repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 69387 › ... · 9 786024...
TRANSCRIPT
9 7 8 6 0 2 4 6 5 0 1 2 4
PERDARAHAN
EKSTRADURAL
RIDHA DHARMAJAYA
2017
USU Press
Art Design, Publishing & Printing
Gedung F, Pusat Sistem Informasi (PSI) Kampus USU
Jl. Universitas No. 9 Medan 20155, Indonesia
Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737
usupress.usu.ac.id
© USU Press 2017
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak menyalin,
merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk
apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
ISBN 978-602-465-012-4
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Perdarahan Ekstradural / Ridha Dharmajaya -- Medan: USU Press 2017.
vi, 68 p.; ilus.: 24 cm
Bibliografi ISBN: 978-602-465-012-4
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrohiiim. Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT, berkat rahmat dan karunia Nya maka buku ini dapat
diselesaikan. Cidera Kepala sebagai kasus operasi terbanyak dalam
bidang Bedah Saraf, memiliki beberapa jenis perdarahan yang
memiliki kekhususan pada gejala dan tanda klinis hingga
gambaran radiologisnya.
Ini adalah buku monograf bagian dari Cidera Kepala yang khusus
berisikan tentang Perdarahan Ekstradural. Buku ini mengupas
seluruh aspek dari Perdarahan Ekstradural, mulai dari anatomi dari
ruang ekstradural, sumber perdarahannya hingga gejala klinis dan
radiologis, yang berujung pada tatalaksana komprehensif.
Selain itu, pada buku ini turut disajikan hasil penelitian tentang
kasus Perdarahan Ekstradural, yang bertujuan melihat pengaruh
kondisi awal klinis pasien terhadap luaran tatalaksana operatif.
Buku ini disusun secara ringkas dan sistematis agar mudah
dipelajari dan dipahami. Penulis menyadari ada beberapa topik
yang belum dibahas sesuai dengan perkembangan terkini dunia
kedokteran terutama dalam bidang Ilmu Bedah Saraf. Penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada kepada para guru dan
pembimbing, dan tak lupa penghargaan kepada seluruh subjek
penelitian yang telah memberikan sumbangsih yang sangat
berharga bagi dunia kedokteran. Semoga buku ini bermanfaat bagi
dunia akademik dan menjadi ladang pahala bagi penulis.
Medan, 10 Nopember 2017
Penulis,
Dr. dr. Ridha Dharmajaya, SpBS
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...................................................................... iii
Daftar Isi................................................................................ iv
Daftar Gambar ....................................................................... v
Daftar Tabel .......................................................................... vi
BAB I ANATOMI KEPALA................................................
1
1.1. S C A L P ................................................................... 1
1.2. Intrakranial. ................................................................. 8
1.3. Duramater ................................................................... 14
Referensi ............................................................................... 19
BAB II SUMBER PERDARAHAN
21
2.1. Arteri Meningea Media ................................................ 21
2.2. Vena Diploika .............................................................. 24
2.3. Sinus Duramatris ......................................................... 27
2.4. Sumber Perdarahan dan Lucid Interval 29
Referensi ............................................................................... 32
BAB III EKSTRADURAL HEMATOMA ...........................
34
3.1. Pendahuluan ................................................................. 34
3.2. Mekanisme Cedera Kepala .......................................... 36
3.3. Cedera Otak ................................................................. 37
3.4. Gejala dan Tanda Klinis EDH ..................................... 40
3.5. Standar pemeriksaan penunjang................................... 44
3.6. Tatalaksana komprehensif............................................ 51
3.7. Data Kasus EDH di RSUP Haji Adam Malik .............. 65
Referensi ............................................................................... 66
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Lapisan kulit kepala dan tulang ...............................2
Gambar 1.2. Tulang-tulang penyusun kranium. ............................5
Gambar 1.3. Otot yang menyelimuti cranium ..............................6
Gambar 1.4. Vaskularisasi pada lapisan kulit kepala ................... 7
Gambar 1.5. Diagaram otak potongan sagital dilihat dari
medial ....................................................................10
Gambar 1.6. Selaput otak potongan coronal pada daerah
dural sinus. .............................................................13
Gambar 2.1. Cabang arteri maxilaris .........................................23
Gambar 2.2. Hubungan otak dan arteri meningea media
sampai ke permukaan tengkorak ...........................24
Gambar 2.3. Tipe vena diploika temporal anterior dan
posterio. .................................................................26
Gambar 2.4. Lapisan otak ..........................................................26
Gambar 2.5. Sinus duramatis .....................................................29
Gambar 3.1. Makroskopis otak dengan ekstradural
hematom pada fosa posterior .................................36
Gambar 3.2. Patofisiologi cedera kepala ....................................40
Gambar 3.3 Foto polos kepala pada kasus fraktur ....................45
Gambar 3.4. Head CT Scan potongan axial pada kasus
ekstradural hematoma. ...........................................47
Gambar 3.5. Perdarahan hiperakut pada MRI ............................49
Gambar 3.6. Perdarahan akut pada MRI ....................................49
Gambar 3.7. Perdarahan subakut pada MRI ..............................50
Gambar 3.8. Perdarahan subakut akhir pada MRI .....................50
Gambar 3.9. Perdarahan kronik pada MRI ................................51
Gambar 3.10. Grafik perubahan tekanan intrakranial terhadap
perubahan volume intracranial ..............................53
Gambar 3.11. Skema kompensasi intrakranial komponen
terhadap perubahan besar volume. ........................54
Gambar 3.12. Konsensus Brain Trauma Foundation pada
kasus EDH .............................................................56
Grafik 3.13. Presentase Jenis Kelamin Kasus EDH di RSUP
Haji Adam Malik ...................................................65
Grafik 3.14. Presentase Kasus EDH di RSUP Haji Adam
Malik Berdasarkan Usia ........................................66
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Sinus duramatis ......................................................... 28
Tabel 3.1. Gambaran MRI pada kasus trauma ........................... 48
Tabel 3.2. Jumlah Kasus EDH di RSUP Haji Adam Malik
dari tahun 2012-2017 ................................................ 65
Perdarahan Ekstradural
1
BAB I
ANATOMI KEPALA
1.1 SCALP
Pengetahuan yang baik tentang anatomi kulit kepala dan
lapisannya sangat penting agar dapat memahami dengan jelas
tentang pengelolaan luka dan patofisiologi kelainan di wilayah
ini.
Kulit kepala merupakan jaringan lunak yang menutupi
tempurung kranial. Anatomi ini memanjang dari alis yang
menutupi garis supra-ciliaris tulang frontal anterior ke garis
nuchal superior posterior. Yang terakhir adalah tonjolan rendah
yang membentang di kedua sisi dari protuberantia occipitalis
eksternus, bagian tengah oksipital ke proses mastoid kiri dan
kanan. Kemudian kulit kepala meluas sampai ke tingkat
lengkung zygomatic dan meatus akustikus eksternus.
Kulit kepala terdiri dari lima lapis jaringan yang terdiri atas
skin (kulit), connective tissue (jaringan ikat), aponeurosis
epicranialis (galea aponeurotica), loose connective tissue
(jaringan ikat spons) dan pericranium. Lapisan tersebut biasa
disebut dengan SCALP.1 Anatomi lapisan-lapisan tersebut
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Perdarahan Ekstradural
2
Gambar 1.1.Lapisan kulit kepala dan tulang.2
a. Kulit
Kulit kepala merupakan struktur yang tebal, bervariasi dari
rambut dan merupakan daerah kulit yang paling kaya
dengan kelenjar sebasea, karenanya terasa berminyak.
Sebagai konsekuensi dari konsentrasi kelenjar sebaceous
ini, kulit kepala adalah tempat yang paling umum untuk
kista sebaceous. Jaringan ikat ini terdiri dari lobulus lemak
yang terikat pada septa berserat yang kuat. Pembuluh darah
utama dan saraf kulit kepala terletak pada lapisan ini dan
kulit kepala memiliki pasokan darah terkaya dari area kulit
mana pun di tubuh.3
b. Jaringan ikat (fasia superfisial)
Fasia superfisial adalah lapisan fibrofatty yang
menghubungkan kulit dengan aponeurosis yang mendasari
otot occipitofrontalis dan memberikan jalan bagi saraf dan
pembuluh darah. Ketika kulit kepala dikoyak, pembuluh
Perdarahan Ekstradural
3
yang terbagi mencabut antara sekat berserat yang mudah
terjadi perdarahan. Jika pembuluh darah dipotong, sekat ini
mencegah vasospasme, yang bisa menyebabkan perdarahan
hebat setelah cedera Perdarahan ini tidak dapat diambil
oleh forseps arteri dengan cara biasa, dua teknik digunakan
untuk membendung perdarahan yang diakibatkan laserasi
pada kulit kepala yaitu melakukan tekanan dengan kuat ke
bawah tengkorak yang mendasari dengan jari-jari sehingga
mengompres pembuluh darah yang menyembur, atau
meletakkan serangkaian forseps arteri pada lapisan ketiga,
aponeurotik, dan membaliknya ke belakang. Sebagai
penutup luka, ahli bedah menjahitkan laserasi dengan kuat
pada dua lapisan aponeurosis dan kulit.
Hal yang menguntungkan dari suplai darah yang sangat
baik ini adalah bahwa flap kulit kepala bahkan hanya
dengan pedikel sempit memiliki peluang bertahan lebih
tinggi dibandingkan dengan flap kutaneous yang serupa di
tempat lain. Aponeurosis, lapisan berserat ini ditemukan di
sebagian besar sudut tengkorak, di mana ia
menghubungkan otot occipitalis posterior, (timbul dari
garis nuchal superior), ke otot frontalis, yang masuk ke
dalam dermis kulit di wilayah alis dan jembatan hidung.
Kemudian, aponeurosis meluas sebagai lembaran tipis yang
menutupi fasia temporalis dan menjadi tidak jelas selama
lengkungan zygomatic. Jaringan ikat yang longgar
menyumbang mobilitas kulit kepala pada tengkorak yang
mendasarinya
Seperti disebutkan di atas, pada kulit kepala yang robek
dan luas, vaskularisasi darah mungkin akan bertahan
karena prmbuluh darahnya yang luar biasa. Darah yang
terkumpul di lapisan jaringan ikat yang longgar ini
melintang bebas di bawah kulit kepala, namun tidak dapat
Perdarahan Ekstradural
4
masuk ke daerah oksipital atau temporal karena adanya
posterior occipito-frontalis dan lampiran lateralis fasia
temporalis.
c. Aponeurosis epikranial (galea aponeurotica)
Aponeurosis epikranial adalah struktur tipis dan tendinus
yang menyediakan tempat penyisipan otot
occipitofrontalis. Posterolateral, lampiran aponeurosis
epikranial memanjang dari garis nuchal superior ke garis
temporal superior. Selanjutnya, aponeurosis epikranial
berlanjut sebagai fasia temporal. Anterior, ruang
subaponeurotic meluas ke kelopak mata bagian atas karena
kurangnya penyisipan tulang. Jaringan areolar yang
longgar ini menyediakan ruang subkaponeurotik potensial
yang memungkinkan cairan dan darah berpindah dari kulit
kepala ke kelopak mata bagian atas.
d. Jaringan areolar longgar
Jaringan areolar secara longgar menghubungkan
aponeurosis epikranial ke perikranium dan memungkinkan
lapisan 3 superfisial kulit kepala untuk bergerak di atas
perikranium. Lapisan kulit kepala ditinggikan di sepanjang
bidang yang relatif avaskular dalam prosedur kraniofasial
dan bedah saraf. Namun, pembuluh darah rahim tertentu
melintasi lapisan ini, yang menghubungkan pembuluh
darah kepala dengan pembuluh darah diplois dan sinus
vena intrakranial.
e. Tengkorak4
Perikranium adalah periosteum tulang tengkorak..
