repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 65696 › chapter ii.pdf... · bab...
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 EPILEPSI
II.1.1 Definisi
Definisi konseptual : (Kusumastuti dan Basuki, 2014)
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecendrungan
untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini
mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptik.
Bangkitan epileptik adalah terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat
aktifitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak.
Definisi operasional / definisi praktis dari epilepsi adalah suatu
penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala berikut :
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks
dengan jarak waktu antara bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan
sama dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa
provokasi/bangkitan refleks
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi
Universitas Sumatera Utara
15
II.1.2 Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi yang dapat dijumpai
pada semua umur dan dapat menyebabkan hendaya serta mortalitas.
Insidens epilepsi di negara berkembang sekitar 50 per 100.000 orang per
tahun (24-70 per 100.0000 orang per tahun), dan prevalensi yaitu sekitar 4
dan 10 per 100.000 orang (Sander, 2004).
Insiden median epilepsi di dunia 50,4 per 100.000/tahun (33,6-75,6).
pada negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi, insiden median 45,0
(30,3-66,7) dan pada negara dengan pendapatan per kapita menengah dan
rendah adalah 81,7 (28,0-239,5) (Octaviana dan Khosana, 2014).
Prevalensi epilepsi di negara sedang berkembang ditemukan lebih
tinggi daripada negara maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar
antara 4-7 per 1000 orang dan 5-74 per 1000 orang di negara sedang
berkembang. Daerah pedalaman memiliki angka prevalensi lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah perkotaan yaitu 15,4 per 1000 (4,8-49,6) di
pedalaman dan 10,3 (2,8-37,7) di perkotaan. Pada negara maju, prevalensi
median epilepsi yang aktif adalah 4,9 per 1000 (2,3-10,3), sedangkan pada
negara berkembang di pedalaman 12,7 per 1000 (3,5-45,5) dan diperkotaan
5,9 (3,4-10,2) (Ngugi dkk 2010).
Di Asia, contohnya adalah insidensi epilepsi di Cina adalah 35/100.000
orang per tahun, dan di India 49,3/100.000 orang per tahun. Puncak insiden
Universitas Sumatera Utara
16
di negara Cina (Shanghai) pada usia 10-30 tahun dan > 60 tahun, sedangkan
di India puncaknya pada usia 10-19 tahun (Octaviana dan Khosana, 2014).
Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (Pokdi Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18
rumah sakit di 15 kota pada tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatkan 2288
pasien terdiri dari 487 kasus baru dan 1801 kasus lama. Rerata usia kasus
baru adalah 25,1+16,9 tahun, sedangkan rerata usia pada kasus lama adalah
29,2+16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama kali ke dokter
spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum, sedangkan sisanya berobat ke
dukun dan tidak berobat (Octaviana dan Khosana, 2014).
II.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy
(ILAE) terdiri atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan
epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi (Kusumastuti dan Basuki,
2014).
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi :
1. Bangkitan parsial/fokal
1.1 Bangkitan parsial sederhana
1.1.1 Dengan gejala motorik
1.1.2 Dengan gejala somato sensorik
1.1.3 Dengan gejala otonom
Universitas Sumatera Utara
17
1.1.4 Dengan gejala psikis
1.2 Bangkitan parsial kompleks
1.2.1 Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
1.2.2 Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran sejak
awal bangkitan
1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1.3.1 Parsial sederhana yang menjadi umum
1.3.2 Parsial kompleks yang menjadi umum
1.3.3 Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi
umum
2. Bangkitan umum
2.1 Lena (absence)
2.1.1 Tipikal Lena
2.1.2 Atipikal Lena
2.2 Mioklonik
2.3 Klonik
2.4 Tonik
2.5 Tonik-klonik
2.6 Atonik/astatik
3. Bangkitan tak tergolongkan
Universitas Sumatera Utara
18
Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi :
1. Fokal/partial (localized related)
1.1 Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah
sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal
spikes)
1.1.2 Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada
daerah oksipital
1.1.3 Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
1.2 Simtomatis
1.2.1 Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak-
anak (Kojenikow’s Syndrome)
1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang di presipitasi oleh suatu
rangsangan
1.2.3 Epilepsi lobus temporal
1.2.4 Epilepsi lobus frontal
1.2.5 Epilepsi lobus parietal
1.2.6 Epilepsi lobus oksipital
1.3 Kriptogenik
Universitas Sumatera Utara
19
2. Epilepsi umum
2.1 Idiopatik
2.1.1 Kejang neonatus familial benigna
2.1.2 Kejang neonatus benigna
2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
2.1.4 Epilepsi lena pada anak
2.1.5 Epilepsi lena pada remaja
2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat
terjaga
2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu
diatas
2.1.9 Epilepsi tonik-klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
2.2 Kriptogenik atau simtomatis
2.2.1 Sindrom West
2.2.2 Sindrom Lennox-Gastaut
2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik
2.2.4 Epilepsi mioklonik lena
Universitas Sumatera Utara
20
2.3 Simtomatis
2.3.1 Etiologi nonspesifik
• Ensefalopati mioklonik dini
• Ensefalopati pada infantil dini dengan burst supression
• Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di
atas
2.3.2 Sindrom spesifik
2.3.3 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1 Bangkitan umum dan fokal
3.1.1 Bangkitan neonatal
3.1.2 Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3 Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur
dalam
3.1.4 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau Kleffner)
3.1.5 Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas
3.2 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
4.1 Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1 Kejang demam
4.1.2 Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali
Universitas Sumatera Utara
21
4.1.3 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian
metabolik akut, atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia,
hiperglikemi nonketotik
4.1.4 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi
reflektorik)
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut :
1. Idiopatik : Tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya
berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik : dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum
diketahui. Termasuk disini adalah Sindrom West, Sindrom Lennox-
Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik sesuai dengan
ensefalopati difus.
3. Simtomatis : bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi
struktural pada otak, misalnya ; cedera kepala, infeksi sistem saraf
pusat, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran
darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan
neurodegeneratif.
Universitas Sumatera Utara
22
II.2 OBAT ANTI EPILEPSI
Sejak tahun 1912 beberapa OAE telah di kenalkan namun hanya
beberapa yang sering digunakan. Sebagian besar pasien epilepsi di terapi
dengan 4 macam OAE, yaitu : fenobarbital, fenitoin, karbamazepin, dan asam
valproat (Ambrosio dkk, 2002).
