1 dka

Upload: amelia-pratiwi

Post on 13-Oct-2015

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 5/22/2018 1 DKA

    1/7

    1

    DERMATITIS KONTAK ALERGIKA

    Nanda Earlia

    I. DEFINISIDermatitis kontak alergika (DKA) adalah inflamasi pada kulit melalui mekanisme

    imunologik, disebabkan kulit terpapar bahan alergen eksogen.

    II.IMUNOPATOGENESISDKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai imunitas

    seluler (tipe IV- a). Patogenesis DKA diklasifikasikan menjadi 2 bagian, yaitu fase induksi

    (fase sensitisasi) dan fase elisitasi (fase efektor). Fase sensitisasi dimulai dari waktu pertama

    kalinya kulit penderita terpapar dengan alergen kontak sampai waktu penderita tersensitisasi,

    yaitu siap untuk mewujudkan terjadinya reaksi DKA. Fase ini memerlukan waktu lebih

    kurang 10-15 hari, biasanya asimptomatik. Fase efektor dimulai dari paparan ulang alergen

    kontak yang sama sampai waktu terjadinya manifestasi klinik DKA, dan ini memerlukan 1-2

    hari. Reaksi inflamasi yang timbul pada DKA dipengaruhi oleh lamanya kulit terpapar

    dengan bahan alergen , berbeda dengan DKI, dimana reaksi inflamasi yang timbul sebanding

    dengan dosis dan konsentrasi bahan iritan yang terpapar dengan kulit.

    Mekanisme kerusakan kulit pada DKA terdiri dari enam tahap :

    (a) Pengikatan hapten/alergen kontak pada komponen kulitBahan yang terpapar kulit dapat penetrasi melalui stratum korneum bila berat molekul bahan

    tersebut < 500 Daltons, dinamakan hapten, yang dapat menjadi alergen kontak bila telah

    berikatan dengan protein kulit, sehingga berat molekulnya minimal 5000 Daltons,

    dinamakan hapten-protein complex. Hapten-protein complex ditangkap sel penyaji antigen

    (antigen precenting cells / APC) yaitu sel Langerhans (SL) dan atau sel dendritik dermal,

    kemudian diproses dulu di SL dan diekspresikan pada permukaan SL sebagai molekul HLA

    DR . Sel Langerhans sangat berperan pada patogenesis DKA. Alergen akan dikenalkan oleh

    SL kepada limfosit. Setelah alergen penetrasi kekulit, alergen akan berikatan dengan molekul

    MHC class I yang berikatan dengan sel TCD8+ pada kelenjar limfe. Alergen juga dapat

    berikatan dengan MHC class II yang kemudian akan berikatan dengan sel TCD4+. MHC

    class I/IIterdapat pada permukaan SL. Di epidermis hapten yang bersifat lipofilik berikatan

    dengan MHC class I, sedangkan hapten yang hidrofilik misalnya ion nikel lebih mudah

  • 5/22/2018 1 DKA

    2/7

    2

    berikatan dengan MHC II. Hapten/alergen juga terikat pada protein kulit misalnya kation

    nikel yang terdapat pada logam yang akan berikatan dengan protein kulit membentuk struktur

    yang lebih stabil (metal-protein chelates). Jadi jenis hapten menentukan macam sel T yang

    akan diaktifkan (sel TCD4+ atau sel TCD8+)

    (b)Hapten / alergen mengaktivasi sel penyaji antigenSL setelah berikatan dengan hapten akan menjadi aktif dan migrasi dari epidermis ke kelenjar

    limfe melalui pembuluh limfe. Limabelas menit setelah kulit terpapar dengan bahan alergen

    kontak, SL mengeluarkan IL-1 ( Interleukin-1), sedangkan IL 1 merangsang keratinosit

    untuk menghasilkan TNF- (tumor necrosis factor-) dan granulocyte-macrophag colony

    stimulating factor(GMCSF). Ketiga sitokin tersebut berperan dalam proses migrasi SL dari

    epidermis ke kelenjar limfe. Dalam waktu 24 jam setelah alergen terpapar pada kulit maka