Periosteum melekat pada garis sutura tengkorak Di regio
kepala ini terdapat sutura koronal, sagital, temporal dan
lambdoid. Kumpulan darah di bawah lapisan ini
Perdarahan Ekstradural
5
menggambarkan tulang yang patologis yang terkena. Hal
ini terlihat terutama pada luka lahir yang mempengaruhi
tengkorak (seperti kasus cephalohaematoma). Hematoma
subperiosteal terbentuk dalam bentuk tulang tengkorak.
Gambar 1.2 Tulang-tulang penyusun kranium. 5
f. Occipitofrontalis otot5
Otot occipitofrontalis terdiri dari 2 perut oksipital dan 2
perut depan. Perut oksipital timbul dari garis nuchal
superior pada tulang oksipital. Perut frontal berasal dari
kulit dan fasia superfisial kelopak mata bagian atas. Perut
oksipital dan frontal masuk ke dalam aponeurosis
epikranial.
Perdarahan Ekstradural
6
Gambar 1.3 Otot yang menyelimuti kranium.5
g. Vaskularisasi kulit6
Pasokan darah setiap sisi kulit kepala dipasok oleh total
lima arteri. Yang berasal dari arteri karotid eksternal yaitu
arteri oksipital (nadi dapat dirasakan dengan palpasi di atas
garis nuchal superior), superficial temporal auricular arteri
dan anterior auricular arteri (nadinya bisa dirasakan di atas
Perdarahan Ekstradural
7
lengkung zygomatic di depan tragus telinga) Dari arteri
karotis interna berasal yaitu arteri supraorbital dan arteri
supratrochlear medial yang letaknya lebih medial
Gambar 1.4 Vaskularisasi pada lapisan kulit kepala.5
Perdarahan Ekstradural
8
1.2 Intrakranial
Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah dan
cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume
tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal
berkisar antara 5 dan 15 mmHg (millimeter air raksa).
a. Cairan Serebrospinal7,8
Cairan serebrospinal (CSS) adalah cairan jernih yang
mengelilingi otak dan korda spinalis. CSS melindungi otak
terhadap getaran fisik. Antara CSS dan jaringan saraf
terjadi pertukaran zat-zat gizi dan produk sisa. Walaupun
CSS dibentuk dari plasma yang mengalir melalui otak,
konsentrasi elektrolit dan glukosanya berbeda dari plasma.
CSS dibentuk sebagai hasil filtrasi, difusi, dan transport
aktif melintasi kapiler-kapiler khusus kedalam ventrikel
(rongga) otak, terutama ventrikel lateralis. Jaringan kapiler
yang berperan dalam pembentukan CSS disebut pleksus
koroideus. Setelah berada didalam ventrikel, CSS mengalir
kebatang otak. Melalui lubang-lubang kecil dibatang otak,
CSS beredar kepermukaan otak dan korda spinalis.
Dipermukaan otak, CSS masuk ke sistem vena dan kembali
ke jantung. Dengan demikian CSS terus-menerus
mengalami resirkulasi melalui susunan saraf pusat. Apabila
saluran CSS diventrikel mengalami sumbatan, maka dapat
terjadi penimbunan cairan. Akibatnya akan terjadi
peningkatan tekanan didalam atau dipermukaan otak.
b. Sawar Darah Otak7,8
Sawar darah otak mengacu kepada kemampuan sistem
vaskular otak untuk memanipulasi komposisi cairan
interstisium serebrum sehingga berbeda dibandingkan
dengan cairan interstisium dibagian tubuh lainnya. Sawar
Perdarahan Ekstradural
9
darah otak terbentuk dari sel-sel endotel yang saling
berkaitan erat dikapiler otak, dan dari sel-sel yang melapisi
ventrikel yang membatasi filtrasi dan difusi. Fungsi
transport khusus mengatur cairan apa yang keluar dari
sirkulasi umum untuk membasahi sel-sel otak. Sawar darah
otak melindungi sel-sel otak yang halus dari pajanan
bahan-bahan yang pontensial berbahaya. Banyak obat dan
zat kimia tidak dapat menembus sawar darah otak.
Otak menerima aliran darah otak sekitar 15% curah
jantung. Tingginya tingkat aliran darah ini diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan otak yang terus-menerus akan
glukosa dan oksigen.
c. Otak.9
Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai
energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal
dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak
sangat rentan dan kebutuhan oksigen dan glukosa melalui
aliran darah adalah konstan.metabolisme otak merupakan
proses tetap dan kontinu, tanpa ada masa istirahat.
Aktivitas otak yang tak pernah berhenti ini berkaitan
dengan fungsinya yang kritis sebagai pusat integrasi dan
koordinasi organ-organ sensorik dan system efektor perifer
tubuh, dan fungsi sebagai pengatur informasi yang masuk,
simpan pengalaman, impuls yang keluar dan tingkah laku.
Otak terdiri dari batang otak, serebelum, diensefalon,
sistim limbik dan sererum. Peningkatan volume salah satu
diantara ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan
pada ruangan yang ditempati oleh unsur lainnya dan
menaikan tekanan intrakranial.
Perdarahan Ekstradural
10
Gambar 1.5. Diagaram otak potongan sagital dilihat dari medial.10
1. Otak besar (cerebrum)11
Otak besar adalah bagian terbesar dari otak dan
terdiri dari dua hemispherium cerebri yang
dihubungkan oleh massa substansia alba yang
disebut corpus callosum. Setiap hemisfer
terbentang dari os frontale sampai ke os
occipitale, diatas fossa cranii anterior, media,
dan posterior, diatas tentorium cerebelli.
Hemisfer dipisahkan oleh sebuah celah dalam,
yaitu fossa longitudinalis cerebri, tempat
menonjolnya falx cerebri.
Otak mempunyai 2 permukaan, permukaan atas
dan permukaan bawah. Kedua lapisan ini
dilapisi oleh lapisan kelabu (zat kelabu) yaitu
pada bagian korteks serebral dan zat putih yang
terdapat pada bagian dalam yang mengandung
Perdarahan Ekstradural
11
serabut saraf. Fungsi otak besar yaitu sebagai
pusat berpikir (kepandaian), kecerdasan dan
kehendak. Selain itu otak besar juga
mengendalikan semua kegiatan yang disadari
seperti bergerak, mendengar, melihat, berbicara,
berpikir dan lain sebagainya.
2. Otak kecil (cerebellum)12
Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri
dari dua belahan yang dihubungkan oleh
jembatan varol, yang menyampaikan
rangsangan pada kedua belahan dan
menyampaikan rangsangan dari bagian lain.
Fungsi otak kecil adalah untuk mengatur
keseimbangan tubuh serta mengkoordinasikan
kerja otot ketika bergerak.
3. Batang Otak (Trunkus serebri)
Batang otak terdiri dari :
- Diensefalon
Bagian batang otak paling atas terdapat
diantara serebellum dengan mesensefalon,
kumpulan dari sel saraf yang terdapat
dibagian depan lobus temporalis terdapat
kapsula interna dengan sudut menghadap
kesamping. Diensefalon ini berfungsi
sebagai vasokonstriksi (memperkecil
pembuluh darah), respiratorik (membantu
proses pernafasan), mengontrol kegiatan
refleks, dan membantu pekerjaan jantung.
Perdarahan Ekstradural
12
- Mesensefalon
Atap dari mesensefalon terdiri dari empat
bagian yang menonjol ke atas, dua di
sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus
superior dan dua disebelah bawah disebut
korpus kuadrigeminus inferior.
Mesensefalon ini berfungsi sebagai pusat
pergerakan mata, mengangkat kelopak mata,
dan memutar mata.
- Pons varoli
Pons varoli merupakan bagian tengah
batang otak dan arena itu memiliki jalur
lintas naik dan turun seperti otak tengah.
Selain itu terdapat banyak serabut yang
berjalan menyilang menghubungkan kedua
lobus cerebellum dan menghubungkan
cerebellum dengan korteks serebri.
- Medulla oblongata
Medula oblongata merupakan bagian dari
batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan
medulla spinalis. Medulla oblongata
memiliki fungsi yang sama dengan
diensefalon.
d. Meningens13
Meningen (selaput otak) adalah selaput yang membungkus
otak dan sumsum tulang belakang, melindungi struktur
saraf halus yang membawa pembuluh darah dan cairan
sekresi (cairan serebrospinalis), memperkecil benturan atau
getaran yang terdiri dari tiga lapisan :
Dura mater (lapisan luar) adalah selaput keras
pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat
Perdarahan Ekstradural
13
tebal dan kuat. Durameter pada tempat tertentu
mengandung rongga yang mengalirkan darah vena
dari otak.
Arakhnoid (lapisan tengah) merupakan selaput
halus yang memisahkan dura mater dengan pia
mater membentuk sebuah kantong atau balon berisi
cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf
sentral.
Pia mater (lapisan sebelah dalam) merupakan
selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan
otak. Ruangan diantara arakhnoid dan pia mater
disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang, ruangan
ini berisi sel radang. Disini mengalir cairan
serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang
belakang.
Gambar 1.6. Selaput otak potongan coronal pada daerah dural
sinus. 14
Perdarahan Ekstradural
14
1.3 Duramater 15
Secara konvensional, dura mater diuraikan sebagai dua lapisan,
lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan endosteal
tidak lebih dari suatu periosteum yang menutupi permukaan
dalam tulang – tulang kranium. Pada foramen magnum lapisan
endosteal tidak berlanjut dengan duramater medulla spinalis.
Pada sutura, lapisan endosteal berlanjut dengan ligamentum
sutura. Lapisan endosteal paling kuat melekat pada tulang
diatas dasar kranium. (4)
Lapisan meningeal merupakan duramater yang sebenarnya.
Lapisan meningeal merupakan membrane fibrosa kuat, padat
menutupi otak, dan melalui foramen magnum berlanjut dengan
duramater medulla spinalis. Lapisan meningeal ini
memberikan sarung tubuler untuk saraf – saraf kranial pada
saat melintas melalui lubang – lubang kranium. Kedalam
lapisan meningeal membentuk empat septa, yang membagi
rongga kranium menjadi ruang – ruang yang berhubungan
dengan bebas dan merupakan tempat bagian – bagian otak.
Falx serebri merupakan lipatan duramater yang berbentuk
sabit, terletak dalam garis tengah antara dua hemispherium
serebri. Ujung anteriornya melekat ke Krista frontalis interna
dan Krista galli. Bagian posterior yang lebar bercampur di
garis tengah dengan permukaan atas tentorium serebelli. Sinus
sagitalis superior berjalan dalam tepi bagian atas yang
terfiksasi; sinus sagitalis inferior berjalan pada tepi bagian
bawah yang konkaf, dan sinus rektus berjalan disepanjang
perlekatannya dengan tentorium serebelli.
Tentorium serebelli merupakan lipatan duramater berbentuk
sabit yang membentuk atap diatas fossa kranialis posterior,
menutupi permukaan atas serebellum dan menokong lobus
Perdarahan Ekstradural
15
occipitalis hemisperium serebri. Berdekatan dengan apex pars
petrosus os temporale, lapisan bagian bawah tentorium
membentuk kantong kearah depan dibawah sinus petrosus
superior, membentuk suatu resessus untuk n. trigeminus dan
ganglion trigeminal.