Sampai dengan tahun 1993, OAE utama yaitu fenobarbital, fenitoin,
karbamazepin, dan asam valproat. Kemudian terdapat beberapa OAE
lainnya, dengan prinsip farmakoterapi yang lebih baik. Obat Anti Epilepsi
generasi terbaru disebut juga dengan OAE generasi kedua dan ketiga
(Conway, 2012).
Sebagian besar mekanisme kerja OAE sebagai antikonvulsan tidak
dapat dimengerti sepenuhnya. Mekanisme utama OAE yaitu menurunkan
eksitasi dari neuron dengan cara memblok saluran sodium dan saluran
kalsium atau reseptor glutamat antagonis. Beberapa jenis OAE dapat
meningkatkan gamma amino butyric acid (GABA). Mekanisme kerja dari
beberapa OAE dapat dilihat pada tabel 1 (Conway, 2012).
Pada sebagian besar pasien epilepsi, monoterapi merupakan pilihan
utama dalam manajemen epilepsi. Monoterapi memiliki keuntungan seperti
menghindari interaksi antara obat dan mengurangi komplikasi. Namun
apabila kejang tidak teratasi, maka perlu diberikan politerapi (Pylvanen,
2005).
Universitas Sumatera Utara
23
Tabel 1. Mekanisme Kerja Obat Anti Epilepsi
Dikutip dari : Conway, J.M. 2012. Antiepilepsy Drugs : Mechanisms of Action and Pharmacokinetics. Epilepsy.1(5): 1-11
Monoterapi merupakan pilihan utama pada saat awal pemberian OAE.
Sebagian besar pasien dapat terkontrol dengan monoterapi, yaitu sekitar 60-
69%. Bila monoterapi tidak efektif pada pasien, maka di ganti dengan OAE
Universitas Sumatera Utara
24
jenis lainnya. Namun apabila OAE pertama memberikan efikasi dan toleransi
yang minimal, maka dikombinasikan dengan OAE lainnya (Sander, 2004).
Sebagian besar OAE mengalami biotransformasi hepatik, kecuali
Gabapentin dan Vigabantrin (Tabel 2). Obat-obat anti epilepsi lipofilik
mengalami konversi menjadi hidrofilik untuk ekskresi ginjal. Proses-proses
tersebut terdiri dari reaksi fase I dan fase II. Reaksi fase I terdiri dari oksidasi,
reduksi dan hidroksilasi, sementara pada fase II yaitu konjugasi (Ahmed dan
Siddiqi, 2006).
Tabel 2. Metabolisme Obat Anti Epilepsi
Predominantly Metabolized by the
Liver
Partially Metabolized by the Liver
Extrahepatic Meatbolism or
Excretion Benzodiazepines Carbamazepine Ethosuximide
Felbamate Lamotrigine
Oxcarbazepine Phenobarbital
Phenytoin Tiagabine Valproate
Leviteracetam Topiramate Zonisamide
Gabapentin Vigabantrin
Dikutip dari : Ahmed, S.N., Siddiqi, Z.A. 2006. Antiepileptic Drugs and Liver Disease.15: 156-164 Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan sindrom jenis epilepsi. Pemberian obat dimulai
dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif atau timbul
Universitas Sumatera Utara
25
efek samping (Tabel 3). Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis
maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE
kedua. Caranya bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE
pertama, diturunkan bertahap (tappering off). Bila terjadi bangkitan saat
penurunan OAE pertama, maka kedua OAE tetap diberikan. Bila respons
yang didapat buruk, kedua OAE harus diganti dengan OAE yang lain.
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respons dengan OAE
kedua, tetapi respons tetap sub optimal walaupun penggunaan kedua OAE
pertama sudah maksimal. Obat Anti Epilepsi kedua harus memiliki
mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama (Gunadharma dkk,
2014).
Interaksi OAE dengan obat-obatan lain yang dapat menyebabkan
perubahan konsentrasi serum OAE sebagian besar dijumpai pada
karbamazepin, fenitoin, dan fenobarbital. Sementara OAE generasi terbaru
jarang dijumpai perubahan konsentrasi akibat interaksi dengan obat-obat
lainnya. (Tabel 4) ( Perucca, 2005).
Universitas Sumatera Utara
26
Tabel 3. Dosis Obat Anti Epilepsi untuk Orang Dewasa
OBAT ANTI EPILEPSI DOSIS AWAL (mg/hari)
DOSIS RUMATAN (mg/hari)
JUMLAH DOSIS PER HARI
Carbamazepine 400-600 400-1600 2–3x Phenytoin 200-300 200-400 1-2x
Valproic Acid 500-1000 500-2500 2-3x Phenobarbital 50-100 50-200 1 Clonazepam 1 4 1 atau 2
Clobazam 10 10-30 1-2x Oxcarbazepine 600-900 600-3000 2-3x Levetiracetam 1000-2000 1000-3000 2x
Topiramate 100 100-400 2x Gabapentine 900-1800 900-3600 2-3x Lamotrigine 50-100 50-200 1-2x Zonisamid 100-200 100-400 1-2x
2-3x Pregabalin 50-75 50-600 Dikutip dari : Kusumastuti, K., Gunadharma, S., Kustiowati, E. Editor. 2014. Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Edisi V. Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. Airlangga University Press. Surabaya.
Tabel 4. Obat-obatan yang Dapat Meningkatkan Konsentrasi Serum OAE
Dikutip dari : Perucca, E. 2005. Clinically Relevant Drug Interactions with Antiepileptic Drugs. British Journal of Clinical Pharmacology. 61(3): 246-255
Universitas Sumatera Utara
27
II.3 KARBAMAZEPIN
Karbamazepin (C15H12N2O) merupakan senyawa trisiklik yang cukup
efektif dalam mengobati kejang parsial. Obat ini pertama kali diperkenalkan
oleh Walter Schindler di Switzerland pada tahun 1953. Karbamazepin
pertama kali digunakan untuk mengobati trigeminal pada tahun 1962 dan
kemudian digunakan secara luas untuk mengobati epilepsi di Inggris pada
tahun 1965, lalu pada tahun 1974 diakui pemakaiannya di Amerika Serikat
(Ghamari dkk, 2013).
Karbamazepin (5H-dibenzapine-5-carboxamide) merupakan OAE yang
sering digunakan untuk mengobati epilepsi. Karbamazepin merupakan
derivat iminodibenzyl, yang secara struktural mirip dengan antidepresan
trisiklik. Obat ini dimetabolisasi di hepar, dan hanya sekitar 1% dari dosis
yang diberikan yang di ekskresikan dalam bentuk yang asli (Gambar 1)
(Ambrosio dkk, 2002).
