep (mcg)
Js = fluks (mcg/jam.cm2)
Km = Koefisien partisi kulit/pembawa (cm/jam2)
2.6 Enhancer (Peningkat Penetrasi)
Enhancer atau peningkat penetrasi adalah bahan yang dapat meningkatkan
permeabilitas kulit ataupun mengurangi impermeabilitas kulit. Bahan peningkat
penetrasi tidak memiliki efek terapi, tetapi dapat mentransport obat dari bentuk
sediaan ke dalam kulit (Kumar, et al., 2012). Alasan dibutuhkan penggunaan
bahan peningkat penetrasi adalah adanya barier penetrasi, yaitu stratum korneum.
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan penetrasi obat dapat dilakukan menggunakan peningkat penetrasi
kimia maupun fisika (Pathan dan Setty, 2009).
2.6.1 Peningkatan penetrasi secara fisika
Peningkatan penetrasi secara fifika dapat dilakukan dengan (Sharma, et al.,
2012):
a. Tato obat (medicated tattoos)
Merupakan modifikasi dari tato biasa, yaitu tato ini mengandung bahan
obat. Tidak dapat ditentukan durasi terapi dari sediaan ini. Tato dilepas
apabila sudah terjadi perubahan warna. Obat yang biasa digunakan antara
lain acetaminophen, vitamin C, dan lain-lain.
b. Gelombang tekanan
Gelombang tekanan dihasilkan dari radiasi laser yang kuat dapat
meningkatkan permeabilitas stratum korneum dan membran sel.
c. Frekuensi radio
Cara ini melibatkan pemaparan kulit pada frekuensi tinggi, sekitar 100
KHz, yang menyebabkan membentukan kanal mikro pada membran sel.
d. Magnetophoresis
Magnethophoresis merupakan suatu gaya dorong untuk meningkatkan
penetrasi obat melalui kulit. Magnetophoresis menyebabkan perubahan
struktur kulit sehingga meningkatkan permeabilitasnya.
e. Ionthophoresis
Merupakan peningkatan penetrasi obat melalui kulit menggunakan arus
Universitas Sumatera Utara
listrik. Obat digunakan di bawah elektroda yang memiliki muatan yang
sama dengan obat, dan elektroda lain dengan muatan berbeda ditempatkan
pada bagian tubuh yang lain.
f. Elektroporasi
Merupakan metode peningkat penetrasi dengan menggunakan tegangan
tinggi (50-1000 volt) dalam waktu yang sangat singkat (mikrosekon atau
milisekon).
g. Mikroporasi
Merupakan metode dengan menggunakan jarum mikro yang hanya
menembus stratum korneum dan meningkatkan permeabilitasnya.
h. Injeksi tanpa jarum
Merupakan metode bebas rasa sakit untuk memasukkan obat ke dalam
kulit. Dilakukan dengan menembakkan partikel cair dan padat dengan
kecepatan supersonik ke dalam stratum korneum.
I . Sonophoresis /Phonophoresis
Menggunakan energi ultrasonik untuk meningkatkan penetrasi obat,
biasanya digunakan frekuensi 20-100 KHz.
2.6.2 Peningkatan penetrasi secara kimia
Tujuan peningkatan penetrasi adalah untuk mempercepat secara reversibel
pengurangan barier stratum korneum tanpa merusak sel dan bekerja secara
reversibel.
Sifat enhancer kimia yang ideal adalah (Barry, 1983):
a. inert secara farmakologi.
b. nontoksik, noniritasi dan nonalergenik.
Universitas Sumatera Utara
c. onset of action obat cepat dan durasi kerja obat yang digunakan sesuai dan
dapat diperkirakan.
d. dengan penghilangan enhancer, stratum korneum segera pulih kembali.
e. kompatibel secara fisika dan kimia dengan berbagai bahan obat.
f. merupakan pelarut yang baik bagi obat.
g. mudah disapukan pada kulit dan cocok dengan kulit
h. tidak mahal dan dapat diterima secara kosmetik.
i. bekerja saru arah, yaitu dapat membantu masuknya zat dari luar ke dalam
tubuh, tapi mencegah keluarnya material endogen dari dalam tubuh.