Falx serebri dan falx serebelli masing – masing melekat ke
permukaan atas dan bawah tentorium. Sinus rektus berjalan di
sepanjang perlekatan ke falx serebri; sinus petrosus superior,
bersama perlekatannya ke os petrosa; dan sinus transverses,
disepanjang perlekatannya ke os occipitalis. Falx serebelli
merupakan suatu lipatan duramater berbentuk sabit, kecil
melekat ke krista occipitalis interna, berproyeksi kedepan
diantara diantara dua hemispherium serebelli. Diaphragma
Sella merupakan suatu lipatan duramater sirkuler, membentuk
atap untuk sella tursika
a. Persarafan Duramater
Persarafan ini terutama berasal dari cabang n.trigeminus,
tiga saraf servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus
simpatikus dan n.vagus. resptor – reseptor nyeri dalam dura
mater diatas tentorium mengirimkan impuls melalui
n.trigeminus, dan suatu nyeri kepala dirujuk ke kulit dahi
dan muka. Impuls nyeri yang timbul dari bawah tentorium
dalam fossa kranialis posterior berjalan melalui tiga saraf
servikalis bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk kebelakang
kepala dan leher.
b. Pendarahan Duramater
Banyak arteri mensuplai duramater, yaitu; arteri karotis
interna, arteri maxillaries, arteri paringeal asenden, arteri
occipitalis dan arteri vertebralis. Dari segi klinis, yang
paling penting adalah arteri meningea media, yang
umumnya mengalami kerusakan pada cedera kepala.
Perdarahan Ekstradural
16
Arteri meningea media berasal dari arteri maxillaries dalam
fossa temporalis, memasuki rongga kranialis melalui
foramen spinosum dan kemudian terletak antara lapisan
meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian
terletak antara lapisan meningeal dan endosteal duramater.
Arteri ini kemudian berjalan ke depan dank e lateral dalam
suatu sulkus pada permukaan atas squamosa bagian os
temporale. Cabang anterior (frontal) secara mendalam
berada dalam sulkus atau saluran angulus antero – inferior
os parietale, perjalanannya secara kasar berhubungan
dengan garis gyrus presentralis otak di bawahnya. Cabang
posterior melengkung kearah belakang dan mensuplai
bagian posterior duramater.
Vena –vena meningea terletak dalam lapisan endosteal
duramater. Vena meningea media mengikuti cabang –
cabang arteri meningea media dan mengalir kedalam
pleksus venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis.
Vena terletak di lateral arteri.
c. Sinus Venosus Duramater
Sinus – sinus venosus dalam rongga kranialis terletak
diantara lapisan – lapisan duramater. Fungsi utamanya
adalah menerima darah dari otak melalui vena – vena
serebralis dan cairan serebrospinal dari ruang – ruang
subarachnoidea melalui villi arachnoidalis. Darah dalam
sinus – sinus duramatr akhirnya mengalir kedalam vena –
vena jugularis interna dileher. Vena emissaria
menghubungkan sinus venosus duramater dengan vena –
vena diploika kranium dan vena – vena kulit kepala.
Sinus Sagitalis Superior menduduki batas atas falx serebri
yang terfiksasi, mulai di anterior pada foramen caecum,
berjalan ke posterior dalam sulkus di bawah lengkungan
kranium, dan pada protuberantia occipitalis interna
Perdarahan Ekstradural
17
berbelok dan berlanjut dengan sinus transverses. Dalam
perjalanannya sinus sagitallis superior menerima vena
serebralis superior. Pada protuberantia occipitalis interna,
sinus sagitallis berdilatasi membentuk sinus konfluens.
Kemudian berlanjut dengan sinus transverses kanan,
berhubungan dengan sinus transverses yang berlawanan
dan menerima sinus occipitalis.
Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas
dari falx serebri, berjalan kebelakang dan bersatu dengan
vena serebri magna pada tepi bebas tentorium cerebelli
membentuk sinus rektus. Sinus rekrus menempati garis
persambungan falx serebri dengan tentorium serebelli,
terbentuk dari persatuan sinus sagitalis inferior dengan
vena serebri magna, berakhir membelok kekiri membentuk
sinus transfersus.
Sinus transverses merupakan struktur berpasangan dan
mereka mulai pada protuberantia occipitalis interna. Sinus
kanan berlanjut dengan sinus sagitalis superior, dan bagian
kiri berlanjut dengan sinus rektus. Setiap sinus menempati
tepi yang melekat pada tentorium serebelli, membentuk
sulkus pada os occipitalis dan angulus posterior os
parietale. Mereka menerima sinus petrosus superior, vena –
vena serebralis inferior, vena – vena serebellaris dan vena –
vena diploika. Mereka berakhir dengan membelok ke
bawah sebagai sinus sigmoideus.
Sinus sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus
tranversus yang akan melanjutkan diri ke bulbus superior
vena jugularis interna. Sinus occipitalis merupakan suatu
sinus kecil yang menempati tepi falx serebelli yang
melekat, ia berhubungan dengan vena – vena vertebralis
dan bermuara kedalam sinus konfluens. Sinus kavernosus
terletak dalam fossa kranialis media pada setiap sisi corpus
os sphenoidalis.
Perdarahan Ekstradural
18
Arteri karotis interna, dikelilingi oleh pleksus saraf
simpatis, berjalan kedepan melalui sinus. Nervus abdusen
juga melintasi sinus dan dipisahkan dari darah oleh suatu
pembungkus endothelial. Sinus petrosus superior dan
inferior merupakan sinus –sinus kecil pada batas – batas
superior dan inferior pars petrosus os temporale pada setiap
sisi kranium. Setiap sinus kavernosus kedalam sinus
transverses dan setiap sinus inferior mendrainase sinus
cavernosus kedalam vena jugularis interna.
d. Fisiologi duramater
Duramater mempunyai lapisan endosteal luar, yang
bertindak sebagai periosteum tulang – tulang kranium dan
lapisan bagian dalam yaitu lapisan meningeal yang
berfungsi untuk melindungi jaringan saraf dibawahnya
serta saraf – saraf cranial dengan membentuk sarung yang
menutupi setiap saraf kranial. Sinus venosus terletak dalam
duramater yang mengalirkan darah venosa dari otak dan
meningen ke vena jugularis interna dileher.
Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut falx
serebri, yang terletak vertical antara hemispherium serebri
dan lembaran horizontal, yaitu tentorium serebelli, yang
berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebellum,
yang berfungsi untuk membatasi gerakan berlebihan otak
dalam kranium. Arachnoidea mater merupakan membrane
yang lebih tipis dari duramater dan membentuk penutup
yang longgar bagi otak. Arachnoidea mater menjembatani
sulkus – sulkus dan masuk kedalam yang dalam antara
hemispherium serebri. Ruang antara arachnoidea dengan
pia mater diketahui sebagai ruang subarachnoidea dan terisi
dengan cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal
merupakan bahan pengapung otak serta melindungi
Perdarahan Ekstradural
19
jaringan saraf dari benturan mekanis yang mengenai
kepala.
Referensi
1. Satyanegara. Anatomi Susunan Saraf. Ilmu Bedah Saraf.
Edisi ke-4. Jakarta: Gramedia. 2010. Hal. 11-76.
2. Ellis, H, Clinical Anatomy: A revision of applied anatomy
for clinical students, 10th edition. Oxford : Blackwell
Publishing. 2002
3. Harris CM. Scalp Anatomy. Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/834808-
overview#a3. Diakses tanggal 28 Desember 2018
4. Snell RS. Neuroanatomi Klinik. Edisi ke-7. Jakarta: EGC.
2010. Hal. 192-236.
5. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 6th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2014.
6. Drake, Richard L, Vogl, A. Wayne, Mitchell, Adam W.
M.. Gray´s Anatomy for Students. Edisi ke-2. Philadelphia:
Elsevier. 2010. Hal. 862.
7. Baehr M dan Frotscher M. Covering of the Brain and
Spinal Cord: Cerebrospinal Fluid and Ventricular System.
Duus’ Topical Diagnosis in Neurology. Stuttgart: Thiem.
2005. Hal 402-15.
8. Snell RS. Sistem Ventrikular, Cairan Serebrospinalis, serta
Sawar Darah Otak dan Sawar Darah Cairan
Serebrospinalis. Neuroanatomi Klinik. Edisi ke-7. Jakarta:
EGC. 2010. Hal. 456-85.
9. Mayfield Brain and Spine. Anatomy of The Brain. Dapat
diakses https://www.mayfieldclinic.com/PE-
AnatBrain.htm. Diakses tanggal 28 Desember 2018.
10. Patetas M A dan Gartner L P. A Textbook of
Neuroanatomy. Oxford: Blackwell Publishing. 2006. Hal
68
Perdarahan Ekstradural
20
11. Baehr M dan Frotscher M. Cerebrum. Duus’ Topical
Diagnosis in Neurology. Stuttgart: Thiem. 2005. Hal 350-
69.
12. Baehr M dan Frotscher M. Cerebellum. Duus’ Topical
Diagnosis in Neurology. Stuttgart: Thiem. 2005. Hal240-
58.
13. Chico dan McCaffrey P. The Meninges and Cerebrospinal
Fluid. Dapat diakses http://www.csuchico.edu/
~pmccaffrey//syllabi/CMSD%20320/362unit3.html.
Diakses tanggal 28 Desember 2018.
14. Berkowitz, Lange Clinical Neurology and Neuroanatomy:
A Localization-Based Approach, Taschenbuch : Mc Graw
Hill. 2016.
15. Waxman SG. Ventricles and Covering of the Brain.
Clinical Neuroanatomy. Edisi ke-26. New York: Mc Graw
Hill. 2010. Hal. 149-62.
Perdarahan Ekstradural
21
BAB II
SUMBER PERDARAHAN
2.1 Arteri Meningea Media1
Arteri meningea media merupakan cabang ketiga dari bagian
pertama (bagian retromandibular) arteri maksilaris, salah satu
dari dua cabang terminal arteri karotis eksternal. Setelah
bercabang dari arteri maksila di fosa infratemporal, ia berjalan
melalui foramen spinosum untuk memasok duramater (bagian
paling dalam meninges) dan calvaria. Arteri meningea media
adalah yang terbesar dari tiga arteri (pasangan) yang memasok
meninges, yang lainnya adalah arteri meningea anterior dan
arteri meningea posterior. Cabang anterior arteri meningea
media berjalan di bawah pterion. Hal ini rentan terhadap cedera
karena tulang tengkorak cukup tipis. Pecahnya arteri dapat
menyebabkan hematoma ekstradural. Pada tengkorak, arteri
meningea media membentang di dalam duramater yang
mengelilingi otak dan membuat lekukan yang dalam di
calvarium. Arteri meningea tengah berhubungan erat dengan
saraf aurikulotemporal, yang membungkus arteri membuat
keduanya mudah dikenali dalam pembedahan mayat manusia
dan juga mudah rusak dalam operasi.2
Arteri meningea media naik antara ligamentum
sphenomandibular dan eksternus pterygoideus (otot pterygoid
lateral), dan di antara dua akar saraf aurikulotemporal ke
foramen spinosum tulang sphenoid, yang melaluinya
memasuki tengkorak; kemudian bergerak maju dalam alur
Perdarahan Ekstradural
22
pada sayap besar tulang sphenoid, dan terbagi menjadi dua
cabang, anterior dan posterior. Cabang anterior, yang lebih
besar, melintasi sayap besar sphenoid, mencapai alur, atau
kanal, pada sudut spinaloidal tulang parietal, dan kemudian
terbagi menjadi cabang yang menyebar antara duramater dan
permukaan internal tengkorak, beberapa melewati ke atas
sejauh simpul, dan yang lainnya ke belakang ke daerah
oksipital. Cabang posterior melengkung ke belakang pada
bagian skuamous dari tulang temporal, dan, mencapai tulang
parietal agak jauh di depan sudut mastoid, terbagi menjadi
cabang yang memasok bagian posterior duramater dan
tengkorak.