Gambar 1. Struktur formula dari Karbamazepin Dikuti dari : Ambrosio, A.F., Siva, P.S., Carvalho, C.M., Carvalho, A.P., Carvalho, A.P. 2002. Mechanisms of Action of Carbamazepine and Its Derivatives, Oxcarbazepine, BIA 2-093, and BIA 2-024. Neurochemical Research. 27: 121-130
Universitas Sumatera Utara
28
Secara umum, karbamazepin dapat menurunkan eksitabilitas neuron
atau meningkatkan inhibisi dengan mengganggu konduktansi sodium,
potasium atau kalsium atau mempengaruhi GABA, glutamat atau
neurotransmiter lainnya yang berperan dalam mencetuskan kejang (Ghamari
dkk, 2013).
Ikatan protein plasma karbamazepin mencapai 70-80% dan eliminasi
tergantung sepenuhnya pada biotransformasi hepatik melalui proses
eksposidasi dan hidroksilasi. Eliminasi karbamazepin terutama oleh sistem
sitokrom P-450 dan menghasilkan metabolit aktif, kemudian karbamazepin
mengalami autoinduksi. Clearance karbamazepin terjadi pada 30 hari setelah
terapi dan meningkat hingga 300%. Waktu paruh karbamazepin sekitar 10
sampai dengan 20 jam, namun dikurangi dengan autoinduksi 4-12 jam
(Ghamari dkk, 2013).
Efek samping karbamazepin yaitu dizziness, ataksia, diplopia, mual,
kelelahan, agranulositosis, lekopeni, trombositopenia, hiponatremia, ruam,
gangguan perilaku, tiks, peningkatan berat badan, disfungsi seksual,
neuropati perifer (Gunadarma dkk, 2014).
Karbamazepin dapat berinteraksi dengan OAE lainnya seperti asam
valproat, fenobarbital, fenitoin. Obat-obatan lain yang dapat berinteraksi
dengan karbamazepin, seperti antibiotik yaitu eritromisin, cimetidine,
propoxyphene, pil hormon kontrasepsi dan calcium channel blockers
(Ghamari dkk, 2013).
Universitas Sumatera Utara
29
II.4 ASAM VALPROAT
Asam valproat diperkenalkan oleh Carraz (1964) sebagai antiepilepsi
dan digunakan secara luas di Amerika Serikat sejak tahun 1978. Asam
valproat merupakan OAE spektrum luas yang efektif untuk berbagai tipe
kejang dan sebagai pilihan pertama untuk epilepsi simtomatik dan epilepsi
umum idiopatik (Gambar 2) (Fagundes,2008).
Asam valproat memiliki efek farmakologik dengan meningkatkan
transmisi GABAergik, mengurangi pelepasan dan efek asam amino eksitatori,
memblokade sodium chanel dan memodulasi transmisi dopaminergik dan
serotonergik (Fagundes,2008).
Asam valproat tersedia dalam bentuk parenteral dan oral. Sekitar 90%
asam valproat berikatan dengan protein plasma. Asam valproat
dimetabolisasi secara luas oleh konjugasi mikrosom glukoronidasi, beta-
oksidasi mitokondria dan sitokrom P450-dependent omega, oksidasi (omega-
1) dan (omega-2) (Fagundes,2008).
Efek samping utama yaitu mual, muntah, abdominal cramps serta
diare. Efek samping lainnya yaitu hepatotoksisitas dan pankreatitis
(Fagundes,2008).
Asam valproat dapat berinterakasi dengan obat lain seperti
lamotrigine, fenitoin, karbamazepin, ethosuksimid, felbamate, dan lorazepam
(Patsalos dkk, 2002).
Universitas Sumatera Utara
30
Gambar 2. Struktur formula dari Asam Valproat Dikutip dari : Fagundes, S.B.R. 2008. Valproic Acid : Review. Rev Neuroscience. 16(2): 130-136
II.5 FUNGSI TIROID
Kelenjar tiroid terletak dibagian bawah leher, terdiri atas 2 lobus, yang
dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Kapsul fibrosa
menggantungkan kelenjar ini pada fascia pratrakea sehingga pada setiap
gerakan menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya kelenjar ke arah
kranial, yang merupakan ciri khas kelenjar tiroid. Setiap lobus tiroid berbentuk
lonjong berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm.
Berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan masukan yodium.
Pada orang dewasa beratnya berkisar antara 10-20 gram (Djokomoeljanto,
2007).
Universitas Sumatera Utara
31
Biosintesis hormon tiroid dimulai dengan pengambilan unsur yodium
dari plasma dan berakhir dengan sekresinya ke dalam darah, dengan
menempuh beberapa langkah yaitu : trapping, oksidasi dan yodinasi,
coupling, penyimpanan, deyodinasi, proteolisis dan sekresi hormon (Kshanti,
2008).
Sekresi kelenjar tiroid yang normal tergantung pada TSH. Sekresi TSH
lalu di inhibisi oleh hormon tiroid dan di stimulasi oleh Thyrotropin Releasing
Hormone (TRH). Iodida dalam serum terjebak didalam sel tiroid, setelah
mengalami okidasi dan bereaksi dengan beberapa residu tyrosine dari
tiroglobulin, kemudian membentuk T4 dan T3 (Gambar 3) (Wood, 1995).
Kelenjar tiroid secara normal mengandung tiroglobulin dalam jumlah
yang banyak, yang sebagian besar terdapat di dalam lumen dari folikel tiroid.
Bila tiroglobulin di resorbsi kedalam sel folikel dari tiroid dan mengalami
hidroksilasi, maka T4 dan T3 disekresikan ke dalam sirkulasi. Kemudian
keduanya berikatan dengan ikatan serum protein spesifik, sehingga jumlah
T4 atau T3 yang bebas dalam sirkulasi terbatas (Wood, 1995).
Universitas Sumatera Utara
32
Gambar 3. Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis dan Jalur Ekstratiroid dari metabolisme hormon tiroid Dikutip dari : Wood, A.J.J. 1995. Drug Therapy. The New England Journal of Medicine. 333(25): 1688-1693 Beberapa obat dapat mempengaruhi fungsi tiroid secara langsung
atau tidak langsung, serta dapat bermanifestasi sebagai suatu penyakit.
Obat-obatan dapat mempengaruhi status fungsi tiroid dalam beberapa cara.