    SL akan bermigrasi ke kelenjar limfe. IL-1 dan TNF- juga menurunkan ekspresi E-

    chaderin, sehingga melepaskan ikatan antara SL dengan jaringan sekitarnya. Enzim

    metalloproteinase-3(MMP-3) dan MMP-9 merusak makromolekul dermoepidermal dan

    matriks ekstraseluler sehingga mempermudah SL melewati stratum basalis. Ketika SL tiba di

    dermis, SL akan migrasi kearah pembuluh limfe dengan tuntunan SLC (secondary limphoid

    tissue). Setelah SL aktif, SL akan menurunkan ekspresi beberapa reseptor kemokin (CCR12,5

    dan CCR6), sedangkan CCR4,7dan CXCR4 meningkat. CCR7 berperan dalam pematangan

    SL selama proses migrasi SL ke kelenjar limfe. Aktivasi dan proliferasi sel T oleh SL

    membutuhkan stimulasi TCR (T cell reseptor) yang dikenal dengan signal 1, juga

    membutuhkan signal 2 (co-stimulation) oleh IL1, molekul adhesi yang terdapat dipermukaan

    SL dan sel T. Setelah sel Tspesifik menjadi aktif, maka sel T menghasilkan beberapa sitokin

    misanya IL2.

    (c)Pengenalan alergen oleh SL kepada limfositSL yang sudah matang (IDC/interdigitating cell) mengenalkan alergen ke sel T melalui

    dendrit-dendritnya sehingga sel Tnaif dalam beberapa hari akan berdiferensiasi menjadi sel T

    tipe-0, sel tipe-1, dan tipe-3 dengan menghasilkan sitokin yang berbeda. Sel Th1

    menghasilkan IFN- dan IL-18, sehingga menghambat aktivasi sel T tipe-2. Sel T tipe-1

    merupakan sel T efektor yang berperan pada terjadinya DKA. Sel T tipe-2 menghasilkan IL-

    4 dan atau IL-10, yang sering teraktivasi bila mukosa terpapar alergen. Sel T tipe-3

    menghasilkan TGF- (transforming growth factor-) secara interaktif mengatur aktivasi sel T

    tipe lainnya sehingga dapat mengkontrol respon imun. SL akan mengenalkan alergen yang

    terdapat pada MHC class I/II kepada sel Tnaif sehingga sel Tnaif berubah menjadi sel T

    spesifik, yaitu sel T yang sudah mengenal alergen kontak tertentu (sensitisized lymphocyte).

  • 5/22/2018 1 DKA

    3/7

    3

    (d)Proliferasi sel T spesifikIL-1 yang dihasilkan SL mengaktivasi sel T, sehingga sel T yang aktif akan melepaskan

    growth factor misalnya IL-2 yang bersifat autocrine yaitu mengaktifkan reseptor IL-2

    sehingga menyebabkan sel T berdiferensiasi menjadi limfoblast.

    (e)Perkembangan sel T ke pembuluh darahSel T yang aktif melalui pembuluh limfe menuju sirkulasi darah. Pada sel T terdapat reseptor

    beberapa molekul sehingga memungkinkan sel T bermigrasi ke jaringan. Seandainya kulit

    tidak kontak dengan bahan alergen yang sama, jumlah sel T spesifik akan menurun dalam

    beberapa minggu sampai beberapa bulan. Keadaan inilah yang menyebabkan sel T memiliki

    nilai ambang yang lebih rendah untuk teraktivasi jika terpapar ulang dengan alergen yang

    sama, sehingga beberapa sel radang mudah datang dan terjadilah reaksi radang.

    (f) Fase efektorPaparan ulang kulit dengan alergen kontak yang sama menandakan dimulainya fase efektor.

    Proses untuk terjadinya DKA memerlukan waktu 18-48 jam. Terpapar ulang kulit dengan

    alergen yang sama menginduksi aktivasi dan migrasi SL, sedangkan pada endotel terjadi

    peningkatan molekul adhesi, yang memudahkan ekstravasasi sel T spesifik. Terikatnya

    hapten dengan sel T menyebabkan peningkatan mediator inflamasi sehingga reaksi radang di

    epidermis meningkat, ditandai dengan infiltrasi, edema, spongiosis (kemerahan, edema,

    papul, vesikel, dan pada palpasi teraba hangat). Akhirnya derajat reaksi radang menurun

    perlahan, walaupun masih didapatkan beberapa sel T spesifik sehingga memudahkan

    timbulnya DKA jika kulit terpapar ulang dengan alergen yang sama.