Cabang-cabang arteri meningea media didistribusikan sebagian
ke duramater, terutama tulang; beranastomosis dengan arteri di
sisi yang berlawanan, dan dengan arteri meningea anterior dan
posterior. Cabang distal yang paling kecil beranastomosis
melalui tengkorak dengan arteriol minor dari kulit kepala.
Saat memasuki tengkorak, arteri meningea media
menghasilkan cabang berikut:
1. Sejumlah kecil memasok ganglion semilunar dan
duramater.
2. Cabang petrosal superfisial memasuki hiatus kanal wajah,
memasok saraf wajah, dan anastomosis dengan cabang
stylomastoid arteri auricular posterior.
3. Arteri timpani yang superior berjalan di kanal otot tensor
tympani, dan memasok otot ini dan lapisan kanal.
4. Cabang orbital melewati fisura orbital superior melalui
kanal yang terpisah di sayap besar sphenoid, untuk
anastomosis dengan cabang lakrimal atau cabang arteri
ophthalmik lainnya.
Perdarahan Ekstradural
23
5. Cabang temporal melewati foramina di sayap besar
sphenoid, dan anastomosis di fosa temporal dengan arteri
temporal yang dalam
Bila arteri meningea media yang terluka merupakan penyebab
paling umum hematoma ekstradural.3 Cedera kepala (mis.,
kecelakaan lalu lintas atau cedera olahraga) dapat
menyebabkan ruptur arteri. Perawatan darurat dapat dilakukan
dekompresi hematoma, dengan kraniotomi. Perdarahan
subdural dapat berasal dari vena, bukan hanya arterial. Arteri
meningea media mengalir di bagian dalam tengkorak. Ini jelas
terlihat pada x-ray tengkorak lateral, yang bisa menyebabkan
kesalahan interpretasi menjadi patah tulang tengkorak.4
Gambar 2.1. Cabang arteri maxilaris.5
Perdarahan Ekstradural
24
Gambar 2.2. Hubungan otak dan arteri meningea media sampai
ke permukaan tengkorak 5
2.2 Vena Diploika
Vena yang memperdarahi tengkorak juga menemukan jalan ke
sinus duramatis, yaitu vena diploika dan vena emmisari. Vena
diploika melintas dari bagian dalam ke luar permukaan
tengkorak, sedangkan vena emissari berjalan dari luar ruang
tengkorak menuju sinus duramatis.
Vena diploika adalah vena besar, berdinding tipis, vena
valveless yang berada di dalam diploe antara lapisan dalam dan
luar tulang kortikal di tengkorak. Diploë adalah tulang
cancellous spons yang memisahkan lapisan dalam dan luar
tulang kortikal tengkorak. Pada tulang kranial, lapisan jaringan
korteks kompak dikenal sebagai tabel tengkorak; yang luar
Perdarahan Ekstradural
25
tebal dan tangguh; Bagian dalamnya tipis, padat, dan rapuh,
dan karenanya disebut meja vitreous. Di daerah tertentu dari
tengkorak diserap sehingga bisa meninggalkan ruang yang
penuh dengan cairan di antara dua meja.
Vena diploika dilapisi oleh satu lapisan endotelium yang
didukung oleh jaringan elastis. Vena diploika berkembang
sepenuhnya pada usia dua tahun. Empat jenis utama vena
diploika yang ditemukan di setiap sisi kepala adalah frontal,
temporal anterior, temporal posterior, dan oksipital.
Tipe Vena diploika6
1. Frontal, yang membuka ke dalam vena supra orbital dan
sinus sagital superior.
2. Temporal anterior, yang terbatas terutama pada tulang
depan, dan terbuka ke sinus sphenoparietal dan masuk ke
salah satu vena temporal dalam, melalui lubang di sayap
besar sphenoid.
3. Temporal posterior, yang terletak di tulang parietal, dan
berakhir pada sinus transversal, melalui aperture pada
sudut mastoid tulang parietal atau melalui foramen
mastoid.
4. Oksipital, yang terbesar dari keempatnya, yang terbatas
pada tulang oksipital, dan terbuka secara eksternal ke vena
oksipital, atau secara internal ke sinus transversal atau ke
dalam pertemuan sinus (torophular Herophili).
Perdarahan Ekstradural
26
Gambar 2.3. Tipe vena diploika temporal anterior dan
posterio.5
Gambar 2.4. Lapisan otak 5
Perdarahan Ekstradural
27
2.3 Sinus Duramatis6
Disebut juga sinus dural, sinus serebral, atau sinus kranial
adalah saluran vena yang ditemukan di antara lapisan endosteal
dan meningeal duramater di otak. Sinus duramatis menerima
darah dari vena internal dan eksternal otak, menerima cairan
serebrospinal dari ruang subaraknoid melalui granulasi
araknoid, dan terutama kosong ke dalam vena jugularis
internal.
Dinding sinus duramatis terdiri dari duramater yang dilapisi
dengan endotelium, lapisan khusus sel yang rata yang
ditemukan di pembuluh darah. Lapisan sinus duramatis
berbeda dari pembuluh darah karena kekurangan lapisan
pembuluh darah, misalnya tunika media, yang khas arteri dan
vena. Lapisan ini juga tidak memiliki katup seperti yang
terlihat pada pembuluh darah.
Otak manusia memiliki permintaan tertinggi akan oksigen dari
jaringan manapun di tubuh manusia. Otak menerima sejumlah
besar darah dari dua sistem: sistem karotid internal di anterior,
dan sistem vertebrobasilar di bagian posterior. Namun, ada
sedikit ruang di kranial untuk menampung sejumlah besar
darah. Akibatnya, sistem yang efisien harus dibentuk agar
darah meninggalkan kompartemen yang terbatas. Saluran
drainase vena otak tidak mengikuti arteri otak. Sebagai
gantinya, mereka menguras sinus duramatis, yang kemudian
mengalir ke vena jugularis internal. Umumnya, dinding jalur
drainase ini dibentuk oleh periosteum visceral dan refleksi
dural, keduanya dilapisi dengan endotelium. Sinus sagital
inferior dan sinus lurus adalah pengecualian terhadap peraturan
ini, karena keduanya kekurangan komponen tulang sebagai
bagian dari dinding mereka.
Perdarahan Ekstradural
28
Ada tujuh pasang (melintang, luas, besar & lebih kecil
petrosal, sphenoparietal, sigmoid dan basilar) dan lima sinus
dural yang tidak berpasangan (superior & inferior, lurus,
oksipital dan intercavernous).
Tabel 2.1. Sinus duramatis
Sinus Venosus Pasase
Anterior
Sinus sphenoparietal Sinus kavernosus
Sinus kavernosus Sinus petrosal superior dan
inferior
Midline
Sinus sagital superior Sinus transversus kanan atau
pertemuan sinus
Sinus sagital inferior Sinus lurus
Sinus lurus Sinus transversus kiri atau
pertemuan sinus
Posterior
Sinus oksipital Pertemuan sinus
Pertemuan sinus Sinus transversus kanan dan
kiri
Lateral
Sinus petrosal superior Sinus transversus
Sinus transversus Sinus sigmoid
Sinus petrosal inferior Vena jugularis interna
Sinus sigmoid Vena jugularis interna
Sinus dapat terluka akibat trauma dan kerusakan pada
duramater sehingga menyebabkan pembentukan gumpalan
darah (trombosis) di dalam sinus duramatis. Penyebab umum
Perdarahan Ekstradural
29
lain dari trombosis sinus duramatis meliputi infeksi melalui
vena oftalmikus pada selulitis orbital. Trombosis sinus
duramatis juga dapat menyebabkan infark hemoragik atau
edema serebral dengan konsekuensi serius termasuk epilepsi,
defisit neurologis, atau kematian.7
Gambar 2.5. Sinus duramatis 7
2.4 Sumber Perdarahan dan Lucid Interval
Sumber perdarahan pada hematoma ekstradural seperti sudah
dibahas pada sub bab sebelumnya antara lain arteri meningea
media, vena diploika dan sinus duramatis. Pada keadaan yang
normal, sebenarnya tidak ada ruang ekstradural. Perdarahan
terjadi dengan fraktur tengkorak bagian temporal dan parietal
yang merobek arteri meningea media atau sinus venosus
Perdarahan Ekstradural
30
duramatris maupun vena diploika. Pada kasus ang jarang,
pembuluh darah ini dapat robek tanpa adanya fraktur. Keadaan
ini mengakibatkan terpisahnya perlekatan antara dura dengan
kranium dan menimbulkan ruang ekstradural. Perdarahan yang
berlanjut akan memaksa dura untuk terpisah lebih lanjut, dan
menyebabkan hematoma menjadi massa yang mengisi ruang.
Sekitar 70-80% hematoma ekstradural terletak di daerah
temporoparietal, fraktur tengkorak yang melintasi jalur arteri
meningea media atau cabangnya. Hematoma ekstradural
frontal dan oksipital masing-masing terdiri dari sekitar 10%,
dengan yang terakhir kadang-kadang membentang di atas dan
di bawah tentorium. Hematoma ekstradural umumnya berasal
dari arteri namun dapat terjadi pula merupakan perdarahan
vena. Robeknya sinus vena menyebabkan hematoma
ekstradural, terutama di daerah parietal-oksipital atau fosa
posterior. Cedera ini cenderung lebih kecil dan berhubungan
dengan jalur yang lebih jinak. Hematoma ekstradural vena
hanya terbentuk dengan fraktur tengkorak yang tertekan, yang
membuka dura dari tulang dan, dengan demikian, menciptakan
ruang bagi darah untuk menumpuk.8
Pemahaman tentang lucid interval dimulai pada awal abad ke
18 dengan karya Henri-François Le Dran dan Percival Pott di
London. Namun mereka tidak menunjukkan interval tanpa
gejala antara trauma dan kemunduran pada pasien dengan
hematoma ekstradural (EDH). Interval yang mereka lukiskan
lebih lama dari yang diharapkan dengan EDH dan terjadi
secara eksklusif pada pasien yang mengalami infeksi post
traumatik. Pada tahun 1751, James Hill, dari Dumfries,
Skotlandia, menggambarkan interval hematoma pertama pada
pasien dengan hematoma subdural. Kasus pertama dari lucid
interval yang terkait dengan EDH dijelaskan oleh John
Abernethy. Pada abad ke-19, Jonathan Hutchinson dan Walter
Perdarahan Ekstradural
31
Jacobson menggambarkan interval seperti yang diketahui saat
ini, dalam kasus EDH. Karya terbaru mengenai topik ini
berasal dari penelitian di Cincinnati dan Oslo yang
menunjukkan bahwa pendarahan dapat memisahkan duramater
dan pendarahan ke dalam ruang ekstradural dapat dilepaskan
melalui pembuluh darah. Shunting ini bisa menunda akumulasi
hematoma dan terjadinya kenaikan tekanan intrakranial, yang
pada gilirannya akan menunda perkembangan gejala. Lucid
interval yang sebelumnya tidak dipahami dengan benar oleh
sekolah Prancis atau oleh Percival Pott dan Benjamin Bell,
yang semuanya menggambarkan periode bebas gejala sebelum
pengembangan infeksi. Yang pertama memiliki pemahaman
interval yang tepat sehubungan dengan EDH adalah John
Abernethy. Deskripsi dan definisi modern dari lucid interval
adalah karya Hutchinson dan Jacobson pada paruh kedua abad
ke-19. Pemahaman tentang patofisiologi lucid interval telah
diteruskan oleh karya Ford dan McLaurin di Cincinnati dan
sebuah kelompok di Oslo, dengan demonstrasi tentang apa
yang diperlukan untuk melonggarkan dura dan bagaimana
sebuah gardu arteriovenosa melambat untuk sementara
akumulasi EDH.9
Lucid interval adalah perbaikan sementara pada kondisi pasien
setelah cedera otak traumatis, setelah itu kondisi memburuk.