Obat-obatan dapat mempengaruhi homeostasis tiroid pada berbagai tingkat,
Universitas Sumatera Utara
33
mulai dari sintesis, sekresi, transportasi atau pada organ target sehingga
menyebabkan hipotiroidsm atau hipertiroidsm. Obat-obatan dapat juga
mengubah konsentrasi serum hormon tiroid dengan cara mempengaruhi
jumlah ikatan protein atau jumlah yang berikatan dengan hormon, sehingga
dapat memodifikasi uptake selluler dan metabolisme hormon tiroid serta
mengganggu kerja hormon pada jaringan. Beberapa obat yang dapat
mempengaruhi fungsi tiroid dapat dilihat pada tabel 5 (George dan Joshi,
2007).
II.5.1 Tes Fungsi Tiroid
Tes fungsi tiroid adalah pemeriksaan penunjang pada kelainan tiroid
yang dikelompokkan menjadi pemeriksaan untuk melihat status hormon tiroid,
respons tiroid, etiologi kelainan tiroid, dan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan
untuk melihat status hormon tiroid dan respons tiroid meliputi T3, T4, free
thyroxine (FT4), free triiodothyronine (FT3), dan TSH (Saksono, 2008).
Ringkasan tes yang digunakan dalam menilai fungsi tiroid dapat dilihat
pada tabel 6 (Gunder dan Haddow, 2009).
Universitas Sumatera Utara
34
Tabel 5. Obat-obatan yang dapat mempengaruhi Fungsi Tiroid
Dikutip dari : George, J., dan Joshi, S.R. 2007. Drugs and Thyroid. JAPI. 55: 215-223
Universitas Sumatera Utara
35
Tabel 6. Pemeriksaan Darah untuk menilai Fungsi Tiroid
Dikutip dari : Gunder, L.M., Haddow, S. 2009. Laboratoty Evaluation of Thyroid Function. Diunduh dari : www.clinicaladvisor.com pada tanggal 28 Juni 2015
Universitas Sumatera Utara
36
II.5.2 Triiodothyronine (T3)
Triiodothyronine serum dapat digunakan sebagai komponen untuk
penapisan kelainan tiroid. Secara klinik, konsentrasi T3 memiliki nilai
diagnosis untuk kelainan hipertiroid dan pemantauan perbaikan kondisi tiroid.
Pada kelainan T3-Tirotoksikosis, dimana kadar T3 meningkat, tetapi T4 dan
FT4 normal, kadar T3 menjadi faktor dominan untuk menilai status tiroid.
Tetapi pada defisiensi iodium, seringkali ditemukan sedikit peningkatan T3,
menunjukkan bahwa pasien tersebut dalam status eutiroid (Saksono, 2008).
Kadar T3 dipengaruhi oleh kondisi yang berhubungan dengan
konsentrasi Thyroid Binding Globulin (TBG). Triiodothyronine sedikit
meningkat pada kehamilan dan pasien dengan terapi estrogen.
Triiodothyronine dapat menurun pada keadaan sakit berat, malnutrisi, gagal
ginjal (Saksono, 2008).
Serum total T3 normal pada dewasa sekitar 80-190 ng/dL.
Triiodothyronine menggambarkan fungsional dari jaringan perifer
dibandingkan dengan keadaan sekretori kelenjar tiroid. Sebagai tambahan,
T3 juga dapat digunakan pada kasus tiroid adenoma (Shivaraj dkk, 2009).
Pemeriksaan T3 bermanfaat untuk diagnosis hipertiroidsm atau untuk
menentukan tingkat keparahan. Pasien dengan hipertiroid memiliki
perubahan kadar T3. Pemeriksaan kadar T3 kurang membantu dalam kasus-
kasus hipotiroid (Gunder dan Haddow, 2009).
Universitas Sumatera Utara
37
II.5.3 Free Triidothyronine (FT3)
Free Triiodothyronine kurang lebih 0,2-0,4% dari total T3,
menggambarkan hormon tiroid yang aktif secara fisiologi. Pada umumnya
FT3 meningkat lebih banyak dibandingkan FT4 pada penyakit Graves dan
adenoma toksik. Serum FT3 sangat penting untuk membedakan kelainan-
kelainan tersebut (Saksono, 2008).
Nilai normal FT3 yaitu 2,3-5,0 pg/mL (35-77 pmol/L) (Carvalho dkk,
2013).
II.5.4 Thyroxine (T4)
Secara umum, serum T4 menggambarkan 90% sirkulasi hormon tiroid.
Thyroxine dalam darah terdapat dalam dua bentuk : T4 berikatan dengan
protein dan FT4 (tidak berikatan dengan protein). Fraksi FT4 hanya 5% dari
total T4, namun FT4 merupakan bentuk metabolit aktif dari hormon (Gunder
dan Haddow, 2009).
Konsentrasi normal total T4 pada dewasa sekitar 5-12 μg/dL (64-154
nmol/L). Nilai abnormal dapat dijumpai pada keadaan fisiologis pada wanita
hamil. Pada hipotiroidsm dengan kegagalan kelenjar tiroid, konsentrasi T4
dapat rendah. Penyebab primer hipotiroidsm dapat disebabkan oleh destruksi
kelenjar dan gangguan berat dalam hormonogenesis. Hipotiroidsm sekunder
disebabkan kegagalan pituitari dan hipotiroidsm tersier disebabkan oleh
kegagalan hipotalamik (Shivaraj dkk, 2009).
Universitas Sumatera Utara
38
Peningkatan T4 didapatkan pada pasien hipertiroid, dan menurun
pada pasien hipotiroid. Kadar T4 berkaitan secara patologi dan fisiologi
dengan kadar kapasitas TBG. Beberapa obat berkompetisi ikatan dengan
TBG, sehingga kadar T4 menjadi rendah. kadar T4 pada neonatus lebih
tinggi dari orang dewasa (Saksono, 2008).
II.5.5 Free Thyroxine (FT4)
Free Thyroxine adalah fraksi T4 yang tidak terikat pada TBG.
Konsentrasi FT4 ini dapat diukur secara langsung dan tidak langsung
sebagai Free Thyroxine Index (FTI). Pengukuran langsung FT4 lebih lazim
digunakan untuk melihat kadar FT4. Pengukuran FT4 terbaik adalah dengan
menggunakan metode equilibrium dialisis. Hanya FT4 yang tidak terikat pada
TBG yang akan melewati membran. Jumlah FT4 yang melewati membran
akan diukur konsentrasinya sebagai FT4. Secara keseluruhan jumlah FT4
didalam sirkulasi hanya 0,02 bagian dari keseluruhan T4 (Saksono, 2008).