2.6.3 Mekanisme kerja enhancer kimia
Enhancer kimia dapat bekerja dengan salah satu atau lebih mekanisme
utama berikut ini (Sharma, et al., 2012):
a. Meruntuhkan struktur lipid stratum korneum yang rapat
b. Berinteraksi dengan stuktur protein interselular
c. Meningkatkan partisi obat atau pelarut ke dalam stratum korneum.
2.6.4 Jenis-jenis enhancer kimia
Beberapa senyawa telah diketahui berperan senagai enhancer kimia antara
lain (Pathan dan Setty, 2009; Trommer dan Neubert, 2006):
a. Sulfoksida dan senyawa yang mirip
b. Azone
c. Pirolidon
d. Asam lemak
e. Minyak atsiri, terpen, dan terpenoid
f. Surfaktan
Universitas Sumatera Utara
g. Propilen glikol
h. Urea dan turunannya
2.6.4.1 Asam lemak
Efek peningkat penetrasi dari asam lemak telah banyak disebutkan dalam
literatur. Efek ini sangat dipengaruhi oleh struktur asam lemak dan formulasi.
Asam lemak yang paling sering digunakan dan paling banyak diteliti adalah asam
oleat. Secara umum, asam lemak tidak jenuh lebih efektif daripada asam lemak
jenuh. Semakin banyak ikatan rangkap dua yang dimiliki asam lemak, semakin
efektif kerja asam lemak tersebut. Selain itu, asam lemak cis lebih efektif daripada
asam lemak trans (Trommer dan Neubert, 2006).
2.6.4.2 Surfaktan
Surfaktan sering digunakan sebagai emulsifier dalam formulasi sediaan
topikal. Surfaktan ditambahkan dengan tujuan untuk melarutkan zat lipofil dalam
formula. Surfaktan dapat digunakan sebagai enhancer karena dapat melarutkan
lipid stratum korneum. Interaksi dengan keratin juga diduga menghasilkan efek
peningkatan penetrasi. Secara umum, surfaktan kationik lebih efektif daripada
surfaktan anionik maupun nonionik. Tetapi, efek peningkatan penetrasi surfaktan
yang bermuatan (kationik dan anionik) sering disertai efek iritasi. Oleh karena itu,
surfaktan nonionik lebih sering digunakan. Surfaktan dengan struktur yang analog
dengan struktur lipid bilayer stratum korneum memiliki potensial iritasi yang
lebih rendah. Namun, surfaktan ini juga memiliki efek peningkat penetrasi yang
lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh integrasi monomer surfaktan ke dalam lipid
bilayer daripada membentuk misel dengan lipid (Trommer dan Neubert, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.7 Asam askorbat
2.7.1 Uraian Bahan (Ditjen POM, 1995)
a. Rumus bangun :
Gambar 2.4 Rumus bangun asam askorbat (Ditjen POM, 1995)
b. Rumus molekul : C6H8O6
c. Berat molekul : 176,13
d. Nama kimia : L-Asam askorbat
e. Pemerian : Hablur atau serbuk putih atau agak kuning. Oleh pengaruh
cahaya lambat laun menjadi berwarna gelap. Dalam
keadaan kering stabil diudara, dalam larutan cepat
teroksidasi.
f. Kelarutan : Mudah larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol;
tidak larut dalam kloroform, dalam eter dan dalam
benzena.
2.7.2 Efek asam askorbat terhadap kulit
Asam askorbat atau dikenal juga dengan vitamin C adalah bahan
farmasetik yang digunakan dalam kosmetik sebagai pemutih kulit. Asam askorbat
dapat mengontrol produksi melanin dengan dua cara, yaitu mengurangi senyawa
intermedit melanin, dopaquinone, dalam reaksi tirosinase yang menghasilkan
Universitas Sumatera Utara
melanin dari tirosin, dan mengurangi warna gelap melanin yang teroksidasi
menjadi bentuk tereduksi yang lebih cerah (Mitsui, 1997).
2.8 Natrium metabisulfit
Natrium metabisulfit digunakan sebagai zat antioksidan dalam sediaan
oral, parenteral, maupun topikal pada konsentrasi 0,01-1% w/v dan pada
konsentrasi sekitar 27% pada sediaan intramuskular (Rowe, et al., 2009).
Universitas Sumatera Utara