Luci interval juga didefinisikan sebagai periode sementara
rasionalitas atau normalitas neurologis (seperti di antara
periode demensia atau segera setelah cedera kepala fatal).
Kondisi ini menunjukkan adanya hematoma ekstradural.
Diperkirakan 20-50% pasien dengan hematoma ekstradural
mengalami lucid interval.
Lucid interval terjadi setelah pasien mengalami trauma kepala,
kemudian masuk ke dalam kondisi tidak sadar lagi setelah
sadar saat pendarahan menyebabkan hematoma berkembang
Perdarahan Ekstradural
32
melampaui batas dimana tubuh dapat mengimbanginya.
Setelah cedera, pasien linglung sejenak, dan kemudian menjadi
relatif sadar untuk jangka waktu tertentu yang dapat
berlangsung beberapa menit atau jam. Setelah itu terjadi
penurunan yang cepat saat darah terkumpul di dalam
tengkorak, menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial, yang
merusak jaringan otak. Kemudian, dapat berkembang menjadi
"pseudoaneurysms" setelah trauma yang pada akhirnya dapat
pecah dan terjadi perdarahan. Hal ini merupakan faktor yang
mungkin menyebabkan penundaan hilangnya kesadaran.10
Edema serebral tertunda merupakan kondisi yang sangat serius
dan berpotensi fatal dimana otak membengkak secara dramatis,
dapat diikuti lucid interval yang terjadi setelah trauma kepala
ringan. Lucid interval juga dapat terjadi pada kondisi selain
cedera otak traumatis, seperti sengatan panas dan fase postictal
setelah kejang pada pasien epilepsi.11
Referensi
1. Baehr M dan Frotscher M.Blood Supply and Vascular
Disorders of the Central Nervous System. Duus’ Topical
Diagnosis in Neurology. Stuttgart: Thiem. 2005. Hal 418-
92.
2. Lopez MTG. Arterial Supply Anatomy. Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/1898807-
overview#a2. Diakses tanggal 29 Desember 2018.
3. Waxman SG.Vascular Supply of The Brain. Clinical
Neuroanatomy. Edisi ke-26. New York: Mc Graw Hill.
2010. Hal. 163-81.
4. Yu J, Guo Y, Xu B, dan Xu K. Clinical Importance of
Artery Middle Meningeal Artery. A review of the
literature. International Journal of Medical Science.
2016;3: 790-99.
Perdarahan Ekstradural
33
5. Richard Drake A. Wayne Vogl Adam Mitchel. Gray's
Anatomy for Students 2nd Edition. Philadelphia : Churchill
Livingstone 2009
6. Kiernan dan John A. Barr's The Human Nervous System:
An Anatomical Viewpoint. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.2010. hal. 428–30.
7. De Bruijn SF dan Stam J. Randomized, placebo-controlled
trial of anticoagulant treatment with low-molecular-weight
heparin for cerebral sinus thrombosis. Stroke. 1999. 30 (3):
484–8.
8. Price D. Epidural Hematomas in Emergency Medicine
Clinical Presentation. Dapat diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/824029-clinical.
Diakses tanggal 29 Desember 2018.
9. Ganz JC. The Lucid Interval Associated with Epidural
Bleeding: Evolving Understanding. Journal Neurosurg.
2013 (118); hal. 739-45.
10. Valadka AB. "Injury to the cranium". Trauma. New York:
McGraw-Hill2004. hal. 385–406.
11. Singh S, Ramakrishnaiah RH, Hegde SV, Glasier CM.
Compression of the posterior fossa venous sinuses by
epidural hemorrhage simulating venous sinus thrombosis:
CT and MR findings. Pediatr Radiol. 2016 Jan. 46 (1):67-
72.
Perdarahan Ekstradural
34
BAB III
EKSTRADURAL HEMATOMA
3.1 Pendahuluan
Ekstradural hematoma (EDH) adalah terakumulasinya volume
darah dalam suatu ruang antara cranium dengan selaput
duramater, yang berpotensi dan dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan intracranial. Ukuran akhir dari hematoma
tergantung pada ukuran dan sifat pembuluh yang pecah dan
seberapa ketat dura menempel pada tengkorak bagian dalam
tengkorak. EDH terjadi pada sekitar 2 persen dari semua jenis
cedera kepala dan sampai 15 persen cedera kepala fatal.
Gumpalan paling sering ditemukan di daerah temporo-parietal
(73 persen) dimana arteri meningea tengah dan vena telah
rusak oleh fraktur yang melibatkan tulang temporal skuamosa.1
Sebelas persen gumpalan terjadi pada fossa kranial anterior
(arteri meningea anterior), 9 persen di daerah parasagital (sinus
sagital) dan 7 persen pada fossa posterior (arteri meningea
oksipital, sinus transversus dan sigmoid). Memar di kulit
kepala di atasnya merupakan panduan yang mengarah ke situs
hematoma. Dengan bertambahnya usia, pembuluh meningeal
menjadi tertanam dalam tulang dan beresiko tinggi mengalami
kerusakan pada trauma tulang. EDH jarang terjadi pada bayi di
bawah usia dua tahun. Darah berkumpul di EDH jarang
dicairkan dan dalam varian kronis (28 persen kasus bedah)
organisasi progresif terjadi dengan pembentukan lapisan tipis
jaringan granulasi di permukaan dura yang berdekatan dengan
Perdarahan Ekstradural
35
bekuan darah yang setelah satu bulan atau lebih akan
berkembang menjadi neomembrane yang terbentuk dengan
baik dari jaringan fibrosa vaskular yang menguraikan
hematoma lokular.2
Seringkali cedera awal mungkin agak ringan dan pasien
mungkin mengalami interval yang jernih (hanya ada pada
sekitar 20 persen EDH) namun pada sepertiga kasus ada juga
cedera otak penting lainnya seperti ASDH dan laserasi dan
pasien mungkin tidak mengalami jeda yang jelas dan tidak
sadarkan diri dari saat cedera. Penggunaan CT secara
sistematis telah menghasilkan peningkatan pengenalan EDH
dari sekitar 4 persen pra CT sampai 9 persen pasca CT dan
lebih dari separuh kasus memiliki asal arterial perdarahan
(meningeal tengah atau anterior atau cabang posterior). Dalam
40 persen asal perdarahan adalah vena atau osseus dan sekitar
10 persen kasus perdarahan difus dari dura dicatat. Fraktur
terkait telah dilaporkan dengan frekuensi bervariasi, namun
mencatat fraktur pada 205/211 kasus post-mortem EDH dan
menemukan fraktur pada 91 persen kasus dengan CT scan.1
Fraktur tidak ada pada sekitar 28 persen anak dengan EDH
karena elastisitas tengkorak anak yang lebih besar. EDH
berukuran kecil sampai sedang telah ditunjukkan pada
pemindaian CT serial untuk meningkatkan ukuran hingga 50
persen sampai sekitar 10-14 hari setelah cedera dan kemudian
secara bertahap menyerap kembali resolusi 4-6 minggu setelah
cedera. 3
Perdarahan Ekstradural
36
Gambar 3.1. Makroskopis otak dengan ekstradural hematom
pada fosa posterior3
3.2 Mekanisme cedera kepala
Sebagian besar cedera kepala dihasilkan oleh gaya kontak dan /
atau akselerasi / deselerasi. Cedera kontak, yaitu fraktur
tengkorak, EDH, laserasi / kontusi terkait SDH dan kontusi
dihasilkan oleh kekuatan kontak yang beroperasi saat kepala
menghantam atau dipukul oleh beberapa benda. Cedera kontak
hanya bisa ditimbulkan dengan dampak langsung. Kontraksi
Perdarahan Ekstradural
37
kudapan diproduksi oleh cedera vaskular fokal karena gaya
tekan yang beroperasi di bawah area gaya tumbukan atau gaya
tarik yang dihasilkan oleh tekanan negatif yang dihasilkan di
bawah area tengkorak yang masuk tiba-tiba kembali masuk ke
tempatnya. Akselerasi / perlambatan cedera, yaitu DAI dan
ruptur menjembatani vena SDH akibat gerakan kepala yang
hebat yang menghasilkan ketegangan tekan, tarik dan geser
pada jaringan otak terlepas dari mekanisme dimana gerakan
kepala adalah diproduksi.4
'Gaya benturan dalam' menghasilkan sindroma gegar otak dan
DAI sedangkan 'Gaya benturan permukaan' menyebabkan
SDH jembatan bridging yang pecah, kontraksi kontraksi dan
kontraksi antara kontra. Ada bukti eksperimental bahwa
percepatan rotasi / deselerasi di bidang koronal paling
produktif meyebabkan DAI. Dampak langsung ke kepala,
misalnya di jatuhnya, kecelakaan kendaraan bermotor dan
serangan di mana kepala bebas bergerak menghasilkan
kekuatan akselerasi / deselerasi yang signifikan serta kekuatan
kontak yang lebih jelas. Dampak tidak langsung juga dapat
menghasilkan kekuatan akselerasi / deselerasi seperti gerakan
perpanjangan fleksi fleksi yang kencang setelah tabrakan
belakang.5
3.3 Cedera otak4
Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang
didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya
disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti proses
patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat
permanen. Dari tahapan itu, cedera kepala dibagi menjadi dua.
a. Cedera otak primer
Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi
sebagai akibat langsung dari efek mekanik dari luar pada
Perdarahan Ekstradural
38
otak yang menimbulkan kontusio dan laserasi parenkim
otak dan kerusakan akson pada substantia alba hemisper
otak hingga batang otak.
b. Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi
akibat proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak,
hemodinamika intrakranial dan kompartement CSS yang
dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara
klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini
disebabkan oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar
darah otak, gangguan aliran darah otak (ADO), gangguan
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan
hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan reactive
oxygen species, infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini
meliputi perdarahan intrakranial, edema otak, peningkatan
tekanan intrakranial dan kerusakan otak.
Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena
benturan mati atau rusak irreversible, proses ini disebut proses
primer dan sel otak disekelilingnya akan mengalami gangguan
fungsional tetapi belum mati dan bila keadaan menguntungkan
sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam atau hari. Proses
selanjutnya disebut proses patologi sekunder. Proses
biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan menyebabkan
kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel
yang tidak cedera. Secara garis besar cedera kepala sekunder
pasca trauma diakibatkan oleh beberapa proses dan faktor
dibawah ini :5
Perdarahan Ekstradural
39
a. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang
terdiri atas :
- Perdarahan intrakranial (hematom ekstradural/
subdural/Intracerebral).
- Edema serebral.
b. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh :
- Penurunan tekanan perfusi serebral.
- Hipotensi arterial, hipertensi intrakranial.
- Hiperpireksia dan infeksi.
- Hipokalsemia/ anemia dan hipotensi.