Nilai normal FT4 untuk dewasa dengan menggunakan metode
komparatif langsung yaitu 0,7-,.8 ng/dL (9-23 pmol/L). Batas atas dari FT4
dengan menggunakan metode equilibrium dialisis yaitu 2,5 ng/dL (Carvalho
dkk, 2013).
Universitas Sumatera Utara
39
II.5.6 Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
Secara fisiologis, TSH yang dihasilkan kelenjar hipofisis akan
meningkat atau menurun untuk mempertahankan kadar hormon tiroid
(Saksono, 2008).
Thyroid Stimulating Hormone memiliki nilai normal sekitar 0,5-4,5
mU/L. The American Association of Clinical Endocrinologists (AACE) pada
tahun 2003 menetapkan nilai TSH 0,3-3,0 mU/L (Shivaraj dkk, 2009).
Endokrinologis memakai pemeriksaan TSH sebagai pemeriksaan
primer untuk diagnosa dan manajemen penyakit tiroid. Dalam menilai fungsi
tiroid, pemeriksaan TSH atau T4 sebagai pemeriksaan dasar yang cukup
adekuat dalam menetapkan status hormon tiroid pada pasien (Shivaraj dkk,
2009).
Pada hipotiroid primer, T3 dan T4 rendah sedangkan TSH meningkat
secara bermakna. Sedangkan pada hipertiroid primer, kadar hormon-hormon
tiroid meningkat, sedangkan TSH seringkali tidak terdeteksi (Saksono, 2008).
II.6 FUNGSI HATI
Hepar berperan penting dalam fungsi vital untuk menjaga dan
homeostasis regulasi dari tubuh. Fungsi utama dari hepar yaitu metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak, detoksifikasi, sekresi empedu dan
penyimpanan vitamin. Hepatotoksisitas menunjukkan kerusakan hepar
karena zat kimia. Beberapa obat yang dikonsumsi dalam dosis yang
Universitas Sumatera Utara
40
berlebihan dan kadang pada rentang dosis terapetik juga dapat merusak
organ. Lebih dari 900 obat-obatan diimplikasikan dapat merusak hepar.
Beberapa obat-obatan dapat menyebabkan kerusakan subklinik yang
bermanifestasi pada abnormal tes enzim hepar (Pandit, 2012).
Medikasi merupakan penyebab peningkatan enzim hepar yang sering
dijumpai, salah satunya yaitu antikonvulsan yang dapat menyebabkan
peningkatan bilirubin, ALP, ALT (Tabel 7) (Fancher dkk, 2007).
Tabel 7. Medikasi yang dapat mempengaruhi Tes Fungsi Hati
Dikutip dari : Fancher, T.L., Kamboj, A., Onate, J. 2007. Interpreting Liver Function Tests. Current Psychiatry. 6(5): 61-68
Universitas Sumatera Utara
41
II.6.1 Tes Fungsi Hati
Pemeriksaaan kimia darah digunakan untuk mendeteksi kelainan hati,
menentukan diagnosis, mengetahui berat ringannya penyakit, mengikuti
perjalanan penyakit dan penilaian hasil pengobatan. Pengukuran kadar
bilirubin serum, AST, ALT, ALP, GGT, dan albumin sering disebut sebagai tes
fungsi hati atau Liver Function Test. Pada banyak kasus, tes-tes ini dapat
mendeteksi penyakit hati dan empedu asimtomatik sebelum munculnya
manifestasi klinik. Tes-tes ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama,
antara lain : (Amirudin, 2007)
1. Peningkatan aminotransferase, ALT, dan AST biasanya mengarah
pada perlukaan hepatoselular atau inflamasi
2. Keadaan patologis yang mempengaruhi sistem empedu intra dan
ekstrahepatik dapat menyebabkan peningkatan ALP dan GGT
3. Kelompok ketiga merupakan kelompok yang mewakili fungsi sintesis
hati, seperti produksi albumin, urea dan faktor pembekuan.
Tes Fungsi Hati tidak dapat menilai fungsi hati secara langsung dan
menentukan apakah hepatocyt injury atau kolestasis. Tes fungsi hati
standard meliputi penilaian enzim dan protein, khususnya ALT, AST, ALP,
total bilirubin, albumin dan total protein. Dalam tes fungsi hati biasanya juga
dinilai GGT dan Protrombin Time (PT). Alanine Aminotransferase dan AST
memiliki konsentrasi yang tinggi di hepar, namun ALT merupakan indikator
yang lebih spesifik untuk injury hepar. Alkaline Phosphatase terutama berasal
Universitas Sumatera Utara
42
dari hepar dan tulang. Bila kadar ALP meningkat secara menetap
mengindikasikan kolestasis kronik atau penyakit hati infiltratif (Fancher dkk,
2007).
Nilai normal tes fungsi hati untuk bilirubin 5-18 μmol/L, ALP 30-130
IU/L, AST 5-40 IU/L, ALT 5-35 IU/L, GGT 5-50 IU/l (Amirudin, 2007).
Pemeriksaan standard untuk tes fungsi hati meliputi ALT, AST, ALP,
total bilirubin, albumin, dan total protein. Selain itu juga dinilai GGT dan PT.
Nilai normal dan interpretasi dari tes fungsi hati dapat dilihat pada tabel 7
(Fancher dkk, 2007).
Tabel 8. Nilai normal tes fungsi hati
Dikutip dari : Fancher, T.L., Kamboj, A., Onate, J. 2007. Interpreting Liver Function Tests. Current Psychiatry. 6(5): 61-68
Universitas Sumatera Utara
43
Untuk menilai hasil dari fungsi hati harus berdasarkan gejala pasien,
pemeriksaan fisik, riwayat medik, riwayat penyakit dahulu dan riwayat
pemakaian obat. Interpretasi dari hasil tes fungsi hati dapat dilihat pada
gambar 4 (Fancher dkk, 2007).