    Pengetahuan terbaru terhadap patogenesis DKA, menyatakan bahwa imunitas alamiah

    memainkan peranan utama pada proses sensitisasi, sehingga T regulatory (Treg) cell

    dianggap sebagai sel yang mengendalikan reaksi inflamasi pada DKA. Kekurangan Treg

    dapat menyebabkan DKA kronis. Keratinosit juga memainkan peranan penting dalam DKA,

    dari fase inisiasi saat mereka memproduksi TNF sampai antigen memodulasi migrasi APC

    dan T cell trafficking; serta menghasilkan IL-10 dan IL-16 yang merekrut Treg.

    III. KRITERIA DIAGNOSTIKA. ANAMNESIS Riwayat terpapar dengan bahan alergen Bila paparan dihentikan, lesi membaik, bila paparan berulang lesi memberat.

  • 5/22/2018 1 DKA

    4/7

    4

    Gejala subjektif berupa rasa gatal Riwayat penyakit terdahulu (dermatitis atopik) Riwayat pekerjaan penderita juga penting ditanyakan

    B. KLINIS :Efloresensi DKA polimorf, batas tegas, dimana alergen kuat selalu menyebabkan

    pembentukan vesikel, sedangkan alergen yang lemah ditandai dengan adanya

    papula. Pada fase akut ditandai dengan gejala pruritus, edema, makula

    eritematous batas tegas dan vesikel hanya pada area terpapar (lokalisata). Lesi

    subakut dapat berupa : eritema, papula, dan skuama. Bila kontak dengan alergen

    berulang, maka dapat ditemukan gejala dan tanda DKA kronik, berupa plak

    eritematosa batas tidak tegas, pada permukaan lesi bisa didapatkan skuama,

    fissura, likenifikasi; dan lesi dapat meluas melewati area yang terpapar

    (diseminata).

    C. DIAGNOSIS BANDING Sangat mirip :

    Lokalisata1. Dermatitis atopik2. Dermatitis asteatotik3. Dermatitis seboroik4. Dermatitis stasis

    Diseminata1. Dermatitis atopik2. Dermatitis kontak autosensitisasi3. Dermatitis asteatosis4. Dermatofitosis

    Dipertimbangkan : Lokalisata

    1. Akne karena steroid2. Liken simpleks kronis3. Herpes simpleks4. Herpes zoster

  • 5/22/2018 1 DKA

    5/7

    5

    Diseminata1. Dermatitis numularis2. Erupsi obat3.

    Psoriasis

    4. Parapsoriasis

    D. PEMERIKSAAN PENUNJANGUji tempel (patch test) dengan menggunakan bahan standar atau bahan yang

    dicurigai hanya diperlukan bila tidak dapat dibedakan dengan dermatitis kotak iritan.

    IV. KOMPLIKASIInfeksi sekunder

    V. PENATALAKSANAANA. NON MEDIKA MENTOSA Identifikasi dan eliminasi dan proteksi bahan alergen tersangka Anjuran penggunaan alat pelidung diri (APD) : sarung tangan, krim barier

    B. MEDIKA MENTOSAKasus ringan dan sedang ( DKA sub akut kronik) :

    TOPIKAL :

    - Kortikosteroid potensi sesuai derajat inflamasi. (hidrokortison 2,5% krim,ointment ; difluokortolon valerat 0,1 % krim ; momethason furoat 0,1% krim,

    ointment ; desoksimethason 0,25%, krim, ointment ; klobetasol propionat

    0,1% krim, ointment, gel. Perlu diperhatikan timbulnya efek samping berupa

    potensiasi, atrofi kulit, dan erupsi akneiformis.