- Vasospasme serebri dan kejang
Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai
dengan aktifasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi
pembuluh darah, penurunan aliran darah, dan permeabilitas
kapiler yang meningkat. Hal ini menyebabkan akumulasi
cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma. Sel terbanyak
yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit,
terutama sel leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang
terakumulasi dalam 30 - 60 menit yang memfagosit jaringan
mati. Bila penyebab respon inflamasi berlangsung melebihi
waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan terjadi infiltrasi sel
leukosit mononuklear, makrofag, dan limfosit. Makrofag ini
membantu aktivitas sel PMN dalam proses fagositosis.4,5
Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma
sangat berperan dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap
awal proses inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil pada
endotelium dengan beberapa molekul perekat Intra Cellular
Adhesion Molecules-1 (ICAM-1). Proses perlekatan ini
mempunyai kecenderungan merusak/merugikan karena
mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi. Selain itu, netrofil
Perdarahan Ekstradural
40
juga melepaskan senyawa toksik (radikal bebas), atau mediator
lainnya (prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa-senyawa
ini akan memacu terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag juga
mempunyai peranan penting sebagai sel radang predominan
pada cedera otak 4,5
Gambar 3.2. Patofisiologi cedera kepala.4
3.4 Gejala dan tanda klinis EDH
Pada pasien dengan EDH, 22 – 56 %, berada dalam keadaan
penurunan kesadaran saat masuk ke rumah sakit atau beberapa
saat sebelum operasi. Secara klinis disebut sebagai “Lucid
Interval”.6 Pada anamnesa didapatkan riwayat cedera kepala
dengan penurunan kesadaran. Pada kurang lebih 50 persen
kasus kesadaran pasien membaik dan adanya lucid interval
diikuti adanya penurunan kesadaran secara perlahan
sebagaimana peningkatan TIK. Contohnya pasien yang secara
tiba-tiba tidak sadarkan diri, kemudian terbangun/sadar lalu
hilang kesadaran kembali. Kondisi ini diteliti pada total 456
Perdarahan Ekstradural
41
dari 963 pasien (47%) menjalani operasi EDH dalam tujuh
penelitian. Pada kasus lainnya, lucid interval tidak dijumpai,
dan penurunan kesadaran berlangsung diikuti oleh detoriasi
progresif. Antara 12 dan 42% pasien tetap sadar sepanjang
waktu antara trauma dan operasi. Kelainan pupil diamati antara
18 dan 44% pasien, dan sekitar 27% (3-27%) pasien secara
neurologis tidak ada kelainan. Gejala penyajian lainnya
meliputi defisit fokal, seperti hemiparesis, decerebration, dan
seizure. Kejang saat awal terjadi pada 8% pasien anak-anak
yang datang ke rumah sakit dengan EDH.2,6
Ekstradural hematoma terkadang terdapat pada fossa posterior
yang pada beberapa kasus dapat terjadi sudden death sebagai
akibat kompresi dari pusat kardiorespiratori pada medulla.
Pasien yang tidak mengalami lucid interval dan mereka yang
terlibat pada kecelakaan mobil pada kecepatan tinggi akan
mempunyai prognosis yang lebih buruk. 7
Gejala dan tanda klinis ekstradural hematoma di fossa
posterior yaitu :
1. Lucid interval tidak jelas
2. Fraktir kranii oksipital
3. Durasi kehilangan kesadaran yang singkat
4. Gangguan serebellum, batang otak, dan pernafasan
5. Pupil isokor
EDH lebih mungkin berasal dari vena atau tulang pada
neonatus dan bayi, dan lokasinya cenderung berada di fossa
posterior di sepanjang sinus vena. EDH ini sering hadir lebih
banyak lagi tertunda di neonatus karena ekstra intrakranial
cadangan yang disediakan oleh jahitan yang tidak biasa,
fontanel terbuka, dan vena asal perdarahan. Pembedahan
dilakukan jarang dan tergantung kasus, bergantung pada
ukuran dan lokasinya pendarahan dan penyajian neurologis
Perdarahan Ekstradural
42
dari anak. Sifat arterial hematoma ekstradural di usia lanjut dan
anak-anak mirip dengan yang ditemukan pada orang dewasa.
Mungkin ada interval jelas yang lebih pendek, tapi lokasi
anatomis EDH pada anak yang lebih tua hampir sama pada
orang dewasa. 6,7
a. Faktor usia dan tingkat kesadaran
Pengaruh usia terhadap hasil pada subkelompok pasien
dengan EDH tidak begitu jelas seperti pada pasien TBI
secara keseluruhan. Tiga penelitian menggunakan multiple
regression analisis, menemukan bahwa GCS adalah
prediktor hasil yang lebih baik daripada usia pasien
menjalani operasi untuk EDH. Secara retrospektif analisis
98 pasien dari semua kelompok usia dengan EDH yang
menjalani craniotomy, diteliti faktor penentu hasilnya
setelah 6 bulan. Mereka mengidentifikasi GCS, umur, dan
diagnosis CT perdarahan subarachnoid cukup signifikan
faktor berkorelasi dengan outcome, menggunakan analisis
multivariat. GCS saat masuk rumah sakit atau GCS
sebelum operasi adalah prediktor hasil yang penting pada
pasien dengan EDH yang menjalani operasi. Dalam tiga
penelitian menggunakan analisis multivariat pada total 284
pasien, GCS saat masuk ruumah sakit diidentifikasi sebagai
faktor penentu yang paling signifikan menentukan hasil
sertelah 6 bulan. Dalam satu penelitian dengan 200 pasien
menjalani kraniotomi, masuk dan pra operasi GCS
keduanya berkorelasi dengan hasil fungsional pada 1 tahun.
Gennarelli dkk. menganalisis hubungan antara jenis lesi,
skor GCS saat masuk, dan hasil setelah 3 bulan pada 1107
pasien koma dengan TBI. Kematian tertinggi ditemukan
pada pasien dengan perdarahan subdural dan GCS antara 3
dan 5 (74%). Pasien dengan EDH dan GCS 3 sampai 5
memiliki mortalitas 36%, dan pasien dengan EDH dan
GCS 6 sampai 8 memiliki mortalitas hanya 9%. 8
Perdarahan Ekstradural
43
b. Pupil
Kelainan pupil, seperti asimetri pupil atau pupil tetap dan
melebar terjadi pada sekitar 20 sampai 30% dari pasien
dengan EDH yang menjalani operasi dan sekitar 62%
pasien yang koma saat masuk rumah sakit. Satu studi
menunjukkan bahwa mydriasis ipsilateral tidak terkait
dengan hasil buruk dan reversibel saat dioperasi dalam
waktu 70 menit setelah pelebaran pupil (Midriasis bilateral)
Namun, dikaitkan dengan tingginya angka kematian
mydriasis kontralateral terhadap hematoma juga terkait
dengan angka kematian tinggi. Van den Brink dkk., pada
penelitian model multivariat yang mengevaluasi nilai
prognostik relatif dari parameter prediktif, ditemukan
bahwa, pada pasien di semua umur kelompok dan skor
GCS, kelainan pupil secara signifikan terkait dengan hasil
yang tidak menguntungkan. Hasil buruknya adalah diamati
pada 30% respon pupil normal, pada 35% dari murid tetap
unilateral, dan 50% murid tetap bilateral. Bricolo dan Pasut
mencapai hasil yang baik dalam 100%, pasien yang
mengalami anisocoria dan 90% pasien yang disajikan
dengan anisocoria dan hemiparesis. Satu-satunya Pasien
dengan mydriasis bilateral dalam rangkaian kasus mereka
meninggal.8
Dalam suatu dtudi ditemukan cedera ekstrakranial pada
20% pasien mereka, dan angka kematian di subkelompok
ini lebih rendah dari keseluruhan kematian (7,6%
berbanding 28%). Tidak ada data yang ditemukan
diasosiasi hipotensi dan outcome pada pasien dengan EDH
akut.
c. Intracranial pressure
Hanya ada satu studi yang tersedia di mana pasca operasi
ICP dan hubungannya dengan prognosis 6 bulan setelah
Perdarahan Ekstradural
44
trauma. Hasil pemantauan ICP di 54 (83%) dari 64 pasien
koma setelah pengangkatan EDH. Peningkatan ICP (> 15
mm Hg) ditemukan pada 67% kasus, dan ICP lebih besar
dari 35mm Hg secara bermakna dikaitkan dengan
mortalitas yang lebih tinggi.9
d. Kematian
Kejadian kematian pada pasien di semua kelompok usia
dan skor GCS setelah menjalani operasi untuk evakuasi
EDH kira-kira 10%. Kematian dalam rangkaian kasus
pediatrik kira-kira 5%
Faktor penentu outcome pada pasien yang evakuasi EDH
yaitu GCS, usia, kelainan pupil, intrakranial terkait lesi,
waktu antara kerusakan neurologis dan pembedahan.
Tekanan intrakranial (ICP) telah diidentifikasi sebagai hal
yang penting (faktor yang menentukan) dari operasi EDH.
3.5 Standar pemeriksaan penunjang
a. Foto Polos Kepala10
Pemeriksaan ini untuk melihat pergeseran (displacement)
fraktur tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada
tidaknya perdarahan intrakranial. Fraktur pada tengkorak
dapat berupa fraktur impresi (depressed fracture), fraktur
linear dan fraktur diastasis (traumatic suture separation).
Fraktur impresi disertai kerusakan jaringan otak dan pada
foto terlihat sebagai garis atau dua garis sejajar dengan
densitas tinggi pada tulang tengkorak. Fraktur linear harus
dibedakan dari sutura dan pembuluh darah. Pada foto,
fraktur ini terlihat sebagai garis radiolusen, paling sering di
daerah parietal. Garis fraktur lebih radiolusen daripada
pembuluh darah dan arahnya tidak teratur. Fraktur pada
Perdarahan Ekstradural
45
dasar tengkorak seringkali sukar dilihat. Adanya bayangan
cairan (air-fluid level) dalam sinus sfenoid menunjukkan
adanya fraktus basis cranii. Fraktur diastasis lebih sering
pada anak-anak dan terkihat sebagai pelebaran sutura.
Gambar 3.3 Foto polos kepala pada kasus fraktur
b. Head Computed Tomography Scan (CT Scan)10
CT scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu
objek dalam sudut 360 derajat melalui bidang datar dalam
jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan
direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan
tampak secara menyeluruh (luar dan dalam). CT scan akan
tampak sebagai penampang-penampang melintang dari
objeknya.
Dengan CT scan, isi kepala secara anatomis akan tampak
dengan jelas. Pada trauma kepala, fraktur, perdarahan dan
edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun
ukurannya. Indikasi pemeriksaan CT scan pada kasus
trauma kepala adalah seperti berikut :
1. Trauma kepala berat (GCS<8)
2. Defisit neurologi yang persisten
3. Amnesia antegrade
4. Pupil anisokor
Perdarahan Ekstradural
46
5. Penurunan kesadaran lebih dari 5 menit
6. Fraktur depress pada tengkorak
7. Adanya luka penetrasi
8. Adanya tanda perdarahan
Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur
anatomis kepala, dan merupakan alat yang paling baik
untuk mengetahui, menentukan lokasi dan ukuran dari
perdarahan intrakranial.