Injury pada hepar didefinisikan apabila : (Fancher dkk, 2007)
a. Kadar ALT meningkat >3 kali dari batas atas nilai normal
b. Kadar ALP meningkat >2 kali dari batas atas nilai normal
c. Kadar bilirubin meningkat >2 kali dari batas atas nilai normal, bila
berhubungan dengan peningkatan kadar ALT atau ALP
Bila peningkatan kadar ALT predominan, dianggap sebagai suatu
injury hepatoseluler. Bila peningkatan kadar ALP predominan, maka
dianggap sebagai suspect injury kolestatik. Bila peningkatan pada ALT dan
ALP merupakan bentuk campuran dari injury hepatoseluler dan kolestatik
(Fancher dkk, 2007).
Universitas Sumatera Utara
44
Gambar 4 . Interpretasi Hasil Tes Fungsi Hati Dikutip dari : Fancher, T.L., Kamboj, A., Onate, J. 2007. Interpreting Liver Function Tests. Current Psychiatry. 6(5): 61-68
II.6.2 Bilirubin
Bilirubin merupakan produk katabolik hemoglobin yang dihasilkan
dalam sistem retikuloendotelial, dan dilepaskan dalam bentuk tidak
terkonjugasi kemudian masuk kedalam hati lalu diubah menjadi bentuk
bilirubin terkonjugasi yaitu mono dan diglukoronida oleh enzim UDP-
Universitas Sumatera Utara
45
glucoronyltransferase. Serum bilirubin total yang normal bervariasi dari 2
sampai 21 μmol/L. Bilirubin tidak langsung (tak terkonjugasi) kurang dari 12
μmol/L dan bilirubin langsung (terkonjugasi) kurang dari 8 μmol/L (Gowda
dkk, 2009).
Kadar serum bilirubin lebih dari 17 μmol/L menunjukkan penyakit hati
dan kadar serum bilirubin lebih dari 24 μmol/L mengindikasikan tes
laboratorium hati abnormal. Jaundice terjadi bila konsentrasi bilirubin sekitar
40 μmol/L, dan dapat dilihat pada sklera, kulit, dan membran mukosa.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat terjadi oleh karena produksi bilirubin
secara berlebihan, penurunan pengambilan hati atau konjugasi atau
keduanya. Pada hepatitis viral, kerusakan hepatoseluler, kerusakan hati
iskemik atau oleh karena toksin dapat dijumpai kadar serum bilirubn
terkonjugasi yang lebih tinggi (Gowda dkk, 2009).
II.6.3 Alkaline Phosphatase (ALP)
Alkaline Phosphatase dapat dijumpai pada mukosa epitel dari usus
kecil, tubulus proksimal ginjal, tulang, hati dan plasenta. Alkaline
Phosphatase berperan dalam transportasi lipid di usus dan kalsifikasi tulang.
Aktivitas serum ALP terutama berasal dari hati. Pada hepatitis viral akut, ALP
biasanya normal atau meningkat. Peningkatan kadar ALP dalam waktu yang
cukup lama berhubungan dengan Hepatitis A yang disertai dengan
kolestasis. Metastasis hati dan tulang juga dapat menyebabkan peningkatan
Universitas Sumatera Utara
46
kadar ALP. Penyakit lain seperti penyakit infiltratif hati, abses, penyakit hati
granulomatosus dan amyloidosis dapat menyebabkan penigkatan kadar ALP
(Gowda dkk, 2009).
II.6.4 Aspartate Amino Transferase (AST)
Aspartate Amino Transferase mengkatalis reaksi transaminasi.
Aspartate Amino Transferase terdapat dalam 2 bentuk isoenzim yang
berbeda secara genetik, yaitu bentuk mitokondria dan sitoplasmik. Aspartate
Amino Transferase ditemukan dalam konsentrasi tertinggi yaitu di jantung,
dibandingkan dengan jaringan lain dalam tubuh seperti hati, otot rangka dan
ginjal. Peningkatan kadar AST mitokondria terlihat pada jaringan nekrosis
yang luas selama infark miokard dan juga penyakit hati kronik. Sekitar 80%
dari aktivitas AST hati merupakan kontribusi dari isoenzim mitokondria,
sedangkan sebagian besar aktivitas sirkulasi AST pada orang normal berasal
dari isoenzim sitosolik. Perubahan kadar AST biasanya dijumpai pada pasien
sirosis hati dan juga penyakit hati lainnya dengan kadar ALT yang juga
meningkat (Gowda dkk, 2009).
II.6.5 Alanine Amino Transferase (ALT)
Alanine Amino Transferase dapat ditemukan di ginjal, jantung, otot dan
konsentrasi yang tertinggi dijumpai di hati dibandingkan dengan jaringan lain
dari tubuh. Alanine Amino Transferase merupakan katalis sitoplasmik murni
Universitas Sumatera Utara
47
dari reaksi transaminasi. Pada setiap cedera sel hati dapat meningkatkan
kadar ALT. Peningkatan kadar ALT lebih dari 300 U/L dianggap tidak spesifik.
Peningkatan kadar ALT lebih dari 500 U/L sering dijumpai pada penyakit
yang mengenai hepatosit secara primer seperti hepatitis viral, kerusakan hati
iskemik, dan kerusakan hati yang disebabkan oleh toksin. Meskipun terdapat
hubungan antara peningkatan kadar ALT yang sangat tinggi dan spesifitas
untuk penyakit hepatoseluler, puncak absolut dari peningkatan ALT tidak
berhubungan dengan luasnya kerusakan sel hati. Virus hepatitis seperti
A,B,C,D, dan E dapat menyebabkan peningkatan kadar ALT. Bila
peningkatan kadar ALT menetap hingga lebih dari 6 bulan setelah hepatitis
akut maka didiagnosa sebagai hepatitis kronik (Gowda dkk, 2009).
II.6.6 Gamma Glutamyl Transferase (GGT)
Gamma Glutamyl Transferase merupakan enzim mikrosomal yang
dijumpai pada hepatosit dan sel epitel empedu, tubulus ginjal, pankreas dan
usus. Gamma Glutamyl Transferase juga dijumpai pada membran sel yang
melakukan transportasi peptida kedalam sel yang melewati membran sel dan
terlibat dalam metabolisme glutation. Aktivitas serum GGT terutama
berhubungan dengan sistem hepatobilier, meskipun dijumpai dalam
konsentrasi yang lebih tinggi pada ginjal. Pada hepatitis viral akut, kadar GGT
akan mencapai puncak pada minggu kedua datau ketiga dan dapat bertahan
hingga 6 minggu. Peningkatan kadar GGT dapat dijumpai pada 30% pasien
Universitas Sumatera Utara
48
hepatitis C kronik. Peningkatan kadar serum GGT hingga lebih dari 10 kali
dapat dijumpai pada alkoholisme. Serum GGT juga dapat sebagai marker
awal dari stres oksidatif (Gowda dkk, 2009).