    - Emolien (petrolatum based) untuk memperbaiki kulit kering dan likenifikasi- Calcineurin inhibitor(pimekrolimus 1.0% ; tacrolimus 0,03%, 1.0% cream)

    Sistemik

    - Antihistamin :H1Generasi 1 :

    Klorfeneramin maleat, D. 4 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam ; A. 0,09

  • 5/22/2018 1 DKA

    6/7

    6

    mg/kg/dosis, 3 kali/24jam

    Difenhidramin, D. 10-20 mg/dosis i.m 1-2 kali/24 jam; A. 0,5mg/kg/dosis, 1-2 kali/24 jam

    H1Generasi 2 : Loratadin, D. 10 mg/dosis/24 jam ; A. 2-9 tahun 5mg/dosis/24 jam Desloratadin, D. 5 mg/dosis/24 jam ; A. 6-12 tahun 2,5 mg/dosis/24 jam Cetirizin, D. 10 mg/dosis, 1-2kali/24 jam ; A.2-6 tahun 5 mg/dosis/24 jam Levocetirizin, D.5mg/dosis,1-2 kali/24 jam ; A. 6 tahun 2,5 mg/dosis/24

    jam

    Fexofenadin, D.120;180 mg/dosis/24 jam ; A. 12 tahun 60 mg/dosis/24jam

    H2 :

    Cimetidin, D.100 mg/dosis, 3 kali/24 jam atau 300mg/dosis/24 jam Ranitidin, D. 150mg, 300 mg/dosis, 2kali/24 jam ; A. 5-10 mg/kg/dosis/ 2

    kali/24jam

    Famotidin, D. 20mg,40 mg/dosis/2kali/24 jam ; A. 1-16 tahun 1 mg/kg/2kali/24 jam

    Antimetabolik : steroid sparing agent Azatioprin : D. 0,5-2,5-mg/kg/dosis/24 jam ; A. 1-2 mg/kg/dosis/24 jamImunosupresan makrolaktam ;

    Siklosporin : D. 2,5-5 mg/kg/dosis/24 jam ; A. 5-7 mg/kg/dosis/24 jam Tacrolimus :150-200g/kg/dosis/24 jam ; A. 200-300 g/kg/dosis/24 jam

    Menghambat fungsi sel T helperdan produksi IL-1, mengurangi aktivitas

    sel T, monosit, makrofag,keratinosit, dan hambat ekspresi ICAM-1.

    Kasus berat (DKA akut) :

    TOPIKAL :

    - Lesi basah (madidans) : kompres terbuka (2-3 lapis kain) dengan NaCl 0,9%- Lesi kering : kortikosteroid potensi sesuai derajat inflamasiSISTEMIK

    - Kortikosteroid, digunakan dalam waktu singkat : Prednison

    D. 5-10 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam A : 1mg/kgBB/hari

  • 5/22/2018 1 DKA

    7/7

    7

    MetilprednisolonD. 4,8,16 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam A : 1mg/kgBB/hari

    DeksametasonD. 0,5- 1 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam A : 0,1mg/kgBB/hari

    TriamsinolonD. 4,8,16 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam A : 1mg/kgBB/hari

    - Antihistamin- Antibiotika : bila ada superinfeksi bakteri

    VI. DAFTAR PUSTAKA1. Modin RL, Miller LS, Bangert C, Stingl G. Innate and adaptive immunity

    in skin. In: Goldsmith LA, Katz IS, Gilchrest BA, Leffel DJ, Wolff K

    editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine.8thed. New York:

    Mc Graw-Hill Book CO;2012.p.106-51.

    2. Tardan MPC, Zug KA. Allergic contact dermatitis. In: Goldsmith LA,Katz IS, Gilchrest BA, Leffel DJ, Wolff K editors. Fitzpatricks

    Dermatology in General Medicine.8thed. New York: Mc Graw-Hill Book

    CO;2012.p.152-821.

    3. Abas AK, Lichtman AH, editors. Hypersensitivity. In: Basic immunology:function and disorders of the immune system. 3 rded. Philadelphia: Elsevier

    ;2011.p. 291-305

    4. Sterry W, Paus R, Burgdorf. Allergic contact dermatitis. In: Sterry W, PausR, Burgdorf, editors. Thieme Clinical Companions Dermatology. German:

    George Thieme Verlag KG;2006.p.196-99

    5. Pohan SS. Irritant versus Contact Dermatitis : a new immunological.approach. Dalam: Pendidikan kedokteran berkelanjutan New perspective

    of dermatitis, Surabaya;2008:35-46