Pada kondisi akut trauma kepala, CT scan adalah pilihan
utama karena pemeriksaan ini cepat, akurat mendeteksi
fraktur tengkorak dan perdarahan intrakranial serta tersedia
di banyak pusat kesehatan. Tindakan life support dan
peralatan monitoring juga tetap dapat dilakukan pada
pemeriksaan ini
Hematoma ekstradural dapat dibedakan dari hematoma
subdural dengan bentuk bikonveks dibandingkan dengan
crescent-shape dari hematoma subdural. Selain itu, tidak
seperti hematoma subdural, hematoma ekstradural tidak
melewati sutura. Hematoma ekstradural sangat sulit
dibedakan dengan hematoma subdural jika ukurannya
kecil. Dengan bentuk bikonveks yang khas, elips,
penampilan CT scan hematoma ekstradural tergantung
pada sumber perdarahan, waktu berlalu sejak cedera, dan
tingkat keparahan perdarahan.
Karena dibutuhkan diagnosis yang akurat dan perawatan
yang cepat, diperlukan pemeriksaan CT scan dengan cepat
dan intervensi bedah saraf. CT scan adalah pemeriksaan
pilihan dalam evaluasi kasus yang dicurigai hematoma
ekstradural. Namun terkadang hematoma ekstradural sulit
untuk dideteksi dengan CT scan
Perdarahan Ekstradural
47
Gambar 3.4. Head CT Scan potongan axial pada kasus
ekstradural hematoma. (Sumber : koleksi kasus trauma
kepala bedah saraf FK USU)
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)11
Pencitraan resonansi magnetik merupakan salah satu cara
pemeriksaan diagnostik dalam ilmu kedokteran, khususnya
radiologi yang menghasilkan gambaran potongan tubuh
manusia dengan menggunakan medan magnet tanpa
menggunakan sinar X.12 Tujuan dari pencitraan resonansi
magnetik dalam evaluasi perdarahan intrakranial (ICH)
adalah sebagai berikut:
1. Untuk melihat ada atau tidaknya darah
2. Untuk mengetahui lokasi dan membedakan
perdarahan (ekstra-aksial dibandingkan intra-
aksial): ekstra-aksial, untuk membedakan
perdarahan subarachnoid (SAH), hematoma
Perdarahan Ekstradural
48
subdural (SDH), dan hematoma ekstradural
(EDH), dan intra-aksial, untuk menemukan lokasi
spesifik dari neuroanatomi
3. Untuk menentukan sudah berapa lama perdarahan
terjadi
4. Untuk mengetahui etiologi
5. Untuk membantu penatalaksanaan perdarahan dan
menentukan prognosis pasien
Tabel 3.1. Gambaran MRI pada kasus trauma
Fase Waktu Hemoglobin, Lokasi Kesan
T1 T2
Hiperakut < 24 h Oxyhemoglobin,
intraseluler
Isointens
atau
hipointens
Hiperintens
Akut 1-3 d Deoxyhemoglobin,
intraseluler Hipointens Hipointens
Sub akut
awal >3 d
Methemoglobin,
intraseluler Hiperintens Hipointens
Sub akut
akhir >7 d
Methemoglobin,
extraseluler Hiperintens Hiperintens
Kronik >14 d
Ferritin dan
hemosiderin,
extraseluler
Hipointens Hipointens
Perdarahan Ekstradural
49
Perdarahan Intra Parenkim Berdasarkan Waktu
1. Perdarahan Hiperakut
Gambar 3.5. Perdarahan hiperakut pada MRI
Pencitraan resonansi magnetik aksial menunjukkan hematoma
hiperakut dalam kapsul eksternal yang tepat dan korteks insular
pada pasien hipertensi. T1 aksial menunjukkan isointens untuk
lesi hipointens di daerah temporoparietal kanan yang
hiperintens pada T2 dan dengan kecenderungan tampak sebagai
intensitas sinyal rendah karena darah pada gradien-echo
(GRE). Sebuah lingkaran kecil edema vasogenik mengelilingi
hematoma.
2. Perdarahan Akut
Gambar 3.6. Perdarahan akut pada MRI
Perdarahan Ekstradural
50
Pencitraan resonansi magnetik menunjukkan hematoma akut
pada daerah frontal kiri. T1 aksial dan T2 menunjukkan
hematoma yang hipointens. Sebuah lingkaran kecil edema
vasogenik mengelilingi hematoma terlihat di T2.
3. Perdarahan Subakut Awal (Early Subacute Hemorrhage)
Gambar 3.7. Perdarahan subakut pada MRI
Pencitraan resonansi magnetik menunjukkan hematoma
subakut awal di daerah oksipital kiri. Lesi terlihat hiperintens
pada T1 dan hipointens pada T2 ditandai dengan
kecenderungan disebabkan oleh hematoma pada gradien-echo
(GRE). Hematoma intraventrikular juga terlihat jelas sebagai
sinyal rendah pada GRE.
4. Perdarahan Subakut Akhir (Late subacute hemorrhage)
Gambar 3.8. Perdarahan subakut akhir pada MRI
Perdarahan Ekstradural
51
Pencitraan resonansi magnetik menunjukkan perdarahan
subakut akhir di kedua daerah thalamus pada pasien malaria
cerebral. T1, T2, dan gradient-echo (GRE) menunjukkan
hematoma hiperintens. T2 dan GRE menunjukkan lingkaran
kecil hipointens yang disebabkan hemosiderin.
5. Perdarahan Kronik
Gambar 3.9. Perdarahan kronik pada MRI
Pencitraan resonansi magnetik menunjukkan hematoma kronik
sebagai space-occupying lesion pada fossa posterior kanan.
Perdarahan terlihat sebagai gambaran hipointens di T1 dan T2.
Hipointensitas diperjelas oleh efek darah pada GRE
3.6 Tatalaksana komprehensif12
Insidensi dari surgical dan nonsurgical EDH diantara
keseluruhan kasus cedera kepala dilaporkan berkisar antara
2,7% - 4%. Dari keselurhan pasien koma paska cedera kepala,
9% ditemukan EDH dan membutuhkan tindakan kraniotomi.
Puncak insiden EDH adalah pada usia dekade kedua dengan
rentang usia diantara 20 -30 tahun. EDH jarang ditemukan
pada usia tua atau diatas 50 – 60 tahun. Pada kasus cedera
kepala anak rerata pasien menderita EDH antara 6 – 10 tahun,
dan sangat jarang pada anak yang sangat muda dan neonates.
Perdarahan Ekstradural
52
Dari keseluruhan kasus pembedahan dengan EDH, lokasi
paling sering ditemukan EDH adalah region temporoparietal
dan temporal. Bilateral EDH ditemukan pada 2% - 5% kasus.
Selain itu EDH lebih sering ditemukan pada sisi kanan
daripada sisi kiri
a. Peningkatan TIK pada EDH
Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan yang timbul
karena adanya volume massa otak, cairan cerebrospinal
(LCS), dan darah yang mensuplai otak dalam suatu ruang
intrakranial yang tertutup. TIK ini bisa meningkat yang
disebabkan oleh adanya perdarahan intrakranial ( EDH,
SDH, kontusio otak, PSA, ICH ), edema otak, tumor otak,
dan hidrosefalus
Akibat dari adanya peningkatan TIK akan menyebabkan
terjadinya penurunan aliran darah ke otak (CBF= Cerebral
Blood Flow) sehingga timbul iskemia otak. Iskemia otak
adalah suatu gangguan hemodinamik yang akan
menyebabkan penurunan aliran darah otak sampai ke
suatu tingkat yang akan menyebabkan kerusakan otak
yang ireversibel. Autopsi pada pasien cedera kepala berat
yang akhirnya meninggal didapatkan 80 % mengalami
iskemia otak.
TIK dapat diukur dengan satuan cmH2O atau mmHg, dan
memiliki nilai normal 50 sampai 200 mmH2O atau 5 – 20
mmHg. 8,24 12 2.3.2. Sebuah konsep tentang TIK ini
dikenal dengan doktrin Monroe Kelly Teori ini
menyatakan bahwa rongga intra kranial pada dasarnya
merupakan rongga yang kaku, tidak mungkin mekar,
sehingga bila salah satu dari ketiga komponennya
membesar, dua komponen lainnya harus mengkompensasi
dengan mengurangi volumenya ( bila TIK masih konstan).
Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi
terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila
Perdarahan Ekstradural
53
mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis
spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan
tanpa meningkatkan TIK.26 Segera setelah cedera otak,
suatu massa seperti perdarahan dapat terus bertambah
dengan TIK masih tetap normal. Namun, sewaktu batas
pemindahan/pengeluaran CSS dan darah intravaskuler tadi
terlewati maka TIK secara sangat cepat akan meningkat.
Perhatikan gambar dibawah ini.
Gambar 3.10. Grafik perubahan tekanan intrakranial terhadap
perubahan volume intrakranial
Perdarahan Ekstradural
54
Gambar 3.11. Skema kompensasi intrakranial komponen terhadap
perubahan besar volume.
b. Terapi konservatif
Bullock dkk merawat 12 dari 123 pasien EDH
nonoperatif. Semua pasien sadar (GCS 12-15) dengan
volume hematoma antara 12 dan 38 cc (rata-rata 26,8 cc)
dan midline shift kurang dari 10 mm pada CT scan awal.
Dari pasien tersebut tidak ada ditemukan hematoma yang
berada di daerah temporal. Semua pasien memiliki
outcome yang bagus. Cucciniello melaporkan pada 57
pasien dengan EDH yang diobati secara nonoperatif. GCS
awal adalah antara 10 dan 15. Lima kasus dengan
hematoma berada di temporal. Ketebalan hematoma
maksimum berkisar antara 6 dan 12 mm. Hanya satu
pasien yang memiliki midline shift. Kesemua pasien
tersebut memiliki outcome yang baik.13
Perdarahan Ekstradural
55
c. Indikasi Pembedahan
Keputusan untuk melakukan tindakan pembedahan pada
pasien dengan EDH akut diambil berdasarkan
pertimbangan skor GCS pasien, pemeriksaan pupil,
komorbiditas, temuan CT Scan, usia, dan monitoring
intracranial pasien. Perburukan gejala klinis juga
merupakan aspek penting dalam pengambilan keputusan
selama rawatan.
CT Scan merupakan pencitraan utama untuk menegakkan
diagnosis EDH. CT juga dapat mengidentifikasi kelainan
lain yang mempengaruhi outcome pasien, seperti adanya
midline shift, traumatic subarachnoid hemorrhage,
kompresi sisterna basal, ketebalan clot EDH, serta volume
EDH itu sendiri.14
Pada suatu studi dari 200 penderita yang dilakukan
tindakan evakuasi EDH, Lee dkk,(22) menemukan bahwa
volume hematoma lebih dari 50cc sangat signifikan
dengan meningkatnya risiko mortalitas dan outcome
fungsional yang buruk. Outcome fungsional yang buruk
ini ditemukan pada 6,2% kasus dengan volume kurang
dari 50cc, dan pada 24% kasus dengan volume lebih dari
50cc. Gambaran mix densitas dari clot EDH
mengindikasikan adanya perdarahan akut, ditemukan pada
32% kasus, hal ini berkorelasi dengan outcome fungsional
yang buruk namun tidak dengan tingkat mortalitas. Pasien
dengan midline shift lebih dari 10mm menunjukkan
mortalitas yang tinggi dan outcome fungsional yang
buruk. Obstruksi parsial maupun total pada sisterna basal
ditemukan pada 59% kasus dan berkorelasi juga pada
mortalitas dan outcome fungsional.15
Rival dkk, menemukan volume hematoma dan keparahan
dari midline shift berkaitan dengan preoperatif koma pada
pasien EDH. Pada pasien koma, volume haematom lebih
Perdarahan Ekstradural
56
dari 150cc dan midline shift lebih dari 12 mm berkaitan
dengan meningkatnya mortalitas. Lokasi dari EDH tidak
mempengaruhi outcome, hal ini dikemukan oleh Seelig
dkk.16
Efek dari waktu tunggu pembedahan terhadap outcome
dari EDH memiliki makna yang relevan pada beberapa
kelompok pasien dengan EDH yang menyebabkan
kompresi pada struktur otak, yang akhirnya menyebabkan
outcome yang buruk. Kelompok ini dikategorikan
memiliki abnormalitas pupil dan atau skor GCS dibawah 9
(koma).17,18
Berdasarkan studi – studi diatas dan banyak studi trauma
lainnya, suatu organisasi trauma, Brain Trauma
Foundation menyusun suatu panduan indikasi
dilakukannya tindakan evakuasi EDH yang diringkas pada
gambar dibawah.19
Gambar 3.12. Konsensus Brain Trauma Foundation pada kasus
EDH
Perdarahan Ekstradural
57
d. Teknik Operasi20,21
Teknik operasi pada kasus EDH disesuaikan dengan letak
perdarahan atau lesi yang muncul. Teknik operasi akan
menentukan posisi pasien dan berbagai handicap yang
akan dilewati selama operasi.