II.7 RISIKO KARBAMAZEPIN TERHADAP FUNGSI TIROID
Karbamazepin mempunyai efek terhadap fungsi tiroid, yaitu penurunan
konsentrasi hormon tiroid. Hal ini disebabkan oleh karbamazepin sebagai
OAE generasi lama mengandung zat yang dapat merangsang enzim yang
dapat meningkatkan metabolisme glukoronide dari hormon tiroid (Anderson,
2004).
Salah satu hipotesis menyebutkan bahwa karbamazepin
mempengaruhi transport aktif transmembran dari T4 (bukan T3) pada
berbagai jaringan, sehingga pada sebagian besar pasien-pasien epilepsi
dijumpai penurunan kadar T4 sementara kadar TSH normal. Penurunan
kadar T4 dapat dijumpai pada satu bulan setelah terapi, kemudian menetap
selama terapi karbamazepin dilanjutkan. Karbamazepin dapat merubah
konsentrasi serum T4 oleh karena karbamazepin dapat menginduksi sistem
enzim P450, yang menginduksi sistem hepatik. Karbamazepin juga dapat
meningkatkan metabolisme hormon tiroid. Gangguan fungsi tiroid pada
pasien yang mendapat terapi karbamazepin tidak dimediasi oleh karena
aktivasi dari mekanisme autoimun. Namun perubahan klinik yang signifikan
Universitas Sumatera Utara
49
dari konsentrasi serum hormon tiroid selama terapi karbamazepin masih
belum diketahui pasti (Verotti dkk, 2009).
Cytochrome P450 complex (CYP3A) mengandung enzim-enzim yang
berperan pada oksidatif dan mengurangi reaksi. Dimana beberapa dari
enzim-enzim tersebut dapat di induksi oleh karbamazepin. Kemudian
menghasilkan produk khusus yang dapat mereduksi kadar hormon tiroid
(George dan Joshi, 2007).
Karbamazepin dapat mempercepat metabolisme dari hormon tiroid
dengan cara menginduksi sistem enzim hepatik P450 yang kemudian
menyebabkan peningkatan metabolisme hormon-hormon tiroid dan
mengganggu hormon tiroid berikatan dengan tiroid-globulin (Yilmaz dkk,
2014).
Kadar hormon tiroid (T4 dan T3) menurun pada 14 hari setelah
mendapat terapi karbamazepin (400mg/hari) pada subjek yang sehat. Hal ini
sesuai dengan rentang waktu dari kerja enzim yang terkandung dalam
karbamazepin (Anderson, 2004).
II.8 RISIKO KARBAMAZEPIN TERHADAP FUNGSI HATI
Karbamazepin dapat menginduksi enzim sehingga meningkatkan GGT
dan mempengaruhi ALP. Karbamazepin dapat menyebabkan kolestatik dan
injury hepatoseluler, serta pembentukan granuloma di hepar. Metabolit
karbamazepin memegang peranan penting dalam patogenesis hipersensitif
Universitas Sumatera Utara
50
dan hepatotoksik karbamazepin. Pada studi metabolisme invitro
menggunakan inhibitor enzim dan enzim murni mengindikasikan adanya
pembentukan epoksid stabil dan metabolit reaktif, yang tergantung pada CYP
3A4. Secara invivo, karbamazepin sendiri dapat menginduksi metabolitnya
melalui CYP 3A4 serta pembentukan metabolit 2 dan 3 cincin hidroksil, yang
kemudian berubah menjadi oksida arene sementara yang tidak stabil, dimana
bentuk ini dapat menyebabkan pembentukan hapten (Pandit dkk, 2012).
Biotransformasi hepatik merupakan jalur eliminasi utama dari
karbamazepin. Epoksidasi dan hidroksilasi merupakan jalur metabolik dan
reaksi konjugasi yang berperan. Hasil metabolik utama yaitu 10,11-CBZ
epoksida merupakan bentuk aktif secara farmakologik. Karbamazepin dapat
menginduksi metabolismenya sendiri (autoinduction) yang dimulai dalam 24
jam pertama setelah terapi awal dan selesai dalam > 3-5 minggu dari terapi.
Reaksi hepatotoksik biasanya dijumpai dalam 3-4 minggu setelah dimulai
terapi dan tidak tergantung pada kadar serum karbamazepin. Gejala
hepatotoksik biasanya membaik setelah obat dihentikan (Ahmed dan Siddiqi,
2006).
Mekanisme karbamazepin dalam menyebabkan kerusakan hepar
masih kontroversi, namun diduga oleh karena obat ini di metabolisasi di
hepar dan di ekskresikan melalui urine sekitar 12%. Karbamazepin
mengalami metabolisme oksidatif menjadi beberapa epoksida. Epoksida
Universitas Sumatera Utara
51
tersebut menyebabkan toksisitas hematologik dan hepatotoksisitas (Sabariah
dkk, 2014).
II.9 RISIKO ASAM VALPROAT TERHADAP FUNGSI TIROID
Pada penelitian terakhir dilaporkan bahwa asam valproat dapat
mempengaruhi fungsi tiroid pada pemakaian lebih dari 6 bulan. Diduga asam
valproat dapat menginhibisi somatostatin, yang merupakan inhibitor utama
dari sekresi TSH melalui GABA (Turan dkk, 2013).
Diduga asam valproat dapat mempengaruhi fungsi tiroid dengan cara
menginduksi sistem enzim mikrosom. Asam valproat mengalami metabolisasi
di hepar melalui konjugasi glukoronide dan oksidasi, yang kemudian
mempengaruhi kadar hormon tiroid dengan jalan menganggu jalur metabolik
hepatik (Teleanu dkk, 2013).
Pada beberapa penelitian terdahulu didapatkan pengaruh asam
valproat terhadap TSH, meskipun hal ini masih kontroversi. Peningkatan
kadar TSH pada pasien dengan asam valproat oleh karena asam valproat
dapat mempengaruhi sekresi, metabolisme, dan regulasi feedback dari
sekresi TSH. Asam valproat dalam mempengaruhi sekresi TSH diduga
melalui GABAnergik yang terkandung di dalam asam valproat. Disisi lain,
asam valproat juga mempengaruhi berat badan yang berhubungan dengan
kadar TSH (Pylvanen, 2005).
Universitas Sumatera Utara
52
Salah satu hipotesis menyebutkan bahwa pada pasien-pasien yang
menggunakan asam valproat mengalami inhibisi somatostatin, yang
merupakan inhibitor penting dalam sekresi TSH melalui stimulasi GABA.
Selain itu, asam valproat juga menyebabkan defisiensi selenium dan zinc,
yang berhubungan dengan kejadian hipotiroidsm subklinik (Turan dkk, 2014).
Asam valproat dapat mempengaruhi TSH, diduga oleh karena asam
valproat menyebabkan peningkatan GABA, yang berpengaruh pada kelenjar
pituitari dalam menghambat sekresi TSH (Gracious dkk, 2004).
II.10 RISIKO ASAM VALPROAT TERHADAP FUNGSI HATI
Asam valproat sudah sejak lama diketahui dapat menyebabkan
hepatotoksisitas akut. Terdapat 2 tipe asam valproat dalam menyebabkan
hepatotoksisitas. Tipe pertama yaitu perubahan kadar serum enzim hati dan
rendahnya kadar plasma fibrinogen yang tergantung pada dosis dari asam
valproat, dimana kondisi ini kembali normal setelah asam valproat dihentikan.
Tipe kedua yaitu reaksi idiosinkratik reversible, namun jarang ditemukan
(Koenig dkk,2006).
Hipotesis yang menjelaskan hubungan hepatotoksisitas dan asam
valproat yaitu disebabkan oleh interaksi beberapa faktor seperti faktor
genetik dan metabolik, serta efek obat pada metabolisme mitokondria.
Beberapa mekanisme asam valproat dalam menyebabkan hepatotoksisitas
yaitu pembentukan metabolit reaktif dari asam valproat, defisiensi koenzim A
Universitas Sumatera Utara
53
yang diinduksi oleh asam valproat, defisiensi carnitine, gangguan
metabolisme dan stres oksidatif sebagai akibat aktifitas radikal bebas (Silva
dkk, 2008).
Beberapa mekanisme asam valproat dalam menyebabkan hepatopati
yaitu inhibisi dari oksidasi β dan posforilasi oksidatif, inhibisi glukoneogenesis
dan sintesis urea, efek steatogenik dan penurunan carnitine intraselluler.
Reduksi CoA interselluler merupakan jalur sentral utama dari asam valproat
dalam menyebabkan hepatotoksisitas (Koenig dkk,2006).
Asam valproat merupakan OAE yang telah dipakai secara luas. Asam
valproat biasanya dapat ditoleransi dengan baik, namun perubahan pada
fungsi hati dijumpai dapat dijumpai pada 20% pasien. Hipotesis tentang
mekanisme toksisitas asam valproat yaitu keterlibatan asam valproat dengan
oksidasi β dari lipid endogen. Asam valproat membentuk konjugasi ester
dengan carnitine yang pada akhirnya menyebabkan defisiensi carnitine
sekunder. Pada beberapa studi invitro mengindikasikan bahwa derivat
tioester dari asam valproat dan koenzim A dapat dijumpai dalam bentuk
metabolik sementara pada jaringan hepar. Deplesi dari koenzim A atau asam
valproat CoA ester sendiri dapat bertanggungjawab pada inhibisi dari
metabolisme mitokondria, pengurangan ATP dan akhirnya menyebabkan
kematian sel (Pandit dkk, 2012).
Terapi asam valproat dapat berhubungan dengan terjadinya
hiperammonemia, dengan dijumpai kadar AST, ALT dan ALP yang normal.
Universitas Sumatera Utara
54
Mekanisme hiperammonemia tersebut dapat merupakan suatu keadaan
kerusakan hepatik akut, namun dapat juga dijumpai pada terapi asam
valproat akut. Idiosinkratik toksisitas hepatik terhadap asam valproat
biasanya terjadi dalam 2-3 bulan pertama terapi (Ahmed dan Siddiqi, 2006).
Reaksi perubahan dari β-oksidasi ke bentuk ω-oksidasi merupakan
pencetus yang berperan dalam patogenesis. Bentuk ini kemudian menjadi 4-
enVPA, yang merupakan senyawa yang dapat menyebabkan steatosis
mikrovesikular sebagai tanda hepatik injury yang di induksi oleh asam
valproat. Mekanisme lainnya yaitu deplesi dari L-carnitine (Ahmed dan
Siddiqi,2006).
Universitas Sumatera Utara
55
II.11 KERANGKA TEORI
KARBAMAZEPIN
EPILEPSI
ASAM VALPROAT
HEPATOTOKSIK
GANGGUAN HORMON TIROID
KERUSAKAN HATI
Cytochrome P450 Kompleks
GANGGUAN FUNGSI TIROID
GANGGUAN FUNGSI HATI
CBZ ↑ALT, AST, ALP, GGT (Ahmed dkk,2006)
VA reduksi CoA interselluler hepatotoksisitas (Koenig dkk, 2007))
VA β oksidasi ω oksidasi 4-en VPA steatosis mikrovesikuler
VA mengganggu jalur metabolik hepatik kadar hormon tiroid (Teleanu dkk,
(VA ↑ GABA menginhibiisi somatostatine inhibisi sekresi TSH Turan dkk, 2013)
CBZ induksi CYP3A ggn transport aktif transmembran T4 kadar T4 ↓(Verotti dkk, 2009)
CBZ induksi CYP3A metaboilisme hormon tiroid ↑ ggn hormon tiorid berkatan dgn tiroid globulin (Yilmaz dkk, 2014)
CBZ induksi CYP3A produk khusus reduksi hormon tiroid (Geeorge dkk, 2007)
CBZ autoinduction reaksi hepatotoksik (Ahmed dkk, 2006)
CBZ CYP 3A4 epoksid stabil &metabolit reaktif (Pandit dkk, 2012)
VA T4 ↓, TSH ↑ pada bulan ke I, VI, XII (Yilmaz dkk, 2014) CBZ T4 ↓, T3 dan TSH normal
((Isojarvi dkk, 2001 &Veroti dkk, 2009) VA T4 ↓, T3 ↓, TSH ↑ (Punal
dkk, 1999)
VA ALP ↑, AST ↑, ALT ↑ (Salehiomran dkk, 2010)
CBZ ↑ALP (Husein dkk, 2013)
Universitas Sumatera Utara
56
II.12 KERANGKA KONSEP
EPILEPSI
KARBAMAZEPIN
FUNGSI HATI
FUNGSI TIROID
ASAM VALPROAT
Universitas Sumatera Utara