Meskipun kraniotomi lebih disukai namun kraniektomi
sering digunakan sebagai sarana untuk memperluas
eksposure setelah eksplorasi. Evakuasi awal seharusnya
dilakukan dengan cepat melalui kraniektomi agar
meringankan tekanan batang otak, baik dengan kraniotomi
klasik atau kraniektomi yang lebih luas. Hematoma
dievakuasi dan titik pendarahan dapat dikontrol dengan
baik. Rongeur digunakan untuk menggigit tulang dan
mengekspos keseluruhan hematoma. Bila tulangnya sangat
tebal dan keras, terkadang lebih mudah untuk membuat
beberapa burrholes dan menggigit tulang di antara
keduanya.
Pada epidrual hematoma, dura pasti sudah terpisah dari
bagian dalam tengkorak oleh hematoma dan tidak rawan
untuk cedera di pinggir hematoma. Jika ada titik
perdarahan pada dura, maka titik itu harus digumpalkan
dengan diathermy bipolar, atau jika ini tidak tersedia,
unipolar/monopolar diathermy bisa digunakan pada setting
yang rendah.
Pendarahan dari tepi luka mungkin akan menyulitkan
karena tidak bisa dihentikan dengan diathermy. Cara
terbaik adalah menyumpal celah dura dengan potongan
kecil sponge/sorb khussu atau denagn strip selulosa
teroksidasi di bawah tepi tulang dan kemudian 'hitch up'
dura ke perikranium sekitarnya dengan jahitan halus 4.0
(gantung dura). Namun, penting untuk diperhatikan agar
prosedur hitch up tersebut tidak mencederai otak yang
berada di dasar jahitan ini, dan ini paling baik dicapai
Perdarahan Ekstradural
58
dengan terlebih dahulu mengangkat dura dari otak dengn
forceps, atau membuka dura untuk memungkinkan udara
atau air garam untuk mengangkat dura dari otak. Fragmen
tulang dikembalikan kemudian difiksasi dengan miniplate
atau benang, dan luka ditutup dan di letakkan drain vakum
pada lapisan di ruang subgaleal (ekstradural) selama dua
belas jam. Ekstensif tulang pemindahan mungkin
diperlukan; ini tidak penting karena kranioplasti pilihan
mudah dilakukan bila pasien memiliki kesembuhan.
Bila lokasi hematoma sudah ditentukan sebelum operasi
dengan CT scan, operasi pilihan adalah kraniotomi. Akan
sangat membantu untuk memprediksi posisi hematoma dari
film CT, apabila potongan slide tidak biasa/familiar maka
sudut potongan mungkin membingungkan.
Frontal dan hematoma subfrontal harus diekspos melalui
bicoronal flap untuk menghindari bekas luka dahi di garis
tengah yang tidak sedap dipandang. Pasien diposisikan
dengan kepala di sandaran kepala tapal kuda dan berbalik
untuk membawa posisi operasi paling penting. Kulit kepala
dicukur dan disiapkan dengan povidone-iodine.
Bergantung kepada urgensi situasi, seluruh kulit kepala
flap bisa diputar awalnya turun, atau sayatan kecil dibuat
dan kraniektomi burrhole dilakukan untuk memungkinkan
dekompresi yang cepat. Dalam kebanyakan kasus, ini lebih
efisien dengan cepat matikan flap kulit kepala miokutan
yang diikuti oleh tulang bebas tutup. Sistem bor
berkecepatan tinggi dapat membantu prosedur ini.
Sebuah lubang kecil dibor di tulang temporal tipis atau di
tempat lain tergantung pada lokasi hematoma. Sebuah
craniotome cutting attachment kemudian digunakan untuk
melengkapi kraniotomi. Hal ini sangat penting bahwa tepi
medial flap tulang diambil tidak lebih dekat dari dua
sentimeter dari garis tengah untuk menghindari cedera pada
Perdarahan Ekstradural
59
sinus sagital. Karena itu garis tengah seharusnya selalu
ditandai di kulit kepala. Kecuali CT menentukan jika tidak,
tepi inferior flap tulang diambil dengan baik ke wilayah
temporal untuk memungkinkan akses yang jelas ke tengah
fosa setelah mengeluarkan flap tulang, hematoma tersedot
dan irigasi. Pendarahan dural arteri dan vena saat itu
digumpalkan dengan diathermy bipolar. Tepi tulang yang
berdarah dikontrol dengan bone wax.
Agen hemostatik seperti selulosa teroksidasi dapat
digunakan di sekitar pinggiran kraniotomi untuk
mengendalikan perdarahan vena yang sering merembes
keluar dari saja di bawah tepi tulang Penambahan dural
'hitching' jahitan juga membantu mengendalikan
pendarahan ini dan mencegah pembentukan hematoma
rekuren. Flap tulang diganti dan dipasang dengan pelat
mini atau stainless kawat baja jika otak tidak bengkak, dan
drain vacum seharusnya digunakan di ruang subgaleal
selama dua belas jam. Otot dan galea ditutup dengan
jahitan yang mudah diserap dan kulit dengan staples.
Berikut ini beberapa gambaran teknik operasi sesuai
dengan letak lesinya :
Perdarahan Ekstradural
60
EDH Frontal
Perdarahan Ekstradural
61
EDH Temporoparietal
Perdarahan Ekstradural
62
EDH Oksipital
Perdarahan Ekstradural
63
EDH Fossa Posterior
Perdarahan Ekstradural
64
EDH Bifrontal
Perdarahan Ekstradural
65
3.7 Data Kasus EDH di RSUP Haji Adam Malik
Kasus EDH di RSUP Haji Adam Malik sebanyak 392 dari
tahun 2012-2017 dengan 85% terjadi pada laki-laki dan 39%
terjadi pada usia dewasa (18-40 tahun). Kejadian terbanyak
pada tahun 2014 dan 2016. Berikut grafik dan tabel data EDH
di RSUP Adam Malik.
Tabel 3.2. Jumlah Kasus EDH di RSUP Haji Adam Malik dari
tahun 2012-2017
Tahun Jumlah
2012 69
2013 66
2014 77
2015 70
2016 79
2017 31
Grafik 3.13. Presentase Jenis Kelamin Kasus EDH di RSUP
Haji Adam Malik
Perdarahan Ekstradural
66
Grafik 3.14. Presentase Kasus EDH di RSUP Haji Adam Malik
Berdasarkan Usia
Referensi
1. Shahlaei K, Swienenber M, Muizelaar P. Clinical
Pathophysiology of Traumatic Brain Injury. Neurological
Surgery. Edisi ketujuh. Philadelphia: Elsevier. 2017; hal:
2843-60.
2. Price DD. Epidural Hematoma in Emergency Medicine.
Dapat diakses di
https://emedicine.medscape.com/article/824029-overview.
Diakses tanggal 3 November 2017.
Perdarahan Ekstradural
67
3. Gean AD, Fischbein NJ, Purcell DD, et al. Benign anterior
temporal epidural hematoma: indolent lesion with a
characteristic CT imaging appearance after blunt head
trauma. Radiology. 2010. 257(1):212-8.
4. Goodman JC. Neuropathology of Traumatic Brain Injury.
Youmans and Wins Neurological Surgery. Edisi ketujuh.
2017; hal: 2265-77.
5. Papa L dan Goldberg SA. Head Trauma. Rosen’s
Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice.
Edisi ke-9. Philadelphia: Elsevier. 2018; hal: 301-29.
6. Ganz JC. The Lucid Interval Associated with Epidural
Bleeding: Evolving Understanding. Journal Neurosurg.
2013 (118); hal. 739-45.
7. Singh S, Ramakrishnaiah RH, Hegde SV, Glasier CM.
Compression of the posterior fossa venous sinuses by
epidural hemorrhage simulating venous sinus thrombosis:
CT and MR findings. Pediatr Radiol. 2016 Jan. 46 (1):67-
72.
8. Bricolo A, Pasut L: Extradural hematoma: toward zero
mortality. A prospective study. Neurosurgery 14:8–12,
1984
9. Smith M. Monitoring Intracranial Pressure in Traumatic
Brain Injury. Inter Anesth Res Soc 2008; 106 (1) : 240-248
10. Stipler M. Craniocerebral Trauma. Bradley’s Neurology.
Edisi keenam. Philadelphia: Elsevier. 2016; hal: 867-80.
11. Atjai B, Masdeu JC, dan Lindzen E. Structural Imaging
using Magnetic Resonance Imaging and Computed
Tomografi. Bradley’s Neurology. Edisi keenam.
Philadelphia: Elsevier. 2016; hal: 411-58.
12. Ferri FF. Epidural Hematoma. Ferri’s Clinical Advisor.
Philadelphia: Elsevier. 2018. Hal: 461-62.
13. Bullock Ross, dkk. Surgical management of Acute
Epidural Hematoma. Neurosurgery. 2006; 58: 7-15.
Perdarahan Ekstradural
68
14. Offner PJ, Pham B, Hawkes A. Nonoperative management
of acute epidural hematomas: a "no-brainer". Am J Surg.
2006. 192(6):801-5.
15. Basamh M, Robert A, Lamoureux J, Saluja RS, Marcoux J.
Epidural Hematoma Treated Conservatively: When to
Expect the Worst. Can J Neurol Sci. 2016. 43 (1):74-81.
16. Ullman JS. Epidural Hematomas Treatment and
Management. Dapat diakses
https://emedicine.medscape.com/article/248840-treatment.
Diakses tanggal 10 November 2017.
17. Songara A, Patil HG, Nayaran S. Traumatic posterior fossa
extradural hematoma: case report and review of literature.
Int Surg J. 2016. 3(1):369-71.
18. Bullock Ross, dkk. Surgical management of Posterior Fosa
Mass Lesions. 2006; 58: 47-55.
19. Li S, Zhang H, Jiao QF, Liu Z, Mao BY. A comparative
study on therapeutic method of traumatic epidural
hematoma. Chin J Traumatol. 2007. 10(3):166-70.
20. Zandi A L R, Mc Cormick P, dan Black P. Core Technic in
Operative Neurosurgery. Philadelphia : Elsevier. 2011
21. Nader R. dkk. Neurosurgery. Cranial Trauma
Neurosurgery. Trick of the Trade Cranial. New York :
Thieme. 2014
9 7 8 6 0 2 4 6 5 0 1 2 4